Martin Simamora
Yesus Tidak Diutus Untuk Menjadi Corpus Delicti,
Sebagaimana Ajaran Pendeta Erastus
(Lebih dulu di “Bible Alone”-Sabtu,16 Juli 2016- telah diedit dan dikoreksi)
Bacalah lebih
dulu: “bagian 5”
Sangat krusial bagi
setiap pembaca Alkitab, apalagi yang mengaku sebagai murid-murid Kristus yang
keberimanannya berakar dari semenjak serangkaian janji kedatangan Mesias kepada
para nabi-nabi kudus Allah, untuk tak saja mengenal Dia adalah kegenapan
apa yang telah dituliskan lebih dahulu oleh para nabi di dalam waktu-Nya di
dunia ini dan pada tempat yang dikehendaki-Nya dalam cara yang telah
ditetapkan-Nya terlebih dahulu dalam
kekekalan tetapi sekaligus mengenal Ialah satu-satunya yang dapat secara
sempurna mewujudkan segala maksud Allah secara
jitu sebagaimana Allah bermaksud dan telah merancangkan-Nya dalam sebuah
perwujudan yang tak bergeser sedikitpun sebagaiman hati dan pikiran Allah
menghendakinya, dikarenakan pada Yesus bekerja kuasa dan otoritas yang tak
sedikitpun berbeda dari Bapa.
Sebelum masuk ke
dalam aspek kedua, saya ingin menunjukan bagian dari perjanjian baru yang menunjukan bahwa penggenapan oleh
Sang Kristus bukan keimanan historikal belaka atau bagaikan
sebuah iman yang ditegakan di atas prasasti purba, sehingga dengan demikian
merupakan iman yang dibangun berdasarkan
kenangan untuk pengenangan atau perenungan bagi umat Kristen masa kini, bahwa
Sang Firman yang menjadi manusia, dahulu kala sudah berhasil menggenapi kitab
suci.
Jika kenangan dan
pengenangan Kristus semacam ini adalah
dasar iman, memang benar pengimanan saya dan anda itu, pada saat ini, tak lebih
tak bukan sekedar ziarah iman ke era lampau, sebab tak memiliki kekiniannya yang terus hidup, sebab hidupnya
Kristus atau pentingnya Kristus bagi umat Kristen masa kini telah berakhir
bersamaan dengan genapnya kitab purba itu oleh-Nya, tepat sebagaimana “lenyapnya”
Yesus Kristus dari muka bumi ini.
Tetapi Alkitab tidak
menyatakan demikian, sebaliknya Kristus memiliki kekinian yang terus
hidup untuk menjadi dasar beriman dan sumber kehidupan beriman, tepat pada diri
Sang Kristus itu sendiri.
Mari membaca
ini:
●Ibrani
1:1-4 ”Setelah pada
zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara
kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir
ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia
tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh
Dia Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya
kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan
firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa,
Ia duduk di sebelah
kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi, jauh lebih
tinggi dari pada malaikat-malaikat, sama seperti nama yang
dikaruniakan kepada-Nya jauh lebih indah dari pada nama mereka.”
Yesus
pada zaman dahulu dikandung
dalam janji-janji Allah sebagaimana telah dituliskan oleh para nabi dan kala Ia
yang dijanjikan itu telah dating, maka Allah berbicara kepada kita dengan perantaraan
Anak-Nya. Apa yang harus di catat di sini, sebagai injil Yohanes menyatakan: “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa
Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan”-
Yohanes 1:3 yang menunjukan bahwa Ia adalah Sang Pencipta bersama dengan Sang Bapa, maka pada Surat
Ibrani hal ini dikemukakan juga:”Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta”
dengan penegasan bahwa antara Anak dan Bapa tak ada sebuah keterpisahan
sehingga menampilkan kemulti-theis-an Bapa dan Anak, tetapi ketakterpisahan
Bapa dan Anak pada kesehakikatan Bapa
dengan Anak yang ditampilkan dengan ungkapan: “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah
dan gambar wujud Allah” yang tak hanya menunjukan bahwa Yesus adalah semacam reflektor
atau Tuhan yang lebih rendah, dengan demikian, tetapi Ia satu-satunya yang
menyatakan Dia yang tak pernah dapat dilihat secara jitu dan tanpa penyimpangan
sedikitpun, atau dalam bahasa injil Yohanes: “Tidak
seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di
pangkuan Bapa, Dialah yang
menyatakan-Nya”- Yohanes 1:18.
Tak
akan pernah ada satu benda atau mahkluk yang dapat menyatakan atau
mempresentasikan “Ia yang seorangpun tak pernah melihat Allah” jika Ia yang
mempresentasikan Allah itu bukan Ia yang
satu dengan Bapa, sebagaimana Yesus berkata mengenai dirinya sendiri:
Yohanes
10:30 Aku
dan Bapa adalah satu
Harus
dicamkan bahwa satu di sini bukan menunjukan Yesus adalah Bapa dan Bapa
adalah Yesus . Yesus tak pernah membicarakan satu yang semacam itu.
Perhatikan pernyataan Yesus yang ini:
Yohanes
5:31-32 Kalau Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, maka kesaksian-Ku itu tidak
benar; ada yang lain yang bersaksi tentang Aku dan Aku tahu, bahwa
kesaksian yang diberikan-Nya tentang Aku adalah benar.
Siapakah
yang dimaksud oleh Yesus dengan yang disebutnya sebagai “yang lain yang
bersaksi tentang Aku?” Dia Yang Lain di sini adalah:
Yohanes
5:37 Bapa
yang mengutus Aku, Dialah yang bersaksi tentang Aku
Bagaimana
bisa Bapa bukan
Yesus dan Yesus bukan Bapa tidak berarti 2 yang terpisah dalam kebedaan yang
bukan dua yang tak satu sama lainnya hal ini hanya dapat dijelaskan oleh
penjelasan Yesus terhadap Filipus yang memiliki pertanyaan berlatar belakang
semacam ini:
Yohanes
14:6-11 Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak
ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. Sekiranya kamu
mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia
dan kamu telah melihat Dia." Kata Filipus kepada-Nya: "Tuhan,
tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami." Kata Yesus
kepadanya: "Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau
tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa;
bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di
dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari
diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan
pekerjaan-Nya Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku
di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku; atau setidak-tidaknya, percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.
Satu di sini,
bukan hendak menyatakan Bapa adalah Yesus dan Yesus adalah Bapa tetapi : Yesus DI
DALAM BAPA dan BAPA DI DALAM
Yesus. Itu sebabnya
dikatakan Yesus tak terpisahkan dari Bapa dalam Ia datang ke dalam dunia ini
disebut sebagai utusan Bapa, atau dalam bahasa injil Yohanes: “Pada
mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah… Firman
itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita”-Yohanes
1:1,14
Jadi
tidak ada sebuah kebedaan derajat kealahan antara Yesus dan Bapa sehingga
menghasilkan 2 theisme: tuhan yang lebih
tinggi yaitu Bapa dan tuhan yang lebih rendah
yaitu Anak.
Pada teks epistel
Ibrani tadi, jelas ditunjukan:
▬Yesus
memiliki eksistensi pra-sejarahnya yang berbunyi: “setelah pada zaman dahulu
Allah berulang kali dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita
dengan perantaraan nabi-nabi [dalam epistel Ibrani, Yesus telah dinyatakan
dalam eksistensi pra sejarahnya atau sebelum ia masuk ke dalam waktu dan ruang
dunia ini, seperti Ibrani 1:6, 10:5]
▬Yesus
memiliki eksistensi kekontempreran masa kini atau kekinian-Nya yang senantiasa
hadir disepanjang waktu dan sekaligus dalam kekekalan: “Ia telah berbicara
kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya”; “setelah Ia selesai mengadakan
penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi”
“Ia
duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi” adalah eksistensi
Yesus yang menyebabkan apa yang disebut sebagai kepurbaan peristiwa manusia
Yesus tak menunjukan kesudahan eksistensi kebenarannya sebagaimana pernah
begitu aktual dalam ruang dan waktu.
▬Yesus
dikatakan: “jauh lebih tinggi dari pada
malaikat-malaikat” (Yohanes 1:4) tidak boleh diartikan bahwa Ia ketuhanan yang lebih rendah daripada
Allah berdasarkan “jauh lebih tinggi dari pada malaikat-malaikat.” Ingatlah
teks ini tak sama sekali hendak mengatakan bahwa Yesus atau Anak adalah Allah
yang lebih rendah daripada Bapa, ini bukan tentang multi atau poli-theisme. Hal
ini sejak semula telah dijaga oleh “Ia
adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan”-
Yohanes 1:3, atau dengan kata lain, di sini Dia yang disebut sebagai “cahaya
kemuliaan Allah” dan “gambar wujud Allah” bukan menunjukan semacam pancaran
cahaya dan sketsa gambaran, bukan. Tetapi memang Ia adalah sumber cahaya itu
sendiri dan memang rupa dari Dia yang tak pernah dapat dilihat dalam makna “Ia
duduk disebalah kanan Allah Yang Mahabesar, ditempat yang tinggi.
Jika
ditanyakan setinggi apakah Anak terhadap Allah
dalam “jauh lebih tinggi dari pada malaikat-malaikat?” Maka jawabnya adalah “duduk
di sebelah kanan Yang Mahabesar.” Mengatakan “duduk di sebelah
kanan” telah menunjukan bahwa Ia sejak semula telah memiliki posisi semulia
Allah, atau dengan kata lain:”di sebelah kanan Yang Mahabesar” bukanlah
kedudukan yang didapatkan dalam sebuah pengejaran atau bukan sebuah kekejian
semacam ini:
Yesaya
14:13-14 Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan
takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas
bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik
mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi!
Yesus bukanlah
Dia yang tak memiliki takhta disebelah kanan Yang Mahatinggi sehingga
perlu “hendak mendirikan takhta” di sana. Yesus memang pada dasarnya bukanlah
Allah yang lebih kecil dari pada Bapa sebab pada hakikatnya Ia memang setara
dengan Allah atau bersama-sama dengan Allah dalam kemuliaan yang sama memegang
pemerintahan-Nya.
Mengapa
demikian? Karena:
Yesus adalah Anak
Allah, karena Ia dan Allah tak terpisahkan- [sekalipun dapat dibedakan satu sama lain sebab telah menyatakan dirinya
dalam rupa manusia]- dalam menciptakan dunia ini. Bahwa Yesus bukan semata
lebih tinggi daripada malaikat-malaikat tetapi adalah Allah, dapat dijelaskan
dari kebenaran yang berbunyi: “tanpanya
maka tak ada yang dapat diciptakan” (injil Yohanes): “Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta” (Ibrani 1:20
Itulah sebabnya dalam
Ia berinkarnasi menjadi manusia [Yohanes 1:1,14], pada keilahian dalam kemanusiaannya,
ia telah disebut sebagai: “cahaya kemuliaan Allah” dan “gambar wujud Allah,”
atau dengan kata lain, ia tak dapat dikatakan sebagai sebuah mahkluk yang
hirarkinya lebih tinggi daripada malaikat-malaikat namun lebih rendah dari pada
Allah dalam derajat yang bagaimanapun. Ia memang benar-benar manusia yang di
dalam kemanusiaannya merupakan “cahaya kemuliaan Allah” dan “gambar
wujud Allah.” Ia tampil dalam deskripsi demikian sebagaimana pada
realitas eksistensinya yang semacam ini sebagai akibat: untuk sementara
waktu telah direndahkan demi genapnya
maksud Allah sendiri di dunia ini:
●Ibrani
2:7 Namun Engkau telah membuatnya untuk waktu yang singkat sedikit lebih rendah
dari pada malaikat-malaikat, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan
hormat,
●Ibrani
2:9 Tetapi Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari
pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus
Jika
anda ditanyakan serendah apakah Ia telah direndahkan?
Maka inilah jawabnya:
●Ibrani
2:14 maka Ia juga menjadi sama dengan
mereka dan mendapat bagian dalam keadaan
mereka, supaya oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang
berkuasa atas maut;
Sebuah
kerendahan sedemikian rendahnya hingga
turut mengambil bagian kemanusiaan yaitu mengalami kematian, hanya saja dalam
kematian Ia tak ditaklukan oleh kematian, sebaliknya dalam kematian Ia telah
berhasil memusnahkan kematian yang berkuasa atas manusia. Ia telah
memusnahkannya dalam kemanusiaan sebagaimana manusia.
Baiklah, sekarang setelah
secara ringkas mengetahui Yesus yang demikian, maka memahami aspek
kedua ini, kita akan mengerti bahwa antara aspek pertama dan aspek kedua ini,sama
sekali, tak terpisahkan:
B.Bukan Diutus Untuk Menjadi Corpus Delicti demi kepentingan Allah, Sebab Yesus Sendiri
Berkuasa Untuk Menghakimi Kuasa dan Melucuti Pemerintahan Iblis yang berkuasa atas
maut
berdasarkan Sabdanya atas Manusia-Manusia Yang Ditebusnya:
Ketika Yesus
menjelaskan siapakah dirinya, maka Yesus
telah menunjukan bahwa Ia dan Bapa satu atau Ia sendiri adalah “gambar wujud
Allah” yang tak dapat dilihat itu dalam sabda Yesus berikut ini: “Bapa tidak
menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak- Yoh 5:22.” “Seluruhnya
kepada Anak” tidak boleh menjadi sebuah kebingungan dalam mehami relasi Bapa
terhadap Anak, apakah ini dua pihak yang terpisah sama sekali yang mana satunya memiliki kuasa penghakiman
berdasarkan pemberian atau pelimpahan atau pendelegasian: Bapa mendelegasikan
pada Anak, yang karena itu Anak adalah Allah yang lebih rendah daripada Bapa? Tidak
demikian, sebab dalam kaca mata Surat Ibrani jelas bahwa realitas tersebut
lahir dari relasi Bapa terhadap Anak dalam cara Anak
adalah gambar wujud Allah, yang mana dalam Anak adalah gambar wujud
Allah pada hakikatnya memiliki kursi atau kedudukan disebelah
kanan Allah Yang Mahatinggi.
Sehingga kita tak bias
hanya mengukur kemuliaan dan kekuasaan Yesus di muka bumi ini berdasarkan
sabda-Nya yang ditafsirkan semata dalam semantik “Ia menjadi manusia” begitu
saja dan lalu mengabaikan apa yang sebetulnya tak bisa dijelaskan dalam harmoni
secara semantik “Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku,” kala Yesus
menjelaskan dirinya di dunia ini.
Jika Anak bukan
gambar wujud Allah yang demikian, maka memang
tidak mungkin Yesus dalam kematiannya berkuasa untuk membinasakan maut
sehingga:
dan
supaya dengan
jalan demikian Ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam
perhambaan oleh karena takutnya kepada maut.- Ibrani 2:15
Yesus
tak pernah memiliki relasi dengan anak-anak Allah hanya untuk menjadi corpus delicti atau menjadi
bukti bahwa seharusnya anak-anak Allah juga dapat taat dan hormat kepada Allah
sebagaimana Anak (yang mana dalam
anak-anak Allah juga menjadi taat dan hormat pada Bapa sebagaimana Yesus bukan
sama sekali bukti yang menunjukan kejahatan iblis!!) dan tak berkuasa terhadap
pemerintahan Allah. Dalam Ia adalah gambar wujud Allah bukan untuk menjadi
corpus delicti tetapi untuk membebaskan manusia
yang beriman pada-Nya dari perhambaan maut seumur hidupnya!
Ia sendiri menyatakan
dirinya memiliki kuasa untuk membebaskan manusia dari pemerintahan kuasa maut
atau kegelapan atau thanatos,
berdasarkan sabdanya:
●Yohanes
5:24 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan
percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan
tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam
hidup.
Jika pendeta
Erastus Sabdono, terkhusus pada bagian ini:
“Sekaligus
oleh ketaatan-Nya ia bisa menjadi CORPUS DELICTI yang mebuktikan bahwa
seharusnya anak-anak Allah dapat taat dan menghormati-Nya dengan benar.
Iblispun terbukti dan pantas dihukum [halaman 37- “Aturan Main”]” jauh lebih
benar daripada pernyataan Yesus ini [ini adalah bagian dari serangkaian
penjelasan Yesus sendiri mengenai siapa dirinya dan kuasa yang dimilikinya,
Yohanes 5:19], maka jelas, dalam hal ini, pendeta Erastus hendak menyatakan bahwa
Yesus berdusta atau setidak-tidaknya hendak menyatakan bahwa Yesus tak setinggi
dirinya yang sedang diberitakan
Sang Mesias itu sendiri.
Bukan Kebenaran Yang Dapat Diwayangkan Manusia
Saat pendeta Erastus
menyatakan relasi antara Yesus Kristus dengan anak-anak Allah hanya sebatas
menanggung penghukuman dan bagi anak-anak Allah hanya menjadi “corpus delicti,”
yang jika berhasil maka akan membuktikan iblis pantas dihukum, Yesus secara
keras telah membantah pendeta Erastus memalui sabda-Nya yang menyatakan relasi
antara dirinya dengan anak-anak Allah atau orang-orang beriman kepada Yesus
sebagai Juruselamat dari pemerintahan maut. Bahkan, sementara pendeta Erastus
Sabdono secara luar biasa telah mengisolasi kuasa Yesus Kristus atas kerajaan
iblis di dalam kuasa menyelamatkan manusia olehnya, Yesus sebaliknya menyatakan
ketakterpisahan pada keduanya: bahwa penyelamatan manusia olehnya secara
integeral merupakan penaklukan olehnya atas kuasa pemerintahan iblis atas
manusia-manusia.
Perhatikan
perbandingan pengajaran pendeta Erastus Sabdono dengan pengajaran dan karya
Yesus Kristus:
Yesus
“Corpus Delicti” Ala Pendeta Erastus versus Yesus “Sang Juruselamat”
Berdasarkan Kitab suci
Yesus
Sang Kristus
|
Pendeta
Erastus Sabdono
|
berdasarkan
pengimanan pada sabdanya dan pada Bapa
yang mengutusnya, maka manusia-manusia akan memiliki kehidupan kekal yaitu
pindah dari maut ke dalam hidup yang telah diwujudkan-Nya dalam penderitaan
kayu salib, kematian dan kebangkitan sehingga di dalam peristiwa itu Ia telah
mengalami maut bagi banyak manusia -Ibrani 2:9,14:15 (Tetapi Dia, yang untuk
waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat,
yaitu Yesus, kita lihat, yang oleh karena penderitaan maut, dimahkotai dengan
kemuliaan dan hormat, supaya oleh kasih karunia Allah Ia mengalami maut bagi
semua manusia…. Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging,
maka Ia juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan
mereka, supaya oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang
berkuasa atas maut; dan
supaya dengan jalan demikian Ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya
berada dalam perhambaan oleh karena takutnya kepada maut.
|
menyatakan
bahwa karya Yesus atas manusia-manusia adalah menanggung penghukuman secara
substitusional yang dalam hal itu sama sekali tak berkuasa untuk menghakimi
dan apalagi menaklukan pemerintahan iblis yang memperbudak manusia dalam maut,sebab
ada problem corpus delicti yang menyebabkan Allah tak berdaulat hingga kini
terkait penghukuman kejahatan iblis melalui pengajarannya semacam ini: “Sekaligus oleh ketaatan-Nya ia bisa menjadi
CORPUS DELICTI yang mebuktikan bahwa seharusnya anak-anak Allah dapat taat
dan menghormati-Nya dengan benar. Iblispun terbukti dan pantas dihukum[halaman
37- “Aturan Main”]”
|
Betapa berbedanya dan
begitu sukar dipercaya, kuasa Yesus Kristus atas keselamatan manusia dan kuasa
Yesus Kristus yang menaklukan dan melucuti pemerintahan iblis atas
manusia-manusia, diragukan begitu saja hanya berdasarkan realitas: ”iblis
tak langsung dihukum segera atau tak langsung dibinasakan saja?!”
Bagaimanakah mungkin,
seorang mencari jawaban dengan membuang kesaksian-kesaksian yang begitu terang
benderang demi mencari bukti-bukti pada dimensi yang tak mungkin bagi manusia
dapat menjumpainya. Bagaimana mungkin, kemudian, seorang pendeta, karena
melihat “iblis tak langsung dihukum,”
maka begitu
saja ia mengabaikan kesaksian Alkitab pada Yesus dan kemudian merekonstruksikan
sebuah penjelasan yang bahkan tak dapat menjelaskan mengapa Allah harus sampai
perlu mengadopsi sebuah prinsip peradilan yang kelahirannya berasal dari
pengadilan Inggris-dari dunia ini, yang dikenal sebagai corpus delicti?
Yesus membungkam
pengajaran pendeta Erastus yang secara tak langsung sedang membangun sebuah boneka
Yesus dalam pewayangannya yang bahkan telah mewayangkan Allah sebagai
berkebutuhan mutlak pada kesetiaan manusia pada-Nya agar bisa membungkam iblis
dalam pengadilan yang kewibawaan dan kekuasaannya, saat ini, sedang
diremehkan iblis sampai manusia-manusia sukses menyediakan bagi Allah
serangkaian bukti-bukti yang dapat membungkam iblis, dalam pengadilannya.
“Barangsiapa mendengar perkataanku dan percaya kepada Dia yang mengutus
Aku.” Ini adalah jenis pernyataan yang menunjukan ketakterpisahan Yesus
untuk maksud kedatangannya,
bahwa kedatangannya ke dalam dunia ini membawa dua kebenaran yang tak dapat
diiris sebagai irisan-irisan kebenaran yang dapat berjalan sendiri-sendiri,
sebab jika demikian maka mustahil akan terjadi kehidupan kekal pada manusia
berdasarkan penaklukan dan pelucutan iblis beserta kekuasaannya
untuk membebaskan manusia-manusia dari pemerintahan maut.
Senantiasa memang, Yesus akan menautkan dirinya dengan Bapa sebagai dua yang tak
terpisahkan, melampaui sepasang kekasih sebab ini adalah dua yang bersekutu dalam
ketakmungkinan untuk dipisahkan satu sama lain, itu sebabnya percaya
kepada Bapa, akan diperkenalkannya sebagai : “Bapa yang mengutus Aku,” atau artinya: satu-satunya Bapa yang benar adalah Bapa yang telah
mengutus Anak ke dalam dunia ini, dan dialah satu-satunya yang dapat menyatakan
Bapa yang benar itu. “Barangsiapa yang mendengarkan perkataanku,”
inilah “moment of truth”-nya atau “momen kebenaran”-nya: adakah sedikit
saja kebenaran dalam “Allah telah mengutus Yesus untuk menjadi corpus delicti?”
Tidak ada sama sekali sebab tujuan Yesus
begitu tinggi untuk dapat didekati konsepsi pendeta Erastus yang bernama corpus delicti.
Tak
pernah seperti ini: seharusnya
anak-anak Allah dapat sebagaimana Yesus dapat taat dan menghormati Allah, agar
Allah,dengan demikian, dengan bantuan manusia-manusia yang mau dan berjuang
menjadi corpus delicti, sukses membungkam iblis. Lalu kewibawaan pengadilan Allah,dengan
demikian, dikokohkan oleh perjuangan-perjuangan manusia.
“Dapat taat dan menghormati Allah sebagaimana Yesus,” pada bangunnya
yang tersendiri, memang hal baik dan memang harus dimiliki oleh setiap anak-anak Allah yang telah memiliki
keselamatannya, tetapi jelas tak pernah hal itu dilakukan oleh
setiap orang beriman dalam sebuah tujuan untuk
memperkokoh pengadilan Allah.
Ketika “menjadi taat
dan menghormati Allah sebagaimana Yesus” telah diajarkan oleh pendeta Eratus
Sabdono, maka baginya inilah mata air yang melahirkan “taat dan menghormati
Allah sebagaimana Yesus atau meneladani Yesus dalam kehidupan saat ini,” tetapi
tanpa sebuah kuasa kehidupan yang dibebaskan dari perbudakan maut. Maka inilah pewayangan yang sedang dilakukan oleh seorang
manusia terhadap Allah. Ia telah menjadi dalang yang menuliskan
ulang bagaimanakah keselamatan manusia itu harus terjadi? Harus terlebih dahulu
Allah menegakan keadilan bagi iblis, sebuah posisi yang membuat Yesus tak berkuasa
untuk menebus manusia dari pemerintahan maut. Sebuah pewayangan yang memang pas
untuk menunjukan bahwa Yesus adalah Allah yang lebih rendah daripada Bapa yang
didemonstrasikan oleh dalang dalam cerita Allah bercela dihadapan iblis,
nama cela itu: tak memiliki corpus delicti.
“ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum.” Bapa
mengutus Yesus,dengan demikian, bukan agar setiap orang percaya menjadi corpus delicti
atau bukan
agar setiap anak Allah mengejar dan memperjuangkan sebuah hidup
taat dan menghormati Allah sebagaimana Yesus! Sebagaimana Yesus. Jikalau
sukses maka anak-anak Allah dapat
menjadi
bukti kuat bagi Allah untuk menghakimi iblis, kelak di pengadilan.
Sebaliknya agar setiap orang percaya memiliki hidupan yang kekal dan tidak turut
dihukum. Bagian ini sangat gamblang dan lugas menunjukan: tidak
ada sama sekali isu ke-corpus delicti-an manusia, sebab satu-satunya perkara
legalistik, hanya: apakah turut dihuku atau tidak turut dihukum berdasarkan
percaya dan melakukan apa yang disabdakan Yesus dan percaya bahwa Bapa yang
mengutus Yesus. Dalam manusia-manusia beriman kepada Yesus dan Bapa
maka mereka tidak turut dihukum, itu tak ada menyisakan satupun masalah
sebagaimana dirisaukan oleh pendeta Erastus, sebaliknya Yesus segera membawa mereka kedalam tujuan hidup dan
kehidupan yang telah dihasilkan Bapa dalam pembebasan dari hukuman, yaitu: memiliki kehidupan dari Bapa di dalam Yesus
Kristus sementara masih di dunia ini. Bahwa kehidupannya tidak lagi menghamba
pada pemerintah iblis.
“Sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup.”Pembebasan
dari hukum itu berbicara pada apakah yang menjadi natur kehidupan semua
manusia, yaitu semuanya tanpa kecuali memiliki kehidupan yang dikuasai kuasa pemerintahan maut. Dalam Maut di sini adalah sebuah
realitas yang berlawanan dengan dalam
hidup, sementara manusia-manusia itu masih hidup. Perhatikanlah satu
hal ini: saat Ia berkata: “sebab ia sudah
pindah dari dalam maut ke dalam hidup,” itu dikatakan kepada
manusia-manusia hidup yang belum mati dan belum masuk ke liang lahat! Ya..benar
sekali! “Sebab ia sudah pindah dari dalam
maut ke dalam hidup” hanya terjadi kalau saya dan anda masih bisa bernafas dan dimampukan
untuk dapat merespon terhadap apa yang Tuhan minta untuk kita taati selama
masih di dunia saat ini, di mana matahari masih terbit di timur dan
terbenam di barat. Pernyataan ini
dimulai dengan sebuah respon positif terhadap Yesus, yaitu: “barangsiapa mendengar
perkataan-Ku dan percaya
kepada Dia yang mengutus Aku,” dan dengan demikian hanya yang masih hidup atau
bernyawa yang bisa mendengarkan pembacaan Alkitab atau mendengarkan pemberitaan
injil oleh pengkhotbah atau penginjil atau seorang beriman pada Kristus
memberitakan-Nya kepada manusia-manusia lain, dapat menanggap positif:
MENDENGAR kebenaran yang diucapkan Yesus dan PERCAYA pada pemberitaan mengenai
diri Yesus yang bersabda bahwa dirinya DIUTUS Bapa.
Kedatangan Yesus
berdasarkan tindakan Bapa yang mengutusnya, bukan sama sekali, agar Yesus
menjadi corpus delicti bagi manusia-manusia lainnya untuk kepentingan
pengadilan Allah atas iblis, sebab pada realitasnya Bapa dan Anak akan
memberikan kehidupan kekal bagi siapapun yang mendengarkan dan tunduk pada apa
yang disabdakan Yesus. Bukan untuk menjadi corpus delicti sama sekali, karena
dalam hal ini, baik Bapa dan Anak, tak sama sekali menunjukan problem terkait
memberikan kehidupan kekal dan tidak turut di hukum. Faktanya baik Bapa dan
Anak begitu berkuasa atas dunia iblis karena: pindah dari dalam maut ke dalam hidup
adalah pindah dari dalam pemerintahan maut oleh iblis atau thanatos ke dalam hidup
atau kerajaan Allah.
Yesus dan Bapa, sama
sekali tidak seperti yang diwayangkan dalam pengajaran pendeta
Erastus Sabdono, tak ada yang namanya sebuah posisi legal dan apalagi politis
yang mengharuskan Allah dan Anak membutuhkan pertolongan manusia demi
keberhasilan pewujudan kehendak Allah atas anak-anak-Nya di hadapan iblis.
Allah tak bergantung sama sekali terhadap manusia untuk menghakimi iblis sebab
bahkan perkataan Yesus tak dapat dilawan oleh oleh kuasa pemerintahan iblis
yang telah memenjara manusia dalam maut [thanatos], yang menghendaki
membebaskan manusia itu dari dalam maut dan membawa manusia itu ke dalam
hidup.
Bersambung ke bagian 7
Segala
Kemuliaan Hanya Bagi Allah
No comments:
Post a Comment