Martin Simamora
Mengenal Tujuan Pengutusan Yesus Oleh Bapa, Benarkah Corpus Delicti?
(Lebih dulu di “Bible Alone”-Senin,11 Juli 2016- telah diedit dan dikoreksi)
Bacalah lebih
dulu: “Bagian 2”
Sementara,secara
pokok, telah dijelaskan, apakah corpus delicti itu dalam hukum dunia
ini, sebuah terminologi yang digunakan oleh pdt. Dr.Erastus Sabdono untuk
menjelaskan bagaimanakah keselamatan Allah itu berlangsung dan terwujud
berdasarkan kehendak-Nya, khususnya pada momen pengadilan-Nya terhadap Lucifer yang hingga kini Ia belum memiliki corpus
delicti atau barang bukti yang menunjukan kejahatan iblis-[sekali lagi, dalam hal ini, untuk sementara saya tidak mempermasalahkan
terlebih dahulu konsepsi siapakah Lucifer sesungguhnya, benarkah menunjuk iblis
ataukah yang lain? Namun anda dapat membaca penjelasan ringkas Prof. Dr. Dan
Wallace pada bagian bawah setelah artikel ini]-, maka hal sangat terpenting
dari semuanya adalah: apakah benar
pengutusan Anak oleh Bapa,memang benar memiliki tujuan corpus delicti di dalam
pengutusan itu? Bahwa Bapa memerlukan bukti yang kokoh atas
kejahatan Lucifer yang untuk menghadirkannya Bapa harus mendatangkan dari sorga
Anak-Nya Yang Tunggal yang datang ke dunia dalam rupa manusia. Sehingga Yesus juga menjadi
corpus delicti atau bukti bukan sama sekali bukti yang secara tempat dan
waktu kejadian perkara tidak ada [sebab Manusia Yesus belum ada di dunia kala
kejahatan iblis berlangsung], tidak
berada dalam peristiwa-peristiwa kejahatan Lucifer. Dan memang konsepsi corpus delicti pada Yesus
yang diajarkan oleh pendeta Erastus Sabdono, sama sekali bukan bukti untuk
menunjukan kejahatan iblis tetapi menunjukan Ia mentaati dan menghormati Bapa-
yaitu corpus delicti :ia mati di salib dalam sebuah ketaatan. Kekacauan
konsepsinya terletak pada corpus delicti Yesus sama sekali tak menunjukan
substansi kejahatan siapapun baik Yesus dan iblis sendiri, jadi sama sekali tak
berguna bagi Allah dalam pengadilan-Nya dan juga berarti Allah tetap tak pernah
memiliki corpus delicti untuk membungkam iblis. Kekacauan ini pun terjadi pada
manusia-manusia atau tepatnya anak- anak Allah yang mau menjadi corpus delicti
berdasarkan keteladanan Yesus, sebab sebagaimana pada Yesus maka bukan
substansi kejahatan iblis yang ditunjukan tetapi menunjukan bahwa mereka
berhasil meneladani Yesus.
Untuk menunjukan
apakah benar ataukah salah tujuan pengutusan Yesus oleh Bapa untuk menjadi corpus delicti,
terlepas dari keselahan konsepsinya, saya tetap akan menjawab pertanyaan
tersebut berdasarkan pemikiran pendeta Erastus yang semacam itu.
Bukti atau corpus delicti, yang sedang dibicarakan
oleh pdt. Erastus, dengan demikian, merupakan bukti yang harus diproduksi oleh
Yesus agar selanjutnya semua manusia yang sudah menerima karya substitusionari
Yesus yang terbatas pada menanggung hukuman yang
tidak mencakup penebusan dari kuasa pemerintahan iblis dan dosa.
Tetapi juga, menurut pengajaran pendeta Dr. Erastus Sabdono, Ia dapat menjadi
bukti baru untuk mendukung Allah dalam
pengadilan-Nya karena Ia dapat menunjukan diri-Nya taat dan menghormati Allah
(perhatikan ini sama sekali bukan sebuah corpus delicti atau tak menunjukan
substansi kejahatan iblis sama sekali), yang juga menunjukan bahwa semua
anak-anak Allah seharusnya juga dapat meneladani Yesus menjadi corpus delicti
itu masih dalam kehidupannya di dunia
ini berdasarkan ketaatan yang telah diteladankan Yesus (ini
pun bukan corpus delicti yang menunjukan substansi kejahatan iblis tapi
membuktikan bahwa anak-anak Allah pun terbukti bisa mentaati Allah sebagaimana
Yesus. Jadi sama sekali tak akan pernah menolong Allah sebab nampak sekali
Allah dalam konsepsi pendeta Erastus adalah Allah yang begitu bingung dalam
menghadirkan bukti kejahatan iblis. Terbukti dengan apa yang dihasilkan Yesus
dan anak-anak Allah adalah bukti bahwa mereka taat pada Allah).
Mari,
kembali, kita memperhatikan pernyataan pdt. Erastus, pada bagian
ini:
Manusia harus
dihukum,tetapi Allah ingin mengampuni manusia. Oleh sebab itu harus ada yang
memikul atau menanggung dosa manusia tersebut. Itulah sebabnya Bapa mengutus
Putera-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus untuk menggantikan tempat manusia yang
harus dihukum tersebut. Ini
dilakukan-Nya untuk memenuhi atau menjawab keadilan Allah. Sekaligus oleh
ketaatan-Nya ia bisa menjadi CORPUS DELICTI yang mebuktikan bahwa seharusnya
anak-anak Allah dapat taat dan menghormati-Nya dengan benar. Iblispun terbukti
dan pantas dihukum[halaman 37- “Aturan Main”]
Perhatikan
poin-poin berikut ini:
▬manusia
harus dihukum
▬Allah
ingin mengampuni manusia
▬harus
ada yang memikul dan menanggung dosa
▬Allah
mengutus Anak
▬Anak
Allah di dunia harus
membuktikan dirinya taat sehingga,
▬Anak
Allah menjadi
Corpus Delicti atau barang bukti bahwa anak-anak Allah seharusnya juga dapat taat
dan menghormati Allah dengan benar
Perhatikan 2 poin terakhir, tak satupun corpus delicti yang menghasilkan barang bukti
sebagaimana yang dimaksud dalam kaidah corpus delicti dunia ini, sementara
pendeta Erastus mengambilnya sebagai hal prinsipil dan temuan baru dalam
Kekristenan. Bagaimana bisa kemudian ia menyatakan: iblispun terbukti dan
pantas dihukum, sementara bukti-bukti yang ada hanya menunjukan semua dapat
taat dan menghormati Allah dengan benar yang mana “mereka” adalah Yesus dan
anak-anak Allah.
Juga perhatikan
baik-baik dalam sub bagian ini: “Manusia harus dihukum,tetapi Allah ingin
mengampuni manusia. Oleh sebab itu harus ada yang
memikul atau menanggung dosa manusia tersebut. Itulah
sebabnya Bapa mengutus Putera-Nya yang tunggal.”
Tujuan
pengutusan Yesus ke dalam dunia ini hanya sebatas untuk memikul atau
menanggung dosa manusia dan kemudian dapat menjadi corpus delicti bahwa
seharusnya anak-anak Allah dapat menjadi taat dan menghormati Allah dengan
benar.
Coba anda bandingkan dengan apa
yang Yesus kemukakan sendiri sebagaimana tercatat dalam injil Yohanes 3;16-18
Ini, oleh pdt.
Erastus, pada penghakiman SUBSTITUSIONAL atau terdakwa yang telah terbukti
kesalahannya [karena Allah sudah memastikan penghukumannya harus dilakukan],
penghukumannya ditanggungkan pada Putera-Nya yang tunggal sehingga manusia
dibebaskan dari penghukuman dalam penghakiman-Nya, sebagai tindakan memenuhi
dan menjawab keadilan Allah, sebagaimana pernyataannya ini: “Ini dilakukan-Nya untuk memenuhi
atau menjawab keadilan Allah.”
Namun,
dalam penghukuman SUBSTITUSIONAL yang dikatakannya memenuhi atau menjawab
keadilan Allah oleh Yesus Sang Substitusionaris yang secara kokoh telah menjawab
keadilan Allah, bagi pendeta Erastus Sabdono, masih atau malah menyisakan sebuah problem yang begitu
mencemaskan Allah, yaitu soliditas
atau kekokohan penghakiman Allah dalam pengadilan-Nya terhadap Iblis. Di
sini, ia menyatakan: Bapa begitu mencemaskan pengadilan-Nya akan
dapat dielakan oleh Lucifer terkait bukti-bukti lemah yang disodorkan Allah
dalam pengadilan-Nya. Jikalau iblis (Lucifer) dapat mengelakan atau
berkelit dari setiap dakwaan yang dilemparkan Allah, maka lazimnya sebuah
pengadilan, maka seorang yang dituduh dalam pengadilan yang demikian harus
dibebaskan. Apalagi secara
ekstrajudisial! (maksudnya hingga saat
ini iblis belum berstatus sebagai penjahat
dalam pandangannya atau iblis harus dikatakan masih suci demi hokum sebab
belum ada pengadilan yang menyatakan ia bersalah sebab Allah hingga detik ini
tak punya corpus delicti yang solid. Itu sebabnya dapat dipahami mengapa Anak,
dalam pengajarannya, tak berkuasa menebus manusia dari kerajaan iblis atau maut)
Bagaimana
menanggulangi problem Allah terhadap iblis yang luar biasa cerdas hingga
membuat Allah tersudut? Pendeta Erastus
Sabdono,kemudian, mengajukan pengajaran, yaitu: demi menjaga kepastian kemenangan Allah dalam pengadilan atas Lucifer,
Ia harus mengirimkan Putera-Nya yang tunggal untuk menjadi corpus delicti yang
kemudian dapat diikuti oleh anak-anak Allah.
Ketika Yesus menjadi penanggung
hukuman secara substitusional untuk tujuan “memenuhi keadilan Allah,” namun
sekaligus menjadi corpus delicti dalam hubungannya dengan manusia sebab Bapa
memiliki problem hebat yang tak tertanggulanginya sendiri untuk menghadirkan
corpus delicti yang kuat dan tak terbantahkan, maka sebetulnya pendeta Dr. Erastus Sabdono sedang
mengajarkan ada sebuah belahan dunia yang begitu terisolasi atau tak
terjamahkan dengan kedatangan Yesus dan karya substitusionarinya yang hanya
berkuasa menanggung penghukuman namun tak berkuasa menebus manusia dari
cengkraman maut. Belahan dunia yang dimaksud itu adalah “dunia iblis.”
Yesus Kristus, dengan
demikian, oleh pendeta Dr. Erastus Sabodono telah diajarkan sebagai Dia yang
tak memiliki dampak apapun terhadap pemerintahan iblis di dunia ini dalam ia
menjawab atau memenuhi keadilan Allah (terkait manusia namun masih bermasalah
terhadap iblis) selain pada dunia manusia yang berdosa.
Yesus berkuasa atas
dunia manusia namun begitu jauh dan mustahil untuk menjangkau kuasa Lucifer yang
berkuasa untuk menentukan corpus delicti tak bercela atau tak tersanggahkan,
sehingga memiliki kekuatan dahsyat untuk menolak atau membalikan segala dakwaan
Allah dalam pengadilan. Allah. Itu sebabnya sampai saat ini memang mustahil
untuk menghakimi Lucifer sebab, hingga kini, Allah tak memiliki satu atau dua
bukti yang dapat dibawa masuk ke dalam pengadilan judisial-Nya. Bukti-bukti itu
sedang dibangun dan sedang direkonstruksi oleh manusia yang mau menjadi corpus
delicti yang menunjukan bahwa mereka dapat taat dan menghormati Bapa secara
benar- dan ini sama sekali bukan substansi kejahatan yang dapat menolong Allah!
Bagi pendeta Erastus, Yesus seperti dasar untuk membangun dasar legal bagi
manusia-manusia sehingga dapat menjadi “corpus delicti” atau bukti melawan
Lucifer di pengadilan, maka mekanisme Allah adalah mengirim Yesus untuk menjadi
corpus delicti. Tetapi, sekali lagi, definisi pdt Erastus Sabdono terkait
penghadiran bukti yang dapat membungkam iblis adalah begini:
“Sekaligus oleh ketaatan-Nya ia bisa menjadi
CORPUS DELICTI yang membuktikan bahwa seharusnya anak-anak Allah dapat taat dan
menghormati-Nya dengan benar.”
Sama
sekali bukan corpus delicti untuk
melawan iblis tetapi corpus delicti yang menunjukan apakah anak-anak Allah itu
memang taat pada Allah atau tidak. Irelevan dengan kejahatan iblis itu sendiri.
Kalau corpus delictinya
Yesus terhadap manusia adalah untuk membuktikan bahwa seharusnya anak-anak
Allah dapat taat dan menghormati-Nya dengan benar, lalu apakah kekuatan bukti
ini memang dapat mendakwa iblis dengan kokoh, apakah “corpus delictinya Yesus
bagi anak-anak Allah, yang sedang dibangun oleh pendeta Erastus, memang dapat
mendukung simpulan yang berbunyi: “Iblispun
terbukti dan pantas dihukum?”
Apakah
ketaatan anak-anak Allah terhadap Allah
menunjukan kesalahan Lucifer? Bukankah itu semata
menunjukan bahwa di dalam Yesus, ya benar, anak-anak Allah dapat mentaati
Allah. Tak ada relasinya, sama sekali.
Corpus delictinya Yesus dalam relasi yang demikian pada anak-anak Allah, telah
menyebabkan Yesus beserta segenap karyanya tak ada kaitannya sama sekali dengan
“belahan” dunia iblis.
Dan, bukankah:
Pendeta
Erastus, sejak semula, telah mengatakan bahwa kedatangan Yesus tak berkuasa
untuk menunjukan kesalahan apalagi menghakimi Lucifer, karena, ia telah
memperlakukan kedatangan Yesus begitu terpisah dengan dunia dan kekuasaan
pemerintahan iblis?
Pendeta
Erastus, sejak semula, telah menyatakan bahwa Allah memerlukan bukti untuk
mengadili Lucifer, bahkan dari manusia, demi kekokohan pengadilan-Nya atas
iblis?
Jika demikian, apakah
anak-anak Allah merupakan bukti kejahatan melawan Lucifer ataukah merupakan
bukti kebenaran hasil penebusan (ini
tak diakui dalam pengajaran Corpus Delicti)
dimana menanggung hukuman
substitusionari berupa kematian Yesus di salib hanya wujud atau pelaksanaan menanggung
hukuman untuk memenuhi keadilan Allah, tapi
tanpa kuasa penebusan dan penaklukan pemerintahan iblis pada peristiwa
salib?? Harus diperhatikan, sebagaimana pdt. Erastus Sabdono telah mengeksklusi
atau mengecualikan kedatangan Yesus dari dunia kedaulatan Lucifer atau iblis,
bahkan Allah pun begitu sukar untuk memasuki dunia kedaulatan iblis, sehingga
memerlukan manusia-manusia untuk menolong-Nya dalam melancarkan dakwaan yang gemilang. Jadi, dalam
pengajaran pdt. Erastus, kelemahan Allah adalah dasar utama mengapa Ia
mengutus Yesus kedalam dunia ini, bukan pada tujuan utama dan terbesar untuk
menyematkan manusia oleh kasih Allah yang besar [Yoh 3:16-18]. Tujuan
kedatangan Yesus ke dalam dunia ini, bagi pendeta Erastus, terletak dalam kepentingan Allah agar dapat melakukan
penghakiman atas Lucifer secara gemilang.
Ini, sebagaimana
dalam pokok pengajarannya ini:
Sejajar dengan
ini, Lucifer yang jatuh juga TIDAK BISA DIBINASAKAN SEBELUM ADA CORPUS DELICTI.
Cara Allah membuat pembuktian adalah melalui anak-anak-Nya yang lain, yang
memiliki ketaatan dan penghormatan yang benar kepada Allah dan memiliki
persekutuan dengan-Nya yang benar. Ini akan membungkam iblis sehingga tidak
bisa mengelak lagi. Ia memang bersalah [halaman 36]
Dalam tujuan yang
demikian, lalu apakah lagi dasar bagi Allah untuk menyandarkan pengharapan-Nya
pada manusia-manusia untuk menghasilkan bukti kokoh di pengadilan?
Sebagaimana pdt.
Erastus Sabdono telah mengecualikan karya Yesus terhadap dunia iblis terkait
dampak kuasa substitusionarinya di salib atas atau untuk kepentingan manusia,
maka apalagi manusia-manusia yang menjadi anak-anak Allah yang dapat disebut disebut
corpus delicti untuk membungkam iblis di pengadilan akhir kelak? Bukankah
secara absolut mereka bergantung pada karya substitusionari Yesus sehingga tak
dihukum? Juga,harus dipertanyakan secara serius, bagaimana bisa, kemudian, ketaatan anak-anak Allah dapat membuat
Lucifer tidak berkutik sementara manusia-manusia itu sendiri tak dapat
menyajikan kesaksian verbal bagi pengadilan dan apalagi memproduksi bukti-bukti
pendukung yang secara kokoh dapat mendukung atau menopang penghakiman Allah
terhadap iblis?
Bukankah dalam
pengadilan, sebuah penghakiman atas kejahatan dapat berlangsung sempurna dengan
sederet bukti-bukti yang dapat bersaksi terhadap kejahatan-kejahatan yang
dilakukan oleh terdakwa? Dapatkan manusia-manusia menyajikan atau menyediakan
bagi Allah sederet bukti-bukti yang dapat bersaksi terhadap kejahatan-kejahatan
yang dilakukan Lucifer? Jelas tidak, karena pdt. Erastus Sabdono sendiri sudah
menjawabnya sendiri, saat menyatakan:
“Sekaligus
oleh ketaatan-Nya ia bisa menjadi CORPUS DELICTI yang membuktikan bahwa
seharusnya anak-anak Allah dapat taat dan menghormati-Nya dengan benar”
Justru bukti yang
dihadirkan merupakan bukti yang menunjukan ketaatan manusia pada Allah dan sama
sekali tak ada kaitannya dengan iblis dan segala dunia kejahatannya.
Pernyataan semacam
ini, justru
untuk kepentingan manusia dalam pengadilan yang jika terbukti
sebaliknya maka manusia berhadapan
dengan murka Allah dan terhadap Lucifer, justru dapat membebaskannya pada
penghakiman akhir Allah sebab ternyata ke-corpus-delicti-an anak-anak Allah
sama sekali tak memadai untuk menunjukan secara utuh iblis telah berbuat jahat
dan pantas dihukum. Dan kacaulah Allah oleh iblis pada pengadilan akhir itu,
sebuah skenario yang begitu terbuka untuk dapat terjadi.
Jadi itu justru pernyataan yang
seharusnya menjadi dasar penghakiman bagi manusia, bukan sebaliknya bagi
Lucifer. Dalam “oleh ketaatan-Nya ia bisa
menjadi CORPUS DELICTI yang membuktikan bahwa seharusnya anak-anak Allah dapat
taat dan menghormati-Nya dengan benar,” maka elemen: “membuktikan,” “seharusnya” dan “anak-anak
Allah,” jelas merupakan bukti dan membuktikan untuk kepentingan manusia,
bukan Lucifer, sama sekali.
Benarkah Iblis Adalah Dunia Yang Tak Tersentuh Sama Sekali Dalam
Kedatangan Anak Manusia Dan Dalam Karya Substitusionarinya?
Pada
injil jelas sekali kedatangan Yesus sangat menyentuh
bahkan menggoncangkan dunia iblis dalam sebuah perjumpaan kuasa yang
menumbangkan kehegemonian kuasanya atas dunia manusia termasuk pada kuasa
penentu kesudahan manusia.
Sebagai permulaan, mari kita melihat beberapa episode yang menunjukan bahwa kedatangan Yesus dalam
ia menjadi substitusionari bagi manusia-manusia dalam penghukuman karena dosa, ia
pun menghakimi iblis secara berdaulat dan berkuasa
penuh bahkan kuasa penghakiman atas iblis berupa pelucutan keadidayaannya atau
kehegemoniannya atas dunia manusia:
Lukas 10:17-18
Kemudian ketujuh puluh murid itu kembali dengan gembira dan berkata:
"Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu." Lalu
kata Yesus kepada mereka: "Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari
langit.
Yohanes
12:31-33 Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini: sekarang juga penguasa dunia
ini akan dilemparkan ke luar; dan Aku, apabila Aku
ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang
kepada-Ku." Ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati.
Kematiannya untuk
menjadi terhukum atau pemikul hukuman secara substitusional, itu tak sama
sekali tereksklusi dari bagaimana ia begitu berkuasa melucuti keadidayaan iblis
atas pemerintahannya mengatasi semua manusia, sebaliknya Yesus dalam
kematiannya telah melucutinya.
Jadi sungguh bertolak
belakang dengan apa yang direkonstruksikan oleh pdt. Erastus Sabdono.
Bersambung
ke bagian 4
Segala
Kemuliaan Hanya Bagi Tuhan
No comments:
Post a Comment