Oleh : DR. R.C Sproul
Ketika sebuah malapetaka terjadi di dunia
kita, peristiwa ini pada dasarnya
pasti memunculkan sebuah pertanyaannya :
“Dimanakah
Tuhan saat itu?” Orang kelihatannya selalu mempertanyakan bagaimana
Tuhan yang baik membiarkan sebuah hal
mengerikan terjadi.
Pertanyaan yang sama juga mengemuka pada era Yesus, seperti yang kita lihat dari sebuah insiden yang dicatat dalam Injil Lukas:
Pertanyaan yang sama juga mengemuka pada era Yesus, seperti yang kita lihat dari sebuah insiden yang dicatat dalam Injil Lukas:
(1) Pada waktu itu datanglah kepada Yesus beberapa orang membawa kabar tentang orang-orang Galilea, yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. (2) Yesus menjawab mereka: "Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? (3) Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian. (4) Atau sangkamu kedelapan belas orang, yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya dari pada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem? (5) Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian."
Beberapa orang bertanya kepada Yesus sebuah pertanyaan mengenai sebuah kekejaman yang telah terjadi di tangan Pontius Pilatus, Penguasa Roma di Yudea. Kelihatannya sejumlah orang ditengah-tengah ibadah dibantai oleh pasukan-pasukan Pilatus. Orang yang datang kepada Yesus sangat bersusah hati akan hal ini dan menanyai Yesus bagaimana bisa Tuhan membiarkan hal ini menimpa orang-orang pilihan-Nya.
Yesus menjawab pertanyaan mereka dengan sebuah pertanyaan: “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu?” Tanggapan ini memperlihatkan kepada kita bahwa mereka yang mengajukan pertanyaan ini kepada Yesus telah mengasumsikan bahwa semua penderitaan yang dialami manusia di dunia ini sepadan dengan derajat keberdosaan mereka, sebuah pemikiran yang masih menyebar luas hingga hari ini.
Tentu saja, penderitaan dan kematian masuk kedalam dunia ini pertama-tama dikarenakan dosa. Sehingga, para penanya Yesus benar dalam mengasumsikan bahwa ada sebuah hubungan antara kejahatan moral dan penderitaan jasmani. Tetapi Yesus menggunakan kesempatan tersebut untuk mengingatkan mereka bahwa kita tidak dapat melompat kepada kesimpulan bahwa semua orang yang menderita berpadanan langsung terhadap derajat dosa mereka.
Alkitab menjelaskan hal ini secara teramat jelas. Alkitab menunjukan bahwa orang jahat kadang-kadang makmur dan orang benar kadang-kadang mengalami penderitaan teramat berat. Kitab Ayub secara khusus mematahkan pemikiran hubungan yang sepadan antara dosa dengan penderitaan, dengan memperlihatkan bahwa walaupun Ayub merupakan manusia yang paling tegak lurus di dunia, dia ditimpa oleh penderitaan yang tak terkatakan, dan kemudian harus mengalami pertanyaan dari “sahabat-sahabatnya,” yang berpikiran bahwa Ayub pasti telah jatuh kedalam dosa yang mengerikan.
Jadi, ketika Yesus menanyakan para murid-murid : “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu?” Jawabannya jelas. Tidak, mereka bukan para pendosa yang lebih buruk daripada orang lain siapapun juga. Yesus ingin menyingkirkan pemikiran sebuah hubungan yang sepadan antara dosa dan penderitaan dari benak para murid supaya jangan mereka berpikir bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih baik dalam pandangan Tuhan karena mereka tidak mengalami penderitaan dan mati. Jadi, Dia memperingatkan mereka :” Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian."
Mereka yang telah dibunuh oleh serdadu-serdadu Roma dan mereka yang telah tewas ketika menara runtuh bisa jadi adalah warga kota terhormat. Tetapi dalam dimensi vertikal, dalam hubungan mereka dengan Tuhan, tidak satupun dari mereka tidak berdosa, dan ini sama benarnya dengan keadaan kita. Yesus berkata, “ Daripada menanyakanku mengapa Tuhan yang baik itu membiarkan malapetaka ini terjadi, kamu semestinya bertanya mengapa darahmu sendiri tidak tertumpah. “ Yesus mengingatkan para pendengarnya bahwa pada puncaknya tidak ada hal semacam orang tidak bersalah ( kecuali Dia). Jadi kita semestinya tidak menjadi takjub dengan keadilan Tuhan tetapi oleh anugerah Tuhan. Kita semestinya menanyakan mengapa menara-menara tersebut tidak menimpa kita masing-masing dan setiap hari.
Kala apapun juga yang yang sangat menyakitkan, sangat menyedihkan, atau sangat memilukan menimpa kita, hal itu tidak pernah sebuah tindakan ketakadilan pada pihak Tuhan, karena Tuhan tidak berhutang atau berkewajiban untuk membebaskan kita dari tragedi-tragedi . Kita adalah orang-orang yang berhutang kepada Tuhan dan tidak dapat membayarnya. Satu-satunya pengharapan kita untuk terhindar dari kebinasaan di tangan Tuhan adalah pertobatan.
Yesus bukan tidak sensitif atau kasar dengan murid-murid-Nya. Dia pada dasarnya harus menghentakan mereka keluar dari sebuah cara berpikir yang salah. Kita akan menerima hentakannya dengan senang, karena itu menolong kita melihat hal-hal dari sudut pandang kekekalan. Kita dapat menghadapi malapetaka dalam dunia ini hanya dengan pemahaman bahwa dibalik kejadian tersebut bekerja maksud kekekalan Tuhan dan dengan menyadari bahwa Dia telah melepaskan kita dari malapeteka utama-- runtuhnya menara penghakiman final-Nya atas kita.
When Towers Fall --Tabletalk , Ligonier Ministries and R.C Sproul | diterjemahkan : Martin Simamora
No comments:
Post a Comment