Oleh : Dr. Allen Ross
Datangnya
Raja Damai Kedalam Dunia Yang Gemar
Berperang
War
is normally measured by its final outcome, but many individual heroes gave up
their lives for the Arab side during the 1967 Six-Day War. (Image courtesy AP)
|
Pengantar Editor
Kalau saya mengatakan
Dunia Yang Gemar Berperang, tidak
hendak mengatakan seolah perang adalah
sebuah kegemaran populis layaknya sebuah
hal yang menyehatkan apalagi menyejukan hati dan pikiran. Ada satu pepatah latin kuno yang berbunyi ‘Si vis
pacem, para bellum’ yang artinya ‘If
you want peace, prepare for war’ atau ‘jika
anda ingin damai, bersiaplah untuk perang’, tak kecuali bagi negara kita melalui mantan Panglima Republik Indonesia TNI Djoko Santoso, dalam sebuah kesempatan strategis terpaksa mengumandangkannya.
Sederhananya, perang adalah instrumen
vital, strategis dan lekat dengan nilai patriotisme bela negara. [ si vis pacem para bellum ini dikaitkan dengan Flavius Vegetius Renatus, yang menulis "De re militari" (390 B.C.E.) : "Qui desiderat pacem, bellum praeparat; nemo provocare ne offendere audet quem intelliget superiorem esse pugnaturem , dalam bahasa Inggris berarti : "Whosoever desires peace prepares for war; no one provokes, nor dares to
offend, those who they know know to be superior in battle]
Bahkan dalam perkembangannya di era perang moderen dengan instrumentasi elektronik yang memampukan persenjataan-persenjataan menjadi cerdas, perang telah dimungkinkan menjadi intrumen utama yang kadang mengabaikan diplomasi dalam politik internasional, saat diplomasi dianggap tidak manjur. Ya… perang kini telah berubah menjadi alat “diplomasi berdarah atau diplomasi non damai” atau dikenal sebagai “pre-emptive strike” atau sebuah serangan yang terukur pada target-target spesifik dan strategis, dilakukan untuk merespon atau menetralisir ancaman sebelum menjadi kenyataan! Untuk melumpuhkan kapabilitas sebuah negara untuk menjalankan niatnya yang dinilai membahayakan keamanan sebuah kawasan atau sekutu dari negara-negara kuat. Itulah mengapa judul yang saya munculkan berbunyi demikian. Tentu perang bukanlah indikator minimal dalam mengukur derajat damai, sebab pertama-tama tentulah konflik adalah sebuah hal minimal yang mendahului sebuah kondisi menuju (potensi) perang.
Bahkan dalam perkembangannya di era perang moderen dengan instrumentasi elektronik yang memampukan persenjataan-persenjataan menjadi cerdas, perang telah dimungkinkan menjadi intrumen utama yang kadang mengabaikan diplomasi dalam politik internasional, saat diplomasi dianggap tidak manjur. Ya… perang kini telah berubah menjadi alat “diplomasi berdarah atau diplomasi non damai” atau dikenal sebagai “pre-emptive strike” atau sebuah serangan yang terukur pada target-target spesifik dan strategis, dilakukan untuk merespon atau menetralisir ancaman sebelum menjadi kenyataan! Untuk melumpuhkan kapabilitas sebuah negara untuk menjalankan niatnya yang dinilai membahayakan keamanan sebuah kawasan atau sekutu dari negara-negara kuat. Itulah mengapa judul yang saya munculkan berbunyi demikian. Tentu perang bukanlah indikator minimal dalam mengukur derajat damai, sebab pertama-tama tentulah konflik adalah sebuah hal minimal yang mendahului sebuah kondisi menuju (potensi) perang.
***