Sejarah, Filosofi,
dan Relevansinya
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara *)
Setelah
dahulu pada zaman-zaman sebelumnya Brahma-Wishnu-lshwara menjelma di dalam
berbagai raja-raja di dunia, maka kini pada zaman kaliyuga turunlah Sri
Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Bathara Kala. Sebagaimana Sidharta
Gautama, sebagai titisan Sri Jinapati, Sutasoma putra Mahaketu raja Hastina,
keturunan Pandawa, meninggalkan kehidupan istana dan memilih hidup sebagai
seorang pertapa. Pada suatu hari, para pertapa mendapat gangguan dari Porusada,
raja raksasa yang suka menyantap daging manusia. Mereka memohon kepada Sutasoma
untuk membunuh raksasa itu, tetapi permintaan itu ditolaknya. Setelah dalam
olah spiritualnya Sutasoma mencapai kemanunggalan dengan Sang Buddha Wairocana,
akhirnya ia kembali ke istana dan dinobatkan menjadi raja Hastina. Sementara
itu Raksasa Porusada, yang ingin disembuhkan dari sakit parah pada kakinya,
bernazar akan mempersembahkan seratus raja sebagai santapan Bathara Kala.
Tetapi Sutasoma menyediakan diri disantap oleh Kala, asalkan seratus raja itu
dibebaskan. Bahkan ketika Bathara Siwa sangat murka, dan karena kesaktiannya
telah merusak dan membunuh para lawannya, Sutasoma titisan Sang Buddha
menghadapinya dengan cinta kasih. Panah-panah api Siwa dihadapinya dengan
kekuatan tapanya, berubah menjadi air amerta.
Semakin marahlah Siwa, sehingga ia menjeima menjadi api Kala yang siap melebur
jagad raya. Turunlah para bathara dari kahyangan untuk menyadarkan Siwa. Semua
maharshi melantunkan mantera-mantera Wedha, dan berdoa agar dunia tidak
dihancurkannya. “Jangan lakukan itu, wahai Tuanku”, mereka memohon. “Engkau
guru kami. Berbelaskasihanlah kepada ciptaan ini sebelum kiamat tiba (yuganta)”. Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena
parwanosen, Mangka Jinatwa lwan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan
hana dharmma mangrwa (Konon dikatakan wujud Buddha dan Siwa itu berbeda.
Siwa dan Buddha memang berbeda, namun bagaimana kita mengenalinya dalam sekilas
pandang? Hakikat ajaran Buddha dan Siwa sebenamya tunggal. Berbeda-beda tetapi satu
jua. Tidak ada kebenaran yang mendua). Bathara Siwa yang menitis pada Porusada
akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa Sutasoma
adalah Sang Buddha sendiri. Porusaddha
santa. Sang Porusada tenang kembali. Tiada nafsu membunuh, tiada nafsu
menghancurkan sesama ciptaan.[1]
Kisah
di atas dikutip dari Kakawin Sutasoma,
karya Mpu Tantular, yang ditulisnya pada masa keemasaan kemaharajaan Majapahit
(1340). Hal penting yang perlu digarisbawahi dari penggalan karya Mpu Tantular
ini adalah asal-usul istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini
menjadi salah satu dari Catur Pilar
Kebangsaan Indonesia, khususnya adalah makna filosofinya. Perlu dicatat
pula, bahwa dari sumber kesusastraan yang sama kita juga mengenal istilah “mahardhika” (yang menjadi asal kata
salam nasional kita “Merdeka”), dan
nama Dasar Negara kita Pancasila. Karena itu, “Bhinneka Tunggal Ika”, - ungkapan yang
menurut Dr. Soewito Santoso dalam bukunya Sutasoma,
A Study in Javanese Wajrayana, - “is a magic one of great significance and it
ambraces the sincere hope the whole nation in its struggle to become great,
unites in frame works of an Indonesian Pancasilais community.”[2]