Oleh : Martin Simamora
Apakah Orang Baik Masuk Surga, Meskipun Bukan Seorang Yang Diselamatkan oleh Yesus?
Orang baik. Seperti apakah orang baik
itu? Mengapa kata “baik” itu sendiri ketika dilekatkan
pada “orang” menjadi sedemikian bernilai
tinggi atau setidak-tidaknya dalam benak kebanyakan orang dikatakan bahwa orang
ini pantas untuk masuk ke surga. Sungguh teramat sulit untuk memahami bahwa
orang baik harus masuk neraka. Lagian
dikatakan Tuhan itu kasih, Tuhan itu menyukai kebaikan dan membenci kejahatan
sehingga bila orang baik tersebut sampai masuk neraka,bukankah itu mengingkari
jati diri Tuhan yang kasih, Tuhan yang
membenci kejahatan.
Dunia yang diwarnai kejahatan, kebencian, perang, pertikaian
dan ada banyak daftar yang dapat kita
buat mengenai semua bentuk negatif (
kebanyakan orang tidak akan memandang
fakta ini sebagai perwujudan dosa) telah
membuat manusia semakin menyadari bahwa kebaikan, orang baik dan perbuatan baik
adalah barang yang langka, mahal dan
langka. Sebuah nilai emas mulai
terbangun di dunia yang dipenuhi
kejahatan dan hal-hal buruk dan ini
melahirkan individu-individu dan
tokoh-tokoh dalam masyarakat bahkan
dalam skala dunia oleh karena kebaikan dan perbuatan baik yang dilahirkannya. Saya tidak menentang kebaikan dan perbuatan
baik, bahkan Tuhan pun tidak menentang perbuatan baik itu sendiri.
Tentu saja, bahkan saya, sangat mengapresiasi dan menghormati
individu-individu dan elemen-elemen dalam masyarakat yang berjuang membangun
nilai-nilai kebaikan sebagai upaya menciptakan dunia yang lebih baik, lebih
bersahabat dan damai. Bukankah semua kita MERINDUKAN hukum dan peraturan
ditegakan namun berkecenderungan untuk
tidak menaatinya? Bukankah kita semua MERINDUKAN
aparat penegak hukum mulai dari polisi hingga jaksa setia kepada hukum dan
tegak lurus dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Benarkah?
Saya harus mengatakan dengan jujur, tidak semua manusia merindukannya. Tidak semua orang ingin hukum ditegakan. Jika semua manusia menginginkan kebaikan, menginginkan peraturan dan hukum ditegakan maka boleh jadi tindakan kriminal adalah sesuatu yang teramat langka jika tidak mungkin untuk nol sama sekali.
"Polisi menangkap oknum polisi jahat" Kredit : vivanews |
Faktanya dunia ini memang merupakan pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Polisi melawan kejahatan, Siskamling mengamankan lingkungan dari kemungkinan aksi kejahatan atau perampokan, dan demikian juga elemen-elemen lainnya. Tetapi tunggu dulu, kejahatan versus kebaikan ternyata tidak sesederhana itu, ini merupakan pertarungan yang amat kompleks. Lihatlah bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi menangkapi oknum polisi yang melakukan kejahatan, lihatlah bagaimana KPK menangkap oknum jaksa yang melakukan persekongkolan untuk membengkokan hukum, lihatlah bagaimana KPK menangkap anggota wakil rakyat yang menghianati kepercayaan rakyat terkait uang negara.
Hal sederhana ini hanya hendak menunjukan
bahwa manusia tidak pernah bisa pada dirinya sendiri untuk melakukan
kebaikan, manusia pada dasarnya tidak memiliki mata air kebaikan yang berlimpah
sampai-sampai manusia itu tidak
memerlukan norma yang disepakati bersama untuk menata perilaku
bermasyarakat, tidak perlu membangun peraturan
yang disepakati bersama dan tidak memerlukan hukum. Semuanya itu ada karena pada dasarnya manusia
itu sendiri percaya bahwa dirinya dapat melakukan kejahatan dan kebaikan. Dan
kecenderungan manusia untuk berbuat
jahat dari masa ke masa bukan berkurang
tetapi sebaliknya.
Lihatlah perkembangan
undang-undang yang disusun untuk
mengantisipasi berbagai tindak kejahatan pun mengalami perkembangan, lihatlah kini ada undang-undang ITE yang mengantisipasi kejahatan terkait
teknologi dan informasi atau internet. Kini pun telah ada pengadilan khusus
untuk tindak pidana korupsi seiring semakin meningkatnya jenis kejahatan ini,
dan tentu saja bidang-bidang kejahatan
lainnya seperti kejahatan keuangan.
Dengan melihat bahwa manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk berbuat jahat bukan berbuat baik, memiliki kecenderungan untuk mengejar kepentingan diri sendiri dengan caranya sendiri maka dapatlah dikatakan bahwa manusia baik jika manusia-manusia itu mau tunduk dan patuh pada nilai-nilai kebaikan yang disepakati bersama. Hukum, apakah itu hukum tradisional (adat) hingga hukum positif adalah kawalan bagi perilaku manusia, timbangan bagi pikiran dan nuraninya terhadap perbuatan yang diniatkan hendak dilakukan.
Semua manusia tahu bahwa melanggar (menerobos) lampu merah adalah pelanggaran (perbuatan melawan hukum) karena memang ada undang-undang lalu lintas tentang lampu merah. Dan hampir dapat dipastikan kecenderungan para pengguna jalan untuk taat pada peraturan lalu-lintas amat minimal. Secara umum manusia tertib dan tidak melanggar hukum (tidak melakukan perbuatan melawan hukum) karena ada pak polisi yang berjaga.
Bahkan andaipun
pengguna jalan itu tertangkap dan
ditilang, demi menghindari persidangan
maka uang suap pun coba ditawarkan pada pak polisi. Jika pak polisi tegas maka hukum tegak, jika pak
polisi tidak tegas maka hukum pun mandul. Ini belum ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur perilaku manusia berlalu-lintas seperti menggunakan helem, tidak
menggunakan sirine pada kendaraan pribadi, tidak berhenti bukan pada tempatnya
dan lain-lain maka semakin bertambahlah
bentuk-bentuk perlawanan hukum manusia oleh manusia itu sendiri.
Berangkali ada yang mengatakan, ah…kamu terlalu mendramatisir, kamu terlalu
mengada-ngada, itu bukan pembunuhan, itu bukan korupsi, kamu juga harus paham
bahwa saya melanggar lampu merah bukan karena saya mau melanggar tetapi saya
harus mengejar waktu. Para pembaca
terkasih, memang benar menerobos lampu merah bukanlah pembunuhan, jelas
berbeda. Tetapi ingatlah, bahwa pelanggaran lampu merah menimbulkan sanksi,
anda dapat dihentikan polisi, anda akan
ditilang, anda harus menghadiri persidangan akibat pelanggaran itu. Apakah anda
dapat memrotes pak polisi tersebut dengan mengatakan: ‘ah anda mengada-mengada,
saya hanya menerobos lampu merah, saya tidak membunuh, saya tidak korupsi
kenapa saya harus dihentikan, kenapa saya harus membayar denda dan menjalani
persidangan akibat perbuatan remeh ini?’ Tentu saja pak polisi punya otoritas sebab dia bertindak
diatas hukum tertulis dan yang sedang berlaku, yang mengikat pengguna jalan.
Semua manusia menjadi baik bukan pertama-tama karena dia memang memiliki sumber kebaikan mandiri dalam dirinya secara konstan dan tak pernah mati. Manusia bukanlah mahluk moral yang sempurna. Manusia adalah mahluk yang dipenuhi hasrat dan keinginan yang bersumber pada “aku,” yang cenderung tidak memedulikan apakah hal itu benar atau tidak, bukan sekedar baik! Manusia memerlukan norma hukum entah itu dalam masyarakat atau bahkan norma-norma spiritualnya. Manusia memerlukan penegak hukum seperti polisi sebab semua manusia memiliki kecenderungan melawan hukum- manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan jahat pada derajat berapapun. Bahkan aparat hukum sendiri perlu polisi atas polisi sehingga ada “provost,” bahkan institusi hukum itu sendiri tidak sanggup untuk menjaga aparatnya untuk tidak melawan hukum, untuk tidak melawan kebaikan dan membungkam kebenaran.
Sangat jarang juga dikatakan pada orang yang memperjuangkan
kebenaran , memperjuangkan hukum sebagai orang baik yang diidolakan. Kebanyakan
orang baik yang memenangkan hati orang kebanyakan semata melihatnya pada perbuatan
baik terhadap sesama manusia, perbuatan baik melawan rejim otoriter, perbuatan baik melawan
ketidakadilan. Sangat jarang juga masyarakat mengapresiasi polisi sederhana namun setia terhadap
profesinya dan tidak mau dibengkokan sebagai orang baik. Atau berangkali, sangat jarang ada yang
menominasikan pak Abraham Samad sebagai
orang yang pantas masuk surga? Saya menduga, nampaknya manusia harus punya sentimen tertentu untuk berpendapat seseorang karena
kebaikannya akan masuk ke surga. Ini
sebuah temuan awal saja untuk menduga bahwa manusia pada dasarnya tidak sanggup
untuk menjadi hakim yang adil dan benar dan tidak dapat dibengkokan, ketika dia menjadi hakim maka subyektifitas terlibat. Lalu apakah yang dapat dipegang pada penilaian manusia yang selalu gagal memberikan apresiasi pada apa yang sepatutnya diapresiasi dalam lingkup dunia, lingkup pemikiran manusia?
Apakah ada manusia yang layak masuk surga dan apakah ada manusia yang tidak pantas masuk
neraka? Apakah manusia pada dasarnya baik ataukah pada dasarnya jahat? Apakah
ada manusia berdasarkan kebaikannya berani memastikan si A masuk surga? Kalau
ada manusia yang sanggup memastikan si A atau si B atau si C masuk surga berdasarkan kebaikan pada dirinya namun tidak dapat melihat bagian jahatnya
dan mengabaikan faktor Yesus dan keselamatan yang dikerjakan Yesus Kristus (sehingga orang baik tersebut sungguh baik bak malaikat) maka saya berani
mengatakan itu adalah sebuah keangkuhan seorang manusia yang kadar kebaikannya saja belumlah terukur, dan orang Kristen semacam ini,
dia sendiri sudah mengabaikan dan menghina Yesus yang jadi penebusnya, jika dia benar seorang
Kristen (?).
Jika di dunia ini saja untuk menentukan seseorang itu apakah bersalah atau tidak, dilaksanakan oleh lembaga-lembaga hukum seperti polisi dan pengadilan, dan mengacu pada undang-undang tertulis, kesaksian dan pemeriksaan para saksi, pemeriksaan bukti-bukti untuk menghasilkan keputusan yang benar dan adil. Masakan untuk mengetahui apakah manusia itu masuk neraka atau surga tidak melalui pengadilan, tidak melalui pemeriksaan, tidak melalui bukti-bukti, tidak merujuk pada kitab-kitab hukum di surga, tidak merujuk pada standard kebenaran di surga?
Pastilah Tuhan punya
mekanisme yang jauh lebih agung, lebih adil, lebih jujur, hakimnya pastilah tidak bisa disuap,
tidak bisa salah, dan dia sendiri
bukanlah hakim yang tidak sanggup
memeriksa motif sebuah tindakan, dan yang jelas hakim agung di surga adalah hakim yang maha tahu. Dia adalah hakim
yang maha tahu, dia sanggup melihat kehidupan seseorang melampaui mata manusia,
melampai barang bukti, melampau
kesaksian dan pembelaan terdakwa dihadapan takhta pengadilan. Singkatnya
Dia adalah hakim yang siapapun tidak akan sanggup membayangkan kesempurnaan
kerja-Nya, keadilan pengadilannya, kemegahan kekudusannya ( tidak dapat disuap, tidak dapat dipengaruhi seperti di dunia).
Credit: hukum.kompasiana.com |
Apakah kita masih mampu untuk dengan percaya diri mengatakan saya baik sehingga dengan demikian saya masuk surga dan dengan demikian saya tidak memerlukan pengacara di pengadilan agung itu, tidak memerlukan pendamping hukum dan sanggup membela diri tanpa bantuan hukum? Apakah anda, memiliki fondasi teramat kokoh bahwa perbuatan anda yang “baik” itu sungguh SETANDING dengan syarat minimal untuk lolos dari vonis neraka tanpa Yesus Kristus? Dan apakah benar setiap kita tahu apa itu syarat minimal untuk lolos dari vonis neraka dan “minimal” yang bagaimanakah? Lantas adakah hal dari dunia ini yang dapat dikatakan SETANDING dengan yang ada di surga?
Semoga kita dapat menghargai kedatangan Yesus, kematian-Nya, kebangkitan-Nya,kenaikan-Nya dan yang paling mendebarkan adalah kedatangan-Nya dan penghakiman agung-Nya. Jika memang benar ada perbuatan baik yang dapat meloloskan kita dari vonis neraka maka kedatangan Yesus adalah sebuah kekonyolan yang paling menggelikan, dan jika memang kita punya keyakinan untuk masuk ke surga tanpa perlu Yesus, maka semua manusia tidak memerlukan Yesus, tidak memerlukan pengampunan, tidak perlu mengenal Tuhan, sebab jika anda baik anda dapat masuk ke surga tak peduli anda ateis, tak peduli apapun agamamu maka berbuat baik adalah tiketmu yang pasti. Tetapi benarkan demikian? Mari kita nantikan bersama-sama kelak saat Yesus dihadapanmu sebagai hakim agung atas segenap mahluk!
Bersambung ke Bagian 2
***
No comments:
Post a Comment