F O K U S

Nabi Daud Tentang Siapakah Kristus

Ia Adalah Seorang Nabi Dan Ia Telah   Melihat Ke Depan Dan Telah Berbicara Tentang Kebangkitan Mesias Oleh: Blogger Martin Simamora ...

0 “Bhinneka Tunggal Ika”


Sejarah, Filosofi, dan Relevansinya
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara *)

Oleh: Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A.**)

Setelah dahulu pada zaman-zaman sebelumnya Brahma-Wishnu-lshwara menjelma di dalam berbagai raja-raja di dunia, maka kini pada zaman kaliyuga turunlah Sri Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Bathara Kala. Sebagaimana Sidharta Gautama, sebagai titisan Sri Jinapati, Sutasoma putra Mahaketu raja Hastina, keturunan Pandawa, meninggalkan kehidupan istana dan memilih hidup sebagai seorang pertapa. Pada suatu hari, para pertapa mendapat gangguan dari Porusada, raja raksasa yang suka menyantap daging manusia. Mereka memohon kepada Sutasoma untuk membunuh raksasa itu, tetapi permintaan itu ditolaknya. Setelah dalam olah spiritualnya Sutasoma mencapai kemanunggalan dengan Sang Buddha Wairocana, akhirnya ia kembali ke istana dan dinobatkan menjadi raja Hastina. Sementara itu Raksasa Porusada, yang ingin disembuhkan dari sakit parah pada kakinya, bernazar akan mempersembahkan seratus raja sebagai santapan Bathara Kala. Tetapi Sutasoma menyediakan diri disantap oleh Kala, asalkan seratus raja itu dibebaskan. Bahkan ketika Bathara Siwa sangat murka, dan karena kesaktiannya telah merusak dan membunuh para lawannya, Sutasoma titisan Sang Buddha menghadapinya dengan cinta kasih. Panah-panah api Siwa dihadapinya dengan kekuatan tapanya, berubah menjadi air amerta. Semakin marahlah Siwa, sehingga ia menjeima menjadi api Kala yang siap melebur jagad raya. Turunlah para bathara dari kahyangan untuk menyadarkan Siwa. Semua maharshi melantunkan mantera-mantera Wedha, dan berdoa agar dunia tidak dihancurkannya. “Jangan lakukan itu, wahai Tuanku”, mereka memohon. “Engkau guru kami. Berbelaskasihanlah kepada ciptaan ini sebelum kiamat tiba (yuganta)”. Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka Jinatwa lwan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharmma mangrwa (Konon dikatakan wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Siwa dan Buddha memang berbeda, namun bagaimana kita mengenalinya dalam sekilas pandang? Hakikat ajaran Buddha dan Siwa sebenamya tunggal. Berbeda-beda tetapi satu jua. Tidak ada kebenaran yang mendua). Bathara Siwa yang menitis pada Porusada akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah Sang Buddha sendiri. Porusaddha santa. Sang Porusada tenang kembali. Tiada nafsu membunuh, tiada nafsu menghancurkan sesama ciptaan.[1]

Kisah di atas dikutip dari Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular, yang ditulisnya pada masa keemasaan kemaharajaan Majapahit (1340). Hal penting yang perlu digarisbawahi dari penggalan karya Mpu Tantular ini adalah asal-usul istilah Bhinneka Tunggal Ika yang kini menjadi salah satu dari Catur Pilar Kebangsaan Indonesia, khususnya adalah makna filosofinya. Perlu dicatat pula, bahwa dari sumber kesusastraan yang sama kita juga mengenal istilah “mahardhika” (yang menjadi asal kata salam nasional kita “Merdeka”), dan nama Dasar Negara kita Pancasila. Karena itu, “Bhinneka Tunggal Ika”, - ungkapan yang menurut Dr. Soewito Santoso dalam bukunya Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana, - “is a magic one of great significance and it ambraces the sincere hope the whole nation in its struggle to become great, unites in frame works of an Indonesian Pancasilais community.”[2]

0 Perjalanan Hidup dan Bertumbuh dalam Iman yang Semakin Perkasa

Oleh: Martin Simamora


Saya tidak sedang membicarakan pembangunan kekuatan jiwa atau mental, atau mengimplantasikan ke dalam relung jiwa dan alam bawah sadar sejumlah formulasi kata, visual, pembangkitan imajinasi, masuk ke dalam  fase-fase tidur dengan musik dan visualisasi terprogram,  bukan itu sama sekali walau hal semacam itu ada dipraktikan. Tetapi inilah dasar bagiku untuk menuliskan judul di atas tersebut adalah serentet ayat berikut ini sebagai sebuah kehidupan yang melahirkan pengalaman-pengalaman iman yang membawa diri pada kebenaran bahwa eksistensi diri ini pada nilai intrisiknya sepenuhnya berada didalam Kristus, bukan diri ini sendiri. Inilah ayat-ayat tersebut, dan perhatikanlah seksama:

“Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya.- Mazmur 139:13-16

Jika ada kata “perkasa” pada judul artikel ini, bukan berarti  seorang anak Tuhan tak dapat letih, lelah, marah, kala sedang menghadapi tantangan berkepanjangan yang menguras kebahagiaan ganti kesiagaan dan ketajamaan berdurasi panjang yang kadang menjadikan jiwa letih menjadi frustrasi. Tetapi, yang pasti, dalam semuanya itu, telah dijaga dan dinsungi-Nya jiwamu sedemikian rupa sehingga segala reaksimu, keputusanmu bahkan yang terburuk, tidak akan pernah menjadi pembentuk masa depanmu, sekalipun memang menimbulkan berbagai konsekuensi yang membuatmu ada sebagaimana anda ada pada hari ini, pada keseluruhannya. itu semua bukanlah Tuhan atasmu yang membuatmu ada sebagaimana anda ada pada hari ini.   Atau bukan?
Anchor of Life Fellowship , Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri - Efesus 2:8-9