Oleh: Martin Simamora, S.IP
Pancasila,
Masihkah Dasar Persatuan Hati Bagi Kita?
Jika Tidak, Kita Akan Saling Merobek dan Saling Membinasakan
Mengapa Fenomena Politik Bisa Mengintimidasi?
Apa yang saya maksud dengan
fenomena politik, adalah berbagai macam kegiatan atau aktivitas politik mulai
dari yang diselenggarakan oleh negara seperti pilkada dan pilpres, hingga
aktivitas bersifat organisasi kepartaian seperti pengkaderan, perekrutan, pemetaan
konstituen dari tahun ke tahun, pemetaan kebutuhan sospolek konstituennya atau
bahkan lebih luas lagi sehingga partai dapat secara kongkrit dan otentik
menjawab kebutuhan dan mengembangkan program-program yang dapat memberikan
kemajuan. Dan semua itu baik, produktif dan benar sejauh selaras dengan upaya
memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang begitu multi-etnik.
Tetapi, tentu saja, kita
harus mengakui kalau belakangan ini, kita sedang melihat perwajahan politik
yang nampaknya mulai membahayakan. Fenomena-fenomena politik yang bersalutkan intimidasi sebagai ekspresi
perbedaan haluan atau orientasi politik, kian hari telah menjadi praktik
sehari-hari yang lazim. Dan ini berbahaya sekali, ketika ini dibiarkan, sedang
terjadi sebuah pergeseran kultur politik nasioanal yang pada awalnya bersifat
kebangsaan yang satu, bangsa Indonesia, secara gradual menjadi bersifat
keideologian yang tidak mengokohkan kebangsaan Indonesia satu dalam Pancasila
dan Konstitusi 1945. Maksud saya, ketika fenomena politik semakin tajam
meretakan kerekatan kesatuan dan persatuan bangsa dan eksistensi negara Kesatuan Republik
Indonesia, kita sungguh-sungguh dalam bahaya yang tak terbayangkan bisa terjadi
di negeri tercinta ini.
Ini sedang terjadi. Misalkan
saja, tadi pada hari ini pada Care Free Day sampai harus terjadi fenomena politik intimidatif pada momen non politis,
pada momen netral dimana seharusnya semua warga ibu kota dapat secara rileks
beraktivitas.
Nampaknya kita sedang
bergeser dan terus menjauh dari akar jati diri politik kebangsaan kita yang
seharusnya harus secara cermat dan cerdik berhati-hati dalam membangun dan
menggerakan fenomena politik yang bagaimanapun demi kemenangan yang
diagendakan. Saya ingin mengutip pandangan Bung Hatta yang terdapat dalam
ulasan Sri Edi Swasono pada kompas.com,
1 Juni 2013 berikut ini, mari kita memperhatikannya:
Persatuan
yang utama
Tidak ada kemerdekaan tanpa persatuan. Pada 20 April 1932,
Mohammad Hatta menyatakan: ”Dengan persatuan kita maksud persatuan bangsa, satu
bangsa yang tidak dapat dibagi-bagi. Di pangkuan bangsa yang satu itu boleh
terdapat pelbagai paham politik, tetapi kalau datang marabahaya yang menimpa
pergerakan, di sanalah tempat kita menunjukkan persatuan hati. Di sanalah kita
harus berdiri sebaris. Kita menyusun ’persatuan’ dan kita menolak ’persatéan’,”
(Daulat Rakyat, 1932). Yang dimaksud Hatta sebagai ”persatuan” adalah adanya
”persatuan hati” yang membuat kita ”berdiri sebaris”.
Lama sesudah itu, dengan senang hati Hatta menyambut
lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 sebagai dasar ”persatuan hati”, sebagai ”ruh
ideologi kebersamaan dan asas kekeluargaan” yang senantiasa ia perjuangkan.
Bahkan, pada saat Bung Hatta berbeda pendapat keras dengan Bung Karno (1960),
Bung Hatta tetap memegang teguh Pancasila, yang disebutnya sebagai filsafat
negara Indonesia, yang ”dilahirkan oleh Bung Karno”. Saya kutipkan pandangan
Hatta yang mulia, halus pekerti, ideologis, dan religius sebagai berikut:
”Dengan dasar-dasar ini, sebagai pimpinan dan pegangan pemerintah negara pada
hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai
kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia, serta
persaudaraan bangsa-bangsa. Dengan bimbingan, dasar-dasar yang tinggi dan murni
itu akan dilaksanakan tugas yang tidak dapat dikatakan ringan! Manakala kesasar
sewaktu-waktu dalam perjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, ada
terasa senantiasa desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar.
Demikianlah harapan kaum idealis yang merumuskan filsafat negara dan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam saat yang bersejarah, yang
menentukan nasib bangsa. Satu ciptaan mungkin terlalu tinggi bagi manusia biasa
melaksanakannya. Namun, sebagai pegangan untuk menempuh jalan yang baik sangat
diperlukan. Dasar-dasar itu menuntut kepada manusia Indonesia, kepada
pemimpin-pemimpin politik, dan kepada orang-orang negara untuk melatih diri,
supaya sanggup berbuat baik dan jujur, sesuai dengan janji yang dibuat di muka
Tuhan.”
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pancasila dan Ide Persatuan", https://nasional.kompas.com/read/2013/06/01/02540342/pancasila.dan.ide.persatuan.
Kalau persatuan dikorbankan
dengan mengedepankan persatean, maka yang mengemuka adalah fenomena politik
yang mengintimidasi, tidak ada lagi yang membuat kita berdiri dalam persatuan hati yang membuat kita berdiri sebaris!
Pancasila adalah dasar persatuan hati itu! Apakah bangsa ini secara total masih menjadikan Pancasila sebagai dasar persatuan hati itu? Ya… sejarah yang akan membuktikannya, apakah kerinduan Bung Hatta tersebut benar-benar akan terpelihara di sepanjang eksistensi republik ini.
Ketika Bung Hatta menyatakan
ini: ”Dengan persatuan kita maksud
persatuan bangsa, satu bangsa yang tidak dapat dibagi-bagi. Di pangkuan bangsa
yang satu itu boleh terdapat pelbagai paham politik, tetapi kalau datang
marabahaya yang menimpa pergerakan, di sanalah tempat kita menunjukkan
persatuan hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun
’persatuan’ dan kita menolak ’persatéan’,” maka seharusnya apapun haluan
politik yang diusung, tidak boleh sama sekali mengingkari dasar bagi setiap
kita untuk memiliki fundamental persatuan hati.
Ketika
kita memiliki sesuatu yang lebih besar
dari Pancasila, sebetulnya kita sedang memasuki periode yang telah jauh hari
diperingatkan oleh Bung Hatta agar
jangan sampai kita masuki: “Dengan
persatuan kita maksud persatuan bangsa, satu bangsa yang tidak dapat
dibagi-bagi. Di pangkuan bangsa yang
satu itu boleh terdapat pelbagai paham politik, tetapi kalau datang
marabahaya yang menimpa pergerakan, di sanalah tempat kita menunjukkan
persatuan hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun
’persatuan’ dan kita menolak ’persatéan’.”
Peran Aktif Warga
Gereja Sebagai Bagian Utuh Negara Kesatuan Republik Indonesia
Jadi
apakah yang dapat dilakukan oleh warga gereja sebagai bagian utuh Negara Kesatuan
Republik Indonesia? Jawabnya: jadilah warga negara yang aktif menyuarakan
pentingnya kesatuan negeri ini, tempat di mana saya dan anda dilahirkan,
dibesarkan dan mengembangkan dirinya sebagai manusia-manusia produktif, berguna
bagi bangsa dan negara ini. Bukankah Alkitab meminta kita untuk memiliki
kepedulian yang begitu tinggi dan spiritual bagi negara dan para pemimpin negara
kita dimana kita hidup? Tentu anda ingat dengan nas Kitab Suci ini:
▄1 Timotius 2:1-2 Pertama-tama aku
menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa
syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua
pembesar, agar kita dapat hidup
tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan.
▄1 Petrus 2:17 Hormatilah semua orang,
kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!
▄Roma 13:1-3 Tiap-tiap orang harus takluk
kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang
tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh
Allah…. Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah,
hanya
jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap pemerintah?
Perbuatlah
apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya.
Jikalau
ada warga gereja diberi anugerah olah Tuhan berada di tempat-tempat terhormat
dan menentukan kebijakan negara dan apalagi menjadi kepercayaan pemerintah,
maka berikanlah yang terbaik dari dirimu
sebagai orang yang takut akan Tuhan, yang menghormati negaranya dengan penuh
pengabdian. Surat Roma bahkan mendorong ini agar itulah yang menjadi prestasi
bagi seorang yang beriman kepada Kristus: perbuatlah apa yang baik dan kamu
akan beroleh pujian dari padanya. Saya tertarik untuk mengutipkan kisah J.
Leimena berikut ini sehingga dapat pendorong bagi kita untuk berkarya bagi negara
kita dalam Tuhan yang telah mengasihi kita:
Dalam
buku Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno
mengatakan bahwa Johannes Leimena
adalah seorang yang paling jujur yang pernah ia temui. Bung Karno juga selalu
memanggil Leimena dengan panggilan ‘Domine’, yang artinya pendeta. Panggilan
ini kan secara tersirat membuktikan kepercayaan Bung Karno. Ini terbukti, Bung
Karno tujuh kali mengangkat Leimena sebagai pejabat presiden setiap kali Bung
Karno melawat ke luar negeri.- Koran Sulindo,” Johannes Leimena, Politik untuk Melayani Rakyat”
Pada waktu-waktu seperti
ini, jika anda sebagai gereja diberi kesempatan untuk berkontribusi lebih besar
daripada umumnya warga gereja, saya pikir
inilah momentum yang tepat untuk mau bertindak dalam doa, karya dan
berkolaborasi bersama dengan anak-anak bangsa lainnya yang masih sangat percaya
bahwa dalam perbedaan, persatuan adalah
sebuah keniscayaan yang harus diperjuangkan.
Kita tidak perlu untuk
saling merobek dan saling membinasakan, tetapi kita wajib mau untuk berdiri
besama dalam satu barisan, agar negeri ini tetap menjadi rumah persatuan, bukan
persatean.
Soli Deo Gloria
No comments:
Post a Comment