Oleh: Martin Simamora
Mengenali
Jati Diri Hidup Beriman Seorang Kristen, Sementara Menjalani Kehidupan yang
Penuh Tantangan
Foto ilustrasi: americanalpineclub.org Allah tetap setia kepadamu dan mengasihimu walau anda satu kali dan beberapa kali lagi dapat tergelincir selama berjalan mengikut Yesus hingga kesudahannya, sebagaimana pendaki gunung masih dapat tergelincir walau ia sedemikian rupa sangat berhati-hati dalam melangkahkan dan menginjakan kakinya pada jejakan dinding gunung sementara tubuhnya telah secara cermat dilindungi oleh tali tali dan kaitan-kaitan kokoh pada celah-celah dinding gunung yang terjal. Sekali waktu ia bisa tergelincir tetapi tidak sama sekali membuktikan jika demikian jangan lagi pernah mendaki gunung itu dan anda telah gagal sama sekali. Kehidupan beriman itu pada derajat lebih sederhana agak mirip dengan hal itu, bahwa tak sembarangan dan memerlukan dedikasi yang tak main-main. Karena itulah apa yang diperlukan telah diberikan Yesus yaitu memiliki relasi dan kepercayaan kepadanya sebagai gembala agung yang berkuasa atas jiwa. Jika pendaki gunung mengandalkan semua alat-alat proteksi dan tali-tali pelindung dari kejatuhan fatal dalam melakukan perjalanan ke puncak, mengapa kita tidak mengandalkan relasi dengan Yesus sebagai gembala agung kita sementara kita masih harus melakukan perjalanan hidup ini. Mengapa sampai berpikir Allah memiliki problem terhadap iblis terkait barang bukti yang tak memadai dalam penghakiman-Nya yang harus maha-adil dan mahakudus? Mengapa anda sampai berpikir sedemikian rendahnya terhadap karya Yesus itu? |
Bacalah juga artikel ini : "Bisakah Aku?"
Kebenaran Iman Berdasarkan Penggembalaan-Nya
Tantangan hidup senantiasa membutuhkan sebuah
penyelesaian, atau serangkaian alternatif yang dapat dipilih berdasarkan
rasionalitas dan peluang-peluang yang mungkin untuk diambil. Tetapi
rasionalitas manusia memiliki keterbatasan terutama karena manusia memiliki
aspek jiwa yang tak terpisahkan dari setiap proses rasionya dalam melakukan
pertimbangan-pertimbangan. Dalam setiap penyelesaian yang dipilih, siapapun
pasti memiliki sebuah keoptimisan atau keyakinan yang tak lain semacam iman
yang melahirkan pengharapan berlandaskan kalkulasi rasio, peluang dan tantangan.
Jadi memang manusia memiliki kemampuan membangun pengharapan-pengharapan dan optimisme-optimisme
dalam kehidupan ini. Lalu bagaimana dengan kebenaran iman dalam obyektivitas
dunia yang memiliki natur tantangan, peluang dan sekaligus keterbatasan-keterbatasan,
apakah iman Kristen itu membawa saya dan anda pada sebuah kejernihan yang lebih
baik dalam mengenali jati diri sebagai manusia yang mampu mengatasi tantangan?
Tetapi apakah iman Kristen bertujuan untuk mencerahkan jiwa dan rasio sehingga tangguh dalam menghadapi
tantangan zaman secara mandiri dalam kemanusiaannya yang rasional itu? Bagaimana
iman Kristen memandu saya dan anda, misalkan, dalam menghadapi problem ekonomi, tantangan politik atau
bahkan yang lebih kecil lagi: problem keluarga. Kalau kita melihat pada Alkitab
maka menjadi nyata bahwa pada kebenaran iman Kristen dalam menghadapi tantangan
zaman, setiap orang Kristen malahan memiliki dasar yang kokoh untuk percaya
pada keterlibatan Allah sementara beriman kerap diasumsikan sebagai sebuah
keabstrakan yang kacau dan semata produk jiwa yang mencari kompensasi
penyeimbang jiwa yang tertekan. Dengan kata lain, dalam iman seorang Kristen, Allah
tidak pernah jauh atau meninggalkan saya dan anda sendirian saja dalam menjalani kehidupan ini, seolah Allah hanya
menjadi penonton yang baik.
Mari
kita memperhatikan sejumlah episode yang memperlihatkan keterlibatan Allah pada
kehidupa seorang yang beriman kepada Allah sumber keselamatan dan yang menggembalakan umat-Nya:
▬Yosua
24:2-18 Berkatalah Yosua kepada seluruh bangsa itu: "Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Dahulu kala di
seberang sungai Efrat, di situlah diam nenek moyangmu, yakni Terah, ayah
Abraham dan ayah Nahor, dan mereka beribadah kepada allah lain. Tetapi Aku mengambil
Abraham, bapamu itu, dari seberang sungai Efrat, dan menyuruh dia menjelajahi
seluruh tanah Kanaan. Aku membuat banyak keturunannya dan memberikan Ishak
kepadanya. Kepada Ishak Kuberikan Yakub dan Esau. Kepada Esau Kuberikan
pegunungan Seir menjadi miliknya, sedang Yakub serta anak-anaknya pergi ke
Mesir. Lalu Aku
mengutus Musa serta Harun dan menulahi Mesir, seperti yang Kulakukan
di tengah-tengah mereka, kemudian Aku membawa kamu keluar. Setelah Aku membawa
nenek moyangmu keluar dari Mesir dan kamu sampai ke laut, lalu orang Mesir
mengejar nenek moyangmu dengan kereta dan orang berkuda ke Laut Teberau. Setelah
Aku membawa nenek moyangmu keluar dari Mesir dan kamu sampai ke laut, lalu
orang Mesir mengejar nenek moyangmu dengan kereta dan orang berkuda ke Laut
Teberau. Sebab itu berteriak-teriaklah mereka kepada TUHAN, maka diadakan-Nya gelap antara kamu dan orang
Mesir itu dan didatangkan-Nya air laut atas mereka, sehingga mereka
diliputi. Dan matamu sendiri telah melihat, apa yang Kulakukan terhadap Mesir.
Sesudah itu lama kamu diam di padang gurun. Aku membawa kamu ke negeri orang
Amori yang diam di seberang sungai Yordan, dan ketika mereka berperang melawan
kamu, mereka Kuserahkan ke dalam tanganmu,
sehingga kamu menduduki negerinya, sedang mereka Kupunahkan dari depan kamu. Ketika
itu Balak bin Zipor, raja Moab, bangkit berperang melawan orang Israel.
Disuruhnya memanggil Bileam bin Beor untuk mengutuki kamu. Tetapi Aku tidak mau mendengarkan Bileam, sehingga iapun memberkati
kamu. Demikianlah Aku melepaskan kamu dari tangannya. Setelah
kamu menyeberangi sungai Yordan dan sampai ke Yerikho, berperanglah melawan
kamu warga-warga kota Yerikho, orang Amori, orang Feris, orang Kanaan, orang Het,
orang Girgasi, orang Hewi dan orang Yebus, tetapi mereka itu Kuserahkan ke
dalam tanganmu. Kemudian Aku melepaskan tabuhan mendahului kamu dan
binatang-binatang ini menghalau mereka dari depanmu, seperti kedua raja orang
Amori itu. Sesungguhnya,
bukan oleh pedangmu dan bukan pula oleh panahmu. Demikianlah Kuberikan
kepadamu negeri yang kamu peroleh tanpa bersusah-susah dan kota-kota yang tidak
kamu dirikan, tetapi kamulah yang diam di dalamnya; juga kebun-kebun anggur dan
kebun-kebun zaitun yang tidak kamu tanami, kamulah yang makan hasilnya. Oleh sebab itu, takutlah akan TUHAN dan beribadahlah
kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang
kepadanya nenek moyangmu telah beribadah di seberang sungai Efrat dan di Mesir,
dan beribadahlah kepada TUHAN. Tetapi
jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada
hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu
beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu
diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!"
Lalu bangsa itu menjawab: "Jauhlah
dari pada kami meninggalkan TUHAN untuk beribadah kepada allah lain! Sebab
TUHAN, Allah kita, Dialah yang telah menuntun kita dan nenek moyang kita dari
tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang telah melakukan tanda-tanda
mujizat yang besar ini di depan mata kita sendiri, dan yang telah melindungi
kita sepanjang jalan yang kita tempuh, dan di antara semua bangsa yang kita
lalui, TUHAN menghalau semua bangsa dan orang Amori, penduduk negeri ini, dari
depan kita. Kamipun akan beribadah kepada TUHAN, sebab Dialah Allah kita."
Beriman
dalam kebenaran iman Kristen, bukan
serangkaian kata-kata positif sebagai bahan bakar atau suplemen jiwa
untuk menjadi kuat/tegar dan disegarkan
kembali. Juga bukan semacam sugesti jiwa untuk mempertahankan keberimanan itu tetap
prima demi menghindar situasi kehidupan tanpa beriman pada Tuhan. Beriman kepada
Tuhan dalam kebenaran firman Tuhan bukan seperti itu, tetapi sebuah kehidupan
yang mendewasakan untuk pertama-tama mengenal Tuhan itu adalah Gembala yang
Baik sehingga karena mengenal dan digembalakan-Nya menjadi tahu mengapa harus
menyerahkan hidup kedalam tangan-Nya. Dalam teks di atas ada pernyataan seperti
ini: tetapi
jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah
pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah. Ini sebuah relasi yang
menghendaki kedewasaan yang tak main-main. Setiap orang, katanya memiliki kebebasan
untuk memilih, tetapi pada teks ini, ada sebuah problem kebebasan untuk memilih
atau ada sebuah problem rasio sebagai sebuah mekanisme pertimbangan untuk
memilih secara jitu tanpa salah, karena faktanya kebebasan untuk memilih pada
diri manusia memiliki problem yang serius di hadapan Allah, yaitu manusia
memiliki kebodohan yang kronis ketika harus memilih antara Allah yang berkuasa
untuk menggembalakan jiwa kepada kehidupan, atau allah yang tak berdaya
menggembalakan jiwa kepada kehidupan.