Pages

05 September 2020

Bidat-Bidat Favorit Kita

Kebingungan Doktrinal Dalam Jemaat, Problem Laten Namun Nyata Membahayakan Kesehatan Rohani


Oleh: Blogger Martin Simamora

 


A.Pengantar Penulis

Artikel singkat ini sepenuhnya bersumber atau atau mengacu dari sebuah artikel yang dimuat di Christianity Today sebagai gagasan penulisan, menarik untuk dimuat karena di Indonesia problem kehidupan rohani umat Kristen sebetulnya identik dengan apa yang dimunculkan dalam survei  yang dikemukakan dalam CT, dengan kata lain andaikata survei yang sama dilakukan di Indonesia maka problem sesungguhnya akan terangkat ke permukaan secara terang benderang.Oleh karena itu, sementara bisa jadi kehidupan bergereja di Indonesia dapat dikatakan bergairah namun juga mengalami krisis doktrin-doktrin utama kekristenan yang dapat diindikasikan dengan munculnya ajaran menyimpang yang menjelaskan Tritunggal seperti Tritunggal bagaikan amuba, Yesus adalah salah satu dari 3 Anak Allah (Lucifer, Adam, Yesus), Yesus adalah manusia ciptaan, Yesus adalah sekaligus Bapa, Anak dan Roh Kudus, pernikahan di sorga, pengajaran corpus delicti terkait Allah tidak memiliki bukti yang kokoh untuk mengadili iblis hingga saat ini, dan seterusnya. Jika kita mengacu pada apa yang mencuat di permukaan sebagaimana pada kasus-kasus yang masih hangat pada sebuah sinode gereja GBI yang melakukan semacam penertiban pengajaran-pengajaran Kristen yang menyimpang dari pondasi-pondasi utama dengan memeriksa secara tebuka para pendeta yang sebelumnya berada didalam naungan sinonde ini mulai dari kala itu pendeta Erastus Sabdono hingga yang terkini saat sinode gereja tersebut melakukan verifikasi pengajaran pendeta Gilbert Lumoindong yang sempat disinyalir menyimpang dan telah dinyatakan tidak ditemukan penyimpangan, maka sebetulnya cukup berdasar untuk memperhatikan bahwa gereja-gereja di Indonesia mengalami krisis doktrin yang perlu diperhatikan secara serius dan harus menjadi porsi yang sangat khusus bagi gereja secara keseluruhan. Kala sinode GBI berani terbuka maka seharusnya demikian juga dengan gereja-gereja lainnya, sebab problem-problem semacam ini mustahil hanya ada dalam sinode GBI. Sebaliknya sinode satu ini layak diberikan pujian dan sepatutnya diajukan sebagai patron bagaimana sebuah sinode seharusnya menjaga jemaat dari pengajaran-pengajaran yang disinyalir menyimpang. Terkait dengan artikel CT, diharapkan apa yang disampaikan CT dapat menjadi sebuah inspirasi bagi gereja untuk memperhatikan doktrinnya, apakah yang diajarkan dan apakah yang diimani oleh jemaatnya sehingga penggembalaan jemaat tidak bertentangan dengan penggembalaan Kristus atas gereja sebagai kepala dari tubuh  Kristus.

 

 

B. Bidat-Bidat Favorit Kita

Editor Christianity Today, Caleb Lindgern mengemukakan bahwa ia melakukan analisa terhadap survei tahun 2018 yang dilakukan oleh Ligoniers dan membandingkannya dengan survei tahun 2016. Selanjutnya ia mencakupkan tanggapan 10 pakar terhadap hasilnya secara keseluruhan.

 

Pada analisanya, Caleb membuka dengan sebuah pertanyaan valid yang menjadi dasar analisanya: apakah orang-orang Amerika begitu buruknya dalam teologia? Apakah orang-orang Kristen Amerika adalah segerombolan manusia-manusia yang sama sekali tak menyadari atau tak mengetahui fakta-fakta keberadaan bidat-bidat?

 

Caleb Lindgern selanjutnya mengacu pada hasil survei Ligonier Ministries and Life Way Research yang mengindikasi bahwa memang sebagian besar dari orang-orang Kristen Amerika memang tidak mengetahui fakta-fakta bidat yang melingkupi mereka.

 

Sementara memang cukup meyakinkan untuk mendeklarasikan situasi kedaruratan teologia, kajian lebih lanjut pada survei gelombang ketiga menunjukan ruang keoptimisan ditengah-tengah keprihatinan.

 

Sehingga jelas bahwa ketajaman teologia orang-orang Kristen Amerika dapat mengalami perbaikan-perbaikan. Namun mengacu pada temuan-temuan yang dikemukakan oleh survei Ligonier, mengindikasikan dimana pengajaran dan edukasi ajaran-ajaran Kristen yang ortodoks atau lurus sungguh-sungguh berlangsung, setidak-tidaknya kita dapat menunjuk pada gereja-gereja injili.

 

Caleb Lindgern selanjutnya dengan membandingkan hasil survei 2016 terhadap 2018, secara khusus membidik pada kelompok gereja-gereja injili/evangelical.

 

Sekarang mari kita mengarahkan pandangan pada apa yang menjadi keyakinan gereja-gereja injili, sebagaimana yang didefinisikan oleh National Association of Evangelicals, dan dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan disusun dan diajukan pada survei 2016 dan 2018.

 

Survei tahun 2016, menyusun satu pertanyaan yang berbunyi demikian:

People have the ability to turn to God of their own initiative

(Orang memiliki kemampuan untuk berbalik kepada Tuhan berdasarkan kehendak mereka sendiri)

Atas pertanyaan ini, 8 dari 10 responden (82%) menyetujuinya. Membandingkan ini pada pertanyaan yang diajukan pada Survei tahun 2018 dengan pertanyaan:

 

Survei tahun 2018, menyusun satu pertanyaan yang berbunyi demikian:

““Only the power of God can cause people to trust Jesus Christ as their savior,”

(Hanya kuasa Allah dapat mengakibatkan orang menjadi percaya atau datang kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat mereka)

Yang merupakan pertanyaan yang menunjukan identitas esensial yang menghasilkan kesepakatan sebesar 83%.

 

Sehingga antara 2016 dan 2018, dengan persentase yang hampir sama, keyakinan orang-orang Kristen injili di  Amerika menunjukan posisi yang saling berlawanan untuk pertanyaan yang sama (Kita juga harus mengatakan bahwa pada Konsili Orange pada tahun 529 SM yang berupaya melakukan klarifikasi pada problem ini, juga mengajukan pertanyaan yang sama. Tetapi para pemimpin Gereja pada saat itu menyerahkan problem ini seutuhnya kedalam Tangan Allah).

 

Dalam sebuah pertanyaan terkait iman dan perbuatan, survei versi 2016 menyatakan:

My good deeds help me earn my place in heaven,”

(Perbuatan-perbuatan baikku menolongku untuk mendapatkan tempat bagiku di sorga)

Terhadap pertanyaan ini, Kristen kelompok injili sebanyak 39% menyetujuinya. Pada survei versi 2018 membalikan pertanyaan versi 2016 menjadi:

God counts a person as righteous not because of one's works but only because of one's faith in Jesus,”

(Allah memperhitungkan kebenaran seseorang bukan karena perbuatan-perbuatannya tetapi semata atau hanya karena imannya dalam Yesus)

Terhadap pertanyaan ini, Kristen kelompok injili di Amerika Serikat sebanyak 91% menyetujuinya.

 

Kembali kita melihat bahwa susunan kalimat pernyataan akan menghasilkan hasil yang begitu berbeda-dan bahkan menghasilkan pernyataan yang semakin ortodoks atau lurus. Satu penjelasan terhadap hal ini: dalam kedua kasus tersebut, pernyataan yang lebih baru pada survei terdengar lebih sebagai sebuah standar pengakuan iman injili yang sangat dikenali. Juga suvei versi 2018 memungkinkan para responden untuk menyetujui pernyataan-pernyataan ortodoks ketimbang untuk berseberangan dengan pernyataan-pernyataan heterodoks.

 

Dalam kasus-kasus dimana susunan pertanyaan  tetap sama,studi 2018 menemukan bahwa ada sedikit penambahan pada kelompok responden Kristen injili yang meninggalkan doktrin-doktrin kekristenan paling mendasar ketika dibandingkan dengan tahun 2016, namun juga ditemukan hasil yang memberikan pengharapan lebih baik berdasarkan sejumlah pertanyaan baru pada survei 2018:

sex outside of marriage is a sin

(Seks diluar pernikahan adalah dosa) disetujui oleh 89% responden

 

abortion is a sin

(Aborsi adalah dosa) disetujui oleh 88% responden

 

Namun walaupun keseluruhan responden injili menyetujui bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan (88%), terdapat 33% yang menyetujui bahwa “gender identity is a matter of choice” ( identitas gender adalah sebuah soal pilihan).

 

Sebagaimana juga dengan ini: sementara mayoritas injili di Amerika Serikat menyetujui pandangan tradisionalis terhadap homoseksualitas, 1 dari 5 responden menyetujui “the Bible's condemnation of homosexual behavior doesn't apply today.”Namun demikian, keseluruhan 581 responden injili dalam survey ini menyetujui secara kuat bahwa “the Bible is the highest authority for what I believe” yang telah diklasifikasikan sebagai “injili berdasarkan kepercayaan”.

 

Jadi apa yang bisa kita pelajari? Ini yang dapat kita pelajari: sebagaimana sejarah gereja telah menunjukan adalah lebih mudah untuk menyetujui atau bersepakat dengan pernyataan ortodoks/lurus dan benar ketimbang mengindentifikasi atau mengenali keberadaan bidat didalam gereja dan didalam kehidupan jemaat. Ini adalah tantangan seumur hidup bagi gereja termasuk di Indonesia dalam tugas menggembalakan jemaat untuk memberikan makanan yang baik dan benar selaras dengan firman Tuhan.

 

Bagaimana dengan gereja-gereja di Indonesia? Tentu saja tidak steril dari problem-problem ini sehingga tugas pelayanan gereja harus merupakan sebuah pelayanan yang dibangun diatas dasar-dasar pengajaran yang lurus dan benar agar pertumbuhan dan buah-buahnya baik secara vertikal dan horisontal kala diujikan dengan firman Tuhan akan ditemukan selaras dengan-Nya. 

 

Soli Deo Gloria

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment