Oleh: Martin Simamora
Bacalah lebih
dulu bagian 3Q-3g1
Ketika Allah disebut
atau dipanggil sebagai Bapa, itu bukan
sebuah pendekatan atau belaka cara pandang manusia terhadap Allah, bahwa Ia
begitu dekat dalam sebuah jeritan harapan manusia untuk melihat-Nya demikian
[yang mana ini sebuah hal yang begitu tersembunyi di kedalaman perut bumi, bagi
jiwa manusia untuk sampai memandang Allah demikian, jika bukan sebuah mujizat!],
menurut penilaian atau pengimanan jiwa manusia saja.
Bukan, ini bukan soal emosional, soal psikologis, soal kasih yang berteriak
dari bumi untuk membuka sorga! Tetapi, karena
Yesus membawa masuk dan menyelenggarakan sebuah relasi dan kesatuan yang
mustahil untuk dialami oleh manusia berdasarkan upaya manusia [bacalah
Yohanes 6:37-38; Yohanes 5:20] :
Seperti
Bapa telah mengasihi Aku,
demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah
di dalam kasih-Ku itu- Yoh 15:9
Perhatikan baik-baik,
menjadi percaya atau beriman kepada Yesus Kristus dengan demikian disebut oleh Kristus, itu, bukanlah sebuah religiusitas atau spiritualitas yang dibangun
berdasarkan teks-teks suci yang secara luar biasa dipelihara oleh Sang Empunya
Firman, tetapi oleh sebuah kasih Allah
dan tindakan kasih Allah. Kitab Suci tanpa “Allah yang mengasihimu dan
mengajakmu tinggal di dalam Kasih-Nya yang berasal dari Sorga dan lahir dari
Bapa,” maka anda bagaikan orang buta dan tuli, bahkan dapat menjadi begitu
bodohnya. Tanpa memiliki Kristus, Alkitab hanyalah buku yang menghantarkanmu
dalam sebuah kepastian ke neraka abadi!
Dengarkanlah dia yang berkata:
Yohanes
5:39-40 Kamu menyelidiki Kitab-kitab
Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu
mempunyai
hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi
kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh
hidup itu.
Bahkan, usaha keras
manusia dalam ikhtiar terkudusnyapun tak melahirkan hidup yang didambakannya: hidup
kekal bersama Allah yang menciptakannya: “menyelidiki
Kitab-kitab Suci… menyangka mempunyai hidup yang kekal.”
Apakah bukti
tertinggi ketakberdayaan manusia terhadap keselamatannya sendiri? Bahkan untuk sekedar menghakimi sesama saja, manusia tak ada yang melakukannya sebagai yang tak bersalah. Semua bersalah, semua berdosa, bahkan kepekatan dosa manusia terdemonstrasikan kala manusia melakukan penghakiman, sebagaimana Yesus menunjukan: