Hai Engkau Yang Mau Merubuhkan Bait Suci & Mau Membangunnya Kembali Dalam Tiga Hari
Oleh: Blogger Martin Simamora
A.Bukan Sekedar Menghina Kemanusiaan Namun Kuasa Ilahi Yang Bersemayam Penuh Dalamnya Dan Sedang Bekerja Menggenapi Maksud-Nya
Sangat mencengangkan bahwa momen-momen penghinaan terhadap Yesus bukan sebuah penghinaan yang mudah untuk dilakukan terhadap Yesus yang mengklaim seorang yang berkuasa atas dunia kematian baik dalam wujud eksistensi kematian yang siapapun tak mungkin memahami , dan eksistensi kuasa yang mengatasi eksistensi dunia orang mati. Untuk saya atau manusia manapun mengatakan “eksistensi” terhadap dua hal itu saja sudah merupakan kepongahan, namun tidak demikian jika saya atau anda memandang Yesus sebagai positif dalam keberimanan padanya. Tentu saja ini telah menjadi isu paling monumental yang sedang tegak menjulang tinggi pada momentum penghinaan yang begitu ekstensif dan juga intensif.
Imperium Romawi, penguasa timur tengah saat itu bahkan dalam momen penghinaan semacam itu secara cerdas membangun sebuah propaganda yang tidak hanya provokatif tetapi sedang mempertontonkan kekuatan hegemonik adi kuasa dunia imperium Romawi terhadap seorang yang berkata memiliki kuasa untuk merubuhkan Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari dengan melabelkan diri Yesus : Inilah Yesus Raja orang Yahudi (Matius 27:37). Sebuah klaim kekuatan yang tak satupun kuasa dunia untuk mengagaskannya adalah sebuah lelucon.
Dengan postur raja dan kerajaan yang dipertontokan secara demikian hinanya dalam panggung yang dikreasikan sedemikian rupa oleh imperium Romawi yang berkolaborasi dengan imam-imam kepala bersama-sama ahli-ahli Taurat dan tua-tua, Yesus seketika menjadi pusat olok-olokan tersempurna yang pernah digagaskan dan diwujudkan oleh manusia. Ingatan-ingatan manusia terhadap perkataan-perkataan Yesus dalam ajaran-ajaran yang berpusat pada dirinya sendiri, seketika dilemparkan balik kepada Yesus dalam nada dan jiwa yang menghina dan penuh hasrat provokatif:
Matius 27:39-40 Orang-orang yang lewat di sana menghujat Dia dan sambil menggelengkan kepala, mereka berkata: "Hai Engkau yang mau merubuhkan Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, selamatkanlah diri-Mu jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!"
Kegetiran hidup sebagai bangsa terjajah dan menantikan pemulihan oleh seorang mesias (bandingkan misal dengan Yohanes 6:14-15) yang tak bergayung sambut dengan ekspektasi mesianik yang mereka yakini secara turun temurun (bandingkan misal dengan Yohanes 12:34 dan kemudian ditanggapi Yesus pada Lukas 24:21, 25-26) telah memproduksi dalam kegelapan jiwa mereka sebuah perilaku penistaan yang tak terbayangkan terhadap seorang mesias yang datang untuk menyelamatkan mereka! Selamatkanlah diri-Mu jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu merupakan provokasi terdahsyat baginya dari dunia manusia yang tak memahami dan dibutakan oleh kejahatan yang memerintah dalam jiwa mereka. Sebuah siklus Getsemani (Matius 26:39) yang telah dilalui oleh pribadi Yesus Sang Kristus tanpa cela, kini datang secara lebih keras menghantam jiwa dan kemanusiaan Yesus yang begitu satu dengan kuasa Ilahi yang merupakan miliknya sendiri, hanya saja kali ini oleh manusia-manusia yang dahulu adalah para pendengarnya namun kini adalah para pembencinya.
Para teolog dan atau para ahli Kitab Suci yang begitu teliti memperhatikan ajaran-ajaran Yesus nampaknya telah sampai pada kesimpulan yang membutuhkan sebuah pengujian atau bahkan semacam stress test apakah Yesus adalah sebagaimana ia mendesainkan dirinya sendiri ataukah tidak:
Matius 27:41-42Demikian juga imam-imam kepala bersama-sama ahli-ahli Taurat dan tua-tua mengolok-olokkan Dia dan mereka berkata: "Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan! Ia Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib itu dan kami akan percaya kepada-Nya.
Para teolog kelas kakap ini mengenal baik bahwa Yesus memang memiliki kuasa-kuasa yang kadarnya pada saat sebelum penyaliban, hanya mungkin dimiliki oleh Yang Maha Tinggi dan tak mungkin dimiliki oleh mesias, raja, nabi sekalipun. Terhadap kuasa-kuasa ilahi yang hanya mungkin dimiliki Yang Maha Tinggi telah pernah dikonfrontasikan secara negatif oleh orang-orang Yahudi itu sendiri:
Yohanes 10:31,33 Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. Jawab orang-orang Yahudi itu: "Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah."
Menjadi menarik untuk dicamkan bahwa selama kehadiran Yesus dan sebelum momen penghinaan kelam ini, sebuah upaya memverifikasi kemesiasan Yesus telah dilakukan, hanya saja karena elemen keilahian yang begitu mulia ditautkan oleh Yesus pada kemesiasannya, ini telah menjadi problem teramat serius bagi orang-orang Yahudi. Perhatikan ini:
Yohanes 10:24 Maka orang-orang Yahudi mengelilingi Dia dan berkata kepada-Nya: "Berapa lama lagi Engkau membiarkan kami hidup dalam kebimbangan? Jikalau Engkau Mesias, katakanlah terus terang kepada kami."
Kemesiasan Yesus menjadi bermasalah dimata orang-orang Yahudi sebab relasi diri Yesus Kristus terhadap Bapa adalah relasi atau hubungan yang membuat kepala mereka sakit untuk menerimanya sebagai sebuah kebenaran kitab suci kala Yesus berkata terkait kemesiasannya: Aku dan Bapa adalah satu (Yohanes 10:30). Konfliknya begitu tajam dan begitu melampaui kemampuan manusia untuk dipelajari melalui Kitab suci untuk dapat dipahami. Sementara Yesus memberikan sebuah indikator terhadap kemesiasannya yang menunjukan bahwa apa yang dikerjakan Allah adalah apa yang dikerjakannya dalam Aku dan Bapa adalah satu. Perhatikan ini:
Yohanes 10:25,28 pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam nama Bapa-Ku, itulah yang memberikan kesaksian tentang Aku, Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku
Pekerjaan-pekerjaannya dan kuasanya yang menjangkau hingga ke kuasa memberikan hidup kekal merupakan hal-hal yang melampaui kemeisanikan yang dipahami mereka. Kemudian, kombinasi perkataan Yesus berikut ini: Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari pada siapapun, dan seorangpun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa. Aku dan Bapa adalah satu." (Yoh 10:29-30) telah membuat Yesus tidak termasuk pada “siapapun” pada pernyataan Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari pada siapapun melalui klausula yang berbunyi Aku dan Bapa adalah satu." Dan inilah yang mendorong sebuah kebencian penuh murka sebab bagi mereka jika demikian maka sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah.
Penghinaan-penghinaan terhadap Yesus pada hari itu memang lebih besar dari sekedar provokasi omong kosong, namun sebuah rangkaian provokasi berdasarkan melihat dan mengalami apa yang diperbuat oleh Yesus.
Bagi Yesus, ini adalah momentum yang hanya bisa dilalui dan dikerjakan oleh dirinya sendiri, tidak ada yang dapat menggantikannya pada peristiwa ini. Peristiwa di Gestsemani dalam doa di taman tersebut adalah akar dari segala kuasa yang bekerja pada dirinya dalam momen-momen penghinaan bagi dirinya tersebut. Tujuan terbesarnya telah ditegakan secara operatif di muka bumi ini kala ia menyelesaikan doanya di taman Gestsemani tersebut dan merupakan momentum yang siapapun tak bisa gagalkan, alihkan sebab pemerintahan diri Yesus Kristus sendiri yang bergerak maju menggenapinya.
B.Yesus Yang Mati Pada Salib & Kesaksian Kepala Prajurit Romawi dan Prajurit-Prajuritnya
Apakah yang disalibkan itu adalah Yesus yang sama dengan Yesus yang selama ini melakukan pekerjaan-pekerjaan ajaib diantara orang-orang Yahudi? Pertanyaan ini hanya akan terjawab pada Yesus yang tersalib tersebut. Seruan Yesus yang janggal pada salib itu sementara kegelapan meliputi kawasan tersebut, semacam ini: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Matius 27:46) sementara menimbulkan tanda tanya besar namun juga menunjukan bahwa bahkan pada titik ini Bapa, dan Yesus yang sedang disalibkan itu senantiasa berada dalam sebuah relasi ilahi yang tak bersurut, namun kemudian pertanyaan penting dan menggelitik lainnya adalah apakah “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku, merupakan indikator kegagalan diri Yesus dihadapan Bapa sehingga ada satu momen ia sama sekali manusia belaka? Jawabnya jelas dan bukan sama sekali demikian sebab kemudian Yesus menunjukan sebuah situasi selanjutnya yang menunjukan relasi dirinya dengan Bapa tidak pernah menunjukan sebuah ketiadaan pada momen apapun:
Matius 27:50 Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya.
Ia memiliki sebuah kontrol absolut pada saat ia menyerahkan nyawa-Nya. Tetapi bagaimana hal ini dapat terjadi maka kita perlu memperhatikan sebuah pengajaran Yesus sendiri.
Terkait menyerahkan nyawa-Nya, kita perlu mencamkan bahwa Yesus pernah mengajarkan perihal ini secara khusus: “Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku." (Yohanes 10:17-18), ajaran ini sangat keras untuk dapat diterima dan sebuah kegilaan yang kronis pada padangan para pendengarnya: "Ia kerasukan setan dan gila; mengapa kamu mendengarkan Dia?" (Yohanes 10:20), namun ini adalah pandangan pada sebagian orang Yahudi sebab sebagian lagi memiliki dasar untuk lebih berhati-hati untuk menilai Yesus dan ucapannya karena apa? Karena sekali lagi, Yesus dan ucapannya bukan diucapkan oleh seorang tanpa perbuatan-perbuatan yang meneguhkan kemuliaan kuasanya, perhatikan ini: Yang lain berkata: "Itu bukan perkataan orang yang kerasukan setan; dapatkah setan memelekkan mata orang-orang buta?" (Yohanes 10:21). Yesus telah ditinjau secara kritis dan ini membuatnya menjadi manusia yang setiap perkataannya kemudian langsung diukurkan pada dirinya secara vulgar atau secara terbuka dan penuh dengan tekanan. Itu sebabnya, sekali lagi, kita harus menyimpan dalam benak kita bahwa pertanyaan terbesar bagi orang Yahudi adalah apakah benar ia mesias itu? Pertanyaan ini sukar dijawab secara definitif oleh mereka sendiri sebab Yesus tampil dalam harapan-harapan mesianik yang terlampaui ilahi: Anak Allah, bahwa ia dan Bapa adalah satu. Bukan menunjukan bahwa Yesus adalah Bapa dan Yesus adalah Roh Kudus dan sebaliknya. Ini teramat serius dan pernah terjadi pada suatu hari di musim dingin di serambi Salomo perihal ini mengemuka: “Tidak lama kemudian tibalah hari raya Pentahbisan Bait Allah di Yerusalem; ketika itu musim dingin. Dan Yesus berjalan-jalan di Bait Allah, di serambi Salomo. Maka orang-orang Yahudi mengelilingi Dia dan berkata kepada-Nya: "Berapa lama lagi Engkau membiarkan kami hidup dalam kebimbangan? Jikalau Engkau Mesias, katakanlah terus terang kepada kami." (Yohanes 10:22-24)
Dan pada momentum penghinaan puncaknya pada salib, kembali hal semacam ini bersiklus bahkan pada momen kematiannya yang begitu mencekam semacam ini: dan lihatlah, tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah… Matius 27:51, sebuah episode yang mengakhiri kesakralan yang selama ini bersemayam pada Bait Suci oleh kematiannya yang hendak berkata bahwa benar ia telah merubuhkan Bait Suci pada jantungnya! Dan bagaimana para penjaga yaitu pasukan Romawi memandang ia yang disalibkan bersama dengan para penjahat tersebut? Respon mereka adalah respon para prajurit yang baru saja ditaklukan oleh kerajaan yang lebih besar dan telah menghancurkan kehegemonian imperium Romawi, sebuah tanda penerimaan bahwa mereka adalah taklukan terlontar dari mulut mereka:
Matius 27:54 Kepala pasukan dan prajurit-prajuritnya yang menjaga Yesus menjadi sangat takut ketika mereka melihat gempa bumi dan apa yang telah terjadi, lalu berkata: "Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah."
Kematiannya tak membuat Yesus menjadi manusia yang tak lagi berbahaya, sebaliknya jauh lebih berbahaya sebab perkataan Yesus terus menindas kekuasaan mereka terkait kebangkitannya. Kebangkitannya adalah isu yang berada diluar jangkauan kuasa-kuasa dunia ini. Jika Yesus benar-benar seberkuasa atas dunia kematian bahwa kematian tidak memerintah atas dirinya namun sebaliknya, maka ini sungguh berbahaya bagi stabilitas politik dan kekuasaan dunia. Maka beginilah reaksi para penguasa dunia untuk menahan kebangkitan Yesus yang telah diajarkan Yesus sebelumnya:
Matius 27:62-66 Keesokan harinya, yaitu sesudah hari persiapan, datanglah imam-imam kepala dan orang-orang Farisi bersama-sama menghadap Pilatus, dan mereka berkata: "Tuan, kami ingat, bahwa si penyesat itu sewaktu hidup-Nya berkata: Sesudah tiga hari Aku akan bangkit. Karena itu perintahkanlah untuk menjaga kubur itu sampai hari yang ketiga; jikalau tidak, murid-murid-Nya mungkin datang untuk mencuri Dia, lalu mengatakan kepada rakyat: Ia telah bangkit dari antara orang mati, sehingga penyesatan yang terakhir akan lebih buruk akibatnya dari pada yang pertama." Kata Pilatus kepada mereka: "Ini penjaga-penjaga bagimu, pergi dan jagalah kubur itu sebaik-baiknya." Maka pergilah mereka dan dengan bantuan penjaga-penjaga itu mereka memeterai kubur itu dan menjaganya.
Kedivinitasan Yesus adalah satu-satunya penjelasan mengapa manusia Yesus begitu berkuasa bahkan atas dunia kematian semua manusia dan kebangkitan manusia yang berkuasa atas kematian oleh dirinya sendiri bahkan dalam ajarannya sendiri. Dengan kata lain, bahwa kematian seorang yang disarukan sebagai Yesus tak akan menghasilkan kebangkitan semacam ini, dan tak ada manusia yang memiliki relasi dengan Bapa dalam kadar Aku dan Bapa adalah satu bahkan saat Anak berkata Allahku-Allahku mengapa Engkau meninggalkanku.
SOLI DEO GLORIA
No comments:
Post a Comment