Oleh: Martin Simamora
“jika
engkau ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri”
Kredit foto: news.uchicago.edu |
Terkadang manusia
membuat pilihan-pilihan yang tak bijaksana, pilihan-pilihan yang tidak
mendatangkan hal-hal signifikan dalam hidupnya, malahan menggiring mereka
kepada tragedi demi tragedi. Tetapi dalam hal itupun mereka tidak tahu apapun,
sebab tak satupun manusia mau menjemput tragedi. Seorang anak pergi bersama dengan temannya,
mengendari sepeda motor dan si anak tidak tahu kalau temannya sedang berada di bawah pengaruh obat-obatan atau alkohol
dan berakhir pada sebuah kecelakaan
tragis, keduanya meniggal dunia. Atau, pada lain peristiwa, seorang anak gadis
memutuskan untuk meminum minuman dengan kadar alkohol ringan-berpikir itu aman
bagi dirinya sebagaimana biasanya-yang mengakibatkan dirinya kehilangan
keawasan secara lambat laun, ia,singkat cerita, hamil dan terkena penyakit
menular seksual. Kita melihat di sini, dari segelintir contoh sederhana ini,
nyata terlihat betapa keputusan-keputusan kecil dapat memberikan
konsekuensi-konsekuensi signifikan. Saya katakan keputusan-keputusan kecil, karena pada umumnya
memang terlihat sama sekali tidak berbahaya. Ya… seperti menyantap
makanan-makanan lezat yang membuat tubuh menjadi kegemukan karena juga tidak
memiliki kebiasaan berolah raga atau pola hidup sehat, kemudian mengalami sakit
jantung. Bagaimana kita dapat melindungi diri kita sendiri dari membuat
pilihan-pilihan salah. Lebih sukar lagi, sebab banyak pilihan-pilihan tersebut
adalah hal sepele dan sama sekali tidak terlihat salah, namun memberikan konsekuensi-konsekuensi
fatal bagi kehidupannya sendiri.
Kita membuat
pilihan-pilihan, kerap, untuk tujuan lebih baik atau untuk mengatasi problem.
Sebuah problem memerlukan keputusan untuk menghasilkan sebuah aksi yang dapat
membebaskan manusia dari problem-problemnya. Dan manusia memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan untuk membuat
keputusan terhadap sebuah masalah. Mari kita melihat kasus ini:
Juga
Lot, yang ikut bersama-sama dengan Abram, mempunyai domba dan lembu dan kemah. Tetapi
negeri
itu tidak cukup luas bagi mereka untuk diam bersama-sama, sebab harta milik
mereka amat banyak, sehingga mereka tidak dapat diam bersama-sama. Karena
itu terjadilah perkelahian antara para gembala Abram dan para gembala Lot.
Waktu itu orang Kanaan dan orang Feris diam di negeri itu. Maka berkatalah
Abram kepada Lot: "Janganlah kiranya ada perkelahian antara aku dan
engkau, dan antara para gembalaku dan para gembalamu, sebab kita ini kerabat. Bukankah
seluruh negeri ini terbuka untuk engkau? Baiklah pisahkan dirimu dari padaku;
jika engkau ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke
kiri."- Kejadian 13:5-9
Mereka sangat kaya
dan teramat kaya, sampai kawasan yang mereka duduki tidak kuasa menampung
kekayaan mereka: negeri itu tidak cukup luas bagi mereka untuk diam bersama-sama, sebab
harta milik mereka amat banyak. Ini telah menjadi problem yang teramat
krusial karena tidak ada lagi ruang netral selain harus mulai saling menggusur
demi sebuah lahan: Karena itu terjadilah perkelahian antara para gembala Abram dan para
gembala Lot. Perkelahian di antara para pegawai keluarga besar pun tak
terhindarkan, dan Abram sebagai orang tua, turun tangan untuk mengatasi problem
yang mulai memecah belah keluarga besar ini. Ia berkata begini: "Janganlah
kiranya ada perkelahian antara aku dan engkau, dan antara para gembalaku dan
para gembalamu, sebab kita ini kerabat. Bukankah seluruh negeri ini
terbuka untuk engkau? Baiklah pisahkan dirimu dari padaku; jika engkau
ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri."
Tetapi kita tahu
bahwa problem ini harus diselesaikan dengan menghentikan kebersamaan
penggembalaan pada kawasan yang sama
menjadi dengan penggembalaan terpisah pada area baru yang berbeda: Bukankah
seluruh negeri ini terbuka untuk engkau? Baiklah pisahkan dirimu dari padaku.
Abram memberikan ruang selebar-lebarnya bagi Lot untuk terlebih dahulu memilih
bagi dirinya sendiri, baru kemudian bagi Abram sendiri: jika engkau ke kiri, maka aku ke
kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri."
Dan inilah pilihan
yang dibuat oleh Lot:
Lalu
Lot melayangkan pandangnya dan
dilihatnyalah, bahwa seluruh Lembah Yordan banyak airnya, seperti taman TUHAN, seperti tanah Mesir,
sampai ke Zoar.- Kejadian 13:10
Sebab itu
Lot memilih baginya seluruh Lembah
Yordan itu, lalu ia berangkat ke sebelah timur dan mereka berpisah.- Kejadian 13:11
Pilihan yang dilakukan oleh Lot, bukan pilihan yang
sembarangan sebab ia terlebih dahulu mengamatinya. Tidak mungkin ada manusia
yang membuat keputusan sepenting ini akan membuat pilihan tanpa pertimbangan.
Lot berusaha membuat pertimbangan sebijak-bijaknya dan baginya yang ia percayai
adalah: Tuhan akan memberkati pilihannya. Alkitab memberitahukan kepada kita
bahwa Lot cukup berhati-hati dalam
menghasilkan keputusan bagi dirinya dan keluarga besar serta kekayaannya: Lot melayangkan pandangnya dan
dilihatnyalah, bahwa seluruh Lembah Yordan banyak airnya, seperti taman TUHAN… Sebab
itu Lot memilih baginya
seluruh Lembah Yordan itu.
Lot sama sekali tidak
melihat bahwa keputusannya akan berakhir pada sebuah konsekuensi yang sangat
fatal. Saya bisa katakana, bahwa keputusan Lot telah dibuat demi kepentingan
terbaik bagi seluruh keluarga besarnya, dan sama sekali tidak mengandung
resiko-resiko signifikan apalagi fatal, kedepannya.
Tetapi Alkitab telah
sejak awal memberikan aspek-aspek yang tak berada dalam jangkauan
pengetahuan yang masuk kedalam
kebijaksanaan Lot dalam keputusannya, yaitu:
Keputusan
Lot
|
Resiko
yang Tak Diketahuinya
|
Lot
memandang ke Sodom- Kej 13:10
|
Adapun
orang Sodom sangat jahat dan berdosa terhadap TUHAN- Kej 13:13
Juga
Lot, anak saudara Abram, beserta harta bendanya, dibawa musuh, lalu mereka
pergi--sebab Lot itu diam di Sodom- Kejadian 14:12
|
Lot
menetap di kota-kota Lembah Yordan dan berkemah di dekat Sodom- Kej 13:12
|
|
Baik Abram dan Lot adalah
keluarga yang sangat terberkati secara lahiriah secara sangat luar biasa:
Adapun Abram sangat
kaya, banyak ternak, perak dan emasnya… Juga Lot, yang ikut
bersama-sama dengan Abram, mempunyai domba dan lembu dan kemah.- Kejadian
13:2,5
namun pada saat yang
bersamaan, problem lahir dari dalam kelimpahan yang luar biasa semacam ini.
Kesejahteraan semacam ini tidak memberikan kebebasan atau kemerdekaan bagi jiwa
manusia untuk merdeka dari problem-problem apapun juga. Tak ada kolerasi yang
bagaimanapun antara kesejahteraan dengan merdeka dari problem: “Tetapi negeri itu tidak cukup luas bagi
mereka untuk diam bersama-sama, sebab harta milik mereka amat banyak, sehingga mereka tidak dapat diam bersama-sama.”
Akhirnya perkelahian yang terjadi sebagaimana telah kita lihat. Ini tak
terbayangkan karena konsep manusia secara umum: uang atau tak berkekurangan
adalah obat ampuh bagi problem ketakbahagiaan manusia.
Dan ketika berpikir
keputusan yang dibuat telah dapat menyelesaikan problem agar keluar dari
masalah besar ini, tidak terjebak ke dalam perang saudara, kita melihat bahwa
keluarga Abram dan Lot malah menghadapi konsekuensi atas keputusan mereka tadi
dalam sebuah cara yang mencengangkan bagi mereka:
“Juga
Lot, anak saudara Abram, beserta harta bendanya, dibawa musuh, lalu mereka pergi--sebab
Lot itu diam di Sodom”
Bagaimana mungkin Lot
bisa memilih Sodom? Bagaimana mungkin, ia tentang negeri yang dipilihnya itu
adalah “seperti Taman TUHAN.” Ini bukan lagi soal bahwa setiap pilihan pasti memiliki resiko dan
tantangannya sehingga membutuhkan komitmen dan dedikasi kerja keras, bukan itu
yang menjadi soal. Lot pasti tahu soal
resiko dan tantangan dalam mengelola kebesarannya dan menghadapi
tantangan untuk mempertahankan kebesarannya, tetapi jelas Lot dan siapapun tak tahu tentang
konsekuensi yang tak tertanggungkan dalam keputusan yang akan diambilnya, yang
lahir dari hikmat Abram ini: “jika
engkau ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri.”
Abram sangat tulus akan hikmatnya tersebut karena ia tidak menghendaki
perkelahian di dalam keluarga besarnya ini: Janganlah
kiranya ada perkelahian antara aku dan engkau, dan antara para gembalaku dan
para gembalamu, sebab kita ini kerabat.
Keputusan Abram
memang dapat membebaskan mereka dari problem internal keluarga besar mereka,
tetapi tidak membebaskan merdeka dari konsekuensi-konsekuensi yang tak
tertanggungkan. Ini lebih dari sekedar dari soal resiko dan tantangan, karena
apa yang tidak dapat ditanggulangi oleh manusia adalah ketakberdayaan manusia
untuk luput dari murka Allah atas dosa yang sedang memerintah atas manusia:
Sesudah
itu berfirmanlah TUHAN:
"Sesungguhnya banyak keluh kesah orang tentang Sodom dan Gomora dan sesungguhnya sangat berat dosanya.-
Kejadian 18:20
Hikmat manusia atas
kekudusan dan kemahatahuan Tuhan itu, sungguh luar biasa tak dapat menjangkau
Tuhan. Kembali Abram berupaya mencegah
konsekuensi-konsekuensi yang tak dikehendakinya, tetapi kali ini ia
memandan Tuhan sebagai sosok yang dapat terjebak dalam konsekuensi-konsekuensi
yang tak tertanggungkan oleh-Nya sendiri. Kalau sebelumnya dengan hikmatnya, ia
bisa meluputkan hubungannya dengan Lot dari perkelahian besar, kini ia berupaya
mengajukan hikmatnya kepada Tuhan agar tidak perlu terjadi sebuah pembinasaan
yang akan melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang bahkan Tuhan sendiri tak akan
sanggup menanggungnya. Mari kita perhatikan:
Abraham datang
mendekat dan berkata: "Apakah
Engkau akan melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik? Bagaimana
sekiranya ada lima puluh orang benar dalam kota itu? Apakah Engkau
akan melenyapkan tempat itu dan tidakkah Engkau mengampuninya karena kelima
puluh orang benar yang ada di dalamnya itu? Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat
demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik,
sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya
yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?"-
Kejadian 18:23-25
Abram jelas seorang
yang adil dalam keputusan-keputusannya,
ia bahkan tidak mempertimbangkan kepentingannya sendiri sebagai yang terutama
bahkan kepada Lot, seperti dari pernyataannya ini kepada Lot: “jika engkau ke
kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri.” Dan kali ini,
Abraham melihat Tuhan sebagai yang tidak adil: “masakan Hakim segenap bumi tidak
menghukum dengan adil?”
Bagi manusia, Tuhan
dan pembinasaan adalah pasangan yang tidak populer. Apa iya semuanya berdosa,
Tuhan? Benarankah semua berdosa sehingga harus dibinasakan? Bagaimana kalau
Tuhan khilaf karena dibakar kemurkaan
dan keegoisan seorang Tuhan? Hei Tuhan… tahan sedikit murkamu itu, segelintir
orang benar tentu bernilai kan? Jangan sampai nanti Tuhan salah, sehingga Tuhan
pun membunuh orang yang benar? Begitulah pemikiran Abraham terhadap Tuhan
sebagaimana ternyatakan dalam argumennya ini di hadapan Tuhan:
"Apakah Engkau akan melenyapkan orang benar
bersama-sama dengan orang fasik? Bagaimana sekiranya ada lima puluh orang benar dalam kota
itu? Apakah Engkau akan melenyapkan
tempat itu dan tidakkah Engkau mengampuninya karena kelima puluh orang
benar yang ada di dalamnya itu? Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian,
membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu
seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari
pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?"
Bagi Abraham, yang
bernilai bukan hanya manusianya tetapi
juga tempatnya. Apakah salahnya Sodom sehingga harus dilenyapkan? Abraham pun
mulai mengajukan kebijakan khasnya yang semacam ini: ““jika engkau ke kiri,
maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri” kepada Tuhan, namun
dalam bahasa kebijaksanaan yang lain:"Apakah
Engkau akan melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik? Bagaimana
sekiranya ada lima puluh orang benar dalam kota itu? Apakah Engkau akan melenyapkan tempat
itu dan tidakkah Engkau mengampuninya karena kelima puluh orang benar
yang ada di dalamnya itu?”
Abraham telah
memandang Tuhan seperti memiliki problem emosional terhadap manusia, sebagai
Tuhan yang terbutakan. Ketika Abraham mengajukan angka 50 orang, itu menunjukan
bahwa Tuhan adalah Tuhan yang emosional dan Tuhan yang tergila-gila dengan
kemurkaan demi kesucian yang membabi buta, sehingga tak berpikir ada lebih dari
10 manusia yang memiliki kebenaran dan tak pantas bagi negeri dan manusianya
untuk dibinasakan dalam murka-Nya di dunia ini.
Abraham tidak
menyadari bahwa Tuhan yang sedang dihadapinya adalah Tuhan yang ketinggian dan
kemuliaannya sungguh tak tercemari dan tak mungkin salah, karena Ia memang
sungguh mahatahu atas jiwa demi jiwa. Tuhan yang dihadapinya, bukanlah Tuhan
yang emosional dan tergila-gila dengan kemurkaannya, bahkan bukankah Ia
menuruti kemauan Abraham:
TUHAN
berfirman: "Jika Kudapati lima
puluh orang benar dalam kota Sodom, Aku
akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka."-
Kejadian 18:26
Menariknya, Tuhan
juga akan mengampuni “tempat” dimana kerabatnya Lot telah memilih Sodom sebagai
tempat dimana ia berdiam berdasarkan hikmat Abraham: “jika engkau ke kiri, maka
aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri,” negeri itu akan diampuni
jika saha ada 50 orang benar. Dan angka 50 itu terus merosot:
-"Sekiranya
empat puluh
didapati di sana?" Firman-Nya: "Aku tidak akan berbuat demikian
karena yang empat puluh itu."- Kejadian 18:29
-Sekiranya
tiga puluh
didapati di sana?" Firman-Nya: "Aku tidak akan berbuat demikian, jika
Kudapati tiga puluh di sana."- Kejadian 18:30
-Sekiranya
dua puluh
didapati di sana?" Firman-Nya: "Aku tidak akan memusnahkannya karena
yang dua puluh itu."- Kejadian 18:31
-Sekiranya
sepuluh
didapati di sana?" Firman-Nya: "Aku tidak akan memusnahkannya karena
yang sepuluh itu."- Kejadian 18:32
Hingga tidak ada
dasar lagi bagi Abraham untuk memaksakan kebijaksanaannya agar Tuhan sebisa
mungkin menahan diri dari kemurkaan-Nya yang membinasakan. Tuhan tidak mungkin
salah dan tidak mungkin turut menghukum orang benar bersama-sama dengan orang
fasik. Ia bukan Tuhan yang gila murka selain Ia Tuhan yang Mahakudus. Ia bahkan
Tuhan yang mau turun dan mau berdialog dengan manusia yang tak memiliki
kemahatahuan dan tak sanggup mengendalikan konsekuensi-konsekuensi tak
tertanggungkan olehnya. Bukankah Ia adalah Tuhan yang senang berdialog dengan
hamba-Nya sementara Ia juga turun untuk membawa murka atas negeri dan manusianya yang berdosa? Coba
perhatikan ini:
Kemudian
TUHAN menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia
duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik. Ketika ia mengangkat mukanya,
ia melihat tiga orang berdiri di depannya. Sesudah dilihatnya mereka, ia
berlari dari pintu kemahnya menyongsong mereka, lalu sujudlah ia sampai ke
tanah,- Kej 18:1-2
Berpikirlah
TUHAN: "Apakah Aku akan menyembunyikan kepada Abraham apa yang hendak
Kulakukan ini? Bukankah sesungguhnya Abraham akan menjadi bangsa yang besar
serta berkuasa, dan oleh dia segala bangsa di atas bumi akan mendapat berkat? Sebab
Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada
keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan
melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa
yang dijanjikan-Nya kepadanya."- Kej 18:17-19
Sesudah
itu berfirmanlah TUHAN: "Sesungguhnya banyak keluh kesah orang tentang
Sodom dan Gomora dan sesungguhnya sangat berat dosanya. Baiklah Aku turun untuk melihat,
apakah benar-benar mereka telah berkelakuan seperti keluh kesah orang yang
telah sampai kepada-Ku atau tidak; Aku hendak mengetahuinya." Lalu
berpalinglah orang-orang itu dari situ dan berjalan ke Sodom, tetapi Abraham
masih tetap berdiri di hadapan TUHAN.- Kejadian 18:20-22
Tuhan yang turun ke
dalam dunia itu, bukanlah Tuhan yang emosional, tempramental dan apalagi sang
murka. Ia bukan Tuhan yang tak tahu membedakan mana yang jahat dan baik dan tak
berkuasa untuk membuat dirinya sama sekali tak berbuat jahat. Ini sangat
berbeda dengan manusia. Manusia memang dapat membedakan mana yang jahat dan
baik, tetapi bukanlah manusia yang berkuasa penuh sehingga dirinya sama sekali
tak punya pemikiran dan keinginan yang jahat atau tak kudus. Inilah manusia
pada puncak konsekuensi-konsekuensi yang tak tertanggungkan, sehingga manusia
dapat memandang Tuhan sebagai Tuhan yang dapat salah dalam kemurkaannya-seolah
ia adalah Tuhan yang kehilangan kewarasannya kalau sedang murka, seperti sangka
Abraham tadi:
“Jauhlah kiranya
dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang
benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah
sama dengan orang fasik!”
Manusia-manusia
secara absolut begitu asing dalam soal-soal penghakiman Tuhan atas dosa.
Sementara manusia bisa menyangka: pasti ada satu atau dua bahkan 50 orang yang
benar-benar tanpa dosa, tetapi Tuhan tahu sejak semula: tidak akan ada. Ini hal
yang sukar bagi manusia untuk dipahami, sampai Abraham sendiri terlibat dalam
sebuah pengujian nilai kebenaran manusia versus ketakbercelaan pengadilan Tuhan
atas manusia.
Tuhan terbukti tak bercela
dalam penghakimannya, dan Abraham secara pahit menerima hasil pengadilan yang diselenggarakannya
sendiri, yaitu; Tuhan divonis bebas tak bercela dan bebas melakukan
penghakimannya karena terbukti sempurna dalam keputusan judisialnya:
Sekiranya
sepuluh didapati di sana?" Firman-Nya: "Aku tidak akan memusnahkannya
karena yang sepuluh itu." Lalu pergilah TUHAN, setelah Ia selesai berfirman kepada Abraham; dan kembalilah
Abraham ke tempat tinggalnya.- Kej 18:32-33
Dan tidak ada lagi
yang dapat diperbuat oleh Abraham, selain harus menerima kebenaran bahwa Tuhan
tak bercela dalam keputusan penghakimannya-bahwa Tuhan tidak mungkin jatuh ke
dalam sebuah konsekuensi fatal sebagaimana ia telah sangkakan dapat terjadi
pada Tuhan:
Jauhlah kiranya
dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang
benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah
sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan
Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?"
Dan
Tuhan mulai melaksanakan penghakimannya tanpa cela
sedikitpun yang telah dibuktikan sendiri oleh Abraham dalam sebuah persidangan
personalnya untuk menguji integeritas ketakbercelaan diri Tuhan:
Kedua malaikat itu tiba di
Sodom pada waktu petang. Lot sedang duduk di pintu
gerbang Sodom dan ketika melihat mereka, bangunlah ia menyongsong mereka, lalu
sujud dengan mukanya sampai ke tanah,… Lalu kedua orang itu berkata kepada Lot:
"Siapakah kaummu yang ada di sini lagi? Menantu atau anakmu laki-laki,
anakmu perempuan, atau siapa saja kaummu di kota ini, bawalah mereka keluar
dari tempat ini, sebab kami akan memusnahkan tempat ini, karena banyak keluh
kesah orang tentang kota ini di hadapan TUHAN; sebab itulah TUHAN mengutus kami untuk
memusnahkannya." Keluarlah Lot, lalu
berbicara dengan kedua bakal menantunya, yang akan kawin dengan kedua anaknya
perempuan, katanya: "Bangunlah, keluarlah dari tempat ini, sebab TUHAN
akan memusnahkan kota ini." Tetapi ia dipandang oleh kedua bakal
menantunya itu sebagai orang yang berolok-olok saja. Ketika fajar telah
menyingsing, kedua malaikat itu mendesak Lot, supaya bersegera, katanya:
"Bangunlah, bawalah isterimu dan kedua anakmu yang ada di sini, supaya engkau jangan mati lenyap karena kedurjanaan kota
ini." Ketika
ia berlambat-lambat, maka tangannya, tangan isteri dan tangan kedua anaknya dipegang oleh
kedua orang itu, sebab TUHAN hendak
mengasihani dia; lalu kedua orang itu
menuntunnya ke luar kota dan melepaskannya di sana. - Kejadian 19:1,12-16
Kesejahteraan atau
kemakmuran atau kehidupan yang harmonis sebagai pengejaran hidup, bukan sama
sekali sebuah obat penawar dosa dan apalagi murka Tuhan. Manusia memiliki
pengejarannya sendiri, memang, berdasarkan pengetahuan dan kebijaksanaannya yang
menuntun keputusan dan pilihan yang dibuatnya. Tetapi dalam semua itu Abraham
belajar dua hal penting:
-bahwa
berkenan kepada Tuhan, seharusnya menjadi pengejaran tertinggi bagi setiap
manusia
-bahwa
manusia memiliki problem mahabesar untuk memiliki standar ketakbercelaan di
hadapan Tuhan. Ia bahkan menemukan dalam pengadilannya atas diri Tuhan, bahwa
manusia itu sungguh celaka karena diri manusia itu sendiri tidak sanggup untuk
memiliki kebenaran sebagaimana yang dikehendaki Tuhan, selain oleh kasih
karunia-Nya.
Abraham tak berdaya
atas konsekuensi-konsekuensi tak tertanggungkan atas keputusan dan pilihan yang
dihasilkannya, oleh karena itu keterluputannya dari murka Allah yang kudus,
tidak datang dari siapa dirinya terhadap Tuhan, tetapi siapa dirinya karena
keputusan yang telah Tuhan buat bagi dirinya: “Berpikirlah TUHAN: "Apakah Aku akan menyembunyikan kepada
Abraham apa yang hendak Kulakukan ini? Bukankah sesungguhnya Abraham akan
menjadi bangsa yang besar serta berkuasa, dan oleh dia segala bangsa di atas
bumi akan mendapat berkat? Sebab Aku
telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang
ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya
TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya."-
Kejadian 18:18-19.
Penting bagi kita
untuk memperhatikan penjelasan rasul Paulus terhadap janji Tuhan ini kepada
Abraham:
Adapun
kepada Abraham diucapkan segala janji itu dan kepada keturunannya. Tidak dikatakan "kepada keturunan-keturunannya"
seolah-olah dimaksud banyak orang, tetapi hanya satu orang: "dan kepada keturunanmu",
yaitu Kristus.-
Galatia 3:16
Jika
sejak semula manusia membutuhkan Tuhan yang mau turun
untuk menyatakan keadilannya kepada manusia yang berdosa dan menyatakan kasih
karunianya kepada setiap orang yang dipilihnya, maka siapapun manusia akan senantiasa membutuhkan Tuhan sebagai
Juruselamatnya. Abraham telah mengalami Tuhan sebagai Juruselamatnya, bahkan
bagi keluarganya dalam Ia melihat Tuhan melaksanakan penghakiman-Nya dalam
keadilan yang tak bercela.
Sang Kristus
menggenapkan hal ini pada dirinya sendiri:
Karena
begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan
Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak
binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke
dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh
Dia. Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak
percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama
Anak Tunggal Allah. Dan inilah hukuman itu: Terang telah
datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada
terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat.- Yohanes 3:16-19
Kehidupan harmoni
tanpa pertikaian, sebagaimana yang dikejar Abraham, bukan sama sekali obat
penawar dosa dan pereda murka Allah sama sekali. Hidup harmoni tetapi
berdampingan dengan dosa, sama saja dengan hidup dalam perseteruan dengan
Allah. Dalam hidup kita sehari-hari, terus terang saja, kita sama sekali tidak
dapat memastikan telah mampu mengindentifikasikan konsekuensi-konsekuensi yang
tak tertanggungkan dalam setiap pilihan yang dibuat berdasarkan kebijaksanaan
terbaik yang dapat kita hasilkan. Bahkan dalam hikmat pengejaran perdamaian
yang tak memikirkan eksklusivitas semacam ini: “jika engkau ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku
ke kiri”, siapapun tidak akan tahu, apakah yang akan dihadapinya dan apakah
ia akan berkuasa untuk menaklukannya secara sempurna tak bercela? Kita tidak bisa memastikan bahwa
kalaupun seorang memegang prinsip: “jika ia berbuat jahat, maka aku tidak akan
menuruti kejahatan yang diperbuatnya berapapun biayanya dan beratnya tantangan
untuk melakukannya”, maka kala aku
berdiri dalam pengadilan-Nya maka aku akan didapati tidak bercela? Pada
dasarnya tidak ada kebenaran-kebenaran yang sporadis dan memiliki nilai yang
bertahan dalam pengadilan-Nya sehingga bebas dari vonis hukuman apapun
berdasarkan nilai kebenaran diri sendiri itu. Rasul Yakobus terkait kebenaran
diri memberikan petunjuk betapa harus tak bercelanya seorang itu jika ingin
mencapai ketakbercelaan ilahi itu:
Sebab
barangsiapa menuruti seluruh hukum itu,
tetapi mengabaikan satu bagian
dari padanya, ia bersalah terhadap
seluruhnya. Sebab Ia yang mengatakan: "Jangan berzinah",
Ia mengatakan juga: "Jangan membunuh". Jadi jika kamu tidak berzinah
tetapi membunuh, maka kamu menjadi pelanggar hukum juga.- Yakobus 2:10-11
Bandingkan dengan ketakbercelaan ilahi yang dikehendaki Yesus
Sang Mesias:
Kamu telah mendengar
firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku
berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta
menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.- Matius 5:27-28
Tidak pernah ada
kebenaran-kebenaran independen dari kekudusan Tuhan sebagai hakim-Nya. Memang
ketika kita mendengar bahwa kebenaran-kebenaran manusia harus dihakimi oleh
satu-satunya hakim berdasarkan kebenaran-Nya sendiri, maka terdengar begitu
kejam dan bengis Tuhan itu. Kita sudah melihat, tadi, bagaimana Abraham
menghakimi Tuhan begitu kerasnya. Bagaimana bisa Tuhan tidak melihat sedikit
saja kebenaran pada diri manusia, sehingga harus menetapkan kebinasaan Sodom.
Dan tahukah anda,
konsekuensi-konsekuensi yang tak tertanggungkan ini, masih menanti manusia
hingga pada kesudahannya:
Lukas
17:20,28-30: Atas pertanyaan orang-orang Farisi, apabila Kerajaan Allah akan datang,
Yesus menjawab, kata-Nya: "Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda
lahiriah,… Demikian juga seperti yang
terjadi di zaman Lot: mereka makan dan
minum, mereka membeli dan menjual, mereka menanam dan membangun. Tetapi pada
hari Lot pergi keluar dari Sodom turunlah hujan api dan hujan belerang dari
langit dan membinasakan mereka semua. Demikianlah halnya kelak pada hari, di
mana Anak Manusia menyatakan diri-Nya.
Ingat baik-baik,
bukan berarti di dunia ini tidak ada kebaikan dan keluhuran budi manusia dalam
pandangan kita sebagai manusia. Bukankah ketika Lot memadang Sodom yang sedang
dimurkai Allah, Lot sendiri berkata begini: “seperti Taman TUHAN.” Sehingga dapat dipahami kalau Abraham sampai
menghakimi Tuhan dengan anda yang sangat keras dan memperingatkan akan Siapakah
Tuhan-agar menjaga baik-baik citranya dari sebuah kesalahan fatal:
“Jauhlah
kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama
dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang
fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi
tidak menghukum dengan adil?"
Kita tidak akan mampu
hidup dalam ketakbercelaan tanpa pertolongan seorang Juruselamat. Kalaupun kita
masih melihat bahwa diri ini memiliki kebenaran pada diri sendiri yang bisa disajikan
dihadapan Tuhan untuk diterima-Nya, itu karena
tidak ada manusia yang dapat menyelami kekudusan dan ketakbercelaan
Tuhan dalam setiap keputusan dan tindakan-Nya.
Bagaimana dengan
anda? Apakah anda berpikir Tuhan kita adalah Tuhan yang bercela dan karenanya
kita memiliki kebenaran-kebenaran yang membuat Tuhan tak berkuasa untuk
menghakimi setiap manusia tanpa menerima dan mengakui bahwa manusia memiliki
kebenaran-kebenaran tersendiri, yang tak dapat dihakimi-Nya?
Keputusan anda
terhadap Tuhan, akan menentukan perjalanan hidup anda dan kesudahan anda. Jika
anda berkeputusan bahwa Tuhan bercela dalam penghakimannya dan anda dapat
menutupi ketaksempurnaan penghakiman Tuhan dalam cara menjadi corpus delicti, ketika Anak Manusia menyatakan dirinya kelak, apakah anda memiliki kebenaran yang dapat membuktikan bahwa Yesus bersalah, sebagaimana Abraham berupaya mencegah Tuhan jatuh kedalam kesalahan faral?
Sudahkah anda membuat keputusan dalam terang Kristus?
Soli Deo Gloria
No comments:
Post a Comment