Pages

27 May 2015

Pengudusan



Oleh: Henry Clarence Thiessen



Pentingnya doktrin ini nampak dari pernyataan semacam ini, “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan” (Ibrani 12:14). Nas ini tidak sedang  memberikan penekanan penuh kekuatan pada realisasi kekudusan absolut dalam hidup, sebagai pengejaran untuk absolut kudus pada diri. Petrus menulis, “hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu” (1Petrus 1:15). Perbedaan-perbedaan pengajaran yang disampaikan pada saat ini membuat doktrin ini perlu kita  pandang secara cermat pada pengajarannya. Mari kita mempelajari definisi, waktu, dan sarana-sarana pengudusan.


I.Definisi Pengudusan
Kata benda “pengudusan” ditemukan beberapa kali dalam Perjanjian Baru (Roma 6:19,22; 1Kor 1:30; 1 Tes 4:3dst,7; 2 Tes 2:13; 1 Tim 2:15; Ibra 12:14; 1Pet 1:2). Ada beberapa kata lain yang memiliki kaitan ketat dengan kata pengudusan: kekudusan (Roma 1:4; 2Kor 7:1; 1Tes 3:13), kudus (Kisah Para Rasul 7:33; 1Kor 3:17; 2Kor 13:12), orang kudus (1Kor 16:1; Efe 1:1; Fil 4:21), tempat kudus (Ibra 8:2), dan kuduskan atau dikuduskan (Matius 6:9; Yohanes 17:17; Ibrani 13:12). Kata kerja “menguduskan” memiliki sedikitnya 3 makna: menyatakan atau mengakui menjadi dapat disucikan, dikuduskan (Lukas 11:2; 1Petrus 3:15); memisahkan dari hal-hal yang najis dan mendedikasikan kepada Allah, dikhususkan untuk tujuan suci (Matius 23:17; Yohanes 10:36; 17:19; 2Tim 2:21); dan  dibersihkan dari hal-hal kotor (Efesus 5:26; 1Tes 5:23; Ibra 9:13). Kata sifat “kudus” digunakan pada berbagai hal (gunung, 2Petrus 1:18; cium, 1Kor 16:20), Roh (Roma 5:5), Bapa (Yohanes 17:11; 1Pet 1:15), Hukum (Roma 7:12; 2Pet 2:21), malaikat-malaikat (Markus 8:38), orang-orang percaya (Efe 1:1; Ibra 3:1), nabi-nabi Perjanjian Lama (2Pet 3:2), dan lain sebagainya. Kerap kata sifat ini digunakan sebagai sebuah substantif dan diterjemahkan “orang-orang kudus.” Dalam cara ini, kata ini digunakan pada  malaikat-malaikat (Yudas 14), orang-orang percaya (Yudas 3; Wahtu 8:3), atau keduanya (1Tes 3:13). Apakah maknanya menjadi seorang kudus dan menjadi orang yang telah dikuduskan?


Membicarakannya secara luas, kita dapat mendefinisikan pengudusan sebagai sebuah pemisahan bagi Allah, sebuah pengimputasian  (diperhitungkannya) Kristus sebagai kekudusan kita, pengudusan dari moral jahat, dan penyelarasan pada citra Kristus.


A.Pemisahan Untuk  Kepentingan Allah
Pemisahan untuk Allah didasarkan pada gagasan yang pasti  akan pemisahan dari kecemaran. Ini terutama berkaitan dengan  perbuatan-perbuatan yang mati. Jadi Hizkia menugaskan para Lewi untuk menguduskan  rumah Tuhan dengan mengeluarkan hal-hal sangat menjijikan dari tempat kudus (2Tawarikh 29:5, 15-19). Biasanya, kita memiliki gagasan positif pada pemisahan atau pendedikasian bagi Allah. Dalam pemahaman ini, tabernakel dan bait suci telah dikuduskan  beserta semua perabot dan  bejana (Keluaran 40:10 dst; Bilangan 7:1; 2 Taw 7:16). Seorang manusia dapat menguduskan rumahnya atau bagian pada ladangnya (Im 27:14-16). Tuhan telah menguduskan  anak pertama Israel bagi dirinya sendiri (Keluaran 13:2; Bil 3:3). Bapa menguduskan Anak (Yohanes 10:36), dan Anak telah menguduskan dirinya sendiri (Yohanes 17:19). Orang-orang Kristen telah dikuduskan pada saat pertobatan berimannya (1Kor 1:2; 1Pet1:2; Ibr 10:14). Yeremia telah dikuduskan sebelum dia dilahirkan (Yer 1:5), dan Paulus berbicara mengenai dirinya yang telah dipisahkan sejak di kandungan  ibunya (Galatia 1:15).


B.Pengimputasian Atau Diperhitungkannya Kristus Sebagai Kekudusan Kita
Pengimputasian Kristus sebagai kekudusan kita mendampingi pengimputasian Kristus sebagai kebenaran kita. Dia telah dijadikan bagi kita baik kebenaran dan pengudusan (1Kor 1:30). Paulus mengatakan orang-orang percaya “telah dikuduskan di dalam Kristus Yesus” (1Kor 1:2). Kekudusan ini didapatkan oleh iman dalam Kristus (Kisah Para Rasul 26:18). “Pembasuhan air dengan firman” telah mendahului pengudusan (Efe 5:26). Orang percaya dengan demikian telah diperhitungkan kudus serta juga benar, karena dia (orang percaya itu) telah dipakaikan dengan kekudusan Kristus. Dalam pemahaman ini, semua orang percaya disebut “orang-orang kudus,” tak memandang kondisi rohani pada diri mereka sendiri (Roma 1:7; 1Kor 1:2; Efe 1:1; Fil 1:1; Kol 1:2). Dalam kasus orang-orang Korintus, karakter ketidakkudusan mereka secara khusus terlihat nyata (1Kor 3:1-4; 5:1dst; 6:1;11:17-22). Orang-orang percaya Ibrani adalah orang-orang kudus, namun belum dewasa (Ibra 2:11; 3:1; 5:11-14).


C.Pembersihan Dari Moral Jahat
Pembersihan dari moral jahat, dalam realitanya, merupakan bentuk lain pemisahan. Para imam telah diminta untuk menguduskan diri mereka sendiri sebelum mendekat pada Allah (Keluaran 19:22), dan orang percaya masa kini diminta untuk memisahkan diri mereka sendiri dari ketaksalehan pada umumnya (2Kor 6:17 dst), memisahkan diri dari guru-guru dan pengajaran-pengajaran palsu (2Tim 2:21; 2Yohanes 9dst), dan memisahkan diri dari natur jahatnya sendiri (Roma 6:11 dst; Efe 4:25-32; Kol 3:5-9; 1Tes 4:3-7). Paulus menulis, “Saudara-saudaraku yang kekasih, karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah” (2Kor 7:1). Akan menjadi perhatian bahwa dalam sejumlah nas, pengudusan diperlakukan sebagai sebuah tindakan tunggal seketika, dan dalam nas-nas lain sebagai sebuah proses yang berkesinambungan; dalam beberapa nas, pembersihan lebih  merupakan sebuah natur yang terwujud keluar atau terlihat, sementara dalam nas-nas lainnya, pembersihan atau pengudusan pada  pokoknya terjadi pada dalam diri manusia. Dalam semua nas tersebut, pengudusan atau pembersihan dinilai sebagai sebuah tindakan manusia dan bukan sebagai sebuah tindakan Allah. Allah sudah mengkhususkan dirinya  bagi setiap orang yang percaya dalam Kristus; sekarang orang percaya mendedikasikan dirinya bagi Allah untuk kepentingan penggunaan Allah.



D.Penyelarasan Pada Citra Kristus
Penyelarasan pada citra Kristus adalah aspek positif dari pengudusan, sementara pengudusan  adalah aspek negatif, dan pemisahan dan pengimputasian kekudusan Kristus adalah aspek posisional. Ada sejumlah nas yang menyentuh fase  pengudusan ini. Paulus menulis, “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Roma 8:29); “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya”(Fil 3:10); dan “Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar”(2Kor 3:18); bandingkan dengan Galatia 5:22f; Fil 1:6). Dan Yohanes berkata,” Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya” (1Yoh 3:2). Jelas, ini adalah sebuah proses yang berlangsung sepanjang hidup dan baru akan mencapai keberbuahan penuh hanya ketika kita kelak   melihat Tuhan.




II.Waktu Pengudusan
Pengudusan itu adalah sekaligus  sebuah peristiwa seketika satu kali dan sebuah proses. Dalam hal ini, berbeda dengan pembenaran atau justifikasi yang merupakan sebuah peristiwa seketika  yang berlangsung satu kali, dan bukan sebuah proses. Mari kita  mempelajari 3 elemen waktu dalam pengudusan.



A.Tindakan Awal Pengudusan
Ini adalah pengudusan poisional. Kitab suci mengajarkan bahwa pada saat seorang manusia percaya kepada Kristus maka pada saat itu juga dia dikuduskan. Ini jelas dari fakta bahwa orang-orang percaya disebut orang-orang kudus dalam Perjanjian Baru tanpa memadang keadaan-keadaan rohani pada dirinya (1Kor 1:2; Efe 1:1; kol 1:2; Ibra 10:10; Yudas 3). Pada orang-orang Kristus, Paulus secara eksplisit berkata bahwa mereka “telah dikuduskan” (1Kor 6:11), walau dia juga telah mendeklarasikan bahwa  keadaan mereka “masih bersifat kedagingan” (1 Kor 3:3). Dalam 2 Korintus, dia mendesak mereka untuk “menyempurnakan kekudusan dalam takut akan Tuhan” (7:1). Dalam surat Efesus, dia berkata mengenai “memperlengkapi orang-orang kudus” (4:12) dan mendorong para pembacanya untuk berjalan “sebagai sepatunya di antara orang-orang kudus” (5:3). Dalam surat-surat Tesalonika dia memastikan para pembacanya adalah orang-orang yang sudah lebih dulu atau sejak mula telah dikuduskan (2Tes 2:13), walau dia juga berdoa bagi pengudusan mereka (1Tes 5:23dst).



Berdasarkan Ibrani 10:10, pengudusan dan  persembahan  tubuh Kristus  yang menang atau gagal sama sekali. Penderitaan Kristus telah selesai tanpa pintu “ untuk menguduskan umat-Nya dengan darah-Nya sendiri” (Ibrani 13:12). Jadi, kematian Kristus diperlukan untuk pengudusan umatnya. Ketika seseorang menerima Kristus, dia telah mengalami dirinya di dalam Kristus, pengudusan (1Kor 1:30). Ini bukan Kristus plus pengudusan; Kristus adalah pengudusan orang percaya. Orang percaya sekarang ini lengkap di dalam dia (Kolose 2:10). Dia – orang percaya itu adalah seorang pemilik waris kebenaran dan kekudusan Kristus, kebenaran dan kekudusan Kristus telah diimputasikan  atau diperhitungkan kepadanya karena  hubungannya dengan Kristus, bukan karena usaha atau perbuatan apapun juga yang dapat dilakukannya atau kelayakan apapun pada dirinya yang dapat dicapainya. Dia berdiri di hadapan Allah, serupa dengan Kristus (Roma 8:29; 1Kor 1:30). Dalam pengudusan posisional tidak ada kerja anugerah kedua, tidak ada  pergerakan maju, tidak ada pertumbuhan.Karena hubungan dengan Kristus yang bersifat posisi ini, orang percaya dinikmatkan untuk berjalan “sebagai yang patut di antara orang-orang kudus” (Efesus 5:3).



B. Pergerakan Maju Pengudusan
Sebagai sebuah proses, pengudusan berlanjut seumur hidup. Pada basis apa yang telah dilakukan orang percaya pada saat pertobatan beriman, dia didorong untuk melakukan  hal sama secara aktual dalam pengalaman dirinya sendiri. Karena dia telah “menanggalkan” dan “mengenakan,” dia sekarang “menanggalkan” dan “mengenakan” (Kolose 3:8-13). Dimana penyerahan diri awal tidak mencakupnya, pertama ada kebutuhan sebuah penghadiran yang definitif  pada hidup bagi Allah sebelum kekudusan yang  dipraktikan dalam keseharian  itu mungkin (Roma 6:13; 12:1 dst); tetapi ketika orang percaya itu secara utuh didedikasikan bagi Allah, pergerakan maju dalam pengudusan dijamin. Kemudian Roh Kudus akan mematikan tabiat-tabiat tubuh (Roma 8:13), mengerjakan di dalam diri orang percaya kepatuhan kepada Firman (1Pet 1:22), memproduksi buah Roh (Gal 5:22f), dan menggunakan orang percaya itu dalam pelayanan Allah. Kemudian dia akan “bertumbuh di dalam anugerah dan pengetahuan akan Tuhan dan Juruselamat Yesus Kristus” (2Pet 3:18), “bertambah dan berlimpah dalam kasih” (1Tes 3:12), membersihkan dirinya sendiri “dari segala kecemaran daging dan roh, menyempurnakan kekudusan dalam takut akan Allah” (2Kor 7:1), dan ditransformasikan menjadi citra Kristus (2Kor 3:18; Efe 4:11-16). Paulus telah mendeklarasikan,” aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus” (Fil 3:12).



Ini bukan bermakna sejenis kesempurnaan tanpa dosa. “Sempurna” atau “tak bercacat” digunakan sejumlah orang dalam kitab suci; namun demikian tidak bermakna tanpa dosa atau tak bercela. Kata ini digunakan pada Nuh (Kejadian 6:9); namun faktanya Nuh bukanlah seorang sempurna tanpa cela atau dosa begitu nyata dari kemabukannya yang sungguh memalukan (Kejadian 9:20-27). Demikian juga pada Ayub yang disebut “sempurna” atau “tak bercacat” (Ayub 1:1), tetapi dia dalam banyak hal tidak sempurna. Ketika dia tiba pada pengertian akan Alah secara lebih penuh, dia menjadi jijik pada dirinya sendiri dan bertobat dalam debu dan abu (Ayub 42:6). Allah telah berkata pada Abram untuk berjalan dihadapannya dan menjadi sempurna (Kejadian 17:1). Yesus telah memerintahkan, “Kamu harus sempurna, sebagaimana Bapa surgawimu adalah sempurna” (Matius 5:48). Jika ini merujuk pada pada ketakberdosaan dan  keserupaan Allah yang absolut, maka tidak ada orang Kristen pernah ada bisa memenuhi prinsip yang harus dipenuhi ini. Adalah jelas dari konteksnya bahwa Yesus sedang mendorong para pengikutnya untuk menjadi seperti Bapa dalam menyatakan kasih baik kepada yang baik dan yang jahat. Paulus secara terbuka menyangkal telah menjadi orang yang sudah sempurna dalam satu tarikan nafas dan dalam klaim-klaim selanjutnya  telah menjadi sempurna (Fil 3:12,15). Jelas bahwa  satu pernyataan tersebut adalah posisional dan pernyataan yang lainnya adalah pengudusan yang bersifat pengalaman. Secara posisi, dia telah sempurna semenjak hari dimana dia telah menjadi percaya kepada Kristus; secara pengalaman atau keseharian, dia telah sempurna pada derajat tertentu. Kata Yunani yang sama digunakan dalam kedua ayat tersebut, kecuali bahwa yang pertama adalah sebuah kata kerja dan yang kedua adalah sebuah kata sifat. Kolose 1:28; 4:12; dan Ibrani 12:23 memperlakukan kekudusan sebagai sebuah tujuan yang harus dikejar untuk dicapai hingga kesudahan, tetapi tidak di dalam hidup ini. Itu jelas dari nas-nas ini dan yang lainnya bahwa kesempurnaan absolut tidak diharapkan dalam hidup  ini.



Kita sampai pada konklusi yang sama oleh alur argumen yang berbeda. Beberapa orang menggunakan 1 Yohanes 3:8 dst  untuk mendukung kesempurnaan tanpa dosa. Yohanes di situ menuliskan, “barangsiapa yang tetap berbuat dosa, berasal dari Iblis, sebab Iblis berbuat dosa dari mulanya... Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.” Perhatian pada  bentuk kalimat dalam bahasa Yunani menyingkirkan  kemungkinan  bahwa ini adalah kesempurnaan tanpa dosa, karena semuanya dalam bentuk “present” atau “saat ini.” Berdasarkan itu, maknanya adalah, dia yang berkebiasaan dosa adalah berasal dari iblis; dia yang  berasal dari Allah tidak berdosa secara berulang-ulang. Jika bukan ini maknanya, maka Yohanes mengontradiksikan dirinya sendiri di dalam epistel ini sendiri, karena dia berkata pada orang percaya apa yang harus dilakukan jikalau dia berdosa. “Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil. Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita” (1Yoh 2:1-2). Orang percaya diminta untuk tidak berdosa, namun jika dia berbuat dosa dia memiliki sebuah cara penyelesaian. Yohanes lebih lanjut berkata, jikalau kita berjalan dalam terang, “darah Yesus Anak-Nya membersihkan kita dari segala dosa” (1Yoh 1:7). Dan kembali, “Jika kita berkata bahwa kita tidak memiliki dosa, kita sedang menipu diri kita sendiri, dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1Yoh 1:8). Secara pasti, kita harus menyimpulkan bahwa Yohanes tidak mengajarkan kesempurnaan tanpa dosa sama sekali.


Hal yang sama dapat dikatakan terkait dengan pengajaran bahwa kita telah mati bagi dosa (Roma 6:1-10). Adalah jelas bahwa ini merupakan pengalam obyektif dimana orang percaya diidentifikasikan dengan Kristus. Jika ini  merupakan sebuah pengalaman kematian absolut, mengapa kemudian Paulus mendesak bahwa kita masih perlu untuk “menganggap/memandang” diri kita sendiri telah mati terhadap dosa dan hidup bagi Allah (ayat 11)? Orang yang secara absolut telah mati tidak perlu memandang diri sendirinya telah mati; dia sesungguhnya memang telah mati, terlepas dari penimbangan atau penilaian semacam itu yang bagaimanapun.


Kita harus mewaspadai menyimpulkan bahwa  hidup yang ditaklukan, yang tak sempurna adalah sebuah hidup yang normal. Jika kehidupan tanpa dosa adalah sebuah doktrin yang tak berlandas kitab suci, maka demikian juga ketaksempurnaan dan hidup dalam dosa. Kitab suci,  begitu jauh dari membolehkan atau melanjutkan dosa dalam hidup orang  percaya, secara definitif melarang dosa dan menuntut bahwa kita menghidupi sebuah hidup berkemenangan.


Jawaban bagi pertanyaan Paulus,”Apakah kita melanjutkan dalam dosa?” (Roma 6:1), adalah penuh penekanan meminta perhatian penuh,” Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” (ayat2). Sang rasul mengingatkan orang-orang Kristen bahwa mereka yang hidup di dalam dosa tidak akan “mendapat bagian Kerajaan Allah” (1Kor 6:10).



C.Pengudusan Final dan Utuh
Pengudusan final dan utuh masih menantikan melihat Kristus. Tak peduli berapa banyak kemajuan yang telah dapat kita buat dalam hidup kekudusan, seluruh keselarasan pada Kristus hanya akan direalisasikan ketika “Sang Sempurna datang” dan “dan ketidaksempurnaan disingkirkan” (1Kor 13:10). Kita telah diselamatkan dari salah dan hukuman dosa, sedang diselamatkan dari kuasa dosa, dan pada      puncaknya akan diselamatkan dari kehadiran dosa itu sendiri. Keselamatan kita dari kehadiran dosa akan berlangsung ketika kita kelak akan memandang Tuhan, juga saat kematian (Ibra 12:23) atau saat kedatangannya (1Tes 3:13; Ibra 9:28; 1Yoh 3:2; Yudas 21). Tidak akan ada kemungkinan lebih lanjut untuk berdosa setelah itu (Wahyu 22:11). Tubuh orang percaya kemudian akan dimuliakan (Roma 8:23; Fil 3:20 dst) dan menjadi sebuah instrumen sempurna kepatuhan kepada Tuhan. Prospek dari penyelerasan yang utuh  terhadap citra Kristus harus mendorong kita untuk menanggalkan sekarang ini semua hal yang tak kudus dari kehidupan kita (1Yoh 3:2 dst).

III.Sarana-Sarana Pengudusan
Pertanyaan ini akan lebih diulas secara khusus pada bab mendatang, tetapi perihal ini harus mendapatkan sebuah pertimbangan pendahuluan di bab ini. Ada 2 pihak yang berurusan dengan pengudusan manusia: Allah dan manusia. Akan tetapi, bukan hanya Allah sang Bapa saja yang menguduskan orang percaya itu, tetapi sang Allah Tritunggal yang memiliki bagian dalam kerja tersebut. Allah sang Bapa menguduskan orang percaya dalam pengudusan itu Bapa memperhitungkan kekudusan Kristus kepada orang percaya (1Kor 1:30), bekerja di dalam diri orang percaya yang mana  membuat orang percaya itu menyenangkan atau berkenan dalam pandangannya (Ibr 13:21), dan mendisiplinkan orang percaya (Ibrani 12:9 dst; 1Pet 4:17 dst; 5:10). Kristus menguduskan orang percaya dengan menyerahkan hidupnya bagi orang percaya itu (Ibra 10:10; 13:12), dan dengan menghasilkan kekudusan dalam orang percaya itu oleh Roh (Roma 8:13; Ibra 2:11). Roh Kudus menguduskan  orang percaya itu sehingga dia merdeka dari natur kedagingan (Roma 8:2), Roh berjuang melawan manifestasi kedagingan itu (Galatia 5:17), mematikan  hakikat lama sehubungan orang percaya menghasilkan bagi dia untuk penyaliban (Roma 8:13). Jadi ada sebuah fungsi yang pasti pada setiap dari  tritunggal dalam pengudusan kita.

Dalam dirinya sendiri, manusia tidak dapat berbuat apapun untuk mencapai pengudusan. Bahkan dalam diri orang percaya, Allah harus mengambil inisiatif. Paulus berkata,” karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Filipi 2:13). Namun ada sarana-sarana pasti bahwa manusia mungkin mewujudkan dalam pengudusannya. Di sini, seperti pada bagian-bagian lainnya, iman kepada Kristus  adalah langkah pertama yang harus diambil (Kisah Para Rasul 26:18). Dia yang percaya kepada Kristus dikuduskan secara posisional, karena Kristus   memang  pada momen itu telah mengadakan  padanya pengudusan (1Kor 1:30). Selanjutnya harus datang sebuah pengejaran kekudusan.  Orang yang tak mengalami ini setelah pengudusan tidak akan melihat Allah (2Kor 7:1; Ibr 12:14). Ini semestinya membawa orang percaya itu mempelajari kitab suci, karena  firman-firman menyingkapkan kondisi hati dan menunjukan jalan keluar  bagi kegagalan ( Yohanes 17:17,19; Efe 5:26; 1Tim 4:5; Yakobus 1:25). Pelayanan yang  dibentuk secara ilahi juga memiliki bagiannya dalam menunjukan kebutuhan akan kekudusan dan mendorong  pengejarannya (Efe 4:11-13; 1 Tes 3:10). Penyerahan hidup yang  pasti kepada Allah menghasilkan sebuah kondisi  terpuncak  pada pengudusan dalam praktiknya atau dalam kehidupan sehari-hari (Roma 6:13, 19-21; 21:1 dst; 2Tim 2:21). Karena Allah harus membuat manusia itu kudus,  jika manusia itu  dapat senantiasa menjadi kudus, manusia harus menyerahkan dirinya kepada Tuhan sehingga Allah dapat menyelesaikan pekerjaan ini di dalam diri orang percaya itu.

Bab ini selesai.

Lectures In Systematic Theology, Chapter 32 p.287-293|diterjemahkan dan diedit oleh: Martin Simamora



Selanjutnya akan memasuki bab-bab:“Dipelihara Allah Sejak Awal Hingga Kesudahannya” dan  “Sarana-Sarana Anugerah”


No comments:

Post a Comment