Oleh: Martin Simamora
Berjalan
di Dunia dengan Segala Realitanya dan Tetap Beriman Kepada Tuhan dengan Segenap
Kedaulatannya
Kalau anda melihat dunia sekitarmu, apa yang akan
anda katakan dalam sebuah kalimat singkat untuk menyatakannya? Apakah anda akan
dan tetap berkata seperti ini:
-Tuhan Mahakuasa
(Kejadian 17:1)
-Tuhan Mahatinggi
(Kejadian 14:18)
-Tuhan Panjiku
(Keluaran 17:16)
-Tuhan Gembalaku
(Mazmur 23)
-Tuhan Keadilan kita (Yeremia 23:6)
-Tuhan Pengudusku
(Keluaran 31:13)
-Tuhan Menyediakan
(Kejadian 22:14)
-Tuhan Damai
Sejahtera (Hakim-Hakim 6:24)
Atau, sebaliknyakah? Sehingga akan
berkata sebaliknya atas setiap pernyataan tersebut karena Ia yang disebut Tuhan
dengan gelar-gelarnya tersebut bukan sama sekali sebuah
eksistensi yang otentik, atau kalaupuan benar demikian, itu masa lalu
saja, atau sebaik-baiknya Ia tidak selalu demikian.
Berjalan di
dunia dengan segala realitanya bisa memahitkan
jiwa sepahit-pahitnya hingga beriman kepada Tuhan, bagaikan sebuah kegilaan
yang menindas jiwa. Seperti membangun dunia utopia di dunia yang realitanya lebih kuat menunjukan bahwa eksistensi Tuhan
itu tidak Mahakuasa dan tidak Mahatinggi, sehingga bisa dipastikan jika Ia
bukan segala-galanya dan satu-satunya yang dapat dijadikanTuhan, tetapi setiap
manusia harus menunjukan kualitas dirinya sebagai tuhan-tuhan atas dirinya
sendiri, demi keselamatan dan keamanan dirinya sendiri selama di dunia ini. Ini
sebuah kehidupan dimana realita semakin lama akan semakin memojokan hingga
tersudutkan di sudut-sudut super lancip. Oleh realita semacam ini: