Oleh: Martin Simamora
Apakah Kehendak Allah Takluk Terhadap Kebebalan Manusia?
(Refleksi)
Ketika
manusia-manusia saling membunuh, saling menikam dan saling memenggal kepala…
bahkan atas nama Tuhan, apakah yang dapat atau hendak anda katakan? Menjawab
ini akan dipenuhi dengan polemik dan spekulasi dan bahkan itu bisa berentang
mulai dari penjelasan yang menekankan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak bahkan yang menentang Tuhan sekalipun, hingga penjelasan yang
menekankan Tuhan itu pada dasarnya tidak ada, atau kalaupun ada, Ia sama sekali
tak berkuasa atas manusia-manusia yang berkehendak itu.
Apa yang menarik sebetulnya, apakah ketika manusia memilih untuk
memberontak terhadap kebenaran dan
kehendak kudus Allah, itu menunjukan bahwa manusia bahkan berdaulat terhadap
Tuhan (apalagi jika melihat bahwa ia tak segera menerima konsekuensi kala
menghempaskan kematian atas manusia-manusia); bahwa Tuhan tidak berdaulat dan
manusia memiliki posisi yang begitu tangguh terhadap kemauan Tuhan?
Bagaimana Alkitab
menjelaskannya?
Mari membaca realita
ini dalam sebuah realita terkerasnya:
Ibrani
3:7-11” Sebab itu, seperti yang dikatakan Roh Kudus: "Pada hari ini, jika
kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman
pada waktu pencobaan di padang gurun, di mana nenek moyangmu mencobai Aku
dengan jalan menguji Aku, sekalipun mereka melihat perbuatan-perbuatan-Ku,
empat puluh tahun lamanya. Itulah sebabnya Aku murka kepada angkatan itu, dan
berkata: Selalu mereka sesat hati, dan mereka tidak mengenal jalan-Ku, sehingga
Aku bersumpah dalam murka-Ku: Mereka takkan masuk ke tempat
perhentian-Ku."
Jelas dan benderang
bahwa di sini manusia-manusia dapat memberontak dan melawan Tuhan. Itu tak
perlu diperdebatkan sama sekali. Tetapi apakah dengan demikian manusia bebas
dan berdaulat dengan pilihannya untuk memberontak terhadap kehendak Allah atas keselamatan seorang manusia? Mari kita lihat apakah
yang terjadi kemudian:
Inilah yang terlihat selanjutnya: “Itulah sebabnya Aku murka kepada angkatan itu,
dan berkata: Selalu mereka sesat hati, dan mereka tidak mengenal jalan-Ku,
sehingga Aku bersumpah dalam
murka-Ku: Mereka takkan masuk ke
tempat perhentian-Ku.” Apa yang diperlihatkan adalah: pemberontakan
manusia-manusia itu mendatangkan sebuah kepastian yang akan memburunya hingga tergenapi: Murka Tuhan memburu mereka dan memastikan mereka takkan masuk ke tempat
perhentian-Ku. Ya… yang menyatakan
dirinya umat Tuhan pada era Musa memang bisa memberontak, semau-maunya? Ya…
bisa. Tetapi apakah di dalam pemberontakan itu maka ia menjadi merdeka dan
Tuhan kemudian tak dapat berbuat apa-apa? Tak berdaya hingga bisa dipermainkan?
Tidak, sama sekali tidak. Faktanya Tuhan bukan sekedar bisa jengkel; sekedar bisa ngamuk-ngamuk, sekedar bisa
memaki-maki namun tak dapat mengejar dan
tak dapat atau tak tega untuk menunjukan
bahwa kehendak-Nya berdaulat. Tidak demikian, sebab Ia bukan saja marah dan bukan saja bersumpah tetapi
mewujudkannya pada setiap siapapun akan segenap kemurkaannya dengan memastikan:
mereka
takkan masuk ke tempat perhentian-Ku.
Pada episode di era
Musa ini, apakah pilihan manusia untuk memberontak dan melawan Tuhan ini
berakar pada kedigjayaan manusia dalam segenap keberadaan dan kesadarannya
terhadap Tuhan, seolah dirinya sanggup berversus terhadap Tuhan? Maksud saya,
dari manakah datangnya kejagoan manusia ini sehingga berani-beraninya melawan
Tuhan? Bagaimana epistel Ibrani menjelaskanya?
Perhatikanlah berikut
ini:
Ibrani
3:12-19 Waspadalah, hai saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat
seorang yang hatinya jahat dan yang tidak percaya oleh karena ia murtad dari
Allah yang hidup. Tetapi nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama
masih dapat dikatakan "hari ini", supaya jangan ada di antara kamu
yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa. Karena kita telah beroleh
bagian di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai kepada akhirnya
pada keyakinan iman kita yang semula. Tetapi apabila pernah dikatakan:
"Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu
seperti dalam kegeraman", siapakah mereka yang membangkitkan amarah Allah,
sekalipun mereka mendengar suara-Nya? Bukankah mereka semua yang keluar dari
Mesir di bawah pimpinan Musa? Dan siapakah yang Ia murkai empat puluh tahun
lamanya? Bukankah mereka yang berbuat dosa dan yang mayatnya bergelimpangan di
padang gurun? Dan siapakah yang telah Ia sumpahi, bahwa mereka takkan masuk ke
tempat perhentian-Nya? Bukankah mereka yang tidak taat? Demikianlah kita lihat,
bahwa mereka tidak dapat masuk oleh karena ketidakpercayaan mereka.
Mengapa ada yang
tegar/keras hatinya? Mengapa ada yang dapat memberontak terhadap kehendak kudus
Allah? Apakah karena manusia pada hakikatnya memiliki kehendak bebas atau
memiliki kedigjayaan pada dirinya untuk melawan Allah? Tidak!
Ibrani menjelaskan
akar masalah pemberontakan ada pada
hakikat manusia yang tak kebal dari tipu daya dosa. Ini menjelaskan bahwa kecenderungan kehendak
manusia itu sejatinya menuruti
keinginan dosa, bukan keinginan Allah. Bukankah
hal ini juga telah disingkapkan oleh Yesus Sang Kristus itu?
Perhatikanlah
sabdanya ini:
Yohanes
3:19-21 Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi
manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab
perbuatan-perbuatan mereka jahat. Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci
terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat
itu tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia
datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya
dilakukan dalam Allah."
Jadi realita-realita
busuk pada manusia itu bukan sama sekali menunjukan bahwa manusia berkehendak
bebas. Bukan…. bukan dan bukan. Jika Yesus berkata “terang telah datang ke dalam dunia tetapi manusia lebih menyukai
kegelapan daripada terang,” bukankah lebih tepat untuk dikatakan bahwa kesukaan semua manusia itu adalah kegelapan
daripada terang. Ini bahkan realita yang begitu tajam menyeruak atau
menjadi begitu nyata saat Yesus sendiri hadir! Jadi, tak ada spekulasi akan apakah penyebabnya, karena dikatakan “inilah hukum itu,” atau dengan
kata lain, inilah realita jiwa manusia
itu bahwa ia dibelenggu oleh kegelapan. Ini natur manusia: membenci terang dan tidak datang kepada terang itu.
Kalau manusia itu keras
hati, dikatakan demikian. Apakah ini
hendak menunjukan bahwa manusia itu pada hakikatnya baik? Tidak, sebab keras hati hanyalah salah satu buah kegelapan jiwa manusia sementara ia sedang mengikut
Tuhan dan sementara itu Allah sedang
menyatakan kasih-Nya di dalam Kristus. Perhatikan bahwa Ibrani mengatakan bahwa
yang keras hati itu adalah:
Ibrani
3:15-17 Tetapi apabila pernah dikatakan: "Pada hari ini, jika kamu
mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman", siapakah mereka yang membangkitkan amarah Allah, sekalipun mereka mendengar
suara-Nya? Bukankah mereka semua yang keluar dari Mesir di bawah pimpinan Musa?
Dan siapakah yang Ia murkai empat puluh tahun lamanya? Bukankah mereka
yang berbuat dosa dan yang
mayatnya bergelimpangan di padang gurun?
Hakikat manusia,
seperti kata Yesus tadi, sekalipun Tuhan
sendiri datang memimpin dan menunjukan apa yang
harus dilakukan, realitanya manusia itu tak sanggup atau tak berdaya
untuk melayani kehendak kudus Allah, sebab
pada hakikatnya berada didalam pelukan
maut. Para umat Musa itu pun demikian, mereka mendengarkan suara-Nya! Tapi apa yang terjadi? Mereka mengeraskan hatinya.
Episode ini pun
terulang kembali saat Allah Sang Firman datang ke dalam dunia dalam rupa
manusia. Mari kita lihat:
Yohanes
6:26-35 Yesus menjawab mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu
mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu
telah makan roti itu dan kamu kenyang. Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan
dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang
kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan
oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya." Lalu kata mereka kepada-Nya:
"Apakah yang harus kami perbuat,
supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?" Jawab Yesus
kepada mereka: "Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu
hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah." Maka kata
mereka kepada-Nya: "Tanda apakah
yang Engkau perbuat, supaya dapat kami melihatnya dan percaya kepada-Mu? Pekerjaan apakah yang Engkau lakukan? Nenek
moyang kami telah makan manna di padang gurun, seperti ada tertulis: Mereka
diberi-Nya makan roti dari sorga." Maka kata Yesus kepada mereka: "Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya bukan Musa yang memberikan kamu roti dari sorga,
melainkan Bapa-Ku yang memberikan kamu roti yang benar dari sorga. Karena roti
yang dari Allah ialah roti yang turun dari sorga dan yang memberi hidup kepada
dunia." Maka kata mereka kepada-Nya: "Tuhan, berikanlah kami roti itu
senantiasa." Kata Yesus kepada mereka: "Akulah roti hidup;
barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya
kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.
Jika sebelumnya Yesus
menyingkapkan hukum yang bekerja didalam diri setiap manusia, dalam sebuah
percakapan yang begitu mahal untuk dialami seorang manusia Rabbi (Yoh 3:10 Pengajar/didaskalos Israel - baca "Teacher and Rabbi In The New Testament Period") Nikodemus, manusia pada hakikatnya tak sama sekali mampu menyukai dan apalagi melakukan kehendak Allah, dengan mengatakan: “inilah
hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai
kegelapan dari pada terang-Yoh 3:19,” maka pada 6:26-35, kita sedang
menyaksikan salah satu varian perwujudannya, yang dengan sangat menyedihkan
disingkapkan oleh Sang Kristus yang penuh cinta dan berlimpah kesabarannya.
Hasrat cintanya kepada manusia yang terikat oleh hukum maut yang secara
sempurna diketahui begitu kuat didalam dirinya dan diutarakannya: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan
dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang
kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan
oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya." Dapatkah anda membayangkan Sang
Kristus yang begitu tahu dengan realita segenap manusia diperbudak oleh Iblis,
tetap mengutarakan kasih-Nya? Sabar memaparkannya?
Coba lihatlah hal ini:
▓"Apakah
yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki
Allah?" Jawab
Yesus kepada mereka: "Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah,
yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah." Maka
kata mereka kepada-Nya: "
▓Tanda
apakah yang Engkau perbuat, supaya dapat kami melihatnya dan percaya kepada-Mu?
▓Pekerjaan
apakah yang Engkau lakukan?
▓Maka kata Yesus
kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya bukan Musa
yang memberikan kamu roti dari sorga, melainkan Bapa-Ku yang memberikan kamu
roti yang benar dari sorga. Karena roti yang dari Allah ialah roti yang turun
dari sorga dan yang memberi hidup kepada dunia."
▓Maka
kata mereka kepada-Nya: "Tuhan, berikanlah kami roti itu senantiasa.
▓Kata Yesus
kepada mereka: "Akulah roti hidup; barangsiapa datang
kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia
tidak akan haus lagi.
Mereka meminta apa
yang mereka ketahui dari kitab-kitab
Musa, sebuah kebenaran yang begitu mulia, dan itulah yang Yesus berikan. Bahkan
apa yang hendak diberikan oleh Yesus kepada mereka, tepat didepan diri mereka,
sebab yang hendak diberikan adalah diri Yesus sendiri:
“Akulah roti hidup; barangsiapa datang
kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia
tidak akan haus lagi.”
Apakah hal ini
membuat mereka akan membuat pilihan yang tepat berdasarkan penjelasan Yesus?
Mari kita lihat jawaban ini pada Yesus, bukan pada mereka! Perhatikanlah ini:
Yohanes
6:36 Tetapi Aku telah berkata kepadamu: Sungguhpun
kamu telah melihat Aku, kamu tidak percaya.
Tidakkah
ini begitu identik dengan epistel Ibrani tadi, bahwa
mereka, sekalipun mendengarkan Allah yang berbicara namun mengeraskan hatinya.
Pada episode Yohanes 6, Yesus menyatakan atau membenderangkan bagaimanakah
sesungguhnya realita manusia yang lebih menyukai kegelapan daripda terang,
sekalipun terang itu ada dihadapan mereka, tepat dihadapan mereka sedang
bersabda! “Sungguhpun kamu telah melihat
Aku, kamu tidak percaya.” Ini bukan
masalah psikologis manusia, bukan masalah manusia memiliki kehendak untuk
melawan Allah pada dirinya sendiri, sebab jika manusia memiliki psikologis yang
demikian independen maka manusia pada sisi yang lain akan memiliki kemungkinan
untuk menaati Allah pada dirinya sendiri.
Apakah ada dasar
untuk berkata demikian? Jika Yesus berkata “inilah hukuman [Yun:krisis
atau divine judgment atau penghakiman ilahi yang mengangkat ke permukaan wujud
hakikat keberdosaan manusia ] itu: Terang telah datang ke dalam dunia,
tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang [This is the verdict: Light has
come into the world, but people loved darkness instead of light because their
deeds were evil-NIV], maka jelas tak ada sangkut pautnya lagi dengan kejiwaan
manusia sebagai sumber solusinya sebab itu merupakan verdict atau keputusan
legal atas bagaimanakah manusia itu sesungguhnya terhadap Allah dan kehendak
kudusnya. Dan ini memang pada akhirnya menunjukan
bahwa tak ada solusi yang bagaimanapun pada diri manusia, yang bagaimanapun.
Dan ini bukan asumsi apalagi teori
teologis, sebab Yesus setelah
berkata “sungguhpun kamu telah melihat Aku, kamu tidak percaya,” Ia menunjukan
jalan keluar atas masalah ini dalam fakta yang begitu sukar untuk dipahami dan
diterima bahwa manusia memang sebegitu tak berdayanya:
Yohanes
6:37- 39 Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan
barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang. Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi
untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku. Dan inilah kehendak Dia yang
telah mengutus Aku, yaitu
supaya dari semua yang telah
diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan
pada akhir zaman.
Bagaimana mengatasi
“sungguhpun kamu telah melihat Aku, kamu tidak percaya?” Karena Yesus telah
memaparkan keadaan manusia secara umum pada Yohanes 3:19 “manusia lebih
menyukai kegelapan sekalipun Ia telah dating ke dunia,” maka jelas ini bukan
problem logika atau psikologis yang bagaimanapun, sebab pada aspek apapun pada
kemanusiaan manusia tak ada satu saja celah bagi terang untuk masuk, selain
sebuah tindakan Allah untuk menanggulanginya yang dinyatakan Yesus sebagai
tidakan Bapa yang menyerahkan orang itu kepada Yesus maka akan datang kepada
Yesus. Mendengar dan melihat dengan demikian bukan penyebab primer datangnya seseorang. Mari kita lihat
episode berikut ini:
Yohanes
6:41- Maka bersungut-sungutlah orang Yahudi tentang Dia, karena Ia telah
mengatakan: "Akulah roti yang telah
turun dari sorga." Kata mereka: "Bukankah Ia ini Yesus, anak
Yusuf, yang ibu bapanya kita kenal? Bagaimana Ia dapat berkata: Aku telah turun
dari sorga?"
Sama seperti epistle
Ibrani:
Ibrani
3:7-9 Sebab itu, seperti yang dikatakan Roh Kudus: "Pada hari ini, jika
kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman
pada waktu pencobaan di padang gurun, di mana nenek moyangmu mencobai Aku
dengan jalan menguji Aku, sekalipun
mereka melihat perbuatan-perbuatan-Ku, empat puluh tahun lamanya.
Dimana Roh Kudus berkata, dapat saja manusia-manusia itu mengeraskan
hati. Dan dalam hal itu tak perlulah
heran dan menjadi sebuah keheranan sampai-sampai disimpulkan manusia-manusia
itu memiliki kehendak yang bebas sehingga penolakannya semata menunjukan bahwa
Ia bisa melawan Tuhan, terlepas dari realita bahwa semua manusia berada didalam
perbudakan maut, yaitu: lebih memilih
kegelapan daripada terang sekalipun telah datang-sekalipun telah
bersabda-sekalipun telah menyatakan dirinya. Untuk kemudian dinyatakan
sebagai Tuhan tak sepenuhnya berdaulat terhadap kehendak bebas manusia. Manusia
tak pernah bebas, sebab bagaimana bisa
dikatakan bebas, jika ia tetap memilih kematian ketimbang hidup kekal yang
diberikan Yesus. Bukankah itu melampaui ketololan yang paling tolol?
Pada episode Yohanes,
bahkan, Yesus sudah menunjukan hal yang paling krsuial sekaligus menjelaskan
mengapa dapat terjadi peristiwa sebagaimana Ibrani 3 dan Yohanes 6 tadi, yaitu:
manusia tak memiliki kehendak pada dirinya untuk selamat dan
diselamatkan sehingga mematuhi dan melakukan sabda Allah. Tahukah anda,
bahwa kehendak untuk selamat
harus selaras dengan perbuatan.
Orang-orang Yahudi tadi menginginkan
makanan kekal itu, namun ketika ditawarkan malah menolak. Ini problem yang
harus diatasi, bukankah demikian? Tetapi lihatlah bahwa pemecahan masalah ini
ternyata sama sekali ada di tangan Bapa-Nya, bukan pada diri manusia, saat ia
berkata: “Dan inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang
hilang.” Terletak dimanakah solusinya? Bukan pada dunia manusia, tetapi
pada Bapa!
Jadi kedatangan Yesus
pertama-tama memang harus menyatakan keputusan penghakiman Bapa: “inilah
hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih
menyukai kegelapan dari pada terang.”
Sebelum terang
datang, manusia menyukai kegelapan sehingga kegelapan adalah natur manusia:
Yohanes
8:12 Maka Yesus berkata pula kepada orang banyak, kata-Nya: "Akulah terang
dunia; barangsiapa mengikut Aku,
ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai
terang hidup."
Karena kegelapan adalah Penguasa
segenap manusia, maka memang pada dasarnya manusia tak berkuasa sedikit saja
untuk mengeluarkan dirinya dari kegelapan itu. Manusia melayani keinginan Maut:
Yohanes 8:43-44 Apakah sebabnya kamu tidak mengerti
bahasa-Ku? Sebab kamu tidak dapat
menangkap firman-Ku. Iblislah
yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan
bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam
kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia
berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala
dusta.
Pengikut Musa tetapi
berbapakan Iblis. Tak perlu menjadi heran, bukan?Sebab itu hanya menegaskan tanpa spekulasi ketakberdayaan manusia untuk
mendapatkan kebenaran yang memberikan hidup kekal. Tak berdaya sekalipun
mereka memiliki dan membaca kitab-kitab suci-Nya:
Yohanes
5:39-40 Kamu menyelidiki Kitab-kitab
Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang
kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku
untuk memperoleh hidup itu.
Maka memang sangat
mungkin terjadi dan tak perlu menjadi takjub ada yang disebut murid-murid Yesus
yang sekalipun secara langsung mendengarkan sabda-Nya dan melihat-Nya namun tak
kuasa untuk mendengarkan dan mempercayai segala perkataan-Nya, malahan
meninggalkannya dan tak mengikutnya lagi:
Yohanes
6:58-65 Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang
dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia
akan hidup selama-lamanya." Semuanya ini dikatakan Yesus di Kapernaum
ketika Ia mengajar di rumah ibadat. Sesudah mendengar semuanya itu banyak dari
murid-murid Yesus yang berkata: "Perkataan ini keras, siapakah yang
sanggup mendengarkannya?" Yesus yang di dalam hati-Nya tahu, bahwa
murid-murid-Nya bersungut-sungut tentang hal itu, berkata kepada mereka:
"Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu? Yesus yang di dalam hati-Nya
tahu, bahwa murid-murid-Nya bersungut-sungut tentang hal itu, berkata kepada
mereka: "Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu? Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang
Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup. Tetapi di antaramu ada yang tidak percaya."
Sebab Yesus
tahu dari semula, siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan
menyerahkan Dia. Lalu Ia berkata: "Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada
seorangpun dapat datang kepada-Ku, kalau
Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya."
Ada yang dikenali dan disebut sebagai
murid-murid karena apa yang terlihat oleh mata manusia yang memang menunjukan
dan begitu meyakinkannya bahwa memang ia adalah pengikut Kristus. Tetapi mereka
tak memiliki mata Kristus yang dapat memandang
hingga ke kedalaman jiwa dan melihat apakah Bapa mengaruniakan orang
tersebut untuk sanggup mendengarkan dan mempercayai sebagaimana yang telah
dinyatakan-Nya, itu nyata saat Yesus mengatakan hal-hal ini:
■Rohlah
yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna
■diantaramu
ada yang tidak percaya
■Yesus
tahu dari semula
■tidak
ada seorangpun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakan kepadanya
Anda harus camkan, bahwa ini
berbicara mengenai banyak murid- non 12 murid yang mengundurkan
diri. Kemudian, 4 poin tersebut sama
sekali tak dapat dilihat oleh manusia manapun namun itulah standard kebenaran
Allah terkait siapakah yang merupakan murid-murid-Nya. Dengan kata lain, akan
terlihat di sini mereka yang terlihat oleh mata kita sebagai murid namun
tumbang di tengah jalan-meninggalkan Yesus di tengah perjalanan mengimani Yesus
sebab pengimanannya berlangsung berdasarkan daging atau kekuatannya. Ini,
kata Yesus, tak berguna sama sekali. Sehingga saat manusia dapat berkata bahwa ada orang-orang pengikut Yesus yang gagal
imannya, maka bagi mata Yesus bukan sama sekali demikian sebab hal itu
membuktikan:”ia sama sekali tak menerima kasih karunia dari Bapa-Nya.”
Mengapa aspek daging
atau aspek kemanusiaan manusia menjadi tak diperhitungkan sebagai berguna?
Sebab sejak mulanya, Yesus sudah menunjukan bahwa sekalipun terang itu datang
namun manusia lebih menyukai kegelapan daripada terang, dan itu adalah
keputusan penghakiman Allah atas fakta
manusia. Jika tidak demikian maka mustahil Yesus harus melakukan hal ini di
dalam kematiannya:
Ibrani
2:14 Karena anak-anak itu adalah anak-anak
dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama dengan mereka dan
mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas
maut;
Bagaimana verdict atau keputusan penghakiman Allah
atas kematian manusia dalam maut itu dapat ditanggulangi? Hanya oleh Yesus dan
tindakan penaklukannya atas Iblis didalam kematiannya sebagai Anak Manusia. Tak
ada yang dapat dilakukan oleh manusia sementara ia mati, selain menerima belas kasihan Allah yang tak dapat
dituntutnya dan tak dapat diserukannya sementara ia mati. Dan tentu saja
siapakah yang sanggup memahami kekudusan, kasih dan keadilan-Nya, sementara ia
merupakan tawanan maut?
Ibrani 3 yang
menunjukan kekerasan hati manusia, tak
menunjukan bahwa keselamatan manusia itu dapat gagal oleh kehendak manusia
untuk memberontak. Bahwa kehendak Bapa-Nya: agar dari semua yang diserahkan tak
ada yang hilang, tak mungkin 100 persen terwujud karena Allah tak kuasa
menaklukan kehendak bebas manusia, adalah sebuah kesalahan fatal.
Mengapa fatal? Sebab,
bahkan, epistel Ibrani menunjukan realita
keberdosaan manusia yang begitu mautnya sebagai hakikat manusia, secara
bersamaan menunjukan bahwa dengan demikian tindakan Bapa dan Kristus adalah
penentu dan penguasa keselamatan setiap orang yang telah ditebusnya secara
sempurna. Perhatikanlah hal-hal berikut ini:
Ibrani
7:24-27 Tetapi, karena Ia tetap selama-lamanya, imamat-Nya tidak dapat beralih
kepada orang lain. Karena itu Ia sanggup
juga menyelamatkan dengan sempurna semua
orang yang oleh Dia datang kepada Allah.
Sebab Ia hidup senantiasa untuk
menjadi Pengantara mereka. Sebab Imam Besar yang demikianlah yang kita
perlukan: yaitu yang saleh, tanpa
salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi dari
pada tingkat-tingkat sorga, yang tidak seperti imam-imam besar lain, yang
setiap hari harus mempersembahkan korban untuk dosanya sendiri dan sesudah itu
barulah untuk dosa umatnya, sebab hal itu telah dilakukan-Nya satu kali
untuk selama-lamanya, ketika Ia mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai
korban.
Bukan hanya itu. Ia
bahkan mengerti ketakberdayaan daging
setiap orang yang sungguh-sungguh datang dari Bapa dan mendatanginya:
Ibrani
5:1-2 Sebab setiap imam besar, yang dipilih dari antara manusia, ditetapkan
bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, supaya ia mempersembahkan
persembahan dan korban karena dosa. Ia harus dapat mengerti orang-orang
yang jahil dan orang-orang yang sesat, karena ia sendiri penuh dengan kelemahan,
Yesus pun dapat
mengerti orang-orang yang jahil dan orang yang sesat sebab bahkan ia sendiri
mengenakan tubuh yang dapat dibaluti berbagai kelemahan, hanya saja Ia tak
berdosa:
Ibrani
4:15 Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah
imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita,
sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.
Sebagai orang percaya
kepadanya, tak kecuali yang dapat
berkhianat-murtad atau meninggalkan dia untuk selama-lamanya, bukannya
ia tak mengetahui; bukannya ia tak mengetahui sejak semula siapakah yang akan
setia dan siapakah yang akan meninggalkan atau murtad, sementara ia rajin ke gereja, rajin mengikut Yesus.
Tepat sebagaimana kala Yesus di bumi menghadapi banyak murid yang pada akhirnya
meninggalkan dia dan tidak mengikut-Nya lagi, Yesus tahu mengapa sementara
semua manusia tak dapat melihatnya. Apa yang paling penting di sini adalah: Ia mengenal
secara begitu presesi saya dan anda; apakah kelemahan-kelemahan saya dan anda. Sebagai Imam Besar yang telah melintasi semua
langit (Ibrani 4:14), maka itulah dasar bagi saya untuk percaya bahwa
saya tak akan gagal untuk beriman dan Ia tak akan gagal untuk membawa saya
hingga kepada kegenapan maksud Bapa yang diembannya: “semua yang diberikan kepadanya
jangan ada yang hilang: “Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar
Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita
teguh berpegang pada pengakuan iman kita-Ibrani 4:14”
Ibrani 3:7-19 adalah cermin bagi kehidupan kita untuk hidup
beriman tak bermain-main terhadap kebenaran-kebenaran Allah; sebuah pelajaran
mahal dari Israel yang mengeraskan hatinya. Ini
tak perlu menjadi isu apakah ini soal bahwa manusia itu memiliki kehendak bebas
atau manusia beriman dalam realitanya itu tak seperti yang Yesus katakan bahwa kehendak Bapanya agar dari semuanya jangan ada yang hilang,”
sebagaimana pada Ibrani 3 ini-dengan demikian keselamatan bisa hilangkah? Sebab bagian itu sama sekali tak menyatakan bahwa keselamatan dapat hilang,
tetapi berbicara mengenai pemberontakan
manusia terhadap Allah sekalipun Ia sendiri yang bersabda atau memerintah atau
memimpin. Ini bukan membicarakan keselamatan yang dapat hilang,
tetapi sedang membicarakan manusia-manusia yang begitu berhasrat didalam
jiwanya untuk melawan Tuhan:
janganlah
keraskan
hatimu seperti dalam kegeraman pada waktu pencobaan di padang gurun, di
mana nenek moyangmu mencobai Aku dengan
jalan menguji Aku, sekalipun mereka melihat perbuatan-perbuatan-Ku,
empat puluh tahun lamanya-Ibrani 3:8-9
Ini bukan sekedar tak percaya dan bukan sekedar enggan memenuhi
kehendak Allah, tetapi ini sebuah pemberontakan yang begitu
sistematis atau begitu bulat hasratnya didalam jiwanyam sebab Allah
berkata: “mencobai Aku dengan jalan menguji Aku, sekalipun
mereka telah melihat perbuatan-perbuatan-Ku.” Telah melihat!!
Takkah ini seperti perkataan Yesus dalam Yohanes 6: sekalipun melihat namun tak
percaya, yang dijelaskannya sebagai ditentukan oleh apakah Bapa menyerahkan
orang tersebut kepadanya ataukah tidak (=apakah kasih karunia menjadi bagiannya
ataukah tidak).
Jelas, ini
berbicara mereka yang ada didalam bangsa
Israel namun sama sekali bukan
umat Tuhan didalam pandangan-Nya,sekalipun ada didalam umat Tuhan menjadi umat Tuhan dalam pandangan manusia.
Pada akhirnya, Allah
sendiri menyingkapkan siapakah mereka, yaitu mereka tak mengenal Jalan-Ku: “Itulah
sebabnya Aku murka kepada angkatan itu, dan berkata: Selalu mereka sesat hati,
dan mereka tidak
mengenal jalan-Ku- Ibrani 3:10”
Tidak mengenal
jalan-Ku, itulah realita kehidupan mereka. Bahkan pada praktik sehari-hari
dikatakan SELALU SESAT
HATI. Jika SELALU maka jelas tak pernah
ada tempat bagi Tuhan untuk memimpin kehidupan mereka. Ini semata menunjukan
sebuah kehidupan yang sama sekali berada
di luar keselamatan dalam sebuah kepastian, sebab dalam hal ini memang Allah
sudah menetapkan mereka untuk memastikan
tak akan selamat tiba di tujuan-Nya:
Yohanes
3:11 sehingga Aku bersumpah
dalam murka-Ku: Mereka takkan
masuk ke tempat perhentian-Ku."
Tak ada ruang koreksi
dan ruang pengampunan atas SELALU sesat hati, vonis-Nya adalah: “Aku bersumpah,
mereka TAKKAN masuk ke tempat perhentian-Ku.” Allah mengecualikan mereka dari
mereka yang akan masuk ke tempat
perhentian-Nya.
Sederhananya, pada hakikatnya, mereka adalah lawan-lawan Allah, bukan
kawanan milik Allah, sebab Ia berkata: Aku bersumpah dalam murka-Ku. Sementara mereka masih hidup,
Allah sudah menetapkan bagian mereka adalah kemurkaan Allah.
Sementara umat sejati
Tuhan tidak akan dimurkai secara demikian, namun demikian, nasihat keras harus
disampaikan: “Waspadalah, hai saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya
jahat dan yang tidak percaya oleh karena
ia murtad dari Allah yang hidup- Ibrani 3:12
Bisakah seorang
Kristen sejati murtad? Jawabnya tidak bisa, namun yang menjadi penekanan Ibrani
3 adalah belajar dari pengalaman Israel
yang begitu dekat dengan Allah masih dapat dijumpai orang-orang yang menjadi
musuh Allah sebab mereka telah ditetapkan dalam sumpah Allah tak
akan sampai ke tempat yang dijanjikan. Tak ada ruang pengampunan sama sekali! Janganlah kehidupan beriman itu
adalah kehidupan semaunya sendiri
dan tak berisikan kehendak-kehendak Allah, sebab sebagaimana orang-orang yang
disumpahi Allah untuk dimurkai karena hati senantiasa sesat, maka hendaklah
hati kita selalu memandang kepada
sabda-sabda-Nya yang kudus. Berdasarkan cermin yang datang dari Allah
sendiri, nasihat-nasihat dibangunkan satu sama lain agar menjaga diri ini dari
tipu daya dosa:
Ibrani
3:13 Tetapi nasihatilah
seorang akan yang lain setiap hari,
selama masih dapat dikatakan "hari ini", supaya jangan ada di
antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa.
Jadi apakah ini
berlawanan dengan kehendak Bapa bahwa
semua yang diserahkan pada Yesus oleh Bapa tak akan hilang? Tidak,
karena pada dasarnya, teks Ibrani ini, berbicara bagaimana kita yang sedang
hidup didunia ini berperilaku sebagaimana kehendak Bapa sementara masih hidup
di dunia ini; bahwa haruslah satu sama lain setiap harus saling menasihati
selama masih dapat dikatakan hari ini. Jika telah mati didalam kesesatan karena
mengabaikan nasihat demi nasihat maka semua itu percuma. Mati di dalam
pemberontakan dan kekerasan hati sungguh tragis sementara sesumbar umat
pilihan, itu tiada guna. Umat pilihan haruslah hidup didalam keterpisahan
pengaruh dunia dimana nasihat demi nasihat bagaikan pagar yang dibangun oleh Roh
di dalam setiap diri orang percaya: memperkatakan perkataan Kristus yang
memberikan hidup untuk melawan muslihat dosa. Jika seseorang pada akhirnya
murtad, maka memang Ia pada dasarnya dimurkai Allah didalam sumpah-Nya/ketetapan
Allah, sementara masih hidup, dan ini
sungguh berbeda jika Ia adalah
sungguh domba Allah yang dapat
tersesat dan melarikan dari Allah dan mustahil kembali tanpa pertolongan Allah
sendiri:
Matius
18:12-14 Bagaimana pendapatmu? Jika
seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya sesat, tidakkah ia akan meninggalkan
yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu? Dan Aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya jika ia berhasil menemukannya, lebih besar kegembiraannya atas
yang seekor itu dari pada atas yang kesembilan puluh sembilan ekor yang tidak
sesat. Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki
supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang."
Kepada setiap
anak-anak-Nya yang sejati, dan ini
terpancar dari kehidupan yang tak menantangi kebenaran dan kehendak Tuhan
seolah ia begitu digjaya, tak perlu
meragukan atau mempertanyakan kebenaran atau kepastian dan kesetiaan Allah dalam melindungi keselamatanmu,
asalkan saya dan anda memang hidup bertumbuh sebagai anak-anak-Nya bukan
anak-anak setan, maka kita memang milik-Nya secara pasti! Periksalah diri ini
dan tak perlu takut. Periksalah kehidupan kita ini bagaimana sebenarnya?
Melulu brengsek dan kian hari menjadi seorang pembangkang [terhadap kebenaran-kebenaran kehidupan didalam Kristus] busukkah? Jika kita hidup bertumbuh
didalam hubungan kita sebagai anak-anak tebusan-Nya maka itu menunjukan Kristus adalah
pemimpinku dan pemimpinmu; jadi mengapa ragu- mengapa meragukan bahwa saat ini pun
saya adalah anak-anak sejatinya. Bukankah Ibrani 3 pun berbicara senilai dengan
Matius 18:12-14? Perhatikanlah ini:
Ibrani
3:6 tetapi Kristus setia sebagai Anak
yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhirnya teguh
berpegang pada kepercayaan dan pengharapan yang
kita megahkan.
Saya bermegah bahwa
keselamatanku tak akan hilang! Tetapi di dalam bermegah itu, memang, tanpa perlu mengusahakan seolah tak
memilikinya, benar-benar terlihat buahnya, bahwa ia teguh berpegang pada
kepercayaan dan pengharapan itu, dengan demikian, ia hidup di dalam kebenaran Allah, dan bukan memenuhi hasrat-hasrat iblis yang menentang Tuhan dengan begitu
menista-Nya. Kristus setia mengepalai
atau memimpin kita, bahkan Ia berdiam di dalam kita: “Sebagai anak yang mengepalai rumah-Nya, dan
rumah-Nya adalah kita.”
Jaminan ketakmurtadanku, ada pada Yesus yang mengepalai diriku ini yang mendiami diriku; mendiami kehendak-kehendakku di sepanjang
hidupku, Ia memimpinku di dalam dirku,
bukan di luarku sehingga Ia sendiri memastikan kekuatan ada bagi diriku untuk
tak lengah, tak hidup sembrono, tak
hidup berkubang dosa, melawan dosa, melawan kehendak-kehendak najis yang hendak
bercokol dalam diriku. Itulah kehidupan
otentiknya, sementara bermegah “aku tak akan kehilangan keselamatanku
karena Bapa menjaminkannya.”
Kecenderungan manusia
adalah rawan untuk ditipui muslihat dosa, itu sebabnya nasihat epistel Ibrani 3
sungguh bernilai tinggi untuk digemakan sekeras-kerasnya dan
selantang-lantangnya didalam diri kita. Membacakannya dengan suara
keras. Jika sungguh Kristus mengepalai dirimu maka niscaya kuasa dari Anak yang berdiam di dalammu akan memampukanmu
untuk melawan segala kehendak daging dan
muslihat dosa, bukan karena kekuatan daging tetapi karena Yesus
menggembalakanku.
Segala
Kemuliaan Hanya Bagi Tuhan
No comments:
Post a Comment