Pages

13 August 2013

KASIH DAN PERINTAH TUHAN (Bagian 2)

Oleh : Prof. D.A. Carson


[Bagian 1] "...Yesus  kala  itu sedang melakukan sesuatu lebih daripada sekedar mengklasifikasikan apakah yang paling penting. Salah satu dari tema-tema besar pelayanan Yesus adalah: kasih,  yang telah dipahami dan dipraktekan secara benar, secara aktual telah menggenapi hukum Perjanjian Lama… sebuah era baru telah terbit, dan  eschaton (hari akhir) ... secara  sangat mencengangkan telah  dilantik. … Perintah pertama untuk mengasihi Tuhan. Kata-kata yang berasal dari Kitab Suci dimana Yesus mengutip dari Ulangan 6:4-5  Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!  (Markus 12:29)

Anti intelektualisme masih mendiami sebuah petak evangelikalisme  yang luas, dan terkadang pemikiran  serius diolok-olok dan diabaikan oleh mereka yang  lebih menyukai sentimen  dan emosi… Mereka juga menyerukan daya tarik-daya tarik profetik kepada orang-orang Kristen muda… untuk kehidupan pikiran


Tetapi kita tidak boleh mengabaikan  sebuah bahaya sebaliknya, bahaya arogansi  intelektual…  perintah pertama  dari Yesus ini bukanlah sebuah perintah untuk berpikir tapi sebuah perintah untuk mengasihi, bahkan  kala  perintah   untuk  mengasihi mencakup  modifikasi-modifikasi :  “dengan segenap hatimu….dengan segenap pikiranmu.”

 

Tiga hal  selanjutnya harus dikemukakan mengenai  tiga cara berbeda Alkitab mengutarakan kasih Tuhan.


Pertama, adalah lebih baik untuk  mengatakan  catatan-catatan dari daftar ini sebagai lima cara  berbeda  yang dimiliki Alkitab dalam  mengutarakan kasih Tuhan daripada sebagai lima cara  berbeda “kasih” Tuhan.  Mengatakan  “kasih-kasih”  Tuhan yang berbeda memberikan impresi bahwa Tuhan  memiliki sejumlah “kasih-kasih” yang terkotak-kotak yang  Tuhan   pilih gunakan atau pilih tidak gunakan untuk target-target yang berbeda atau  pada kesempatan-kesempatan yang berbeda.  Tidak ada bukti baik  mengenai hal ini bahwa itulah apa yang dimaksudkan oleh teks-teks  biblikal.



Terlebih lagi, pada analogi  umat manusia ( yang pada akhirnya telah diciptakan dalam citra Tuhan), kita sedang membicarakan kasih manusia dalam cara-cara yang  teramat ragam  perbedaannya yang merefleksikan kompleksitas hubungan-hubungan sebagai pribadi-pribadi.  Sebagai contoh, dalam sebuah konteks  saya  bisa berbicara mengenai kasih tak bersyarat bagi anak-anakku. Tetapi dalam hal lain, manakala saya berkata kepada anak  laki-lakiku yang   telah beranjak remaja saya  mengharuskannya sudah ada di  rumah jelang tengah malam, dia mengenalku  cukup baik bahwa bila dia   terlambat pulang ke rumah dan tanpa ada  alasan yang benar, dia akan menghadapi amarah Ayah; dia tahu marah ayahnya membuat dia tetap berada dalam kasih Ayah,  boleh dikatakan demikian.



Menyukai sebuah hobi bukanlah hal yang sama sebagaimana mengasihi seorang musuh. Jadi demikian juga dengan  kaitan berbicara tentang kasih Tuhan: Tuhan adalah kasih, sebagaimana Yohanes  mengatakan ( 1 Yohanes 4:8), tetapi kasih itu bekerja dalam sebuah  tampilan pola-pola  beragam yang merefleksikan keragaman hubungan-hubungan dimana dia  sebagai seorang pribadi terlibat.




Kedua, untuk menghindari distorsi kita harus merefleksikan kasih Tuhan hanya dalam hubungan dengan refleksi semua  kesempurnaan-kesempurnaan lainnya pada Tuhan.  Jika tidak demikian akan ada sebuah kecenderungan untuk menempatkan secara  bertentangan satu atribut Tuhan terhadap atribut-atribut Tuhan lainnya untuk menjinakan satu atau lebih karakteristik-karakteristik Tuhan dengan mengajukan supremasi karakteristik lainnya. Jika kita bersuka dalam  kasih Tuhan, kita akan bersuka tidak kurang samanya dalam kekudusan Tuhan, dalam kedaulatan Tuhan, dalam kemahatahuan Tuhan, dan seterusnya, dan kita akan menjadi pasti bahwa semua kesempurnaan-kesempurnaan Tuhan bekerja bersama-sama.



Credit : deepintolove.com

Ketiga, analisa  cara-cara yang berbeda  mengutarakan  kasih Tuhan dalam Alkitab memampukan kita untuk mengevaluasi sejumlah kata klise umum diantara orang-orang Kristen. Sebagai contoh: “Kasih Tuhan tidak bersyarat.” Apakah ini benar?  Dalam kebeningan, memang benar adanya, dari sejumlah cara-cara Alkitab mengutarakan kasih Tuhan. Sebagai contoh, kasih providensia atau pemeliharaan Tuhan adalah tak bersyarat, karena kasih ini dicurahkan  baik  untuk  orang tidak benar seperti halnya  kepada orang benar. Kasih Tuhan yang bersifat memilih adalah kasih yang tak bersyarat, karena secara absolut tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih ini ( Roma 8:31-39). Tetapi kasih Tuhan yang dikatakan dalam Dekalog dan dalam Yohanes 15 dan Yudas 21 ( yakni, yang Kelima dalam daftar diatas-bagian 1) secara eksplisit adalah kondisional atau bersyarat. Kembali, orang-orang Kristen kerap berkata, “ Tuhan mengasihi setiap orang   persis  dalam cara yang sama  dan dalam keluasan yang sama.” Apakah ini benar? Dalam nas-nas yang membicarakan kasih Tuhan  untuk orang yang benar dan tidak benar, jelas terlihat  memang benar. Dalam nas-nas yang memperkatakan kasih Tuhan yang memilih. Jelas terlihat menjadi salah. Dan dalam nas-nas yang mengatakan kasih Tuhan dipersyaratkan dengan kepatuhan, kemudian kasihnya untuk individu-individu berbeda akan beragam  sesuai dengan kepatuhan mereka.



Begitu banyak untuk ditinjau. Alasan utama mengapa saya   mengambil hal khusus ini adalah pada sejumlah poin dalam kuliah-kuliah ini saya akan membandingkan apa yang dikatakan Alkitab tentang kasih-kasih orang Kristen yang harus diperlihatkan dengan cara-cara  beragam yang diutarakan Alkitab mengenai Kasih Tuhan. Sehingga adalah penting untuk menyimpan hal ini dalam benak kemudian.


***

Sekarang saya akan beralih ke kasih Kristen. Dimana harus memulai?


Saya harus mengatakan sesuatu mengenai judul : Love in Hard Places. Ini adalah sebuah peringatan bahwa saya tidak sedang berupaya  sepenuhnya memahami dan melakukan survei utuh  pada kasih Kristen. Karena andaikan saya melakukannya, saya kelak harus lebih luas  mengulas kesukaan-kesukaan kasih, kesenangan mengasihi,mengenai kasih di (secara relatif) tempat yang  mudah. Faktanya  saya akan mengatakan sejumlah hal mengenai tema-tema ini, tetapi saya telah memilih judul ini  karena dua alasan. (1) Saya akan fokus secara khusus pada aspek-aspek kasih Kristen yang tidak mudah dan mungkin sangat menyakitkan serta juga sangat sukar. (2) Karena semua ekspresi-ekspresi kasih kita berlangsung dalam sebuah dunia yang telah jatuh dan rusak dimana kita  adalah bagiannya, kita   tidak bijaksana untuk juga  mundur dengan cepat menuju semata gagasan-gagasan kasih yang sentimentil. Mengasihi secara bijak dan baik, mengasihi  dalam kepantasan,mengasihi secara setia, mengasihi selaras dengan  harapan-harapan  biblikal akan apa yang dimaksud dengan  mengasihi, secara umum  sebuah hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Dan itu adalah salah satu tema-tema yang  mengontrol kuliah-kuliah ini. 


Sebuah tempat yang jelas dan sangat baik bagi setiap orang Kristen untuk memulainya adalah dengan:




B. PERINTAH GANDA UNTUK MENGASIHI ( MARKUS 12:28-34)

(28) Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: "Hukum manakah yang paling utama?"


(29) Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. (30) Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. (31) Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini."


 (32) Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: "Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. (33) Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan."


(34) Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: "Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!" Dan seorangpun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus. (Bandingkan dengan Matius 22:34-40; Lukas 10:25-28).


Untuk maksud-maksudku saat ini, ada sedikit hal yang harus dikerjakan  melalui perbedaan-perbedaan minor antara, yang dikatakan, Markus dan Matius; isu-isu yang paling sentral akan menggerakan perhatian kita. Kelihatannya  mengemukanya perdebatan antara Yesus dan para penentangnya, dan secara khusus kualitas respon-respon Yesus, memunculkan satu  teman bicara untuk  mengajukan  apa yang dia  nilai sebagai pertanyaan sukar. Pertanyaan itu  mendengung pada latar belakang konservatisme Judaisme abad pertama, tetapi tidak ada konsensus  umum yang ditawarkan dalam respon-respon.  Dari semua perintah-perintah tersebut yang manakah paling penting?



Dalam setiap  sistem legal yang kompleks, beberapa hukum pada akhirnya  memiliki posisi  lebih utama atas yang lain-lainya. Rabi-rabi abad pertama  telah membedakan antara hukum-hukum yang “berat” dan “ringan” ; Yesus sendiri di tempat lain membuat sebuah pembedaan serupa dalam hukum-hukum  yang relatif   penting ketika di berkata,  yang berlaku, bahwa hal-hal yang harus dilakukan terkait keadilan dan belas kasih memiliki kedudukan yang lebih utama atas hukum persepuluhan ( Matius 23:23), atau ketika dia berkata bahwa hukum memandatkan  penyunatan seorang anak laki-laki pada hari ke delapan menduduki posisi  utama terhadap Sabbat ( Yohanes 7:22-23). Tetapi jika pembedaan-pembedaan  harus dibuat  sehubungan hukum-hukum manakah  yang “lebih ringan” atau “lebih berat,” hal ini tidak akan berlangsung lama sampai seseorang menanyakan hukum manakah yang  paling berat” dari semuanya, hukum manakah yang paling penting.




Disini para rabi berbeda-beda. Beberapa mengatakan bahwa paling berat adalah perintah untuk mengasihi Tuhan  ; yang lainnya berkata perintah  agar anak  mematuhi kedua orang tua; Rabbi besar Akiba mengatakan bahwa perintah untuk mengasihi  sesama manusia adalah “prinsip terbesar dalam Hukum Taurat”[12]. Namun  penautan yang Yesus lakukan terhadap  perintah untuk mengasihi Tuhan dan perintah untuk mengasihi sesamamu  telah  mewujudkan  sebuah kuasa unik dalam   formasi struktur-struktur bersifat etika pada pengikut-pengikutnya.   Dalam derajat  tertentu, hal ini  hanya karena Yesus telah mematrikan  semacam otoritas moral  baik dalam pengajarannya dan contohnya yang  menyebabkan pengikut-pengikutnya  membangun etika-etika mereka dikisaran sebuah tema tunggal[13]; pada derajat  tertentu, hal ini hanya karena, sebagaimana yang akan kita lihat, Yesus  kala  itu sedang melakukan sesuatu lebih daripada sekedar mengklasifikasikan apakah yang paling penting. Salah satu dari tema-tema besar pelayanan Yesus adalah: kasih,  yang telah dipahami dan dipraktekan secara benar, secara aktual telah menggenapi hukum Perjanjian Lama. Dengan kata lain,pengajarannya pada subyek ini  secara mendalam telah terjaring dalam kebersikukuhannya bahwa sebuah era baru telah terbit, dan  eschaton (hari akhir), keadaan akhir yang telah dinantikan,  secara  sangat mencengangkan telah  dilantik.





Jawaban Yesus terhadap pertanyaan tersebut membuat dia menyatukan dua  ikhtisar tradisional orang Yahudi. Perintah pertama untuk mengasihi Tuhan. Kata-kata yang berasal dari Kitab Suci dimana Yesus mengutip dari Ulangan 6:4-5, disebut Shema, hal   yang amat dekat dengan kredo Judaisme. Shema ini selalu dibacakan atau diingat oleh orang-orang Yahudi beribadah  di setiap pagi dan malam [14]. Keharusan moral  ini secara tepat diatur dalam konteks deklarasi yang berani, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!  (Markus 12:29). Banyak penganut  pagan   akan mengatakan bahwa hanya ada satu tuhan karena banyak paganisme  abad pertama menyongkong  beberapa bentuk  panteisme: ada sebuah Tuhan  yang impersonal (tidak berkomunikasi dengan manusia—editor Anchor) memiliki ruang dan tempat  dengan alam semesta, sebuah ketuhanan yang darinya semua dewa-dewa pagan yang terbatas itu lahir. Tetapi walaupun mereka dapat mengatakan tuhan yang esa,mereka tidak dapat mengatakan, seperti yang dapat dikatakan orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen, bahwa Tuhan adalah esa, karena perkataan semacam ini akan  menyangkali politeisme mereka.




Poin dalam hal ini bukan sesuatu yang minor. Banyak pagan  berpikir adanya keilahian-keilahian terbatas yang   menguasai  kekuasaan khusus atas  kawasan-kawasan spesifik. Jika kamu ingin melakukan perjalanan laut, kamu akan berdoa kepada Neptunus, si dewa laut, jika kamu hendak menyampaikan sebuah pidato, kamu akan membutuhkan Hermes (atau Merkurius yang dalam bahasa Latin disebut pantheon; bandingkan dengan Kisah Para Rasul 14:12) mendampingimu. Tetapi jika hanya ada satu  Tuhan, jika Tuhan adalah esa dan tidak banyak, maka dia pastilah Tuhan atas semuanya.  Jika adanya banyak tuhan, masing-masing menjalankan  kekuasaannya dalam domain-domain yang terbatas dan terkadang bersaing, kewajiban  penganut pagan yang  setia adalah untuk memberikan setiap dewa ( atau sebanyak dewa-dewa yang dapat diingat) apa yang menjadi haknya;  jika Tuhan adalah esa, maka Tuhan yang esa itu memerintahkan kepatuhan dan  pengabdian dari seluruh keberadaan kita.  Dengan kata lain, salah satu dari hal-hal yang menyertai monoteisme adalah perintah pertama dan terbesar ini. Ini  merupakan natur hubungan antara (Markus 12) ayat 29 dan ayat 30.




Karena Tuhan  itu esa, kemudian, kamu diperintahkan untuk mengasihi dia “dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap pikiranmu dan  dengan segenap kekuatanmu” (Markus 12:30)[15]. Kita pertama-tama  harus fokus pada frasa-frasa atau anak kalimat- anak kalimat yang memiliki kata depan/perangkai. Jika kita membatasi diri  pada makna dalam kata-kata bahasa Inggris (  Indonesia), kita berangkali berpikir bahwa anak kalimat pertama,”dengan segenap hatimu,” berfokus pada sebuah kasih yang adalah  hal perasaan, emosional, dan penuh gairah. “Aku mengasihimu dengan segenap  hatiku,” ujar Bob kepada Sue, tak kala  mata  mereka saling bertatapan—dan bagi kita “hati” adalah  sebuah simbol bagi  takhta emosi-emosi.  Anak-anak kalimat kedua dan keempat, “dengan segenap jiwamu” dan “dengan segenap kekuatanmu,” berhubungan dengan  intensitas, dengan menempatkan seluruh dirimu kedalam  mencintai Tuhan. Hal ini menyisakan yang ketiga: Apakah makna mengasihi Tuhan “dengan segenap pikiranmu”? Baiklah, kita berangkali berkata, apapun maknanya,  hal satu ini hanyalah salah satu dari anak-anak kalimat yang memiliki kata depan, jadi janganlah terlampau memusingkan hal ini.



Segera setelah kita mengenali bahwa simbolisme biblikal, baik Ibrani dan Yunani, hanyalah sedikit  berbeda dari bahasa kita, aroma dari empat anak kalimat dengan kata depan ini, diambil  secara bersama-sama, mengubahnya sedikit. Dalam dunia biblikal, tentu saja, hati bukanlah  takhta emosi-emosi; tetapi organ-organ yang lebih bawah lagi. Bob berangkali akan berkata pada Sue,” Aku mengasihimu dengan segenap ginjalku”( ekspresi ini terdapat  dalam bahasa Inggris, editor Anchor)  atau “Aku mengasihimu dengan segenap ususku”[16]. Hati adalah  takhta seluruh personalitas dan sangat dekat dengan apa yang kita maksudkan pada hari ini dengan ‘pikiran,”  kecuali untuk fakta bahwa bagi kita “pikiran” dapat  berarti sedikit sempit yaitu   cerebral/otak. Dari empat anak kalimat preposisional ini, kemudian, dua diantaranya, yang pertama dan ketiga, berfokus pada  pemikiran kita. Kedua dan keempat, “dengan segenap jiwamu” dan “dengan segenap kekuatanmu, fokus pada intensitas atau kekuatan, namun “jiwa” sekalipun  membawa refleksi “manusia batiniah” atau sejenisnya, dan oleh karena itu  mencerminkan siapakah kamu dan bagaimana atau apa yang kamu pikirkan [17].




Sehingga pertanyaannya harus diajukan dalam sebuah cara yang difokuskan: Apakah makna mengasihi Tuhan dengan cara kita berpikir dan dengan segenap  kekuatan dari diri kita? Karena itulah yang merupakan perintah pertama   yang dimandatkan.



Ada dua hal yang bukan merupakan maknanya.


Pertama, adalah tidak memadai untuk berpikir bahwa kata kerja “mengasihi”  bermakna  secara sempit adalah sesuatu yang bersifat  kehendak/kemauan, seperti “ berupaya mendapatkan kebaikan orang lain terlepas dari kasih sayangmu atau tanpa kasih sayang,” seolah-olah kasih orang Kristen dapat direduksi hingga pada  berkomitmen untuk mementingkan kepentingan orang lain. Perintah  untuk mengasihi tidak boleh dilepaskan dari kandungan kasih sayang. Dorongan utuk reduksionisme pada derajat  tertentu lahir dari  studi-studi kata yang cacat  sebagaimana yang telah saya singgung secara tak langsung. Namun demikian, secara jelas, reduksionisme semacam ini tidak akan bekerja pada hampir semua bab kasih , 1 Korintus 13. Karena  disana, kasih dikontraskan pementingan kepentingan orang lain (ketak-egoisan) yang  menakjubkan, yaitu memberikan semua  harta milik seseorang untuk memberi  makan  orang miskin, memberikan tubuhny dibakar. Namun Paulus diyakinkan bahwa tidak mungkin untuk mempertontonkan ketakegoisan semacam ini tanpa kasih--  dan dalam hal ini, dia berkata, “Aku tidak  berarti apapun” ( 1 Korintus 13:1-3).



Kedua, ada sebuah bahaya berpikir bahwa kita sedang mematuhi perintah pertama ini jika kita hidup dan bekerja dalam  domain upaya keras intelektual Kristen. Adalah mudah  untuk memahami bagaimana hal ini  muncul. Anti intelektualisme masih mendiami sebuah petak evangelikalisme  yang luas, dan terkadang pemikiran  serius diolok-olok dan diabaikan oleh mereka yang  lebih menyukai sentimen  dan emosi. Kedua kecenderungan   memunculkan seruan  kecaman publik  yang tajam[18], dan hal-hal ini tentu saja memiliki tempat. Mereka juga menyerukan daya tarik-daya tarik profetik kepada orang-orang Kristen muda untuk mendedikasi diri mereka, untuk kepentingan Tuhan dan bagi kemuliaan Tuhan, untuk  kehidupan pikiran [19].




Tetapi kita tidak boleh mengabaikan  sebuah bahaya sebaliknya, bahaya arogansi  intelektual. Ahli-ahli  bibilkal, para teolog, dan para akademisi Kristen gampang  tergoda untuk berpikir bahwa mereka sedang mematuhi perintah pertama semata karena mereka  bekerja dalam arena intelektual dan  menjadi orang-orang Kristen. Pada akhirnya mempelajari secara khusus tema-tema Kristen dapat menyerap semua,  dalam cara tepat bahwa mempelajari hampir setiap hal dapat menyerap semuanya, menyediakan bagimu  semacam   perangai  dan edukasi yang tepat. Saya mengenal ahli-ahli kelas satu yang  menguasai studi  lapisan-lapisan metal pada bilah-bilah mesin propulsi  jet dan  ahli-ahli  lain yang mendedikasikan diri mereka dengan materi-materi  yang belakangan ini ditemukan: quarks dengan latar kehidupan yang tak bisa dipercaya  dimana setengah masa hidupnya atau merupakan orang  yang sangat menguasai teks  Perjanjian Baru Sahidic Coptic- Perjanjian Baru  orang Mesir.  Satu-satunya perbedaan antara ahli-ahli ini dengan para teolog adalah bahwa  para teolog berangkali mendelusikan diri mereka kedalam pemikiran bahwa  upaya  yang mereka lakukan dalam disiplin-disiplin mereka telah mendemonstrasikan bahwa mereka sedang menggenapi kata-kata Yesus ini, sementara itu mereka yang mempelajari  kehidupan seks  kura-kura laut  tidak seperti mereka yang didelusikan. Kita tidak dapat mengabaikan  fakta kasar  bahwa perintah pertama  dari Yesus ini bukanlah sebuah perintah untuk berpikir tapi sebuah perintah untuk mengasihi, bahkan  kala  perintah   untuk  mengasihi mencakup  modifikasi-modifikasi :  “dengan segenap hatimu….dengan segenap pikiranmu.”




Lagian, ini adalah sebuah perintah untuk mengasihi Tuhan, bukan sekedar sebuah perintah untuk mengasihi dalam hal yang tak berbentuk atau sentimental atau tidak berfokus atau bahkan sebuah  jalan kebebasan  atau sesuka-sukanya. Dan didalam benak tokoh-tokoh biblikal—apakah penulis Keluaran, penulis-penulis Injil, atau  Yesus sendiri—Tuhan ini bukanlah sosok yang didefinisikan secara salah oleh banyak penekanan-penekanan postmodernisme, tuhan yang kamu definisikan atau tuhan yang diduga  sebagai agak berkabut dibalik semua gagasan-gagasan agama, mensahkan semuanya secara sama[20]. Ini adalah Tuhan yang benar, Pencipta langit dan bumi, Tuhan  yang memprediksikan dan mengendalikan masa depan, Tuhan yang berdiri menentang dosa, Tuhan  yang kepada Dia kita harus pada suatu hari memberikan sebuah pertanggungjawaban, Allah dan Bapa dari Tuan kita Yesus Kristus. Dan  fakta itu menolong kita untuk memahami apakah makna dari perintah pertama ini.



Bersambung ke Bagian 3, nantikanlah

Love In Hard Places- Bab 1  | Diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora



Catatan-Catatan Kaki


[12]Sipre, on Lev. 19:18.

[13]See John P. Meier, Matthew, New Testament Readings 3 (Wilmington: Michael Glazier, 1980), 257.

[14]Cf. also 2 Kings 23:25.

[15]We need not here go into the variations of terminology from Gospel to Gospel, on which see W. D.Davies and Dale C. Allison, Jr., A Critical and Exegetical Commentary on the Gospel According toSt. Matthew (Edinburgh: T & T Clark, 1988-97), 3.240-241. They affect little of the substance of theargument.



[16]This is not too fanciful. See, for instance, in the King James Version or some earlier versions the preservation of expressions that tended to keep to the literal at the expense of comprehension: “though my reins be consumed” (Job 19:27); “God trieth the heart and reins” (Ps. 7:9); “examine me, O LORD. . . try my reins” (Ps. 26:2); “yea, my reins shall rejoice” (Prov. 23:16); “for his bowels did yearn” (Gen. 43:30); “my bowels boiled, and rested not” (Job 30:27); “my bowels, my bowels, I am pained”(Jer. 4:19); “if there be any bowels of compassion” (Phil. 2:1).




[17]I cannot here discuss the understanding of these phrases put forth by Birger Gerhardsson. They are ably evaluated in Davies and Allison, Matthew, 3.241-2.

[18]E.g., Mark Noll, The Scandal of the Evangelical Mind (Grand Rapids: Eerdmans, 1994); David F. Wells, God in the Wasteland: The Reality of Truth in a World of Fading Dreams (Grand Rapids: Eerdmans, 1994).


[19]J. P. Moreland, Love Your God with All Your Mind: The Role of Reason in the Life of the Soul(Colorado Springs: NavPress, 1997).


[20]Indeed, in John Hick’s vision even the word god must be abandoned in favor of Reality, since some religions have little or no place for a personal deity. Hick moved from Christo-centrism to Theo-centrismto Reality-centrism. See especially his An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (London: Macmillan, 1989).






No comments:

Post a Comment