Oleh:Martin Simamora
[Sang]Keabadian Di Atas Kesudahan Segala Sesuatu Di Jagat
Raya
Untuk segala sesuatu ada waktunya, maksudnya
ada kesudahannya di bawah kolong langit ini. Alkitab sendiri menyatakannya
demikian:
Untuk
segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada
waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada
waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk
membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu
untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu
untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk
membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada
waktu untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk
membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada
waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri,
ada waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada
waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.-Pengkhotbah
3:1-8
Rangkaian
kata-kata di atas hendak menggambarkan tidak ada keabadian dalam dunia manusia,
sekaligus menunjukan bahwa dengan demikian nilai kehidupan manusia tidak
terletak pada manusia dan kehidupannya itu sendiri. Kalau Alkitab menunjukan
aspek kesudahan segala sesuatu dari apapun eksistensi dan karya manusia, maka
Alkitab juga menunjukan dimanakah dan pada siapakah dengan demikian nilai
kehidupan manusia di atas kesudahan segala sesuatu pada eksistensi dirinya.
Pada baris-baris berikutnya saya dan anda akan menemukan ini:
Aku
telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk
melelahkan dirinya. Ia
membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.
Tetapi manusia tidak dapat menyelami
pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.-Pengkhotbah 3:10-11
Manusia,satupun,
tidak ada yang dapat memberikan makna hidup yang mulia oleh dirinya sendiri
sehingga manusia itu mampu melihat nilai dan kemuliaan eksistensi dirinya
melampaui kesudahan segala sesuatunya yang merupakan natur atau hakekat
dirinya, kecuali jika Tuhan itu sendiri melakukannya: Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Jika hakekat manusia
dalam ruang, waktu, dan materi adalah restriksi-restriksi ruang,waktu, materi
(bahwa kehidupaan manusia berlangsung dalam lintasan perjalanan ruang,waktu dan
materi yang tak bisa ia putar ulang, misal manusia itu semakin lama akan
bertambah usianya dan akan semakin menua dan dengan demikian akan mengalami
kemerosotan fisik atau jasmaniah) maka memang itulah sangkar manusia atau
itulah belantara hidup manusia. Lalu, jika demikian dimanakah letak keindahan
hidup manusia? Jawabnya bukan saja dimana tetapi datang dari siapakah: Ia
membuat segala sesuatu indah pada waktuya. Uniknya Tuhan tidak berada dalam kekang-kekang
restriksi-restriksi sebagaimana kita baca di atas, tetapi Ia mengatasinya atau
lebih tepat memerintah diatasnya dalam sebuah cara yang sebetulnya siapapun
sukar untuk meletakannya secara proporsional dalam bilah-bilah persepsi
rasionalitas kemanusiaan kita sebab dikatakan begini: pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir. Tidak
berlebihan untuk saya katakan demikian sebab Pengkhotbah ini pada konteks
restriksi-restriksi secara akrab mendampingkannya dengan: Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Satu-satunya penjelasan yang
dapat kita tarik terkait apakah itu “kekekalan dalam hati mereka” sementara
setiap manusia pasti memiliki kesudahan adalah ini saja: pekerjaan Allah yang
dilakukan Allah dari awal sampai akhir. Sementara setiap manusia tidak kekal
dalam totalitasnya, tetapi setiap manusia dalam
kefanaannya, sejatinya berada dalam genggaman tangan Tuhan dari awal sampai
akhir.
Manusia
tanpa-Nya hanya akan menemukan kebahagiaan dalam durasi-durasi bukan dalam
kekekalan. Sebuah durasi yang sangat singkat:
Aku
tahu bahwa untuk mereka tak ada yang
lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka.
Dan
bahwa setiap orang dapat makan, minum dan
menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian
Allah.-Pengkhotbah 3:12-13
Durasi
manusia memang restriksi yang menggambarkan bahwa kekekalan bersama Tuhan bukan milik dan
bukan natur manusia yang berdosa ini. Ia atau setiap manusia kemuliaan diri
atau martabat dirinya adalah ini: tidak
ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam
kehidupan mereka. Dan setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan
dalam segala jerih payahnya. Anda bisa
melihat bahwa baik anda katanya ber-tuhan atau tidak ber-tuhan;orang beragama
atau tidak beragama dapat meraih ini semua, karena kuncinya di sini adalah mau
berjerih payah-bekerja keras, bukan bermalas-malasan dan sembrono. Bahkan ini
adalah pemberian Tuhan bagi siapapun dan apapun agamanya atau tidak beragamanpun asaly berjerih payah dan artinya tidak
bermalas-malasan dan tidak sembrono; anda tidak perlu menjadi begitu
religiusnya agar teberkati dalam hukum yang tak bekerja secara religius: setiap
orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya.
Manusia
memang perlu menikmati hidupnya secara demikian: untuk
mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati
kesenangan dalam hidup mereka. Mengapa? Karena mengingat realitas
hidup segenap manusia sehari hari adalah ini secara global: Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk
meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada
waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak,
ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada
waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu,
ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk
menahan diri dari memeluk; ada
waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk
menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk
menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada
waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.
Jika
manusia tidak berjumpa dengan Tuhan dan mengenal segenap kebenarannya dan
tinggal didalam-Nya, maka setiap manusia, jiwanya akan terdampar di belantara
restriksi-restriksi di atas. Ia masih dapat menjumpai kebahagiaan-kebahagiaan
dan masih dapat menelurkan pencapaian-pencapaian hidup, tetapi dalam semua itu,
pada setiap buah-buah kehidupan demikian berlangsung dalam restriksi-restriksi
semacam ini: ada waktu untuk menangis,
ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada
waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk
memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada
waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk
membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit.
Tetapi
jikapun manusia berjumpa dengan Tuhan, apakah IA sendiri berkuasa atas
restriksi-restriksi itu sendiri setidaknya pada dirinya sendiri, sebelum
melihat apakah IA sendiri dapat membawa manusia keluar dari memandang diri
untuk mengejar pengejaran-pengejaran dunia sebagai mahkota kebesaran
diri/keluarga/kerajaannya? Yesus Sang Kristus-Sang Firman Yang Menjadi Manusia
yang adalah Allah pernah berkata begini:
Langit
dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu.-Matius 24:35
Ia
boleh tidak ada lagi di bumi ini, tetapi perkataannya tidak mengenal musim atau
masa keberlakuan; sekalipun dalam periodesasi manusia ia berada di era primitif,
tetapi tidak bagi eksistensi dirinya yang secara janggal bagi kita bahkan
eksistensinya ada hingga kini dalam sebuah resonansi atau gema perkataannya
yang tak berkesudahan dalam ruang, waktu dan materi ini bahkan jika apa yang
disebut ruang, waktu dan materi ini akan tiada pada finalnya, Sang Mesias
berkata: perkataan-Ku tidak akan
berlalu!
Manusia,
sampai kapanpun, tanpa Tuhan hanya akan menemukan kemuliaan diri dan kesenangan
hidupnya dalam restriksi-restriksi dan dalam kebahagiaan yang lahir dari kreasi
kebahagiaan yang memang mungkin untuk diciptakan oleh jiwa dan perasaan manusia yaitu: untuk mereka tak ada yang lebih baik
dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka.
Pada titik-titik tertentu pada setiap manusia maka pengejaran-pengejaran hidup
manusia itu akan melintasi batas-batas tanpa titik balik olehnya sendiri yaitu
masuk kedalam kebahagiaan-kebahagiaan yang oleh Yesus Sang Mesias Sang Anak
Allah:
Sebab
sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan
Anak Manusia. Sebab sebagaimana
mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan,
sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera,-Matius 24:37-38
Manusia
dalam segala pencapaiannya akan melakukan apapun juga yang dipandangnya baik
untuk menikmati kebahagiaan semaksimalnya dalam kesementaraan hidupnya. Manusia
mengejar kebahagiaan bagi dirinya sebagai sebuah sentralistik diri yang sanggup
menjadikannya budak-budak perjuangan diri sendiri, menolak untuk membukakan
telinga bagi sabda Allah yang begitu kasih bagi manusia, sejak era Nuh hingga
saat Yesus sendiri hingga kita yang saat ini hidup dibawah pemerintahan
sabda-sabda-Nya (yang dipelihara dan disuarakan oleh Roh Kudus) yang tak akan berlalu walau bumi ini sendiri akan
berlalu-sabdanya berdaulat memerintah melintasi segala zaman,segala peradaban
dan segala dimensi dunia ini.
Pada
akhirnya, di muka bumi ini, Yesus memang menunjukan bahwa kebahagiaan manusia
yang dikehendaki Allah bukanlah ini: untuk
mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan
dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam
segala jerih payahnya,sekalipun ini
adalah pemberian Tuhan sendiri! Tetapi adalah ini:
Setiap
orang yang mendengar perkataan-Ku
ini dan melakukannya, ia sama dengan
orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian
turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah
itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku
ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang
mendirikan rumahnya di atas pasir.-Matius 7:24-26
Dunia
ini memiliki tema besarnya tersendiri: dengarkanlah dirimu –pekalah dengan suara dirimu dan
bahagiakanlah dirimu sebagaimana engkau maui dalam ragam format dan ragam modus
operandinya. Dan memang benar ada banyak terobosan-terobosan kebahagiaan yang
bisa dan memungkinkan untuk dicapai manusia. Uniknya bahkan Sang Mesias
mengakuinya: setiap manusia yang melakukannya pasti akan mampu mendirikan
rumahnya berdasarkan pencapaian yang diusahakan dengan mengapresiasikan
kemuliaan dirinya. Tak bedanya dengan juga dengan orang yang menyentralkan
dirinya pada mendengarkan firman Tuhan yang kekal itu, juga dapat mendirikan
rumah. Inilah pada realitas ini mendengar firman kelihatan semakin tak
menarik-tak ada daya kompetisinya. Sehingga bisa lahir statement: orang tak beragamapun jangan dikira tak
lebih baik sebab ia bisa diberkati Tuhan.
Saya sudah beritahu bahwa Alkitab mengatakan bahwa ya memang benar
karena setiap orang yang bekerja keras, Tuhan akan memberikannya kebahagiaan
secara material. Tantangannya memang segila Nuh dan segila Yesus, apalagi siapa
yang bisa melihat bahwa yang satu di atas batu karang dan yang satu di atas pasir. Apalagi kita bisa berkata mana
ada manusia memilih membangun di atas pasir! Jadi tak semudah kata mewujud material faktanya. Karena itu ini
bukan soal rasionalitas dan kemampuan untuk memilih A atau B secara kognitif
rasionalitas dan filosofis.
Kapankah
itu semua akan diketahui? Jawabnya saat restriksi-restriksi manusia
berlangsung:
Kemudian
turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah
itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.
Sayangnya diluar daya jangkau jiwa manusia untuk mengenalinya,
ada restriksi yang lebih megah dari sekedar menangis atau berduka sebagai
keberakhiran tertawa dan bersukacita yang tak mungkin dipahami manusia:
Bukan
setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada
hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami
bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak
mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan
berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu!
Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"-Matius 7:21-23
Tadi
Yesus telah berkata: Langit dan bumi akan berlalu, tetapi
perkataan-Ku tidak akan berlalu. Ia dan perkataannya adalah batu karang itu.
Maukah anda mendengarkan-Nya?
Anda
mungkin adalah orang yang sangat sukses dan mampu menikmati kebahagiaan atas
jerih payahmu atau kesuksesan strategi bisnismu, itupun adalah pemberian Tuhan.
Tetapi apa yang dikehendaki-Nya bagimu adalah ini: Setiap orang yang mendengar
perkataan-Ku ini dan melakukannya,
ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian
turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah
itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi
setiap orang yang mendengar perkataan-Ku
ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang
mendirikan rumahnya di atas pasir.
Di
atas semua hal mengenai dan mengenal diri sendiri dan membahagiakannya dalam
cara-cara yang bermartabat dan memuliakan hidup dan kemanusiaan sebagai
pemberian Tuhan, camkanlah ini bahwa mengenal diri Tuhan dan menyukakannya
dalam cara-cara mendengarkan dan mentaati firman Tuhan dalam terang Roh Kudus,
ketika anda dan saya melakukannya maka
bukan saja anda berbahagia bagi diri sendiri karena anda dilepaskan dari
restriksi-restriksi dunia ini, lebih dari itu anda dan saya sedang mewartakan
diri Tuhan dan sabda Tuhan yang hidup di dalam dirimu dalam kuat kuasa Roh
Kudus pada keseharian hidup ini yang kaya dengan berbagai tantangan. Itu
sebabnya Kasih setia Bapa dalam Anak-Nya
Yesus Kristus dan kuasa pertolongan Roh Kudus merupakan sumber kekuatan,
ketaatan dan kesetiaan kepada-Nya- Martin Simamora
Amin
Soli Deo Gloria
No comments:
Post a Comment