Pages

22 October 2018

Pelajaran Hidup yang Sukar


Oleh: Martin Simamora


Belajar Mencukupkan Diri Dalam Segala Keadaan


Pengejaran- Pengejaran yangTak Pernah Titik
Mari pertama-tama saya ajukan terlebih dahulu konteksnya agar tak disalahmengerti sebagai ketakproduktifan dan cepat berpuas diri. Dunia ini pada segala aspeknya tak akan selalu membahagiakan dan karena itu juga tidak akan selalu menyengsarakan. Kalau memperhatikan pernyataan demikian, seolah manusia memiliki semacam titik-titik ekuilibriumnya masing-masing yang merupakan titik-titik kepuasan atau ketercukupan hidup teroptimalnya yang khas. Tetapi faktanya tidak. Banyak hal, manusia ketika masih belum memiliki  hal-hal yang diinginkan dalam daftar keinginannya, beranggapan andaikata hal tersebut bisa didapatkannya, maka itu akan menjadi kebahagiaannya atau kepuasannya. Pada satu sisi lainnya, ada manusia ketika masih dalam situasi-situasi hidup yang tidak membahagiakan, menyedihkan hingga menyengsarakan, berpengharapan dengan sejumlah daftar apa-apa yang dianggapnya sebagai penyebab kesusahan hidupnya telah menyangka jika saja daftar itu dapat dihilangkan, maka ia akan menjadi bahagia dan memiliki kepuasan hidup yang diimpikannya. Pada faktanya, kedua hal tersebut tidak pernah terwujud sesederhana itu.

Kepuasan diri dan kepuasan hidup, pada faktanya, dapat menjadi sebuah pengejaran hidup yang tak dapat didefinisikan sendiri oleh manusia itu. Mengapa? Karena pengejaran itu berangkat dari apa yang kita sangka sebab bahkan jiwa kita sendiri tak pernah bisa mensubstansikannya sedemikian rupa sehingga menggenapkan jiwa yang bergelora. Ya begitulah kita…kita mengejar apa yang kita sangka atau pikir akan membuat kita bahagia hanya untuk mendapatkan dirinya tetap saja tidak seberbahagia sangkanya, kita dengan demikian mendapatkan diri ini lebih berbahagia sebelum saya dan anda memulai pengejaran-pengejaran semacam itu.




Perhatikan hidup di sekitar kita. Ketakpuasan atau ketakbahagiaan diri memang menandai masyarakat kita,  mulai dari keluarga, gereja dan bangsa yang terefleksikan dalam banyak cara. Kita bisa melihat tingkat hutang konsumtif masyarakat kita. Kita tak puas untuk hidup dengan apa yang kita punyai dan dalam jangkauan potensial produktif optimal kita, sehingga kita berhutang hanya untuk hidup sedikit lebih baik daripada apa yang dapat kita  beli berdasarkan produktivitas aktual teroptimal kita. Tetapi sesudahnya inilah yang terjadi…anda menjadi cemas hingga depresi memikirkan hutang yang secara sitemik meningkat menenggelamkan finansial perolehanmu berdasarkan produktivitas. Hidupmu menjadi penuh tekanan berkepanjangan sebab secara rutin tagihan-tagihan bulananmu mengejarmu bak hantu di siang bolong.

Tentu saja harus diakui dunia sudah lebih maju dalam membangun dan membentuk industri konsumsi masyarakat. Industri periklanan, misalnya, berupaya membujuk dan meyakinkan kita bahwa kita tidak mungkin dapat menjadi bahagia kecuali kita memiliki produk-produk mereka, dan kerap kita membelinya sebagai korban umpan bukan sebagai konsumen pintar dan rasional, akibatnya hanya untuk mendapatkan diri memiliki satu lagi hal yang meremukan atau satu lagi keeping peralatan konsumtif yang memberikan tekanan hidup lebih hebat lagi sementara hidup sudah terlampau dijejali oleh masalah-masalah.

Ini secara langsung dan tak langsung berdampak pada kehidupan pernikahan atau kehidupan berumah tangga. Tingkat pertumbuhan perceraian cenderung meningkat bahkan usia pernikahan semakin singkat akibat ketakpuasan dan ketakbahagiaan sebagaimana sangkanya. Tak puas dengan pasangannya, maka dicarilah pengganti yang ditakarnya lebih mampu memuaskan keinginan-keinginannya. Jika hak-haknya dan keinginan-keinginannya maka pertengkaran meledak seperti marah kecewa membeli barang yang digadang-gadangnya sebelum menikah, pasti ini yang terbaik baginya, jadi akhirnya menuntut atau saling menuntut di pengadilan sebagai puncak ketakpuasan dan ketakbahagiaan. Namun tak perlu juga seburuk itu, dahulu menikah dengan formula kalau bisa saling memperlakukan secara “adil” maka pasti langgeng, namun walau  formula yang disepakati itu dijalani, faktanya “adil” pun tak mampu mendefinisikan secara substansial kebahagiaan pernikahan, jadi perceraian dan menikah kembali,tak heran, menjadi sebuah life style yang main stream atau dianggap lazim juga.



Belajar Mencukupkan Diri
Dalam Alkitab, sangat menarik untuk melihat dan belajar teladan yang disajikan oleh rasul Paulus:
Filipi 4:11-12 Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan.

Rasul Paulus adalah hamba Kristus yang mengalami dinamika hidup atau lebih tepatnya dinamika ekonomi kehidupan seorang hamba Tuhan, bahwa  ia bisa mengalami kekurangan dan bisa mengalami kelimpahan; yang pertama jelas sebuah kehidupan yang tak membahagiakan atau menyengsarakan pada  tatar konsumsi, sementara yang kedua adalah sebuah kehidupan yang sebaliknya. Tetapi apa yang penting menjadi pelajaran kita adalah bagaimana dinamika hidup seperti itu tak memetakan jiwanya dan tak menciptakan konsepsi bahwa yang diberkati adalah berlimpah dan yang terkutuk adalah yang kekurangan. Rasul Paulus bahkan tidak menunjukan bahwa itu sebuah dinamika hidup yang perlu menjadi ilah jiwanya, sehingga ia berkata begini: dalam segala hal dan dalam segala perkata tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan.

Kalau sekarang  dua keadaan ekstrim itu bisa merupakan “rahasia” dalam tatar dan nilai rohani, paling tidak kalau berlimpah maka itu bukti berkat Tuhan menyertainya, jika kelaparan/ kekurangan maka itu bukti tidak hidup dalam berkat Tuhan, setidak-tidaknya jika bukan dalam kutuk.  Ketika Paulus berkata: kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, ini luar biasa, sebab itu adalah  respon terhadap kebaikan jemaat yang tak memungkinkan untuk diterimanya: Aku sangat bersukacita dalam Tuhan, bahwa akhirnya pikiranmu dan perasaanmu bertumbuh kembali untuk aku. Memang selalu ada perhatianmu, tetapi tidak ada kesempatan bagimu(Fil 4:10).


Dinamika hidup itu bisa sedemikian keras sehingga membuat seorang yang memiliki banyak teman, sangat mungkin untuk sendirian tanpa dukungan, seperti Paulus. Tantangan dan problem hidup memang bisa begitu diluar ekspektasi sehingga bisa sangat mengecewakan dan menenggelamkan harapan untuk mengejar pemuasan keinginan-keinginan dirinya. Dan ini bukan berarti rasul Paulus berdelusi bahwa itu bukan problem dan apalagi bukan semacam penderitaan, ia berkata terkait realita ini: Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. (Filipi 4:13).

Manusia memang bukan sahabat alami kesusahan hidup, tetapi juga jiwa manusia bukan penunggang kebahagiaan yang baik, sehingga ia terus saja tersesat dan tak dapat mengarahkan tujuannya yang sebelumnya ditetapkannya sebagai titik kebahagiaannya.

Ketika problem penghidupan menghantam rasul Paulus sementara ia harus memberitakan injil, ia bertahan dan tak undur. Ia tak berhenti dan mencari pekerjaan yang lebih baik saja, ia bertahan sebab ia tahu apa yang paling penting dalam hidupnya. Ini lebih dari yang anda sangkakan, terkait harga diri, ia tak malu dan tak kehilangan harga dirinya sebagai pelayan Tuhan yang bergantung pada bantuan dan bisa kelaparan tanpa bantuan. Perhatikan ini:

Filipi 4:14-18 Namun baik juga perbuatanmu, bahwa kamu telah mengambil bagian dalam kesusahanku. Kamu sendiri tahu juga, hai orang-orang Filipi; pada waktu aku baru mulai mengabarkan Injil, ketika aku berangkat dari Makedonia, tidak ada satu jemaatpun yang mengadakan perhitungan hutang dan piutang dengan aku selain dari pada kamu. Karena di Tesalonikapun kamu telah satu dua kali mengirimkan bantuan kepadaku. Tetapi yang kuutamakan bukanlah pemberian itu, melainkan buahnya, yang makin memperbesar keuntunganmu. Kini aku telah menerima semua yang perlu dari padamu, malahan lebih dari pada itu. Aku berkelimpahan, karena aku telah menerima kirimanmu dari Epafroditus, suatu persembahan yang harum, suatu korban yang disukai dan yang berkenan kepada Allah.

Pada derajat tertentu memang pelayanan apalagi yang pada selevel Paulus, sisi manusiawi membuatnya tak beda dengan profesi-profesi lainnya, bahwa seseorang harus memiliki kemampuan mengelola keuangannya berdasarkan pendapatan teratur dan pengeluaran yang rasional. Tetapi biaya pelayanan Tuhan karena melayani Tuhan itu bukan karir yang berpola kehidupan berupah atau bergaji korporasi rutin-sejatinya begitu, kecuali jemaat atau sinode mengaturkannya demi keberlangsungan dan pemenuhan kebutuhan mendasar sebuah keluarga pendeta- sehingga yang namanya pengejaran kepuasan hidup dan pendefinisian pada jiwanya terkait pengejaran itu, harus benar-benar berbeda daripada karir-karir lainnya. Jadi apakah yang benar-benar membedakannya, itu terletak pada bagaimana ia memandang dirinya sebagai pelayan Tuhan yang dimiliki-Nya dalam dunia yang pada dasarnya penuh problem dan tak bisa memberikan manusia kepuasan sejati. Dan inilah jiwa yang seharusnya dimiliki pada semua anak-anak Tuhan apapun profesi anda: Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku (Fil 4:13).


Kalau ini bisa dikenakan, maka tidak perlu berpikir untuk korupsi, tidak perlu memparadekan kemakmuran seorang pendeta karena memang diberkati Tuhan, dan juga tak perlu menjadi janggal memandang kok bisa ya rasul berkata: Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Tentu ini juga bukan formula tidak boleh ada pendeta yang senantiasa melimpah, tetapi apa yang paling penting dan seharusnya menjadi “flagship” hidup seorang Kristen adalah ini: aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan, segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku.


Jadi tidak perlu panik dan stres hingga masuk ke fase gugur iman dan berpikir kriminal. Sementara kita harus mengejar yang terbaik di dunia ini tetapi pagarilah hatimu dengan kebenaran ini: segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku.

Soli Deo Gloria

No comments:

Post a Comment