Oleh : DR. R.C Sproul
Beberapa tahun lampau, saya diminta untuk menyampai pidato pembuka dalam sebuah prosesi wisuda di sebuah seminari teologia terkemuka di Amerika. Dalam pidato tersebut, saya berbicara mengenai peran logika dalam interpretasi bibilikal, dan saya memohon kepada para seminari untuk memasukan program Logika dalam kurikulum yang mereka perlukan. Dihampir semua program studi seminari, para siswa disyaratkan untuk mempelajari sesuatu yang terkait dengan bahasa asli Alkitab, Ibrani dan Yunani. Mereka diajarkan untuk melihat latar belakang sejarah teks, dan mereka belajar prinsip-prinsip dasar interpretasi. Semua ini penting dan merupakan kemahiran-kemahiran yang bernilai untuk menjadi pelayan-pelayan Firman Tuhan yang baik. Akan tetapi, alasan utama mengapa kesalahan-kesalahan dalam interpretasi biblikal terjadi bukan karena pembaca terbatas pengetahuan bahasa Ibrani atau lingkup situasi kitab biblikal itu ditulis. Penyebab nomor satu kekeliruan memahami kitab suci menghasilkan kesimpulan yang tidak sah dari teks. Ini adalah keyakinanku yang kokoh bahwa kesalahan-kesalahan penyimpulan ini kelihatannya tidak akan terjadi jika para penafsir biblikal lebih diperlengkapi dengan prinsip-prinsip dasar logika.
Mari saya berikan sebuah contoh dari jenis kesalahan penyimpulan yang terpikirkan. Saya meragukan, saya pernah berdiskusi mengenai pertanyaan atas kedaulatan pemilihan Tuhan tanpa pernah ada seseorang tidak mengutipkan Yohanes 3:16 dan berkata, “Tetapikan Alkitab berkata bahwa Tuhan begitu mengasihi dunia sehingga Dia telah memberikan Anak-Nya yang tunggal sehingga barang siapa yang percaya kepada-Nya tidak akan binasa tetapi memiliki hidup yang kekal”? Saya akan segera menyetujui memang demikian Alkitab berkata.