Oleh: Martin Simamora
Memuliakan
Kehidupan & Kematian Dalam Iman dan Kebenaran
Membicarakan kematian
seharusnya sama pentingnya dengan membicarakan kehidupan itu sendiri, walau
memang kesedihan mendalam pasti tak terelakan. Tetapi sebetulnya secara logika,
membicarakan kematian haruslah disikapi jauh lebih waspada sebab berbeda
dengan membicarakan masa depan kehidupan,
pada masa depan kematian, tidak ada satupun fasilitas semacam “wealth management” yang akan memberikan
sebuah prospektif masa depan atas keuangan dan kesejahteraan anda, bahkan bagi
anak anda, dan kalau anda cukup kuat kekayaannya bahkan mampu untuk melintasi
3 generasi lebih keturunan anda, jika tiba saatnya bagi anda untuk meninggalkan
dunia untuk masuk ke dalam kematian sendirian. Ayub sendiri secara jitu memberikan
deskripsi singkat namun begitu bernas bagaimanakah kehidupan dan kematian bagi
seorang konglomerat yang sangat dekat
dengan Tuhan:
"Dengan
telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan
kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama
TUHAN!"- Ayub 1:21
Mempunyai
tapi tidak memilikinya dan tidak
memilikinya dalam mempunyai. Dalam
hal itulah ia berkata “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil.” Sebuah
pernyataan yang tegas dan jitu tentang bagaimanakah kehidupan eksistensi manusia itu bermakna. Ada
manusia yang tak menyadari sama sekali bahwa Tuhan mengatasi segala eksistensi
yang berindikator pada atribut-atribut yang dapat dimiliki manusia. Tak dapat
disangkali bahwa eksistensi manusia tak lepas dari apa yang dimiliki dalam ia
berkarya di dunia ini, sayangnya tak ada yang dapat melawan “penuaan” atau “bahaya”
atau “ancaman-ancaman” selain manusia itu harus melihat kepada Tuhan sebagai sumber
eksistensinya, jika ia mengakui-Nya. Itu sebabnya Ayub menunjukan bahwa Tuhanlah
penentu eksistensinya: “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil” sambil
berpuja-puji: “terpujilah nama TUHAN!”
Masih
sanggupkah kita anak manusia berujar sama di hadapan Tuhan?
Masa depan kematian
senantiasa akan memiliki 2 kamar pembicaraan. Sebagai orang Kristen kita
biasanya mendapatkannya di dalam gereja di mimbar-mimbar pemberitaan firman,
atau setidaknya pada perkumpulan-perkumpulan tengah minggu dan
renungan-renungan rohani, di sini kita dapat bersikap dalam keseketikaan. Tetapi kematian bukan hal yang dapat kita
akuisisi berdasarkan keinginan dan berdasarkan karena usia sudah lanjut,
sebaliknya “kematianlah yang mengakuisisi kehidupan seorang manusia” yang
sayangnya tidak ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Itu
sebabnya, kematian ketika dibicarakan dan direnungkan sebagai hal yang tak
terelakan, manusia itu menjadi susah hatinya dan akan terbuka dengan sumber-sumber yang datang dari
pandangan-pandangan rohani keagamaan lainnya, bahkan ilmu pengetahuan untuk mencari berbagai
jawaban tentang hidup dan mati. Inilah kamar kedua yang sangat privat dan
tertutup yang sering berbeda dengan apa yang diungkapkannya kepada orang
sekitarnya.
Hanya anda dan Tuhan
yang tahu bagaimana diri ini memandang kematian. Manusia hanya akan sanggup menyentuh
pertanyaan-pertanyaan semacam apakah yang akan kuhadapi dan bagaimanakah
kepastian dalam dunia setelah
kematian yang akan kutempuh, dan kemanakah? Atau adakah itu??