Oleh: Martin Simamora
Perkataan–Ku
Menghakimimu Di Sini Dan Setelah Ini-4
Bacalah lebih dulu:
“Bagian 7”
Harus diakui,
membuktikan keilahian atau kedivinitasan Yesus dalam kemanusiaannya tidak
menunjukan atau membuktikan bahwa ia adalah sejenis Allah yang lebih rendah
daripada Bapa, tetapi sehakikat dengan Bapa,
bukan sebuah problem yang dapat diselesaikan pada tatar konsepsi atau
formulasi teologis sehingga seketika mendamaikan pikiran. Injil Yohanes,
misalnya tidak memulainya dengan harmonisasi logika tetapi meminta setiap
logika untuk menyembah siapakah Dia sesungguhnya:
Yohanes
1:1 “…Firman itu bersama-sama dengan
Allah dan Firman itu adalah Allah
Kala
ia menjadi manusia (Yohanes 1:14) tidak mudah dan bukan perkara yang gampang
untuk dijelaskan, belaka melalui penjelasan semantik pada bahasa aslinya, sebab
faktanya rasul Yohanes sendiri dalam
menunjukan keilahian atau kedivinitasan Yesus tak melepaskan dari
kemanusiaan Yesus itu sendiri yang tak terpisahkan dari kuasa pemerintahan Bapa
di sorga. Harus dicamkan bahwa tujuannya datang ke dunia dalam rupa manusia agar berjumpa dengan manusia, agar dapat masuk ke
dalam dunia ketakberdayaan manusia terhadap dosa dan apa yang dproduksi dosa
bagi dunia manusia. Ia masuk ke dalam dunia manusia sebagai manusia
Yesus yang berkuasa atas dosa dan tak takluk pada apapun yang
diproduksi dosa bagi dunia manusia.
Itu sebabnya, perlu
berhati-hati dalam berupaya menunjukan kedivinitasan atau keilahian atau
ke-Tuhan-an Yesus, agar jangan sampai memandang hina aspek kemanusiaannya,
menakar kemanusiaan atau daging tubuh Yesus adalah materi yang jahat atau
materi yang takluk pada perbudakan atau perhambaan atau setidaknya belaian
bujuk dosa. Harus diingat, justru melalui kemanusiaannya ia dapat masuk ke
dalam kematian tubuh terhadap pemerintahan maut untuk ditaklukannya. Demikian sebaliknya, jangan perlakukan Yesus sebagai Allah jenis atau kategori lain yang lebih rendah daripada Bapa sehingga Anak menjadi tak sehakikat dengan Bapa atau menjadi tak satu dengan Bapa.
Tidaklah mudah untuk
menemukan semacam keproperan atau kepresesian sebagaimana adanya eksistensi Yesus
itu ada hadir sebagaimana Ia adalah Sang Firman yang menjadi manusia. Kemanusiaan
Yesus yang adalah “Sang Firman menjadi manusia,” itulah yang memisahkan eksistensinya dari semua manusia, sementara ia sendiri manusia berdaging. Itulah yang membuat pemerintahan maut tidak
dapat menaklukannya sama sekali. Itulah yang membuat problem manusia dalam perbudakan maut dan dosa menjadi hanya dapat ditanggulangi Yesus, sekalipun ia juga adalah manusia. Semua hal ini, hanya bisa dijawab dan dipahami ketika kita meletakan kemanusiaan dan kedivinitasan/ke-Allah-annya sebagaimana kehendak
Allah di sorga, yang meletakan segenap
maksud-Nya untuk hanya dapat digenapkan oleh Sang Anak di bumi ini:
┼Dan ketika Ia membawa pula
Anak-Nya yang sulung ke dunia, Ia berkata: "Semua malaikat Allah harus
menyembah Dia."- Ibrani 1:6
┼ “Tetapi justru oleh
korban-korban itu setiap tahun orang diperingatkan akan adanya dosa. Sebab
tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan menghapuskan dosa. Karena
itu ketika Ia masuk ke dunia, Ia berkata: "Korban dan persembahan tidak
Engkau kehendaki--tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagiku--.Kepada korban
bakaran dan korban penghapus dosa Engkau tidak berkenan.”-
Ibrani 10:3-6
Karena itulah, kemuliaan keilahian Yesus tak
terpisahkan pada kemuliaan kemanusiaan
Yesus yang terletak pada tujuan
kemanusiaan Yesus dan kuasanya untuk menggenapinya dalam ia dapat merasakan
kelemahan kemanusiaan segenap manusia. Kemanusiaan yang memiliki tujuan demi
penaklukan kelemahan-kelemahan segenap manusia yang terbudaki oleh kuasa
perhambaan dosa. Sejak semula, hal kemanusiaan Yesus yang sama seperti semua
manusia namun memiliki tujuan penaklukan dosa berdasarkan kuasa pemerintahan
dirinya yang berkuasa untuk menaklukan kegelapan dan kuasa dosa yang
eksis secara eksistensialis pada kedagingannya semua manusia (Ibrani
10:3-6), telah dinyatakan sebagai hal penting
oleh rasul Yohanes sejak semula:
Perhatikanlah ini:
Yohanes
1:4-5 Dalam
Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak
menguasainya.
Sementara kedagingan
semua manusia dunia pada setiap generasi berada dalam dekapan erat kegelapan,
kedagingan Yesus Sang Mesias memproduksi terang manusia yang tak hanya berkuasa
untuk menaklukan kegelapan yang membidik
dirinya tetapi menaklukan pemerintahan kegelapan itu, sehingga tidak berkuasa
atasnya. Inilah yang secara demonstratif ditunjukan oleh Yesus dalam peristiwa
semacam ini:
Kemudian
dibawalah kepada Yesus seorang yang kerasukan setan. Orang itu buta dan bisu,
lalu Yesus menyembuhkannya, sehingga si bisu itu berkata-kata dan melihat. Maka
takjublah sekalian orang banyak itu, katanya: "Ia ini agaknya Anak
Daud." etapi ketika orang Farisi mendengarnya, mereka berkata:
"Dengan Beelzebul, penghulu setan, Ia mengusir setan." Tetapi Yesus
mengetahui pikiran mereka lalu berkata kepada mereka: "Setiap kerajaan
yang terpecah-pecah pasti binasa dan setiap kota atau rumah tangga yang
terpecah-pecah tidak dapat bertahan. Demikianlah
juga kalau Iblis mengusir Iblis, iapun terbagi-bagi dan melawan dirinya
sendiri; bagaimanakah kerajaannya dapat bertahan? Jadi jika Aku mengusir setan dengan kuasa
Beelzebul, dengan kuasa siapakah pengikut-pengikutmu mengusirnya? Sebab itu
merekalah yang akan menjadi hakimmu. Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka
sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.- Matius 12:22-28
Tidak ada kemanusiaan
di dunia ini dan dari dunia ini yang dapat berdiri di hadapan iblis dan
berkuasa untuk mengusir eksistensi kerjanya dalam ragam rupa yang menunjukan
Kerajaan Allah sudah datang. Ini memang begitu tinggi, memandang Yesus secara
demikian, sebab ini menempatkan Yesus bukan saja manusia diatas segala manusia
dan manusia diatas segenap eksistensi pemerintahan iblis, tetapi menunjukan
bahwa Ia adalah pemiliki dan penguasa Kerajaan Allah itu sendiri. Ada sebuah
kesengitan tajam yang lahir dari kemanusiaan Yesus pada siapakah dia: “Maka
takjublah sekalian orang banyak itu, katanya: "Ia ini agaknya Anak
Daud." Tetapi ketika orang Farisi mendengarnya, mereka berkata:
"Dengan Beelzebul, penghulu setan, Ia mengusir setan."
(Matius 12:22-23)
Siapapun
harus memahami bahwa sementara keilahiannya tak mengalami penyusutan yang
bagaimanapun sehingga ia tetap sehakikat pada Bapa seperti rasul Yohanes sendiri nyatakan pada Yohanes 1:18 “Anak
Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa,” atau penulis Surat Ibrani
menunjukan kesehakikatannya dengan Bapa sementara menjadi manusia kala
menyatakan Yesus adalah “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar
wujud Allah”- Ibrani 1:3.
Harus diakui bahwa
kemuliaan sorga tak lagi nampak pada eksternal
atau pada lingkungan sekitar yang meliputi esksistensinya, karena
Ia telah
menjadi manusia [bukan karena ia telah dibaluti daging manusia yang
merupakan materi lemah melawan dosa-sebab
kemanusiaannya bukan yang demikian adanya dan asalnya]. Telah menjadi manusia adalah eksistensi yang datang
dari maksud Allah, bukan datang dari maksud manusia. Karena itulah
untuk mengenali kemanusiaan Yesus, tak bisa dengan segenap refleksi diri
manusia kita, sekalipun Ia telah menjadi manusia. Ini hal yang harus dimengerti
sebagaimana rasul Yohanes menunjukannya:
Yohanes
1:1 Pada mulanya adalah Firman; Firman
itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.
Mengapa kita tidak
boleh memahami Yesus dalam refleksi kemanusiaan kita dan dalam refleksi
pengalaman-pengalaman psikologis atau kemanusiaan kita, sekalipun ia memang
menjadi manusia? Itu karena, sekalipun demikian, Ia berkuasa atas pemerintahan
gelap sebagai yang berkuasa. Jadi ,di sini, kemanusiaan Yesus tidak berasosiasi
dengan dengan pemerintahan dunia ini dalam subordinasi yang bagaimanapun, sebab
pada Yesus yang terjadi adalah ini:
Yohanes
1:5 Terang itu bercahaya di dalam kegelapan
Yesus Sang Mesias
sendiri menunjukan bahwa ia dalam kemanusiaannya memiliki sebuah tujuan yang
integral dengan kemanusiaannya itu sendiri, yaitu tujuan Bapa yang
bersemayam dalam kemanusiaannya. Sebab
untuk itulah ia menjadi manusia dan mengerjakannya di dalam kemanusiaannya.
Perhatikanlah
ini:
Tidak
ada seorangpun yang telah naik ke sorga, selain dari pada Dia yang telah turun
dari sorga, yaitu Anak Manusia. Dan sama seperti Musa meninggikan ular di
padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang
yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal. Karena begitu besar kasih
Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh
hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk
menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barangsiapa
percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah
berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.-
Yohanes 3:13-17
Kemanusiaan atau
kedagingan Yesus itu sendiri tidak pernah membinarkan apapun juga kelemahan manusia-manusia yang
tak kebal dengan pendudukan kuasa kedagingan yang melayani tuannya, iblis. Ini bukan spekulasi yang
sampai memerlukan kajian psikologis atau biologis untuk memahami dan
menjelaskan bahwa mustahil Yesus tak sedikit saja tercemar oleh kecemaran
apapun, setidaknya pada batinnya, hingga bisa dan pasti bisa berdosa. Yesus Sang Mesias sendirilah yang menyatakan
bahwa kemanusiaanya tidak dapat didekati
secara psikologis dan biologis untuk menarik dia sama seperti manusia lainnya
yang terbudaki dan tak berkuasa atas pemerintahan daging dan iblis. Coba kita
memperhatikan sabda Yesus berikut ini:
Dan
inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam
dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab
perbuatan-perbuatan mereka jahat.- Yohanes 13:19
Siapakah Yesus
menurutnya sendiri, dan apakah kuasanya atas dunia dan pemerintahan kegelapan,
itu sekaligus menunjukan bahwa semua manusia terbukti atau berdasarkan
eksistensi kemanusiannya telah dibuktikan merupaka budak-budak iblis!
Pernyataan Yesus
sebagaimana dicatat Yohanes 13:19, itu senilai dengan: “Apakah
sebabnya kamu tidak mengerti bahasa-Ku? Sebab kamu tidak dapat menangkap
firman-Ku. Iblislah yang menjadi bapamu dan
kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia
sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada
kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab
ia adalah pendusta dan bapa segala dusta” (Yoh 8:43-44).
Kemanusiaan Yesus atau eksistensi
kemanusiaan Yesus pada asosiasinya dengan Iblis, adalah satu-satunya yang
membuktikan bahwa manusia berada dalam perhambaan iblis dan hanya Anak Manusia
ini saja yang berkuasa untuk memerdekakan dari perhambaan dosa: “Kata
Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang
yang berbuat dosa, adalah hamba dosa. Dan
hamba tidak tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal dalam rumah. Jadi
apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka (Yohanes
8:34-36)." Yesus menggambarkan dosa pada eksistensinya, tidak berada dalam
problem kejiwaan atau moralitas manusia atau pada manusia itu sendiri, sehingga
“troubleshooting” atau “pemecahan masalahnya” ada pada semacam rekayasa atau
pembangunan moralitas manusia untuk melahirkan semacam keakhlakan yang berkuasa
atau menguasai jiwa, atau melahirkan keakhlakan yang akan menjadi tali kendali
kebuasan jiwa untuk melahap nikmatnya keduniaan. Bukan itu eksistensialisme
keberdosaan manusia itu, bukan! Tetapi pada sebuah pemerintahan dosa atas
manusia. Yesus menunjukan bahwa dosa adalah sebuah pemerintahan atau memiliki
kuasa atas jiwa manusia, jadi bukan pasif atau semata produksi kemanusiaan yang
memilih melawan kebenaran. Bukan itu. Jika itu, maka Yesus tidak akan
menunjukan dirinya adalah satu-satunya yang berkuasa atas sebuah pemerintahan
yang memperhamba manusia, dalam cara semacam ini: “Jadi apabila Anak itu
memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.” Ini, kuasa untuk memerdekakan kamu sehingga
benar-benar merdeka, sangat identik dengan hasil pemerdekaan oleh Yesus atas
pemerintahan iblis semacam ini: “Pada
suatu kali Yesus mengusir dari seorang suatu setan yang membisukan. Ketika
setan itu keluar, orang bisu itu dapat berkata-kata. Maka heranlah orang banyak”
(Lukas 11:14) yang pada peristiwa itu telah dijelaskannya sebagai kerja kuasa
pemerintahan Kerajaan Allah atas kuasa pemerintahan iblis atas segenap manusia:
“Tetapi jika Aku mengusir setan dengan
kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu “
(Lukas 11:20).
Sekarang, Ia yang
sebelumnya berada bersama Allah dan adalah Allah sendiri kini berada
di dalam kegelapan. Apa yang harus menjadi perhatian tajam di sini,
adalah pada bagaimana “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita- Yohanes
1:14 tepat pada “diam di antara kita” yaitu berdiam atau mendiami di dunia.
Berdasarkan perkataan Yesus ini, dunia ini berada dalam pemerintahan kegelapan.
Jika dunia ini berada dalam pemerintahan kegelapan, maka sungguh tidak benar
memahami kemanusiaan Yesus yang datang dari Bapa dan yang menjadi penguasa dan
eksistensi Kerajaan Allah itu sendiri di dunia,dengan menggunakan segenap
refleksi jiwa manusia kita yang hidup di dunia gelap ini untuk menarik Yesus
dalam berbagai eksplanasi-eksplanasi yang akan merasionalkan bahwa sebetulnya
mustahil Yesus itu tak dapat berdosa, sehingga kita menjadi waras atau damai
pikiran kalau mengenali kemanusiaan Yesus.
Pada poin ini, apa yang harus menjadi perhatian tajam, di
sini, adalah: dalam Yesus telah datang ke
dalam dunia ini sehingga masuk ke dalam dunia yang diperintah kegelapan, ia
tidak turut menjadi sama dengan kegelapan itu sendiri, sementara ia sendiri
adalah manusia sama seperti kita. Terhadap ini, rasul Yohanes menunjukan
bagaimanakah kemanusiaan Yesus itu
ketika berada di dalam kegelapan atau tidak lagi berada bersama dengan Allah:
Yohanes
1:5 kegelapan itu
tidak menguasainya
Dalam
Ia Sang Firman telah turun ke dalam dunia menjadi manusia, ia tidak menjadi
taklukan kegelapan; sementara, memang, eksistensi
keberadaannya mengalami perubahan
semacam ini:
dari:
pada mulanya bersama-sama
dengan Allah (Yohanes 1:1)
menjadi:
telah menjadi manusia, dan diam di antara kita (Yohanes 1:14)
memang
sebuah perubahan pada bagaimana kemuliaan Allah yang begitu agung pada Sang
Firman kini berubah menjadi kemuliaan Manusia di dunia yang tidak dapat dikuasainya. Perubahan yang bagaimanakah ini? Apakah
menunjukan sebuah perubahan yang secara permanen menyusutkan ketuhanannya
sehingga lebih rendah daripada Bapa-atau dengan demikian Allah tak pernah sama
dahulu, sekarang dan selama-lamanya? Surat Ibrani memberikan jawaban bagi
orang-orang Yahudi pengikut Kristus di perantauan, seperti ini:
Namun
Engkau telah membuatnya untuk waktu yang
singkat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat,
dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat, (Ibrani 2:7)
Tetapi
Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari
pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus, kita lihat, yang oleh karena penderitaan
maut, dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat, supaya oleh kasih karunia Allah
Ia mengalami maut bagi semua manusia. (Ibrani 2:9)
Yesus
Sang Mesias pun secara frontal menyatakan kesetaraannya dengan Bapa, sementara
ia adalah manusia seperti kita- tetapi hanya dialah Anak Manusia yang dapat
berkata begini:
Aku
dan Bapa adalah satu." Sekali lagi
orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. (Yohanes 10:30-31)
Pernyataan Aku dan
Bapa adalah satu, adalah ungkapan yang menunjukan sebuah keilahian yang
sehakikat atau tidak lebih rendah dan tidak lebih tinggi daripada Bapa sendiri,
sementara Ia telah dibuat lebih rendah hingga sama seperti manusia, untuk
beberapa saat lamanya!
Perhatikanlah ini:
Kata
Yesus kepada mereka: "Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang
Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu
mau melempari Aku?" Jawab orang-orang Yahudi itu: "Bukan karena suatu
pekerjaan baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau
menghujat Allah dan karena
Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah."
(Yohanes 10:32-33)
Ini kebingungan alami
dan dipahami oleh Sang Mesias. Ia tidak membela diri secara konspesional atau
kesemantikan “manusia” pada “sekalipun hanya manusia saja”, atau kesemantikan “Allah”
pada “menyamakan diri-Mu dengan Allah.” Ia tidak berapologetika secara linguistik
dan apapun juga, tetapi ia menarik
segenap mata dan perhatian untuk melihat apakah yang dapat diperbuatnya itu memang
menunjukan bahwa Ia memang adalah sebagaimana Ia berujar: “Aku dan Bapa adalah
satu” sehingga membuktikan bahwa Ia tak menghujat Allah sekalipun sabda atau
perkataannya memang menunjukan bahwa Ia menyamakan dirinya dengan Allah. Coba
perhatikan penjelasan Yesus yang ini:
Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku,
janganlah percaya kepada-Ku, tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau
percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh
mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa."
(Yohanes 10:37-38)
Yesus
sedang menyatakan bahwa sekalipun ia adalah memang manusia tetapi Ia melakukan
pekerjaan-pekerjaan Bapa di sorga. Bisakah anda membayangkan manusia
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang hanya Bapa yang berkuasa melakukannya atau
ia haruslah sehakikat dengan Bapa itu sendiri dan satu dengan Bapa! Bukankah
itu yang disaksikan Yesus tentang
dirinya dan kuasanya sekalipun manusia tetapi berkuasa melakukan apapun yang
dikerjakan Bapa:
Maka
Yesus menjawab mereka, kata-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Anak
tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat
Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang
dikerjakan Anak. Sebab Bapa mengasihi Anak dan Ia menunjukkan kepada-Nya
segala sesuatu yang dikerjakan-Nya sendiri, bahkan Ia akan menunjukkan kepada-Nya
pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar lagi dari pada pekerjaan-pekerjaan itu,
sehingga kamu menjadi heran. (Yohanes
5:19-20)
Sekalipun Ia adalah
manusia tetapi Ia mengerjakan apapun yang hanya dilakukan oleh Bapa, sehingga
kamu heran. Itulah seharusnya yang dipandang pada kemanusiaan Yesus!
Ini menunjukan bahwa
Yesus adalah theos yang tidak
lebih rendah daripada Allah, atau kurios yang hanya semulia kemuliaan semantika atau sebagaimana kurios-kurios hebat pada para raja
dan penguasa dunia ini, tetapi untuk menunjukan apakah yang menjadi tujuan
Yesus tinggal diantara manusia yaitu sebagai terang untuk menerangi manusia
yang berada dalam cengkraman kuasa maut yang bertakhta di dunia ini. Lihat,
tujuan ini merupakan pesan penting segera yang diungkapkan rasul Yohanes:
Yohanes
1;9 Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang
ke dalam
dunia.
Mengapa Yesus sendiri
tak menyibukan dirinya dengan meneriak-neriakan ketuhanannya sementara ia menjadi manusia? Mengapa ia tak
mati-matian memperjuangkan harkat martabatnya dari kemanusiaannya sendiri yang
memang menjadi gerbang emas bagi manusia untuk mengalami kebingungan akan
siapakah Yesus? Jawabnya hanya satu, yaitu: begitu berkait erat dengan apakah
tujuan kedatangannya ke dalam dunia ini bagi manusia, yaitu: “menerangi
setiap orang di dalam dunia ini.” Ini hanya dapat terjadi jika ia telah
menjadi manusia (Yohanes 1:14, bandingkan dengan Ibrani 2:14-15)
Ia bukan terang
manusia yang menerangi kegelapan moralitas,
sementara memang moralitas manusia mengalami kemerosotan, juga bukan menerangi
kegelapan hati, pikiran dan perilaku manusia yang beroperasi dalam jubah dan topeng kemilau moralitas dan
manisnya kata-kata bijak yang sedang merayu nurani manusia untuk menjadikan
dirinya tuhan bagi dirinya sendiri dan atas manusia-manusia lainnya. Tetapi
ia adalah terang manusia yang adalah Sang Firman menjadi manusia pemilik Terang yang menerangi fakta ini:
“dunia tidak mengenal Allah!”
Allah
yang mana? Jelas Allah yang dinyatakan oleh Yesus (Yohanes
1:18) yang pada faktanya tidak diinginkan jiwa manusia ( Yohanes 3:19: Terang
telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada
terang). Jadi ini adalah “tidak mengenal Allah” sebagaimana sabda
Yesus, bukan sebagaimana apa yang dikenal sebagai theologi dalam agama Kristen!
Ini, dengan demikian,
menjadi problem serius bagi manusia dan sebuah produksi kuasa kegelapan yang
bertakhta di dunia ini. Perihal “dunia”
tidak
mengenal Allah dibuktikan melalui kedatangan Sang Firman menjadi manusia:
Yohanes
1:10 Ia telah ada di dalam dunia
dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi
dunia tidak mengenal-Nya.
Soal
dunia ini tidak mengenalnya bukan karena
ada yang memiliki kitab
suci dan yang lainnya tidak mengenal kitab suci tertentu. Soal ini bukan
berakar dari soal semacam itu, sebab yang
memiliki kitab suci pun telah dinyatakan tidak mengenal Allah:
Yohanes
1:11 Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya,
tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu
tidak menerima-Nya.
Yohanes
5:39-40 Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa
oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu
memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk
memperoleh hidup itu.
Yohanes pasal 1
adalah bagian yang sedang menunjukan realitas global dunia, sebuah tindakan dan
ketetapan Allah bagi segenap kosmos ini:
Ia meninggalkan
Nazaret dan diam di Kapernaum, di tepi danau, di daerah
Zebulon dan Naftali, supaya genaplah
firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya: Tanah Zebulon dan
tanah Naftali, jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, Galilea, wilayah
bangsa-bangsa lain, --bangsa yang diam dalam kegelapan,
telah
melihat Terang yang besar dan bagi mereka
yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah
terbit Terang." Sejak waktu
itulah Yesus memberitakan: "Bertobatlah, sebab Kerajaan
Sorga sudah dekat!"- Matius
4:13-17
Siapakah Yesus? Ia
adalah “Terang yang besar”; Ia adalah terang yang terbit di negeri yang
dinaungi maut! Sekarang perhatikan bahwa seruan “bertobatlah” bagi
bukan saja Yahudi tetapi bangsa-bangsa lain tidak pernah dalam definisi
pertobatan yang mengakibatkan perubahan
moral, karakter dan perilaku sebagai pertama-tama yang berkuasa atas
pemerintahan maut, tetapi seruan “bertobatlah”
itu adalah kerasionalan yang terasosiasi atau terhubungkan dengan “Terang besar
yang terbit terhadap negeria yang dinaungi maut.” Artinya Yesus adalah Dia yang
berkuasa atas pemerintahan maut dan yang berkuasa untuk menyerukan panggilan
pertobatan yang melahirkan pembebasan manusia itu dari pernaungan dan
pemerintahan maut. Inilah yang menyebabkan Yesus, kemudian, berkata:
“Kata
Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat
dosa, adalah hamba dosa. Dan
hamba tidak tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal dalam rumah. Jadi
apabila
Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka."-
Yohanes 8:34-36
Yang
menunjukan seruan pertobatan Yesus adalah seruan yang berjangkar pada
Ialah terang besar yang bersinar di
negeri yang dinaungi maut. Ada hal yang begitu krusial antara bertobat dengan
realitas manusia dalam naungan maut. Bahwa jelas terlihat kehidupan manusia
dalam pernaungan maut telah mengakibatkan manusia:
-diperbudak maut, dan manusia tidak
berdaya membebaskan diri sendiri.
-perbudakan demikian, telah menyebabkan
manusia harus bertobat
-pertobatan dengan demikian tak terpisahkan
pada realitas apa yang dapat dilakukan Anak Manusia dan apa yang tak dapat
dilakukan oleh manusia terkait dengan pernaungan maut atas dunia ini.
Pertobatan bukan
sekedar berubah dari budak kejahatan menjadi budak kebaikan atau moralitas,
tetapi berkait dengan dari hidup dalam perbudakan maut menjadi hidup menjadi
anak-anak Allah yang dihasilkan oleh kehendak Allah. Perhatikan penjelasan
rasul Yohanes:
Yohanes
1:12-13 Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu
mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang
yang diperanakkan bukan dari darah
atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari
Allah.
Itu
sebabnya penanggulangan problem “dunia
tidak mengenal Allah” dalam cara sedemikian telah membingungkan seorang
Guru Kitab Suci Yahudi : Nikodemus:
Yohanes
3:2-7 Ia datang pada waktu malam kepada Yesus dan berkata: "Rabi, kami
tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah; sebab tidak ada
seorangpun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu, jika Allah
tidak menyertainya." Yesus menjawab, kata-Nya: "Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan
Allah." Kata Nikodemus kepada-Nya: "Bagaimanakah mungkin seorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah
ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?" Jawab Yesus:
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak
dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari
daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh. Janganlah
engkau heran, karena Aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan
kembali.
Sebagai
manusia, Yesus telah membicarakan bagaimana seorang dapat mengenal Allah atau melihat
Kerajaan Allah yang adalah Ia Sang Mesias itu sendiri (Yohanes 1:23
dan Matius 3:1-3) dalam bahasa manusia yaitu “dilahirkan” dan “apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa
yang dilahirkan dari Roh, adalah roh.” Dan saat Ia berkata demikian,
Yesus sendiri adalah manusia yang tidak dilahirkan dari keinginan daging, sementara
ia memang adalah daging atau manusia,
sebagaimana kita. Ia sendiri bukan hidup berdasarkan keinginan dagingnya
sendiri. Itu sebabnya salah satu kekhasan manusia Yesus ada pada perkataannya
yang semacam ini, baik kala ia mengajarkan orang lain dan juga pada dirinya sendiri sendiri,:
Matius
6:10 datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga
Lukas
22:42 Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku,
melainkan kehendak-Mulah
yang terjadi.
Ia menjadi manusia
memiliki sebuah tujuan utama agar ”dunia dapat mengenal Allah yang mengutus-Nya
ke dalam dunia ini” dalam sebuah cara yang penggenapannya hanya bisa terjadi, jika ia menjadi manusia.
Bukan sebuah sandiwara kala
dikatakan Yesus adalah manusia yang tak dapat berdosa, sebab
kehakikatannya adalah “ Ia di pangkuan
Bapa adalah yang menyatakan Bapa yang tak dapat dilihat” Yohanes 1:18,
sementara ia di dunia ini.
Ia dalam kemanusiaan
dikatakan tidak dapat dikonsepsikan secara piskologis dan biologis sebagai yang dapat atau dimungkinkan
ditaklukan kuasa kegelapan dunia ini karena manusia Yesus adalah “Terang
bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya”
(Yohanes 1:5). Eksistensi manusia Yesus yang semacam Yohanes 1:5, melampaui
kemampuan manusia mendefinisikan pada jiwa dan perilakunya apakah
kekudusan atau kesucian yang semata moralitas, bukan moralitas yang sama sekali perlu ditautkan
pada kudusnya Allah. Eksistensi manusia Yesus yang demikian, dengan demikian,
menunjukan apakah peran, tujuan, dan kuasa yang terkandung dalam kemanusiaannya
memang bukan untuk mengalami
pembelengguan dosa sebagaimana manusia.
Eksistensi
kemanusiaan Yesus, dengan demikian, tak terpisahkan dengan apa yang ditetapkan Allah
harus digenapi dalam Sang Firman menjadi manusia, harus
terjadi:
Sekarang
jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari
saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini.- Yohanes 12:27
Sesudah
itu Ia datang kepada murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Tidurlah
sekarang dan istirahatlah. Lihat, saatnya sudah tiba, bahwa
Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa.- Matius 26:45
Atau
kausangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera
mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku? Jika
begitu, bagaimanakah akan digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci, yang
mengatakan, bahwa harus terjadi demikian?"- Matius 26:53-54
Sehingga untuk itulah:
“Engkau
telah menyiapkan tubuh bagi-Ku”-Ibrani 10:5. Apa yang terlihat dengan demikian adalah kelemahan-kelemahan manusiawi yang
kemanusiawiaannya dikuasai oleh kehendak Allah, sebab kemanusiaan
Yesus dilahirkan oleh kehendak Allah, bukan kehendak daging.
Kita, dengan demikian, dapat melihat sebuah pergumulan dahsyat dan actual,
menjelang ia meminum cawan yang hanya dirinyalah mampu meminumnya sebagaimana
kehendak Bapa: “Jikalau Engkau mau, ambilah cawan ini
daripadaku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang
jadi.” Apa yang terlihat di situ? Ini bukan sekedar bahwa Yesus sedang bergumul
pada kehendaknya agar sebagaimana kehendak Bapa, tetapi bahwa hanya dia yang
telah dipersiapkan Bapa sebagai satu-satunya yang berkuasa dalam kematian
melahirkan kehidupan. Bandingkan dengan:
“Tetapi
Yesus menjawab mereka, kata-Nya: "Telah tiba saatnya Anak
Manusia dimuliakan. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh
ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan
menghasilkan banyak buah.”- Yohanes 12:23-24
“Sekarang
jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari
saat ini? Tidak, sebab untuk
itulah Aku datang ke dalam saat ini.”- Yohanes 12:27
Karena Yesus memang
benar-benar manusia, sebagai akibat dibuat rendah oleh Bapa untuk beberapa
saat, maka ia memang memiliki
kelemahan-kelemahan otentik yang menghasilkan kelemahan bernada “ambilah cawan ini daripadaku” yang
membuktikan bahwa ia memang benar-benar daging dengan indera-indera yang
sempurna takut akan maut sebagaimana pada manusia. Tetapi karena kemanusiaannya
adalah AKIBAT TINDAKAN BAPA MERENDAHKAN UNTUK SEBUAH TUJUAN : “Sesungguhnya
jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji
saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah,” maka di sinilah
titik ketakmungkinan bagi Yesus untuk dapat dikatakan dapat berbuat dosa dalam
derajat yang bagaimanapun. Nada “ambilah cawan ini daripadaku” secara sempurna
menunjukan bahwa ia adalah Anak Manusia yang sempurna dan utuh yang berada
dalam persekutuan dengan Bapa menjelang ia harus masuk ke dalam kerajaan maut,
untuk menggenapi sabdanya sendiri: tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan
banyak buah.
Kala ia berkata: “tetapi
bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-mulah yang jadi,” ini semata
menunjukan bahwa sekalipun ia manusia dengan kemanusiawiannya yang lemah dan
berat dalam menanggung perjalanan menuju maut atau meminum cawan murka Allah
atas dosa, ia melakukannya sebagai yang berada di
atas pangkuan Bapa (Yohanes 1:18), bukan di atas pangkuan iblis,
sama sekali. Karena ia telah menjadi
manusia, maka kita melihat ciri otentik ketakberdayaan manusia atas maut tetapi
sekaligus didalam kemanusiaan yang demikianlah, sempurnalah penaklukan dan
penebusan yang dilakukan oleh Yesus dalam ketaatannya sampai mati sebagai dia yang
sejak semula duduk di sebelah kanan Allah:
katanya:
"Jikalau Engkau adalah Mesias, katakanlah kepada kami." Jawab Yesus:
"Sekalipun Aku mengatakannya kepada kamu, namun kamu tidak akan percaya; dan
sekalipun Aku bertanya sesuatu kepada kamu, namun kamu tidak akan menjawab. Mulai sekarang
Anak Manusia sudah duduk di sebelah kanan
Allah Yang Mahakuasa."
Kata
mereka semua: "Kalau begitu, Engkau ini Anak Allah?" Jawab Yesus:
"Kamu sendiri mengatakan, bahwa Akulah Anak Allah." Lalu
kata mereka: "Untuk apa kita perlu kesaksian lagi? Kita ini telah
mendengarnya dari mulut-Nya sendiri." - Lukas 22:67-71
Jadi, bagaimana
seharusnya memahami kemanusiaan Yesus pada “Jikalau
Engkau mau, ambilah cawan ini daripadaku?” Itu menunjukan bahwa
Ia benar-benar manusia, adakah manusia yang girang menghadapi maut? Tidak ada. Tetapi
pada saat yang sama, tidak bisa didefinisikan bahwa dengan demikian Yesus dapat
berdosa dan bisa sekali berdosa, sebab sejak semula ia telah berkata “Aku dan
Bapa adalah satu” dan lebih kuat lagi, ia bersabda kepada sidang para tua-tua bangsa Yahudi dan imam-imam kepala dan ahli-ahli
Taurat (Lukas 22:66) bahwa ia sebelum masuk ke dalam maut Ia TELAH duduk di
sebelah kanan Allah Yang Mahakuasa. Ini menunjukan bahwa 2 hal sekaligus dinyatakan di taman
Getsemani: ia adalah benar-benar manusia dan ia benar duduk di sebelah kanan
Allah Yang Mahakuasa: sehingga ia berkata: “Jikalau
Engkau mau, ambilah cawan ini daripadaku; tetapi bukanlah kehendak-Ku,
melainkan kehendak-Mulah yang jadi.”
Dan bukti yang menutup spekulasi di taman Getsemani ia dapat berdosa atau dalam
kesurutan kekudusan untuk sesaat pada pergumulan batin, adalah bukti yang
ditunjukannya dan yang menunjukan ketakbercelaan dirinya di dunia di hadapan
manusia dan di hadapan Allah, yaitu sabdanya yang berbunyi: Mulai sekarang
Anak Manusia sudah duduk di sebelah kanan
Allah Yang Mahakuasa.
Itu sebabnya Surat
Ibrani menjelaskan Yesus dalam eksistensi sekaligus manusia dan sekaligus Allah
yang berkuasa membebaskan manusia dari pemerintahan maut:
Ibrani
2:15 Tetapi Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari
pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus, kita lihat,
yang oleh karena penderitaan maut,
dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat, supaya oleh kasih karunia Allah Ia mengalami maut bagi semua manusia.
Semua hal yang
membuat kita berpikir ia dapat berdosa dan memiliki
potensi gagal untuk mentaati dan menuntaskan misi Bapa-Nya, harus ditautkan tanpa terputus
dengan Ia tetap satu dengan Bapa namun telah dihadirkan-Nya di dunia ini :untuk
waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah, sehingga dapat TERLIHAT
NYATA mengalami penderitaan maut dan mengalami maut beserta dinamika yang
berada di sekitar momen-momen tersebut.
Itu juga sebabya,
tadi, kita juga melihat banyak orang sekitar Yesus, yang mempertanyakannya dalam Ia
sebagai manusia, tetapi bagaimana mungkin ia melakukan pekerjaan-pekerjaan itu
atau pekerjaan Bapa, atau dengan kuasa manakah ia melakukan itu, atau dengan
kuasa apakah ia melakukannya.
Mengenal Yesus,dengan
demikian, memang benar seperti kata Yesus: “bukan
karena keinginan atau usaha daging, tetapi karena dilahirkan Allah”
mengingat manusia berada di dalam kuasa kegelapan.
Bersambung ke bagian 9
Segala
Kemuliaan Hanya Bagi Allah
No comments:
Post a Comment