Oleh: Martin Simamora
Rabuni!
Peristiwa berikut ini
lebih dari sekedar kemonumentalan yang abadi sebab secara bersamaan telah
menunjukan kekinian atau kekontempreran diri Sang Mesias dalam pandangan
masyarakat Yahudi dalam ia seorang Yahudi:
Yohanes
20:14-17Sesudah berkata demikian ia menoleh ke belakang dan melihat Yesus
berdiri di situ, tetapi ia tidak tahu, bahwa itu adalah Yesus. Kata Yesus
kepadanya: "Ibu, mengapa engkau menangis? Siapakah yang engkau cari?"
Maria menyangka orang itu adalah penunggu taman, lalu berkata kepada-Nya:
"Tuan, jikalau tuan yang mengambil Dia, katakanlah kepadaku, di mana tuan
meletakkan Dia, supaya aku dapat mengambil-Nya." Kata
Yesus kepadanya: "Maria!" Maria berpaling dan berkata kepada-Nya
dalam bahasa Ibrani: "Rabuni!",
artinya Guru. Kata Yesus kepadanya: "Janganlah
engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada
saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi
kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu."
Dalam Alkitab
Indonesia, dinyatakan: Maria berpaling
kepada Yesus dan memanggilnya: Rabuni/Rabboni [bahasa Aram] yang artinya guru.
Yesus, dalam
perjumpaannya dengan Maria, adalah guru
yang bangkit dari kematian sebagaimana yang telah diprediksi dan diajarkannya
sendiri kepada para murid dan orang banyak. Bukan sekedar, ia adalah guru
yang bangkit dari kematian, tetapi ia
satu-satunya guru yang dapat segera pergi kepada Bapa dan secara
bersamaan menyatakan bahwa Bapanya,juga, adalah Bapamu.
Itulah Yesus di dalam kekiniannya, disamping di
dalam kekekalannya yang begitu
sukar dan hampir saja mustahil untuk
diterima dan diakui manusia sebagai Anak Allah [Yohanes 1:34, 39; 5:25; 10:36;
11:4, 27; 20:31], Sang Kristus/Mesias [ Yohanes 1:17, 20, 25,41; 3:28; 4:25,
29; 7:26, 27, 31, 41, 42; 9:22; 10:24; 11:27; 12:34; 17:3; 20:31 dan Anak
Manusia yang eskatologis [Yohanes 1:51; 3:13, 14; 5:27; 6:27, 53, 62; 8:28;
9:35; 12:23, 24; 13:31].
Itulah jati diri
sebenarnya dan seutuhnya Yesus Kristus.
Ketika Yesus
diberitakan oleh injil, dalam hal ini injil Yohanes, dalam jati diri kekekalannya maka itu
hendak menunjukan dirinya sebagai dia satu-satunya
yang telah diberitakan oleh nabi-nabi perjanjian lama; ketika ia
diberitakan dalam jati diri kekinian dirinya di kala itu, maka itu hendak
menunjukan Yesus sebagai Guru Agama, bukan sama sekali untuk menyangkali atau
membingungkan jati diri kekekalannya. Ini adalah catatan penting dan mutlak
untuk dipegang.
Pada kesempatan ini,
kita akan fokus melihat Yesus di dalam jati diri kekinian dirinya kala itu, ia
adalah Guru dan pada poin manakah bahkan ke-rabian-nya ditolak atau ditinggal pergi oleh para murid-murid-Nya.
Yesus
Di Hadapan Sesamanya Orang-Orang Yahudi
Harus dicamkan bahwa
Yesus di hadapan sesamanya lebih dapat diterima, tanpa kebingungan, sebagai
seorang Guru atau Pengajar jika tanpa
kedivintasan yang diajarkannya.
Mari melihat
bagaimana aspek kemanusiaan Yesus dalam
kekontemporerannya diterima secara melegakan sebagaT ia adalah seorang rabi atau
pengajar, sebagaimana injil Yohanes mempresentasikannya
tanpa konflik:
▬Yohanes
1:38-39 Tetapi Yesus menoleh ke belakang. Ia melihat, bahwa mereka mengikut Dia
lalu berkata kepada mereka: "Apakah yang kamu cari?" Kata mereka
kepada-Nya: "Rabi (artinya: Guru), di manakah Engkau tinggal?" Ia
berkata kepada mereka: "Marilah dan kamu akan melihatnya." Merekapun
datang dan melihat di mana Ia tinggal, dan hari itu mereka tinggal bersama-sama
dengan Dia; waktu itu kira-kira pukul empat.
▬Yohanes
1:49 Kata
Natanael kepada-Nya: "Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja
orang Israel!"
Natanael
dapat dikatakan sebagai salah satu pengecualian diantara saudara-saudara sebangsa Yesus, sebab bukan saja dapat
mengakui kekinian Yesus tetapi juga kekekalan Yesus
▬Yohanes
3:2 Ia datang pada waktu malam kepada Yesus dan berkata: "Rabi,
kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah; sebab
tidak ada seorangpun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu,
jika Allah tidak menyertainya."
▬Yohanes
4:31 Sementara itu murid-murid-Nya mengajak Dia, katanya: "Rabi, makanlah."
▬Yohanes
6:25 Ketika orang banyak menemukan Yesus di seberang laut itu, mereka berkata
kepada-Nya: "Rabi, bilamana Engkau tiba di sini?"
▬Yohanes
9:2 Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa,
orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"
▬Yohanes
11:8 Murid-murid
itu berkata kepada-Nya: "Rabi, baru-baru ini orang-orang Yahudi
mencoba melempari Engkau, masih maukah Engkau kembali ke sana?"
Injil Yohanes telah
mempresentasikan jati diri Yesus dalam
kepenuhan dan kebenarannya, ia di dalam penerimaan penuh sebagai rabi atau guru atau pengajar oleh saudara
sebangsanya,namun dalam hal kekekalannya ditolak. Bahkan, injil Yohanes, telah mempersentasikan Yesus dalam
kemanusiaan yang diterima tanpa keberatan, sebagai Guru, sejak permulaan ia memilih para murid
hingga pasca kematian dan
kebangkitannya, sebelum kenaikannya ke sorga:
●Yohanes
1:38 Tetapi Yesus menoleh ke belakang. Ia melihat, bahwa mereka mengikut Dia
lalu berkata kepada mereka: "Apakah yang kamu cari?" Kata mereka
kepada-Nya: "Rabi (artinya:
Guru), di manakah Engkau tinggal?"
●Yohanes
20:15-17 Kata Yesus kepadanya: "Ibu, mengapa engkau
menangis? Siapakah yang engkau cari?" Maria menyangka orang itu adalah
penunggu taman, lalu berkata kepada-Nya: "Tuan,
jikalau tuan yang mengambil Dia, katakanlah kepadaku, di mana tuan meletakkan
Dia, supaya aku dapat mengambil-Nya." Kata Yesus
kepadanya: "Maria!" Maria berpaling dan berkata kepada-Nya dalam
bahasa Ibrani: "Rabuni!",
artinya Guru. Kata Yesus kepadanya: "Janganlah
engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada
saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi
kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu."
Yesus yang benar-benar manusia didalam kejasmanian
sejatinya telah digambarkan oleh rasul Yohanes, dalam injilnya, baik
berdasarkan realitas yang menunjukan bahwa ia memang lebih mendamaikan hati
kebanyakan orang untuk diakui hanya
sebagai guru dan berdasarkan realitas kematian dirinya yang benar-benar
dipahami oleh Maria sebagai kematian seorang manusia yang tidak mungkin bangkit
dari kematian, sebagaimana yang begitu diyakini dirinya: "Tuan, jikalau tuan yang mengambil Dia, katakanlah kepadaku, di
mana tuan meletakkan Dia, supaya aku dapat mengambil-Nya."
Apa yang menarik
untuk menjadi perhatian bagi para pembaca Alkitab khususnya pada injil,yaitu: sekalipun
ia Rabi,bagaimana Yesus telah menempatkan
dirinya sebagai satu-satunya Rabi atau Sang Rabi yang dari dirinya saja lahir
pengajaran otoratif:
▀Matius
23:8 Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena
hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara.
Saat ia menyatakan “karena hanya satu Rabimu,” itu
bukan hendak mengatakan para rabi lain
yang memang secara kelembagaan agama kala itu otoratif, bukan rabi sama sekali,
tetapi hendak menunjukan bahwa tak ada
satu pun rabi yang benar di hadapan hukum Taurat, dengan kata lain, semua rabi yang ada, tidak satupun yang
benar berdasarkan hukum Taurat yang mereka ajarkan.
Perhatikan bagaimana
Yesus telah menyatakan perihal ini,secara gambling, kepada para murid-Nya:
▀Matius
23:1-7 Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya,
kata-Nya: Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala
sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu
turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak
melakukannya. Mereka mengikat
beban-beban berat, lalu meletakkannya
di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya
dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan
jumbai yang panjang; mereka suka
duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah
ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar
dan suka
dipanggil Rabi.
Tidak
ada, bagi Yesus, yang dapat disebut rabi selain dirinya. Ketika Yesus
menyatakan para ahli Taurat dan orang Farisi yang suka dipanggil rabi, agar para murid jangan meneladani perbuatan mereka, itu terkait dengan otoritas dan kuasa untuk
mengajarkan dan menggenapi apa-apa yang diajarkan. Bagi Yesus,
memang ada kebenaran yang diajarkan oleh rabi-rabi yang lain, namun
sama sekali bukan rabi yang memiliki otoritas dan sekaligus kuasa
untuk menggenapi apapun juga yang diajarkannya.
Pada
kesempatan sebelumnya, Yesus telah menunjukan bahwa dirinya adalah satu-satunya yang memiliki otoritas dan
sekaligus kuasa untuk menggenapi setiap tuntutan hukum Taurat, tanpa sebuah kecelaan yang bagaimanapun:
▀Matius
5:17-18Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku
datang untuk meniadakan hukum
Taurat atau kitab para nabi. Aku
datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya selama belum
lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan
dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.
Pada
kesempatan ini, Yesus bukan saja sedang
menunjukan dirinya sebagai rabi atau guru atau pengajar yang dapat mengajarkan
dan melakukan apapun yang diajarkannya, namun ia sedang menyatakan sebagai rabi yang
menggenapi “saat-saat atau
waktu-waktu yang telah dituliskan kitab suci harus terjadi,” sehingga ia
menegaskan penggenapan olehnya sebagai rabi tak hanya dalam kekontemporeran
kemanusiaannya yang diterima sebagai rabi tetapi juga kekekalan ilahi dirinya
yang dikandung oleh kehendak kekal Allah untuk datang ke dalam dunia ini,
sehingga ia memberikan definisi pada apakah yang dimaksudkan dengan menggenapkan
dalam sebuah makna yang tak akan dapat
dilakukan oleh rabi-rabi manapun juga: “Sesungguhnya selama belum
lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun, tidak
akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya
terjadi.
Harus menjadi catatan
penting dan tak boleh diabaikan, bahwa pengajaran terbuka atau yang didengarkan oleh publik, semua
menyetujui bahwa Yesus juga adalah
rabi sebagaimana para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, tepat
sebagaimana kesan orang banyak terhadap diri Yesus, namun mereka mengakui bahwa
Yesus bukan rabi sebagaimana pada umumnya rabi yang
mereka dapat kenali:
Matius
7:28-29Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu
mendengar pengajaran-Nya, sebab
Ia
mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak
seperti ahli-ahli Taurat mereka.
Pada momentum pengajarannya
yang begitu monumental [dikatakan
demikian karena ia secara terbuka menyatakan dirinya sebagai satu-satunya
PENGAJAR yang sanggup menggenapi hukum Taurat bahkan dalam dimensi “waktu-waktu
penggenapan yang menantikan ketibaan momentum
dan penggenapnya], ia pun telah
menghakimi bahwa semua rabi berdasarkan hukum Taurat, hanya bisa mengajar namun tak dapat melakukan
apa yang diajarkannya:
▀Matius
5:20 Maka Aku
berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih
benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi,
sesungguhnya
kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Sang
Pengajar, bukan saja sedang mengajar tetapi melakukan penghakiman yang bernilai penentuan keberakhiran dalam
kekekalan: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup
keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”
Ini
penghukuman yang bukan saja FINALITAS tetapi berdasarkan kebenaran dari dirinya
sendiri sebab ia memulai penghakiman ini
berdasarkan: “Aku berkata
kepadamu.”
Siapakah
rabi
yang sehingga dapat menghakimi sesamanya dalam vonis: sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga, sedefinitif itu. Tuhankah Ia?
Hal lain yang membuat dirinya satu-satunya rabi dan tidak
ada rabi-rabi lain yang akan pernah ada dalam kekontemporeran semacam ini pada
abad-abad mendatang sekalipun, adalah: ia membangun
pasal penting yang menjadi dasar penghakiman finalitasnya itu, baik
kepada para ahli Taurat dan para jemaatnya:
►Matius
5:19 Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat
sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan
menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi
siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki
tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.
Pasal
ini pun telah didapati Yesus sebagai tak
satupun rabi dan jemaat para rabi yang dapat memenuhinya, sehingga
mendasari vonis mematikan dan final ini:
Matius
5:20 Maka Aku
berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih
benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi,
sesungguhnya
kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Seburuk apakah kehidupan keagamaan para ahli Taurat dan
orang Farisi, maka Matius 5:19 adalah pasal yang
melawan para rabi tersebut atau tidak satupun, bahkan, kedapatan memenuhi
kualifikasi: “ia akan menduduki tempat
yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga.”
Pasal pada Matius
5:20 ini, bahkan, ketika diajarkan oleh Yesus tidak menjadikan dirinya obyek
hukum Taurat sementara ia sendiri adalah seorang guru atau pengajar yang memang
terikat pada ketentuan dan tuntutan Taurat, sebagaimana seharusnya para rabi
secara umum.
Saat ia menyatakan dirinya datang
untuk menggenapi hukum Taurat atau kitab
para nabi, maka memang benar adanya menunjukan kemanusiaan Yesus dan
kekontemporeran kehidupan Yesus yang harus memenuhi ketentuan Taurat, namun
sekaligus, tak terelakan, terbangun relasi antara Yesus dan hukum Taurat yang mana hukum Taurat atau kitab para nabi
membutuhkan kedivinitasan Yesus untuk menunjukan kebenaran dan kemuliaan hukum Taurat.
Natur relasinya, tak pernah Yesus yang memerlukan hukum Taurat, tetapi sebaliknya.
Tepat seperti dikatakannya: Aku datang untuk
menggenapi hukum Taurat atau kitab para nabi; kesempurnaan dan kemuliaan hukum
Taurat terletak pada Yesus Kristus yang datang sebagai penggenap atau antara Yesus dan hukum Taurat atau kitab
para nabi tidak ada keantaraan atau sebuah kebedaan kekudusan antara
tuntutan hukum Taurat dengan bagaimana
Yesus menggenapinya. Kekudusan Yesus dan kekudusan hukum Taurat tak
mengalami kebedaan sehingga kala Yesus menggenapinya maka hukum Taurat
mengalami kesurutan atau kemerosotan kekudusannya.
Perhatikan realitas
ini, misalkan bagian ini:
Matius
5:21-22 Kamu telah mendengar yang difirmankan
kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum.
Tetapi Aku berkata kepadamu:
Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata
kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang
berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.
“Kamu telah mendengarkan yang difirmankan
kepada nenek moyang,” ini adalah kebenaran dan bukan sebuah kesalahan yang
bagaimanapun, tetapi saat ia datang menggenapinya sehingga segala
ketaklengkapan sirna sebab sudah mengalami penggenapannya, para pendengar
kemudian mendengarkan kebenaran yang telah difirmankan kepada nenek moyang
mereka dalam kebenaran yang telah mengalami penggenapan, yang disabdakan Sang
Rabi dan Sang Penggenap: “Tetapi Aku
berkata kepadamu.”
Saat Sang Rabi
mengajarkan “tetapi Aku berkata kepadamu,” kepada orang banyak
itu, sama sekali bukan dalam kedualistisan atau keduaan kebenaran. Maksudnya: apa yang telah difirmankan kepada nenek
moyang mereka, tetap merupakan kebenaran yang berdiri dan berjalan
berdampingan dengan tetapi Aku berkata
kepadamu. Tak pernah demikian maksud Sang Rabi, sebab ia menyudahinya
dengan “harus diserahkan
ke dalam neraka yang menyala-nyala.” Jika mereka hanya berpegang dan melakukan
berdasarkan “apa yang telah difirmankan kepada nenek moyang mereka,” sementara
itu Sang Penggenap telah menyatakan: “tetapi Aku berkata kepadamu,” dan itu
diabaikan dalam cara sekudus apapun [berpegang pada firman yang telah disampaikan
kepada nenek moyang mereka], maka tak ada kebenaran sama sekali yang terkandung
di dalamnya atau “harus diserahkan ke
dalam neraka yang menyala-nyala.”
Kebenaran berdasarkan
penggenapan oleh Sang Penggenap yang menyudahi kebenaran yang telah
diterima oleh nenek moyang mereka, memiliki pasal yang menjadi dasar kebenaran
semacam ini, yaitu: pasal Matius 5:19.
Salah
satu dampak langsung terhadap hukum Taurat
dan kitab para nabi ketika diajarkan oleh Rabi Yesus [Sang Kristus] adalah: setiap hal yang telah digenapi secara absolut
akan disudahi kebenarannya sebagai yang
harus tetap dipegang dan dijunjung tinggi sebagai satu-satunya. Dengan
kata lain: setiap penantian dalam kitab suci untuk digenapi pewujudannya
ketika mengalami kegenapan, maka penantian semacam itu akan disudahi, sehingga tidak akan pernah
lagi membutuhkan penggenapan untuk selama-lamanya. Pada poin inilah tidak
terjadi dualistis kebenaran, sebab penggenapan mengakhiri kerja setiap penantian penggenapan dalam Kitab Suci.
Hal ini, juga, tampak
nyata, masih sehubungan dengan kebenaran
yang terdapat dalam Kitab Musa yang telah digenapi oleh Yesus Kristus:
Yohanes
6:47-51 Aku
berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang
kekal. Akulah roti hidup. Nenek moyangmu telah makan manna
di padang gurun dan mereka telah mati. Inilah roti yang
turun dari sorga: Barangsiapa makan dari padanya, ia tidak akan mati. Akulah
roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia
akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang
akan Kuberikan untuk hidup dunia."
Yohanes
5:39-40 Kamu
menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu
mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi
kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku
untuk memperoleh hidup itu.
Yohanes
5:46 Sebab
jikalau kamu percaya kepada Musa,
tentu kamu akan percaya juga kepada-Ku, sebab ia telah menulis tentang Aku.
Tak ada
keduaan kebenaran, kemudian, pada setiap kali
ia telah menyatakan bahwa kebenaran
tertentu dalam Kitab Suci telah digenapi olehnya dalam waktu kedatangannya
ke dunia pada saat itu.
Dalam kekontemporeran
atau kekiniannya di kala tersebut, secara umum ia memang diterima sebagai Guru,
ia bahkan dalam banyak momentum dapat mengajar di bait suci. Namun manakala ia
sebagai Guru tak hanya mempresentasikan dirinya dalam kekontempreran atau kemanusiaan
atau ke-guru-annya dalam kebenaran-kebenaran divintas yang telah
berdiam di dalam kehidupan saudara sebangsanya selama sejak era Musa, namun
juga mempresentasikan dirinya sebagai
Sang Penggenap dalam dimensi
kekekalan yang tunggal secara otoratif, tunggal secara kebenaran, tunggal
secara divinitas, maka kemudian menjadi problem yang begitu menjegal banyak
orang untuk lebih lanjut mendengarkan dan mengikutnya, seperti:
▬Matius
6:41-42 Maka bersungut-sungutlah
orang Yahudi tentang
Dia, karena Ia telah mengatakan: "Akulah roti yang telah turun
dari sorga." Kata mereka: "Bukankah
Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapanya kita kenal? Bagaimana Ia
dapat berkata: Aku telah turun dari sorga?"
▬Yohanes
6:60-62 Sesudah
mendengar semuanya itu banyak dari murid-murid Yesus yang berkata: "Perkataan
ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?" Yesus
yang di dalam hati-Nya tahu, bahwa murid-murid-Nya bersungut-sungut tentang hal
itu, berkata kepada mereka: "Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu?
Dan
bagaimanakah,
jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke
tempat di mana Ia sebelumnya berada?
▬Yohanes
6:66 Mulai
dari waktu itu banyak
murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.
Pada era
kekontemporeran Yesus, ada banyak orang yang menjadi murid-murid Yesus, ini
bukan sembarang atau sekedar mengikut Yesus, sebaliknya sungguh-sungguh sebab
memang saat ia belum tiba saatnya untuk menunjukan dirinya secara terbuka bahwa
ia bukan sekedar rabi tetapi juga Anak Allah dan Anak Manusia secara
eskatologis, maka memang tak terelakan lagi untuk mendengarkan Yesus sebagai
benar-benar manusia dan benar-benar
Ilahi atau turun dari sorga, sementara Rabi, Mesias dan
Anak Manusia memang hal yang akan membuat murid-murid-Nya di kekontemporerannya
akan mengundurkan diri.
Bagaimana
dengan kekristenan yang sedang anda imani atau yang anda terima dari gereja
atau pendetamu, apakah selaras dengan pengajaran Yesus?
Amin
Segala
Pujian Hanya Bagi Tuhan
Bacaan
terkait:
Rujukan
bernilai terhadap artikel yang ditulis:
-“Jesus as Rabbi in Fourth Gospel,” oleh: Andreas J. Köstenberger, Bulletin For Biblical
Research 8 (1998) 97-128 – pdf
-“Jewish Scripture and the Literacy of Jesus,” oleh: Craig A. Evans
-“Teacher and Rabbi in The New Testament Period,” oleh: Harold Mare, Grace
Theological Journal 11.3 (1970)
No comments:
Post a Comment