Oleh: Martin Simamora
Meninjau
Ajaran "Yesus dapat Berdosa Namun Memilih Tidak Melakukannya"
sebagaimana Diajarkan Pdt. Erastus
Sabdono
serial
menyambut
Natal: Yesus dan relasi
kematiannya di kayu salib: Bukan karena Ia telah menjadi manusia berdosa
sehingga mengalami maut, dan karena melepaskan haknya sebagai Anak Allah
Bacalah lebih
dulu “bagian sebelumnya”
Karena itulah,
sorotan terkuat dan paling penting terkait relasi Yesus terhadap kematiannya di
kayu salib adalah “siapakah” ia menurut Bapa-Nya, bukan menurut pandangan yang bersifat multipaham pada masyarakat umum
di eranya. Hal ini jelas terlihat pada sejumlah momentum penting seperti:
Markus
8:27-30 Kemudian Yesus beserta murid-murid-Nya berangkat ke kampung-kampung di
sekitar Kaisarea Filipi. Di tengah jalan Ia bertanya kepada murid-murid-Nya,
kata-Nya: "Kata orang, siapakah Aku ini?" Jawab mereka: "Ada
yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan:
Elia, ada pula yang mengatakan: seorang dari para nabi." Ia
bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka
jawab Petrus: "Engkau adalah
Mesias!" Lalu Yesus melarang
mereka dengan keras supaya jangan memberitahukan kepada siapapun tentang Dia.
Tentang siapakah ia
menurut banyak orang, akan sangat beragam dan akan sangat relatif, tidak ada
kepastian dan tak mungkin menjadi kebenaran definitif. Tetapi Yesus menegaskan
bahwa apapun dan bagaimanapun pandangan yang mencuat di kalangan masyarakat
mengenai dirinya, ia adalah bukan
“ada yang mengatakan”, tetapi ia adalah
sebagaimana ia menyatakannya, dan itu adalah kebenaran tunggal. Pada injil
Markus, kita melihat beragamnya pandangan orang yang sangat mungkin lahir dari
pengalaman dan persepsi selama mendengar perkataan dan melihat berbagai
perbuatan Yesus, tetapi hanya ada satu kebenaran yang berdiri di atas diri
Yesus sendiri yaitu :”Engkau adalah Mesias! Sementara memang Petrus yang
mengatakannya, tetapi validasinya bukan dari Petrus itu sendiri tetapi dari-Nya
dengan memberikan respon “melarang dengan keras supaya jangan
memberitahukan kepada siapapun tentang Dia.” Di sini substansinya bukan pada “melarang dengan
keras” terkait siapakah dia sebenarnya sementara beragamnya pandangan tentang
dirinya, tetapi betapa kebenaran tentang siapakah dirinya hanya bersumber dari
dirinya Sang Kristus itu sendiri. Pada Yesus, terhadap murid-muridnya, Ia
senantiasa menunjukan bahwa kebenaran sebuah kebenaran terletak
atau ditegakan di atas dirinya sendiri sebagai Ia adalah kebenaran yang menyatakan sebuah kebenaran terkait apapun
penjelasan terkait dirinya dan terkait ajarannya, sebagaimana terlihat pada
interaksi berikut ini: