Sejumlah aktivis hak asasi manusia mendesak pemerintah untuk mencabut peraturan yang saat ini berlaku di tingkat pemerintah daerah yang telah mengakibatkan penyegelan gereja dan masjid, terutama di Jawa. "Baik polisi dan pemerintah hingga kini tak melakukan satupun tindakan konkrit dalam merespon tindakan-tindakan penutupan paksa, yang berarti pihak pemerintah dan polisi telah gagal untuk menegakan nilai-nilai demokrasi yang telah diperjuangkan oleh para aktivis dan mahasiswa selama berlangsungnya gerakan reformasi 1998," ujar Syafiq Alielha, Aktivis Forum Komunikasi 1998 pada Kamis lalu di Wahid Institute Jakarta.
Syafiq, dilansir dari The Jakarta Post (08/07/2010) lebih lanjut menuturkan bahwa negeri ini menghadapi semakin banyak kasus-kasus dimana pemerintah-pemerintah daerah, seperti di Bekasi dan Bogor, penutupan-penutupan tempat ibadah yang dilakukan secara sepihak sebagai akibat tekanan politik kelompok-kelompok muslim garis keras, ujaranya.
Laporan terakhir yang dikeluarkan oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia memperlihatkan bahwa lebih dari 10 gereja telah menghentikan semua pelayananannya sebagai akibat ancaman massa dan penutupan-penutupan paksa tahun ini. Anggota jemaat gereja yang mengalami tindakan -tindakan semacam ini meyakini bahwa massa mengeksploitasi ketiadaan izin-izin mendirikan bangunan sebagai dasar untuk melakukan penutupan gereja-gereja.
Syafiq menambahkan disamping penutupan tempat-tempat ibadah, tren penggunaan tindak kekerasan untuk menekan kebebasan beragama pada kelompok-kelompok minoritas juga meningkat di negeri ini.
Pada Juli 2009, ratusan pemrotes yang berasal dari kelompok-kelompok Islam garis keras, seperti Front Pembela Islam, Dewan Mujahidin Indonesia dan Forum Masyarakat Islam mendatangi sebuah mesjid milik kelompok Islam minoritas, kelompok Ahmadiyah di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Perambahan ke wilayah Ahmadiyah telah memicu kerusuhan yang merusak rumah-rumah penduduk dan dilaporkan mengakibatkan korban luka tiga warga.