Oleh: Martin Simamora
“Jikalau Engkau
Anak Allah, Turunlah Dari Salib Itu!”
[Refleksi]
Lukisan Ilustrasi: James Jacques Tissot |
Problem terbesar
orang-orang Yahudi, tak terselesaikan dengan memastikan kematian Kristus bahkan
dalam cara terhina sekalipun. Sebaliknya begitu menggusarkan dan menyusahkan
jiwa mereka sekalipun kesengsaraan terkeras telah dapat dieksekusi berdasarkan
pengadilan yang dipenuhi dengan muslihat dalam putusan pengadilan atasnya. Ini
bukan sekedar kegusaran seperti menantikan sesuatu yang penuh tak kepastian, tetapi
kegusaran atas apa yang dikatakan oleh Yesus dalam pernyataan-pernyataan penuh kepastian dan begitu dinantikan oleh
dirinya, sementara bagi para pemimpin agama, itu hal yang sungguh menggusarkan
dan gila, bahkan untuk sekedar didengarkan. Dan hal itulah yang dihempaskan ke
mulut Yesus sementara ia terpaku di atas kayu salib didalam kesekaratan yang
tak ada satupun manusia mau menyicipi kesakitan tiada henti tergantung di atas bumi di bawah langit: “selamatkanlah diri-Mu jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!-
Mat 27:40." Bagi mereka, mustahil Allah membiarkan hal itu terjadi sebagai sebuah realita. Apakah Allah akan membiarkan Mesias-Nya
tewas dalam cara yang begitu menggenaskan, terhina dan bukankah itu bukan kisah
yang membanggakan apalagi mendatangkan pemujaan untuk dikisahkan? Kisah
suci dari sorga?? Maka jelas “Jika Engkau
Anak Allah, Turunlah Dari Salib itu” bukan sekedar oposisional pada seorang
manusia yang ke-Kristusan-nya sedang dipertanyakan, namun juga sebuah gugatan
pada klaim divinitasnya yang berkata “Aku
Anak Allah” sementara ia dipajang di
atas kayu salib menjulang ke langit, menantikan sebuah peristiwa yang akan
menunjukan sungguhkah dikau Anak Allah dan akankah langit akan menjawab
dengan malaikat-malaikat sorgawi yang akan membebaskannya?