Pages

01 August 2018

Mari Menjadi Orang Kristen yang Mengenal Politik (1)



Oleh: Martin Simamora

Apakah Politik & Mengapa Penting Bagi Kita?

Sebuah Pengantar yang Sangat Penting Bagi Kita Semua

Pada 17 Desember 2010, seorang pemuda di Tunisia bernama Mohamed Bouazizi membakar dirinya sendiri. Tindakannya tersebut merupakan protesnya terhadap penyitaan buah-buahan dan sayur-mayur dagangannya yang biasa dijajakannya di kaki lima, salah satu dari banyak bentuk pelecehan dan frutrasi yang telah dialami Bouazizi oleh aparatur Negara Tunisia. Pada malam itu kerusuhan-kerusuhan dan rentetan protes merebak disaentero ibukota Tunisia dalam amarah memuncak melihat ada seorang yang tersudutkan sehingga harus mengambil tindakan seperti itu. Protes kemudian berkembang sangat cepat menjadi sebuah  gerakan yang jauh lebih signifikan, berubah menjadi protes-protes anti pemerintah dan tidak lagi secara khusus berfokus pada apa yang dialami Bouazizi. Pada 13 Januari 2011, Mohsen Bouterfif, dalam  sebuah tindakan yang terlihat sangat menyerupai, menghidupkan api pada dirinya sendiri di sebuah kota kecil di provinsi Tebessa yang berbatasan langsung dengan Aljazair. Ia sedang memprotes ketakmampuannya untuk mendapatkan pekerjaan dan perumahan. Pada minggu sebelumnya, empat orang lainnya di Aljazair telah juga berupaya membakar dirinya sendiri dalam waktu bersamaan ketika negeri tersebut juga telah dilanda sejumlah kerusuhan dan ketegangan sipil di sejumlah tempat terpisah. Hanya dalam waktu empat hari kemudian, seorang pria Mesir membakar dirinya sendiri di luar gedung parlemen, kembali dalam protes menentang kondisi-kondisi ekonomi yang dialaminya dan frustrasinya terhadap kelambanan respon pemerintah terhadap masalah-masalahnya. Dalam 10 hari, protes-protes anti pemerintah dalam skala besar telah merebak di Kairo. Sebelum  berakhirnya bulan tersebut, Muammar Gadaffi di Libya telah secara terbuka menyatakan kegusarannya pada bangkitnya peristiwa-peristiwa yang melanda negara-negara tetangga di Afrika Utara.


Kejadian-kejadian permulaan ini telah berperan sebagai katalis untuk apa yang kemudian dikenal sebagai “Arab Spring”, sebuah gelombang protes massa dan penentangan terhadap pemerintahan otoriter yang menyapu Afrika Utara dan bagian-bagian Timur Tengah. Pada akhir 2011, ini telah membawa pda penumbangan rejim-rejim di Tunisia, Mesir, Yaman dan Libya, gerakan besar protes di Bahrain dan Syria, dan protes-protes besar di Aljazair, Iraq, Yordan, Maroko dan Oman. 



Tentu saja, satu orang membakar dirinya sendiri tidak dapat diidentifikasi sebagai satu-satunya penyebab yang memungkinkan gelombang revolusi, tetapi itu dapat dipandang sebagai sebuah katalis atau yang mempercepat laju yang membangun sebuah pra-keberadaan hasrat bagi perubahan dalam negara-negara tersebut.

Aspirasi dari banyak komentator dan para pembuat kebijakan Barat adalah bahwa, berulang kali dikatakan, negara-negara tersebut akan muncul sebagai rejim-rejim demokratis yang stabil. Dalam hal ini, protes-protes massa dipotret sebagai tuntutan-tuntutan oleh masyarakat yang akses-aksesnya untuk mengemukakan pendapat dan haknya telah terhalangi oleh sejumlah kebijakan (disenfranchised citizens) untuk kebebasan yang lebih besar dan terutama kebebasan politik yang lebih besar. Akan tetapi proses demokratisasi, atau transformasi dari otoriter ke sebuah rejim yang demokratik, tidak berakhir dengan penyingkiran seorang otokrasi dan keputusan untuk mengusung pemilu-pemilu yang “bebas dan adil”. Demokrasi liberal lebih dari sekedar pemilu-pemilu dan pilkada-pilkada. Pemilihan-pemilihan adalah sentral yang penting, tetapi para perancang konstitusional dan kelompok-kelompok lain yang akan memutuskan bentuk Negara demokrasi yang bagaimanapun untuk muncul di Afrika Utara atau di Timur Tengah, dan dimanapun juga termasuk di negara kita Republik Indonesia, akan menghadapi sebuah rentang pilihan-pilihan yang luas dan memusingkan dalam bagaimana mereka merancang fitur-fitur politik sebuah negara baru (maksudnya pasca lepas dari cengkraman rejim otokrasi).

Lebih jauh lagi, desain institusi-institusi politik ini akan secara langsung berdampak terhadap natur dan kualitas demokrasi yang saat ini sedang kita alami. Pertanyaan-pertanyaan penting yang akan wajib dipertimbangkan adalah seperti tipe sistem elektoral apakah yang harus dimiliki dan bagaimana ini akan mempengaruhi cara pemilih dan partai berperilaku? Berapa banyak partai seharusnya direpresentasikan didalam pemerintah: satu partai yang berkuasa penuh, atau sejumlah partai yang saling berkompetisi dalam sebuah koalisi?

Akhirnya, dan barangkali yang paling penting dalam sebuah  negara yang belum lama mengalami demokratisasi adalah, jenis-jenis institusi politik yang seperti apakah yang akan mempromosikan kebijakan-kebijakan yang benar-benar diinginkan oleh warga negara seperti pertumbuhan ekonomi, layanan publik yang bagus dan perlindungan lingkungan, dan bekerja secara efektif untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi warga negara?

Politik Penting Karena Akan Menentukan Kualitas Hidup & Masa Depan Sebuah Bangsa & Negara
Pada abad ke 3 BCE, filsuf Yunani Aristotle barangkali adalah akademisi pertama yang berpikir secara sistematis mengenai bentuk-bentuk pemerintahan yang berbeda membawa pada hasil-hasil politik yang berbeda: seperti stabilitas atau pemberontakan dalam sebuah kota negara dalam negeri Yunani kuno. Faktanya, jika ilmu pengetahuan adalah bangunan dan organisasi sistematik pengetahuan dengan tujuan untuk memahami dan menjelaskan bagaimana dunia bekerja, maka Aristotle barangkali adalah “imuwan politik” pertama.

Sejak Aristotle, banyak filsuf politik yang berupaya untuk memahami dan menjelaskan bagaimana politik bekerja dan berpikir tentang bagaimana masyarakat-masyarakat seharusnya dikelola, dan studi apapun pada sejarah pemikiran politik akan memperkenalak siswanya pada banyak pemikir ini, seperti Plato, Cicero, Machiavelli, Hobbes, Locke, Montesquieu dan Madison.


Akan tetapi disiplin ilmu Politik modern sebagaimana diterapkan dalam pengajaran dan riset-riset di universitas-universitas, usianya belum mencapai satu abad. Kursi pertama dalam Sejarah dan Ilmu Politik bermula di Columbia University, New York pada 1857. Institusi-institusi dan jurusan-jurusan pertama dengan nama “ilmu politik” pada gelar mereka baru dikenakan di Ecole Libre des Sciences Politiques di Paris pada 1871, fakultas Ilmu Politik di Columbia University pada 1880, dan London Scholl of Economics and Political Science pada 1895. Dan asosiasi profesional pertama ilmuwan-lmuwan politik adalah American Political Science Association pada 1903.

Imuwan-ilmuwan politik moderen  utama pada dekade-dekade awal abad ke-20, diantaranya adalah Max Weber di Jerman, Robert Michels di Italia, Lord Bryce di Inggris, dan Woodrow Wilson di AS. Para akademisi ini, dan hampir semua yang seera mereka, menganggap diri mereka secara utama adalah sosiolog, sejarahwan, pengacara, atau para ahli administrasi public. Tetapi apa yang mereka upayakan untuk memahami dan menjelaskan, diantaranya adalah politik, dan salah satu aspek secara utama: institusi-institusi politik.Fokus-fokus para intitusionalis perdana ini, dalam semangat Aristotle, adalah institusi-institusi pemerintah dan  politik di berbagai negara: seperti eksekutif-eksekutif, parlemen-parlemen, konstitusi-konstitusi, dan partai-partai politik. Dan pertanyaan-pertanyaan para ilmuwan politik perdana ini berupaya untuk menjawab mencakup hal-hal berikut ini: apakah sistem pemerintah Jerman lebih baik daripada Inggris? Apakah partai-partai politik itu baik atau buruk bagi pemerintah? Apakah sistem electoral terbaik bagi sebuah demokrasi?

Setelah fokus perdana  pada menggambarkan dan menjelaskan institusi-institusi politik, pada pertengahan abad ke 20, ilmu politik menggeserkan fokusnya pada”perilaku politik”. Ada beberapa alasan bagi perubahan ini. Keyakinan pada kekuasaan lembaga-lembaga politik telah menghadapi tantangan oleh keruntuhan demokrasi terutama di Eropa pada 1920-an dan 1930-an. Republik Weimar, di Jerman, yang selama ini dianggap negara demokratik konstitusi yang ideal, sebagaimana penilaian para ahli di masa tersebut. Untuk memahami keruntuhan Weimar, dan kebangkitan Fasisme dan Komunisme, telah menjadi jelas bahwa sikap-sikap dan perilaku warga negara dan para elit barangkali lebih penting daripada institusi-institusi pemerintah.

Para ilmuwan politik juga telah mengembangkan beberapa metoda baru untuk studi perilaku politik. Salah satu metoda tersebut adalah”representative opinion pool”. Sampai tahun 1930-an, pemilihan-pemilihan biasanya diprediksi oleh surat-surat kabar atau majalah-majalah yang mengumpulkan opini-opini pembacanya mereka. Sebagai contoh, tepat sebelum pemilihan presiden AS 1936, Literary Digest telah menyurvei 2,3 juta pembacanya, dan dengan yakin telah memprediksi bahwa Alf Landon akan mengalahkan Franklin D. Roosevelt. Problem dengan prediksi ini adalah, bahwa pembaca-pembaca Literary Digest adalah mereka yang kebanyakan dari kelompok masyarakat berpenghasilan lebih tinggi dan karenanya cenderung untuk mendukung kandidat Republik (Landon) daripada rata-rata warga Negara AS yang sedang berada di tengah-tengah Depresi Besar-Great Depression.


Sumber: Kumparan.com

Pada saat yang sama, George Gallup telah menyelenggarakan survei yang lebih kecil diantara sebuah sample yang merepresentasikan warga negara Amerika Serikat, berdasarkan pada beragam karakteristik demografik, seperti pendapatan, usia, jenis kelamin. Menggunakan metoda ini, Gallup secara tepat telah memprediksi sebuah kecondongan besar bagi Roosevelt. Gallup menjadi terkenal, sebagai pionir pengumpulan jajak pendapat atau opinion pools, yang kini juga sangat kita kenali dan akrabi dalam mendapatkan  hasil prediksi  pemenang pemilu yang kejituannya dapat diandalkan. Gallup kemudian membuka sebuah cabang di London dan secara tepat telah memprediksi kemenangan Partai Buruh pada pemilu 1945, sementara banyak komentator yang telah mengasumsikan bahwa Konservatif akan menang, yang dipimpin oleh Winston Churchill.

Antara 1940-an dan 1960-an, diperkuat dengan metoda-metoda baru untuk mempelajari politik, data baru dari opinion polls dan pengumpulan data lainnya dijalankan, dan ide-ide baru mengenai bagaimana menjelaskan perilaku politik, ilmu politik telah menembus apa yang sekarang kita pikir sebagai sebuah “revolusi perilaku”.

Selanjutnya: bagian 2  

Sumber utama penulisan untuk bagian ini:
Introduction to political Science, S.Hix and M.Whitting, Undergraduate Study in Economics, Management, Finan ce and the Social Siences, University of London-International Programmes

Diterjemahkan, diedit dan diadaptasikan oleh
Martin Simamora


No comments:

Post a Comment