F O K U S

Nabi Daud Tentang Siapakah Kristus

Ia Adalah Seorang Nabi Dan Ia Telah   Melihat Ke Depan Dan Telah Berbicara Tentang Kebangkitan Mesias Oleh: Blogger Martin Simamora ...

0 Hatimu Duniamu Sehari-Hari:

Martin Simamora

Ketika Mencintai Tuhan Bukan Roman Picisan


Kalau anda jatuh cinta bisa jadi akan terucap untaian kata semacam ini “hatiku berdegup kencang  kala di dekatmu” atau “hatiku sangat berbahagia memilikimu”, “tanpamu hati ini akan mati rasa”, “tidak ada yang lebih membahagiakan hati ini selain bila memilikimu.” Sebaliknya jikalau seseorang mengalami kehilangan yang mendalam seorang yang dikasihinya akan  tersiar dari hati ini untaian kata “mengapa engkau meninggalkanku begitu cepat, hatiku hancur tak tahu bagaimana lagi harus kujalani hidup ini” atau “hatiku hancur melihatmu pergi meninggalkan cinta yang sekian lama telah kita rajut” atau “hatiku tertutup buat siapapun juga, karena engkaulah kehidupan jiwaku sekarang dan selamanya” dan seterusnya. Hati kita itu seperti sebuah buku jiwa yang terbuka dan tak terdustai akan menunjukan emosi atau jiwa kita. Apakah seseorang  jatuh cinta, membenci, marah, kesal, bersemangat akan terucapkan oleh jiwanya dalam kata, ekspresi muka dan tubuh atau dalam tulisan. Bagaimanapun seseorang menutupinya, jiwa atau hatinya akan semakin terluka, atau hatinya akan begitu membara dalam sukacita sekalipun ia berusaha meredamnya. Ketika anda benar-benar jatuh cinta, anda akan sangat rapuh untuk terluka dan akan sangat kuat untuk mencintai dengan segenap jiwa, kekuatan dan pikiran. Inilah manusia sesungguhnya sebagai makhluk-makhluk yang begitu sensitif terhadap rasa mencintai-dicintai; membenci-dicintai; setia-khianat; tulus-bersiasat dan seterusnya. Karena itulah kita bisa juga menikmati lagu-lagu  cinta dengan syair-syair yang cukup kuat seperti pada lagu: “Bunga Terakhir”, “Selamat Jalan Kekasih”, “Angin Mamiri”, “Greatest Love Of All”, “Endless Love”, “Someone Like You”- Adelle,” Vanilla Twilight-Owl City. Bahkan  ketika anda mencintai Tuhan akan terucap untaian kata dalam melodi, semacam ini dalam lagu “My Everything” yang diciptakan dan dilantukan oleh Owl City:

1 “BHANAWA SEKAR” MPU TANAKUNG:


PUSPANJALI BAHTERA SERIBU BUNGA
SEBAGAI SRADDHA KEBANGSAAN*)


Oleh: Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A.



“Nimitangsu yan layat anigal sang ahayu nguni ring tilam, datan lali si langening sayana, saka ring harepku laliya anggurit lango”.

Artinya:Aku meninggalkan Jelitaku dahulu di peraduan,bukan karena aku lupa indahnya peraduan asmara,namun karena hasratku yang tak tertahankan untuk melukiskan keindahan tanah air” (Mpu Tanakung, Kakawin Wrettasancaya).

 
Candi Brahu, zaman Majapahit- nationalgeographic.co.id

I.      PRAWACANA

Mpu Tanakung adalah seorang pujangga yang sangat produktif yang hidup pada masa akhir Majapahit. Salah satu dari tujuh kakawin lirisnya, Siwaratrikapla(Malam Sang Hyang Siwa) sangat terkenal di Bali, dan dilestarikan dalam bentuk ritual yang indah hingga sekarang. Selain itu, Mpu Tanakung juga menulis Banawa Sekar(BahteraBunga) yang digubahnya dalam rangka upacara sraddha (pemujaan leluhur) dan dipersembahkan kepada Jiwanendradwipa (Sang Maharaja Jiwana).Sanjak liris ini mencatat persembahan-persembahan bunga yang dihaturkan oleh pelbagai raja bawahan (kepala daerah) Majapahit, antara lain: Natharata ring Mataram, Sang Narpati Pamotan, Sri Parameswara ring Lasem, Nataratha ring Kahuripan, dan Sri Natheng Kertabhumi. Kerthabhumi, tidak lama sesudah kakawin ini ditulis, akhirnya berhasil dinobatkan sebagai raja Majapahit terakhir, menggantikan Sri Singawardhana,keponakannya sendiri,yang wafat di istana. Sebelum itu, kepada raja sebelumnya, yaitu Prabu Singawikramawardhana atau Sri Adhisuraprabawa, yang dalam Serat Pararaton disebut sebagai Bhre Pandan Salas III, kepadanya dipersembahkan ketujuh prosa liris karya Mpu Tanakung.[1]

Sebagai sebuah “karya keindahan”(sukarya), Bhanawa Sekar“ winangun Sri Jiwanendradhipa, tanlyansraddhabatharamokta…” (digubah  untukSriJiwanendradwipa, yang tidak lain berupasraddha untuk mengenang bapa bangsayang sudah kembali kepada alam keilahian).[2] Siapakah sebenarnya Sri Jiwanendradwipa?Jiwanendradipa adalah Prabu Raja sawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara(1451-1453). Banawa Sekar atau Bahtera Aneka Bunga karya Mpu Tanakung ini ditulis pada masa Singa wikramawardhana atau Bhre Pandan Salas III, melambangkan “perahu kebangsaan” yang dipersembahkan oleh para putra Sang Sinagara,antara lain Bhre Kertabhumi,Bhre Pamotan,Bhre Mataram,Bhre Kahuripan dan Bhre Lasem. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raja Singawikramawardhana yang senantiasa dicintai rakyatnya, tidak lain Sri Adi Suraprabhawa, Raja keturunan Girindra” (Sang Panikelan tanah anulusa katwang ing praja, tan lyan Sri Adi Suraprabawa sira bhupati saphala Girindrawangsaya).[3]
Anchor of Life Fellowship , Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri - Efesus 2:8-9