Oleh: Martin Simamora
“Apakah
Sebuah Pintu Emas Bagi Suami Untuk Menceraikan Isterinya, Ataukah Peringatan
Betapa Kudusnya Sebuah Pernikahan Untuk Dipermainkan?”
1.Bukan
Hal yang Sumir, Tetapi Betapa Sucinya Pernikahan itu: Dosa Membawa Dampak
Kerusakan Pernikahan Suci
Hal pertama yang
harus saya sampaikan, artikel ini saya tuliskan sehubungan dengan janji yang begitu lama tertunda untuk saya penuhi
kepada sahabat dan beberapa orang yang menanyakan perihal ini. Topik ini tidak
boleh semata diperlakukan sebagai pengetahuan, tetapi harus menjadi sebuah
refleksi bagi setiap pria yang telah berkeluarga atau akan berkeluarga, dan tentunya
setiap rumah tangga Kristen, agar mengerti dan menghidupi kehidupan rumah
tangganya sebagai hal yang mulia dan kudus, tidak seharusnya dipandang sebagai
ikatan emosional belaka: dicintai dan karenanya mencintai, atau sebaliknya. Hal
kedua, yang sama pentingnya, artikel ini
juga memiliki tujuan untuk menunjukan bahwa klausula pengecualian
perceraian boleh dilakukan, harus pertama-tama dipandang sebagaimana Yesus
memandang: betapa tingginya kesucian
sebuah pernikahan harus diperlakukan dan dihidupi oleh pasangan suami-isteri.
Sebagaimana Yesus begitu tinggi memandang kesucian dan kesetian hubungan antara
dirinya dengan para murid yang sangat dikasihinya. Bahwa klausula pengecualian perceraian boleh dilakukan, harus dipandang sebagai sebuah
kebenaran dari sudut Allah, betapa Allah sangat membenci kecemaran pada kesucian pernikahan, bukan sebaliknya,
dipandang dari sudut kedagingan manusia yang cenderung memandang klausula ini
dalam kotornya dan rendahnya moralitas manusia untuk sanggup memandang kesucian
pernikahan yang sedang diangkat Yesus melalui klausula ini. Tentu saya dapat
memaklumi, sungguh mengejutkan kalau Yesus sampai benar-benar mengucapkan
klausula itu. Namun, jika kita mau mempelajarinya secara cermat, sebaliknya
kita akan melihat betapa rendahnya kekuatan moralitas dan kekudusan manusia
untuk bisa memahami bahwa didalam Tuhan, pernikahan tidak dirancang untuk
menuju sebuah perceraian namun manusia tidak kebal dan berdaya untuk senantiasa
sanggup menjunjung kemurnian pernikahannya melawan daya pikat dosa yang
menyasar pada kesucian pernikahan.
Saya juga harus
menandaskan, sementara secara populer klausula tersebut telah dipandang sebagai
sumir dan bahkan dianggap sebagai penyimpangan diantara injil sinoptik,
seharusnyalah setiap orang Kristen yang menghargai Alkitab sebagai sumber
tertulis paling otoratif bagi praktik
hidup keimanannya, setiap orang Kristen seharusnya memiliki pemahaman
yang memadai, sebelum menghakimi bagian tertentu pada injil, dan bahkan Yesus Kristus
sendiri.
2.Perceraian
& Kekudusan Pernikahan yang Retak Dalam Alkitab
Dalam
Alkitab, pada injil, perceraian dan kekudusan pernikahan yang retak merupakan salah satu topik yang diajarkan oleh
Yesus:
►Matius
19:3-10 “Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia.
Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan
alasan apa saja?" Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang
menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan
firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka
bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah,
tidak boleh diceraikan manusia." Kata mereka kepada-Nya: "Jika
demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika
orang menceraikan isterinya?" Kata Yesus kepada mereka: "Karena
ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak
semula tidaklah demikian. Tetapi Aku
berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan
lain, ia berbuat zinah." Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan
antara suami dan isteri, lebih
baik jangan kawin."
►Markus
10:2-12 Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka
bertanya kepada-Nya: "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan
isterinya?" Tetapi jawab-Nya kepada mereka: "Apa perintah Musa kepada kamu?" Jawab mereka: "Musa memberi izin untuk menceraikannya
dengan membuat surat cerai." Lalu kata Yesus kepada mereka: "Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa
menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab
pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab
itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia." Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada
Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: "Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia
hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan
suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah."
Kita
melihat satu perbedaan yang sangat tajam antara keterangan injil Matius
terhadap injil Lukas yang muncul hanya karena sebuah klausula yang berbunyi kecuali karena zinah, dan karena
hal inilah ada saja satu-dua pendeta yang memandang secara sumir klausula ini
sebagai sebuah hal yang menentang apa
yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia,
sementara injil Matius sendiri mencatat juga hal tersebut sebagai non
kontradiksi terhadap klausula kecuali karena zinah. Kita harus memperhatikan secara sangat cermat, bahwa para
murid Kristus merespon klausula dan keseluruhan ajaran Yesus tersebut dengan
sebuah pernyataan: "Jika
demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin."
Sungguh menarik bukan? Sementara ada pendeta yang memandang klausula kecuali
karena zinah sebagai sebuah anjuran perceraian yang menutup upaya-upaya
rekonsiliasi, atau sebuah anjuran yang menurunkan nilai kesucian pernikahan,
para murid Yesus tidak demikian sama sekali! Berbeda dengan sejumlah pendeta
yang memandang klasula tersebut dalam
kedagingannya sehingga memandang rendah, para murid dalam klausula tersebut,
justru melihat betapa sebuah pernikahan itu sungguh suci sehingga tidak ada jalan keluar yang begitu terhormat
dan terpandang sehingga sebuah
perceraian boleh dilakukan : Jika
demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.
Kalau
para murid dalam mendengarkan klausula pengecualian perceraian diperbolehkan
karena zinah, sama sekali tidak memiliki gagasan perceraian menjadi gampangan,
sebaliknya sesuatu yang begitu suci, mengapa ada pendeta modern yang gagal dan
sama sekali tidak dapat memandang ini, sehingga begitu antinya dengan klausula
perceraian ini. Sekali lagi, para murid dalam mendengarkan klausula itu, tidak
sama sekali kemudian berpikir kalau begitu gampang saja untuk bercerai kalau
sudah menikah. Tentu saja hanya ada 2 kemungkinan bagi siapapun yang berpikir
klausula ini sebagai jalan mudah untuk bercerai: pertama, dia sendiri rentan
dan lemah daya juangnya untuk melawan godaan perzinahan, dan kedua, dia sendiri tidak memahami bahwa pernikahan
memiliki aspek kesucian sebagai mahkot pernikahan yang harus selalu
berkilau. Tentu menakjubkan melihat
respon: jika demikian halnya hubungan
antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin! Bagaimana respon anda?
Mengapa anda tidak merespon yang sama kala mendegarkan klausula tersebut?
Karena
itulah, bagi sejumlah pengkhotbah, nampak perlu dilakukan modifikasi atau
penolakan terhadap klausula Yesus tersebut yang terdapat dalam injil Matius.
Mereka berpandangan, dengan setidak-tidaknya meniadakan klausula Yesus yang
berbunyi “tetapi Aku berkata kepadamu: setiap orang yang menceraikan isterinya
kecuali karena zinah,” maka sakralitas: apa
yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia menjadi
diamankan atau dilindungi dari klausula tersebut. Demikianlah mereka menyangka.
Mereka
menganggap klausula pengecualian perceraian diperbolehkan semacam itu,
mengandung ajaran yang melegalkan perceraian di hadapan Tuhan bagi pasangan
suami isteri yang menghendaki perceraian, bahkan pada kasus yang jauh lebih
luas. Padahal, konteks secara keseluruhan, klausula tersebut sangat terkait
erat dengan: “mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia”, yang ketika Yesus menyebutkan klausula kecuali karena
zinah, ia sedang menunjukan bagaimana dosa telah menghancurkan apa yang telah
dipersatukan Allah yaitu pernikahan sebagai sebuah gagasan dan kehendak suci
Allah. Jika dosa adalah kecemaran yang
menajiskan manusia terhadap Allah, maka zinah pun merupakan kecemaran yang
menajikan manusia terhadap apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
a.Yesus
Sebagai Penggenap Kitab Suci & Ajarannya Tentang Perceraian
Ajaran Yesus mengenai
perceraian telah disampaikan olehnya pada konteks yang sangat istimewa dan
khusus. Istimewa karena ajarannya ini disampaikan bertautan dengan bagaimana
para ahli taurat dan orang farisi selama ini mengajarkannya; khusus, karena
dalam pengajaran ini, Yesus menempatkan dirinya sebagai Sang Penggenap hukum
Taurat dan kitab para nabi. Mari kita melihatnya:
▄Matius
5:17-19,27-30,31-32 Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan
hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya,
melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu
titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena
itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang
paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki
tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan
dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat
yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga….Kamu
telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang
perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka
jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena
lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu
dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. Dan jika tanganmu yang kanan
menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika
satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka. ….
Telah difirmankan juga: Siapa
yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan
isterinya kecuali karena zinah, ia
menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang
diceraikan, ia berbuat zinah.
Dalam rangkai khotbah
panjang di bukit, Yesus mencakupkan
pengajaran “setiap orang yang menceraikan
isterinya kecuali karena zinah, ia
menjadikan isterinya berzinah…” telah diajarkannya sebagai dirinya adalah Sang Penggenap Kitab Suci
yang sedang mengoreksi pengajaran para ahli taurat dan orang farisi yang menyerongkan isi kitab
suci. Itu sebabnya ia dalam koreksinya memulai dengan “Telah difirmankan juga” dan “Tetapi
Aku berkata kepadamu,” sebagai sebuah pasangan yang akan meluruskan
pengajaran yang tak sempurna berdasarkan pada dirinya sendiri yang adalah Sang
Penggenap.
Konteks ucapan dan
ajaran Yesus telah diletakannya sendiri sebagai Ia datang untuk menggenapi, bukan untuk meniadakan hukum Taurat dan Kitab
nabi-nabi. Apakah bagian dalam hukum Taurat yang mengajarkan atau mengatur
hal perceraian? Jika Ia datang untuk menggenapinya. Mari kita memperhatikan apa
yang diajarkan dalam hukum taurat:
▬Ulangan
24:1-4 Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika
kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak
senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan
menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari
rumahnya, dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu
menjadi isteri orang lain, dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta
lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan
itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian
mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka suaminya yang pertama, yang
telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi
isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di
hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang
diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu.
Jika kita secara
cermat memperhatikan firman Allah pada Ulangan 24:1-4, kita akan melihat bahwa
klausula yang berbunyi “kecuali karena
zinah” sebagai satu-satunya sebuah perceraian diperbolehkan sebagaimana
disampaikan oleh Yesus, bukan hal yang baru sama sekali dibandingkan pada kitab
Taurat pada klausula:
● jika
kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab
didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis
surat cerai
●”jika
laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka suaminya
yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia
kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah
kekejian di hadapan TUHAN,”
Pada 2 klausula ini,
kita melihat bahwa pernikahan atau hubungan suami dengan isteri dalam pandangan
Tuhan adalah hal yang suci dan tak boleh tercemar. Itu sebabnya “menulis surat
cerai” akan dikaitkan dengan tidak
menyukai lagi, sebab didapatinya yang
tidak senonoh. Dengan kata lain, satu-satunya yang menghancurkan sebuah
pernikahan adalah daya rusak yang ditimbulkan oleh dosa. Tetapi apa yang lebih
penting lagi, apakah pada kitab Taurat
ada ditunjukan mengapa perceraian karena zinah adalah satu-satunya alasan
mengapa perceraian harus terjadi? Menjawab ini, siapapun harus mempertimbangkan
klausula pengandaian yang sangat keras ini: jika
laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka suaminya
yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil
dia kembali menjadi
isterinya, setelah perempuan itu
dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di
hadapan TUHAN.
Artinya, “kecuali
karena zinah” terkait dengan kekudusan pernikahan dan relasi suami-isteri yang
tidak boleh sama sekali tercemari, karena relasi ini bernilai begitu kudus di
mata TUHAN.
Karena itulah,
klausula “kecuali karena zinah” harus dipandang sebagaimana Allah memandang
pada kudusnya pernikahan. Ini adalah perintah yang keras, sama kerasnya dengan
perintah: Jangan berzinah (Keluaran
20:14). [Tentang kerasnya konsekuensi pelanggaran ini, sebetulnya, tidak
memberikan celah sedikitpun sehingga ketaksempurnaan boleh muncul. Coba
perhatikan penjelasan rasul Yakobus:” Sebab
barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari
padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya. Sebab
Ia yang mengatakan: "Jangan berzinah", Ia mengatakan juga:
"Jangan membunuh". Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh,
maka kamu menjadi pelanggar hukum juga.- Yak 2:10-11].
Ketika klausula ini dipandang dalam cara pandang manusia, maka klausula ini
nilainya hanyalah senilai ketakberdayaan moralitas manusia untuk dapat
mengemilaukan kesucian pernikahan dengan
mengakui bahwa ketika pernikahanmu anda
cemari, maka anda telah menempatkan pernikahan anda dibawah murka Allah.
Tetapi memang kita pada hari-hari ini sedang melihat betapa murahnya kemuliaan
sebuah pernikahan baik dalam cara cepatnya perceraian terjadi, dan bagaimana
orang Kristen sendiri begitu menekankan pengampunan dan mengasihi dan lupa
memandang betap sucinya pernikahan itu tak bisa dipandang rendah dengan
mengampuni perzinahan atas nama kasih.
Karena itulah, kita
bahkan melihat hal yang “baik” di mata manusia, telah menjadi begitu jahat di
mata Tuhan. Ketika anda mempertimbangkan:”jika laki-laki yang kemudian mengambil dia
menjadi isterinya itu mati, maka suaminya yang pertama, yang telah
menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi
isterinya,” bukankah seharunya penyatuan dan pernikahan kembali adalah
baik? Tetapi yang harus diperhatikan di sini adalah, satu-satunya yang membuat
penyatuan dan pernikahan kembali tidak dapat dilakukan adalah: kecemaran atau
perzinahan. Di luar hal ini- di luar kasus perzinahan, nampaknya penyatuan dan
pernikahan kembali adalah terbuka untuk dibicarakan dan diupayakan.
Kita bisa katakan,
bahwa ini adalah larangan keras pada pernikahan kembali akibat kecemaran atau
zinah yang mengakibatkan perceraian oleh suami terhadap isterinya. Mengapa TUHAN tidak membolehkan hal ini?
Karena perbuatan tidak senonoh, zinah dan berbagai bentuk kecemaran yang bersifat seksualitas dalam sebuah
pernikahan adalah sebuah pencemaran terhadap kekudusan pernikahan yang
dikehendaki TUHAN. Bagaimana hal itu dinyatakan TUHAN, akan nyata pada klausula “kecuali karena zinah” yang dikemukakan oleh Yesus, selaras dengan
Ulangan 24:1-4 yang mengacu pada “jangan
berzinah” (Keluaran 20:14).
Sebagaimana tadi
telah saya singgung, pada injil sinoptik lainnya, kita memang tidak menemukan klausula
“kecuali karena zinah”, sehingga memang bisa dipahami, orang bisa mengajukan
pertanyaan apakah dengan demikian, injil Matius mengandung anomali atau kekeliruan
sedikitpun? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat apakah Yesus
melepaskan atau tidak memiliki relasi dengan kitab taurat kala injil sinoptik
yang lain mencatatkan perihal yang sama namun tanpa klausula sebagaimana pada
injil Matius?
Sekarang mari kita
melihat injil Lukas untuk mendapatkan sebuah potret dalam bingkai gagasan yang
dikomunikasikan oleh kata dan kalimat:
Lukas 16:17-18 Lebih mudah langit dan bumi lenyap dari pada satu titik dari hukum Taurat batal. Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan
lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang
diceraikan suaminya, ia berbuat zinah."
Saya berpendapat,
injil Lukas tanpa klausula, sangat tajam menunjukan 2 hal sekaligus: zinah pada setiap orang yang menceraikan
isterinya dan zinah bagi siapapun yang menikahi perempuan yang
diceraikan oleh suaminya. Tetapi apa yang sangat menarik di sini adalah,
injil inipun tidak memberikan ruang interpretasi yang mengambang dan spekulatif
pada basisnya. Basisnya jelas: hukum Taurat. Apa maksudnya? Agar siapapun yang
berupaya memahaminya harus selalu memperhatikan bagaimana hukum Taurat mengatur
natur perceraian itu terjadi. Jelas sekali, natur perceraian adalah dosa yang
mencemari manusia baik pria dan
perempuan. Natur ini adalah kehakikatan manusia dahulu, sekarang dan akan
datang. Itu sebabnya tentang hukum Taurat, dikatakan: lebih mudah langit dan
bumi lenyap dari pada satu titik dari hukum Taurat batal. Ini sendiri selaras
dengan pernyataan Yesus bahwa ia adalah Sang Penggenap Kitab Suci: Karena Aku
berkata kepadamu: Sesungguhnya selama
belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan
ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. (Matius 5:`18).
Pada injil Matius,
kita begitu gamblang melihat klausula “kecuali karena zinah” yang dikemukakan
Yesus, sementara pada Matius tidak ada. Apakah ini berarti berbeda dan
bertentangan satu sama lain? Lukas,
walau tidak memasukan klausula tersebut, namun yang mahapenting dari semua itu,
ada. Apakah itu? Baik injil Matius dan injil Lukas sebagaimana juga injil
Markus, menunjukan relasi dengan hukum taurat dan kitab nabi-nabi. Karena
itulah baik pada teks injil yang memiliki klausula dan yang tidak memiliki
klausula, tidak ada perbedaan sama sekali pada maksudnya karena sama-sama berakar
pada hukum taurat dan kitab para nabi. Ketika Lukas yang tak memiliki klausula
pengecualian, pun menunjukan Yesus mengasaskan ajarannya tersebut dengan hukum
Taurat, maka walau tidak terdapat klausula tersebut, tetap mengandung klausula
pengecualian yang terdapat pada hukum taurat:
●”jika
laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka suaminya
yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil
dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu
adalah kekejian di hadapan TUHAN,”
Diatas ini adalah
klausula kecuali karena zinah yang menunjukan perceraian (telah menyuruh dia
pergi adalah tindakan suami menceraikan isterinya) atau tetap bercerai adalah
sebuah keadaan yang dikehendaki Allah, sebab menikahinya kembali adalah
kekejian di hadapan TUHAN. Tentu, kita harus memperhatikan bahwa larangan
menikah kembali secara eksklusif pada akibat dosa perzinahan.
Sangat penting untuk
dipahami bahwa klausula “kecuali karena zinah”
diajarkan Yesus selain dalam
konteks Ia adalah Sang
Penggenap kitab suci, juga dalam konteks sedang mengoreksi dan meluruskan pengajaran yang melenceng oleh
para ahli Taurat dan orang Farisi dan berkembang sebagai keyakinan rohani
kehidupan suci pasangan suami isteri:
▬Matius
5:19-20 Karena itu siapa yang meniadakan salah satu
perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya
demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di
dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala
perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam
Kerajaan Sorga. Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak
lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi, sesungguhnya kamu
tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Inilah yang kemudian
menjadi konteks langsung mengapa Yesus harus mengajarkan dalam sebuah pola yang
unik:
Kamu telah mendengar yang difirmankan→
Tetapi Aku berkata
kepadamu
yang pertama (kamu
telah mendengar yang difirmankan) adalah pengajaran yang selama ini
telah diterima dari para ahli taurat dan orang farisi, dan yang kedua adalah
apa yang dikoreksi dan diluruskan oleh Yesus Kristus.
Mari perhatikan
pemaparan Yesus tentang “jangan berzinah”
Matius
5:27-30 Kamu telah mendengar firman: Jangan
berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta
menginginkannya, sudah
berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan
menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika
satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke
dalam neraka. Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan
buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa
dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.
Jelas sekali kalau,
Yesus di sini mengajaran sebuah kekudusan yang tanpa celah sehubungan dengan
perintah jangan berzinah. Di sini kemegahan kekudusan Allah dipancangkan begitu
dalam sebagai hal yang tak dapat dikompromikan pada ketakberdayaan dan pada
tafsir manusia. Sangat menarik di sini sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya,
dihubungkan dengan aktivitas fisik indrawi sebagai sumber kecemaran. Perhatikan
ini:
●
jika matamu yang kanan
menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika
satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke
dalam neraka
●
jika tanganmu yang kanan
menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika
satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka
Sehingga sebetulnya
di sini “berzinah dengan dia di dalam
hati” bukan sekedar fantasi abstrak yang begitu tersembunyi di dalam
jiwa, tetapi sebetulnya sebuah harat atau keinginan yang lahir dari jiwa yang
telah menguasai begitu kuat anggota-anggota
tubuh untuk mewujudkannya. Jadi “di dalam hati” pada berzinah dengan dia, bukan lagi sekedar semacam sketsa satu dimensi di atas kertas tetapi
sudah merupakan perilaku mental atau jiwa yang begitu dimensional sehingga
memiliki kekuatan dan daya dorong atas tubuh di dalam alam nyata untuk
diwujudkan. Sehingga dapat dimengerti kalau kecemaran di sini
bukan belaka kecemaran tubuh tetapi jiwa
yang telah mengingkari kesucian pernikahannya. Pada konteks yang sangat
eksklusif atau satu-satunya alasan yang dapat dibenarkan sebuah keputusan
cerai, dapat diakui untuk dilakukan sebagaimana terdapat dalam klausula yang
dikemukakan oleh Yesus dalam ajarannya ini:
Matius
5:31-32 Telah difirmankan juga: Siapa
yang menceraikan isterinya harus
memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap
orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah,
ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang
diceraikan, ia berbuat zinah.
Klausula kecuali karena zinah, erat kaitannya
dengan telah difirmankan juga: Siapa
yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Surat cerai menjadi bagian penting pada
bagaimana sebuah perceraian memerlukan sebuah pemeriksaan dan pembuktian bahwa
dasar-dasar bagi sebuah perceraian terpenuhi. Jadi ini akan melindungi kasus
perceraian yang disebabkan oleh apapun juga penyebabnya, perceraian adalah jalan
keluarnya. Sekali lagi, sebagaimana telah saya singgung, perceraian sangat erat
kaitannya dengan dosa yang membawa dampak kerusakan pada pernikahan suci:
Ulangan
24:1 Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan
jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang
tidak senonoh padanya, lalu ia
menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah
itu menyuruh dia pergi dari rumahnya,
Jadi perceraian
begitu terlarang untuk dilakukan oleh karena sebab apapun juga! Maksudnya,
ketika perceraian masuk dalam Alkitab, itu bukan dimaksudkan sebagai sebuah
jalan atau mekanisme untuk mengakhiri pernikahan berdasarkan preferensi apapun yang dimaui. Pernikahan tidak rancang untuk berujung pada
perceraian dan sekaligus tidak dirancang untuk tidak memberikan konsekuensi
yang sepele ketika pencemaran seksual dalam ragam bentuknya menyusup.
b.Surat
Cerai
Surat cerai membuat
sebuah perceraian bukanlah jalan keluar, tetapi sebuah tanda hukum. Coba anda
perhatikan teks ini:
Matius
5:31-32 Telah difirmankan juga: Siapa
yang menceraikan isterinya harus
memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap
orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah,
ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang
diceraikan, ia berbuat zinah.
Jika tanpa surat
cerai, bagaimana mungkin untuk menentukan seseorang telah melanggar ketentuan
ini? Perceraian dalam Alkitab dengan surat cerainya telah membuat kehidupan
seorang manusia tidak lagi akan menemukan kebahagiaan semula dalam berumah
tangga. Dan dengan ketentuan satu-satunya hanya karena perzinahan atau
perbuatan tidak senonoh yang bertendensi perbuatan-perbuatan seksualitas di
luar pernikahan, surat cerai boleh dilayangkan, ini menjadikan perceraian
bukanlah hal yang gampangan dan apalagi sebuah pilihan yang menyenangkan.
Memiliki surat cerai dengan demikian adalah sebuah keaiban yang memalukan dalam kehidupan pernikahan
seseorang, sebagai konsekuensi menista diri pernikahannya sendiri. Sekali lagi,
kita pertama-tama harus mendudukan cara pandang kita pada apa yang dikehendaki
Tuhan yaitu: bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Cara pandang
inilah yang dibawa oleh rasul Paulus ketika menasehati kehidupan jemaat di
Korintus:
1Korintus
6:15-16 Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan
kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali
tidak! Atau tidak tahukah kamu,
bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab,
demikianlah kata
nas: "Keduanya akan menjadi satu daging."
Sekarang, kita dapat
memahami mengapa kecemaran seksualitas bukan sekedar kecemaran anggota tubuh,
tetapi juga jiwa. Bahkan bukan hanya jiwa, namun merupakan perbuatan yang
membuat dirimu sendiri tanpa dapat anda tolak: mengikatkan dirinya pada
perempuan cabul, yang artinya: keduanya akan menjadi satu daging. Mengapa
klausula “kecuali karena zinah” bukanlah sebuah penyimpangan, karena ini sendiri
adalah kebenaran yang dimengerti secara umum
tanpa perlu dituliskan secara khusus: tidak tahukah kamu, bahwa
siapa
yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Jika demikian maka memang dalam
terang kebenaran rohani semacam ini, tidak ada satu ruang pun di hadapan Tuhan
bagi seorang manusia yang mengikatkan dirinya pada pasangan cabulnya. Ini
seharusnya menjadi perhatian serius bagi saya dan anda, terutama dalam membina
kehidupan berumah tangga dan dalam melindungi martabat kesucian pernikahan anda
dan saya masing-masing.
Sehingga, sekali
lagi, surat cerai dan perceraian itu sendiri adalah sebuah tanda yang aib bagi
siapapun karena ketika ia ingin menikah kembali ia tidak mungkin melakukannya
karena kecemaran zinah itu, tidak dapat dihapuskan begitu saja. Begitulah cara
Allah menegakan kesucian dan martabat pernikahan yang dibentuknya sendiri.
Apakah martabat pernikahan itu? Inilah martabatnya sebagaimana dikatakan Yesus:
: apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia. Dan ketika anda tidur dengan pasangan cabul
anda, maka perceraian sebagai akibat
dosa telah terjadi tepat sebagaimana rasul Paulus telah mengemukakannya: Atau
tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul,
menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah kata nas: "Keduanya
akan menjadi satu daging." Kita harus secara teliti
memperhatikan kehidupan pernikahan dan relasi kita dengan Bapa, Anak dan Roh
Kudus dengan demikian.
c.Sebab-Sebab
Cerai
Tetapi di era Yesus,
nampaknya perceraian dalam praktiknya sudah jauh menyimpang. Perceraian telah
menjadi semacam cara atau mekanisme yang begitu gampangan untuk dilakukan. Di era
Yesus, jelas sekali, bahwa perceraian tidak lagi didasarkan pada satu-satunya alas
an yaitu: perbuatan tidak senonoh atau
hubungan seksualitas seorang yang telah menikah dengan seorang yang bukan
pasangannya, tetapi apapun juga dapat menjadi alasan bagi seorang pria untuk
melayangkan surat cerai:
Matius
19:3 Maka datanglah orang-orang
Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan
isterinya dengan
alasan apa saja?"
Perhatikan jawaban
Yesus ini:”… dan
bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
(Matius 19:5-6). Tetapi Yesus tidak berhenti di situ saja, karena ia harus
mengoreksi pengajaran yang salah dan bengkok terhadap apa yang dinyatakan Allah
dalam hukum taurat yang tidak pernah mengajarkan atau memberikan ruang alasan
perceraian seluas-luasnya, selain apa yang dinyatakan Yesus: Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa
menceraikan isterinya, kecuali karena
zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."-
(Matius 19:9), yang selaras dengan:
Ulangan
24:1 Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi
perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan
menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari
rumahnya,
Hukum Taurat tidak
pernah memberi ruang untuk alasan-alasan apapun yang bahkan sepele dan yang
kurang dari syarat-syarat dasar yang ketat dan tak boleh dilanggar dalam
kehidupan suami isteri seperti:
▬Ulangan
24:1 “hanya karena yang tidak senonoh atau
hubungan seksualitas antara seorang yang telah menikah dengan pasangan
lain
▬Keluaran
21:10-11 “Jika tuannya itu mengambil perempuan lain, ia tidak boleh mengurangi makanan perempuan itu, pakaiannya
dan persetubuhan
dengan dia. Jika tuannya itu tidak
melakukan ketiga hal itu kepadanya, maka perempuan itu harus diizinkan keluar, dengan
tidak membayar uang tebusan apa-apa."
Yesus bahkan dalam
klausula pengecualian membolehkan perceraian, tidak memasukan pelanggaran
sumpah pada Keluaran 21:10-11. Yesus hanya mencakupkan Ulangan 24:1 sebagai
dasar kitab suci bagi klausulanya.
Dan dalam
pandangan orang farisi, telah berkembangan
pandangan bahwa seorang suami boleh menceraikan isterinya karena alasan apapun
juga yang bahkan lebih ringan daripada ketentuan Ulangan 24:1, atau bahkan
tidak juga bobot alasannya mendekati apa yang diatur dalam Keluaran 21:10-11.
Sangat mungkin hal-hal yang jauh lebih remeh dapat menjadi dasar bagi sebuah
perceraian. Dan memang dapat dipahami jika para muridpun menjadi terperanjat
dengan betapa sempitnya alasan untuk bercerai jika klausula Yesus hanya
berjangkar pada Ulangan 24:1. Sekali lagi, perhatikan reaksi para murid Yesus:
Matius
19:10 Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih
baik jangan kawin."
Jadi, sementara
ada pendeta-pendeta zaman sekarang ini
memandang klausula kecuali karena berzinah sebagai sebuah aib bagi keskaralan
pernikahan Kristen, para murid memahaminya sebagai betapa Yesus sangat
mempersulit perceraian. Tidak boleh ada perceraian karena hal-hal yang sepele,
atau hal-hal yang tidak substansial. Bahkan
jauh lebih sukar untuk dapat anda bayangkan, bahwa Yesus bahkan tak
memasukan klausula perceraian yang mencakup:
●tidak
memberi makan
●tidak
memberi pakaian
●tidak
member persetubuhan
Tanpa
kita memahami apa sebetulnya pandangan yang berkembang di kalangan orang farisi
dan ahli Taurat, masyarakat dan para murid, maka siapapun akan gagal untuk
memahami klausula pengecualian bagi sebuah perceraian sebagaimana dikemukakan oleh Yesus Sang Penggenap Kitab Suci.
d.Hal-Hal
Penting yang Harus Dipahami Sehubungan Dengan Kesucian Seksualitas dan Klausula “Kecuali Karena Berzinah” dalam
Kehidupan Pernikahan
Dalam hukum Taurat,
kita harus memahami bahwa kesucian seksualitas adalah hal yang sangat tinggi
untuk diperhatikan, bahkan spektrumnya begitu kompleks dalam kehidupan pernikahan itu
sendiri. Perhatikan hal-hal berikut ini sebagaimana Imamat 18 menyatakannya,
saya akan mengambil secara acak beberapa saja dari daftar yang panjang tersebut:
TUHAN berfirman kepada Musa:
▬Siapapun
di antaramu janganlah menghampiri seorang kerabatnya yang terdekat untuk
menyingkapkan auratnya; Akulah TUHAN.
▬
Janganlah
kausingkapkan aurat isteri ayahmu, karena ia hak ayahmu; dia ibumu, jadi
janganlah singkapkan auratnya.
▬
Mengenai
aurat saudaramu perempuan, anak ayahmu atau anak ibumu, baik yang lahir di
rumah ayahmu maupun yang lahir di luar, janganlah kausingkapkan auratnya.
▬
Janganlah
kausingkapkan aurat saudara perempuan ayahmu, karena ia kerabat ayahmu.
▬
Janganlah
kausingkapkan aurat isteri saudara laki-laki ayahmu, janganlah kauhampiri
isterinya, karena ia isteri saudara ayahmu.
▬
Janganlah
kausingkapkan aurat menantumu perempuan, karena ia isteri anakmu laki-laki,
maka janganlah kausingkapkan auratnya.
▬
Janganlah
kausingkapkan aurat seorang perempuan dan anaknya perempuan. Janganlah kauambil
anak perempuan dari anaknya laki-laki atau dari anaknya perempuan untuk
menyingkapkan auratnya, karena mereka adalah kerabatmu; itulah perbuatan mesum.
▬
Dan
janganlah engkau bersetubuh dengan isteri sesamamu, sehingga engkau menjadi
najis dengan dia.
▬
Janganlah engkau tidur dengan laki-laki
secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.
▬
Janganlah engkau
berkelamin dengan binatang apapun, sehingga engkau
menjadi najis dengan binatang itu. Seorang perempuan janganlah berdiri di depan
seekor binatang untuk berkelamin, karena itu suatu perbuatan keji.
Ini semua adalah
kekudusan seksualitas dalam kehidupan pernikahan yang begitu dilindungi
martabatnya oleh Allah. Karena itulah klausula “kecuali karena zinah” memang
memiliki rentang yang begitu luas pada wujudnya, minimal seluas apa yang
dilarang pada Imamat 18. Sebagaimana telah saya singgung, klausula “kecuali
karena zinah” tidak bermaksud sebagai golden ticket perceraian, sebaliknya
menunjukan betapa sucinya pernikahan itu. Dengan kata lain, adalah kewajiban
seorang suami atau pria untuk memastikan martabat kesucian seksualitas
pernikahan terjaga di hadapan kebenaran Tuhan. Dengan demikian, kita dapat
memahami “menjadi satu daging” adalah sebuah ungkapan yang menunjukan sementara
perceraian adalah terlarang sama sekali, maka perzinahan sebagaimana diatur
dalam Imamat 18 adalah terlarang sama sekali. Jadi jika Yesus menyatakan
klausula tersebut, ia semata-mata sedang menegakan Imamat 18 khususnya pada
ini:
●Imamat
18:26-29 Tetapi kamu ini haruslah tetap berpegang pada ketetapan-Ku dan
peraturan-Ku dan jangan melakukan sesuatupun dari segala kekejian itu, baik orang Israel asli maupun orang
asing yang tinggal di tengah-tengahmu, --karena segala kekejian itu
telah dilakukan oleh penghuni negeri yang sebelum kamu, sehingga negeri itu
sudah menjadi najis-- supaya kamu
jangan dimuntahkan oleh negeri itu, apabila kamu menajiskannya, seperti
telah dimuntahkannya bangsa yang sebelum kamu. Karena setiap orang yang
melakukan sesuatupun dari segala kekejian itu, orang itu harus dilenyapkan dari tengah-tengah bangsanya.
Kesakralan pernikahan
tidak hanya bagi umat Tuhan atau orang Israel asli, tetapi juga bagi orang
asing yang tinggal di tengah-tengah umat Tuhan, harus memperhatikannya.
Sekarang, apakah
klausula Yesus tersebut lebih ringan dari apa yang seharusnya dituntut oleh
hukum Taurat, pada Ulangan 18:26-29? Bisakah anda menjawabnya?
Saya akhiri artikel
ini sampai di sini. Saya sengaja menghindari hal-hal yang terlampau teknis
seperti perdebatan-perdebatan antara
ajaran rabbi Shammai dan rabbi Hillel terkait dasar-dasar perceraian
sehubungan dengan interpretasi Ulangan 24:1 pada kata Ibrani yang dalam Alkitab
LAI diterjemahkan sebagai “tidak senonoh” dan interpretasi pada bagian kata
ibrani yang diterjemahkan “ia tidak
menyukai lagi” sebagai dasar untuk mengajarkan alasan-alasan cerai menjadi jauh
lebih luas daripada klausula Yesus tersebut. Tetapi saya akan melampirkan satu
bacaan ringan namun dapat memandu anda untuk studi yang lebih serius, terkait
bahasan pada artikel ini.
Harapan saya secara
pribadi, kita menjadi lebih dewasa dalam kehidupan pernikahan kita dalam
kekudusan dan dalam mencintai pasangan kita dalam kehidupan pernikahan yang
kudus dan penuh dengan kasih yang melimpah dari Bapa. Amin
Soli Deo
Gloria
Lampiran:
No comments:
Post a Comment