"Tuhan,
siapakah yang percaya kepada pemberitaan kami?"
Oleh: Martin Simamora
Kabar Baik yang Menggemparkan Dunia
Problem
utama kabar baik tidak terletak pada Tuhan tetapi pada manusia. Kecenderungan
manusia untuk tak percaya kepada kabar baik, oleh Yesus sendiri, sebetulnya
dinyatakan sebagai bukan sebuah kecenderungan belaka jiwa, atau kognitif, karena
problem akal sehat. Perhatikan ini: “Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih
menyukai kegelapan dari pada terang”, akal sehat seharusnya akan menakar ini
sebagai sebuah kejanggalan yang begitu akbar untuk terjadi dalam peradaban
manusia. Bagaimana mungkin “manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang?
Sementara itu, nabi Yesaya pada ratusan tahun lebih dulu, bahkan meratapi
realita ini dalam sebuah ratap kepada Allah:
Siapakah
yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan
kekuasaan TUHAN dinyatakan?- Yesaya 53:1
Rasul
Paulus dalam Surat Roma meletakan nubuat purba ini dalam pemberitaan injil yang
digalangnya di belahan dunia Eropa kala itu, sekaligus menunjukan bahwa problem
manusia dari generasi ke generasi sejak era purba hingga era modern tetaplah
sama kala berhadapan dengan kabar baik dari Allah yang berakar dari problem manusia yang tak
mungkin dipecahkannya sendiri: “manusia lebih menyukai kegelapan dari pada
terang.”
Kabar
baik apakah itu? Kabar baik yang bersentral hanya pada satu-satunya Kristus
yang datang dari Allah ke dalam dunia. Ini adalah lebih agung daripada kontradiksi apapun yang dapat
diharapkan oleh dunia. Rasul Paulus
menunjukannya seperti ini:
Roma
10:4 Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh
tiap-tiap orang yang percaya