Pages

04 August 2015

SALIB AL-MASIH DI MATA PARA PENULIS ARAB-MUSLIM KONTEMPORER




אָמֵן׃ ,אֶחָד הָאֱלֹהִים ,הַקֹּדֶשׁ וְרוּחַ וְהַבֵּן הָאָב בְּשֵׁם
ܒ݁ܫܶܡ ܐܰܒ݂ܳܐ ܘܰܒ݂ܪܳܐ ܘܪܽܘܚܳܐ ܕ݁ܩܽܘܕ݂ܫܳܐ ܚܰܕ ܐܰܠܳܗܳܐ ܐܰܡܺܝܢ
بسم الاب والابن و الروح القدس، الاله الواحد،آمين


v
SALIB AL-MASIH DI MATA PARA PENULIS
ARAB-MUSLIM KONTEMPORER
Oleh: Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A.
Copyright © 2015 Institute For Syriac Culture Studies

The painting depicts Christ’s crucifixion at Golgotha, the ‘Place of the Skulls’ outside Jerusalem. The two criminals are crucified on either side of Christ. Mary and St John stand by the cross, while Mary Magdalene kneels at its foot. Another Mary, the wife of Clopas, lies overwhelmed with grief in the arms of an old woman. Behind them soldiers cast lots for Christ’s garments (John 19: 17-30). There are four known crucifixions by Lastman. This painting is the most monumental of the four.- Rembranthuis


Salib al-Masih dan Thariq al-Alam (Jalan Sengsara)-Nya adalah salah satu “batu sandungan” dalam dialog teologis Kristen-Islam hingga sekarang. Salah satu alasan penolakan Islam atas historisitas penyaliban Yesus, didasarkan atas sebuah ayat dalam al-Qur’an: “wa mâ qatalûhu wa mâ shalabûhu wa lâkin syubbiha lahum (Mereka tidak membunuhnya dan tidak pula mereka menyalibkannya, melainkan yang disamarkan bagi mereka)” (Q.s. An-Nisa’/4:157). Meskipun ayat ini masih menjadi perdebatan diantara para ahli tafsir al-Qur’an sejak masa klasik, dan tidak pernah tuntas hingga sekarang, akan tetapi berbagai bentuk teori telah dikemukakan untuk menyangkal, atau minimal meragukan historisitas penyaliban Kristus.

Salah satu teori yang sering diajukan hingga zaman kita, yaitu teori penggantian. Dalam teori ini dikemukakan bahwa orang lain telah diserupakan dengan Yesus dan menggantikan-Nya di kayu salib. Meskipun teori ini tidak memuaskan sejak zaman klasik, seperti tampak dari karya Ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi al-Tafsir al-Qur’an, tetapi teori ini tampaknya lebih banyak dianut dalam banyak tafsir tradisional, seperti Tafsir Jalalain, Tafsir Baidhawi, Tafsir Munir, dan banyak tafsir lain dalam bahasa Indonesia.

Teori lain lagi mungkin dapat diikuti di sini sebagai bahan perbandingan, yaitu tafsiran sekte Ahmadiyyah, yang mengakui historisitas penyaliban Yesus, meskipun Yesus hanya pingsan di kayu salib, lalu Ia turun dan pergi ke India. Sebuah kuburan di Punjab, Srinagar, dipercayai sebagai bukti lolosnya Yesus dari penyaliban dan kematian-Nya secara wajar di India, pertama kali diajukan oleh Mirza Ghulam Ahmad, dalam bukunya berbahasa Urdu, Masih Hindustan Mein (Jesus in India).



MULTI-INTERPRETASI TEKS DAN
KETIDAKPUASAN MASYARAKAT MUSLIM

Secara gramatikal, Q.s. An-Nisa’ 157 memang tidak menyangkal secara gamblang historisitas penyaliban Yesus. Ungkapan “lakin syubiha lahum (melainkan yang disamarkan bagi mereka)”, menggunakan bentuk fi’il mabni lil-majhul yang tidak menunjuk secara jelas subyek, yaitu siapa yang menggantikan Yesus dalam penyaliban. Nama Yudas Iskariot sebagai pengganti Yesus baru muncul belakangan, dan dalam sejumlah tafsir kuno dikemukakan nama-nama lain (Simon Petrus, Simon dari Kirene, dan sebagainya). Nama-nama inipun tidak muncul dalam teks al-Qur’an, melainkan dalam sejumlah kitab tafsir al-Qur’an.


Mengenai kontroversi teori ini, telah direkontruksi oleh Mustafa Mahmud Ayub, Guru Besar dalam Kajian Islam pada Temple University, Philadelpia, Amerika Serikat. Sebagai seorang Muslim, Mahmud Ayub menimbang kembali sejumlah teori dalam tafsir-tafsir al-Qur’an dari masa klasik hingga masa moderen, dan menyimpulkan bahwa bukanlah historisitas penyaliban yang ditolak oleh Islam, melainkan makna kematian Yesus bagi manusia. Konktritnya, Islam menolak doktrin penebusan yang menjadi “tafsiran resmi” teologi Kristen, yang sertamerta pula berkaitan erat dengan kematian Yesus dan makna kedatangan-Nya ke dunia ini.


Tarif Khalidi, dalam penelitiannya yang sangat mendalam mengenai sosok Yesus dalam literatur Arab-Islam, yang kini telah diterbitkan dengan judul The Muslim Jesus: Sayings and Stories in Islamic Literature, mengemukakan bahwa sejak dahulu teori penggantian di kayu salib, tidak memuaskan masyarakat Muslim sendiri. Dari koleksinya mengenai perkataan-perkataan dan kisah-kisah mengenai Yesus yang beredar di masyarakat Muslim dari abad IX hingga abad XV M ini, Khalidi mencatat kisah yang cukup menarik. Dikisahkan, bahwa seorang bernama Al-Urits telah bermimpi bertemu Yesus, dan bertanya kepada Yesus: “Apakah penyaliban benar-benar terjadi?” “Ya, Benar! Saya memang disalibkan”, jawab Yesus. Lalu si penerima mimpi melaporkan mimpinya kepada seorang ulama. “Tidak, ‘Isa tidak disalib!”, ulama itu marah sambil mengutip Q.s. An-Nisa’ 157-158. “Yang bermimpi disalib itulah yang akan disalibkan!”, demikian kata sang ulama. Menurut Khalidi, sosok al-Urits itu memang sosok historis yang hidup zaman Sultan Saladin al-Ayyubi.

Lebih dari itu, tulis Khalidi pula, kisah ini membuktikan bahwa masyarakat Arab Muslim mempunyai pandangan mereka sendiri, yang nota bene tidak selalu sejalan dengan pandangan teologis resmi Islam, khususnya seperti yang tertulis dalam sejumlah tafsir al-Qur’an.



SALIB KRISTUS DALAM
KARYA-KARYA SASTRA ARAB KONTEMPORER

Meskipun pada umumnya pandangan para penulis Muslim mengenai Salib Kristus sangat dipengaruhi oleh tafsiran tradisional seperti yang disinggung di atas, - dan dengan begitu “cukup bernuansa polemis” pula, - tetapi ada juga “suara-suara lain” yang bisa kita dengarkan di sini, tanpa bermaksud menganggapnya sebagai suara resmi Islam. Apalagi, suara-suara tersebut diperdengarkan bukan oleh para mufasir al-Qur’an, melainkan dari para sastrawan.

Menariknya, dari 5 contoh penulis yang akan dikemukakan di sini semuanya berasal dari Mesir. Negeri yang tidak hanya terkenal dengan “al-Azhar”-nya, warisan dinasti “Syi’ah” Fathimiyyah yang kemudian di “Sunni”-kan, dan pusat Kekristenan Arab terbesar pada masa kini yang sudah ada sejak zaman rasuli, tetapi juga “Negeri para Fir’aun” yang mempunyai peradaban tinggi ribuan tahun sebelum Masehi, dan menyimpan kisah-kisah kitabiyah yang dilestarikan dalam al-Kitab maupun al-Qur’an. Harus saya akui, tiga dari lima contoh penulis Arab yang dibahas khusus dalam artikel ini, sebelumnya sudah pernah dibahas oleh Pak Olaf (Prof. Olaf Schumann, Ph.D.), sehingga tulisan ini lebih merupakan pengembangan dari tulisan tersebut.



‘AQQAD: KISAH PASCA-SALIB DAN
APABILA AL-MASIH DATANG KEMBALI

Kita akan memulai dari karya penulis produktif dan peraih penghargaan sastra Mesir, ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad, berjudul: ‘Abqariyyat al-Masih (The Genius of Christ). Buku ini pertama kali diterbitkan ada tahun 1953, dan masih terus beredar sampai sekarang. ‘Aqqad termasyhur juga sebagai seorang sastrawan yang terlibat aktif dalam gerakan nasional, yang untuk sekian lama menjadi pengikut tokoh nasionalis Mesir, Sa’ad Zaghlul, pendiri Hizb al-Wafd (Partai Wafd).


Sebagaimana tampak dari judul bukunya, ‘Aqqad menekankan ketokohan Kristus dalam rangkaian tulisan-tulisannya yang menekankan ‘abqariyyah (rasionalitas). ‘Aqqad mencari rasionalitas setiap sosok historis, yang membuat tokoh-tokoh yang ia ditampilkan dalam situasi historisnya masing-masing itu mengambil peranan penting dalam menentukan jalan sejarah selanjutnya. Dalam konteks itulah, ‘Aqqad menulis ‘Abqariyyat al-Masih. “Semua hal baru mengenai al-Masih dan pemberitaan tentangnya”, tulis al-‘Aqqad, “hanya dapat dimengerti dalam konteks historis, terutama karena kemenangan al-Masih yang luar biasa di alam rohani”. Penegasan ‘Aqqad ini dipertahankan secara konsisten dalam bukunya, antara lain ia hanya menggunakan keempat Injil sebagai data sejarah untuk melacak sosok Yesus, disamping data-data sejarah sekuler non-Injil, seperti penemuan Laut Mati (Qumran).


Yang jelas, ia tidak menggunakan dokumen palsu semisal “Injil Barnabas”, yang jelas-jelas ia tolak dalam artikelnya yang lain. Dalam bukunya, ‘Aqqad benar-benar berusaha keras memotret Yesus berdasarkan data-data historis. ‘Abqariyyat al-Masih memulai deskripsinya mengenai Kristus dari penemuan Wadi Qumran (Bab 1), lalu menguraikan latar belakang Yahudi abad pertama Masehi, baik dari segi harapan keagamaan soal Mesiah, sekte-sekte Yahudi, situasi sosial politik dan peta pemikiran intelektual (Bab 2: Al-Masih fi al-Thariq).

Latar belakang ini mempersiapkan deskripsi khusus-nya mengenai faktor-faktor historis kelahiran Yesus, deskripsi mengenai tanah Galilea dan potret Kristus (Bab 3: Târiq al-Mîlâd). Dalam dua bab berikutnya (Bab 4 dan Bab 5), ‘Aqqad menguraikan soal dakwah Kristus, khususnya penekanannya soal hubungan hukum keagamaan (syari’ah) dan cinta kasih (al-hub). Yang penting ditekankan di sini, berbeda dengan tafsiran kebanyakan Muslim, bahwa ajaran Kristus hanya berlaku khusus bagi Bani Israel, ‘Aqqad mengakui universalitas dakwah al-Masih, melampaui batas-batas kebangsaan dan keyakinan.

Dengan syariah ini, yaitu syari’ah cinta kasih”, tulis al-‘Aqqad, “Kristus telah membatalkan huruf-huruf syari’ah secara formal dan detail lahiriahnya”. Karena penerimaan syariah secara formal semata-mata melahirkan kemunafikan, pemenuhan ambisi politik atas nama Tuhan. “Dan kasih terbesar adalah kasih terhadap musuh”, begitu tulisnya menyimpulkan ajaran Kristus. Dengan syariah kasih sayang ini, Yesus menyerukan agar qiblah jasmani yang didasarkan atas huruf-huruf mati, berdoa di hadapan gereja-gereja yang megah, yang dibangun dengan kekuasaan politik, kekayaan dan egoisme, diganti dengan qiblah rohani yang mengharapkan hadirnya Kerajaan Allah.


Akhirnya, Bab IV membahas persoalan teologis yang cukup crucial, yaitu soal kedudukan “Injil-injil” (‘Aqqad menggunakan bentuk jamak yang lazim digunakan orang Kristen al-Anajil, dan bukan bentuk tunggal Injil sebagaimana yang muncul dalam al-Qur’an). Penggunaan Injil-injil sebagai data sejarah ini sangat penting, karena berkaitan dengan uraian khususnya mengenai akhir kehidupan Yesus di dunia.


Uraian ‘Aqqad mengenai penyaliban Kristus, meskipun ia berusaha merujuk kepada data-data Injil, namun tampak bias di sana-sini. Ia menguraikan perbedaan detail periwayatan penyaliban dalam Injil Yohanes dan injil-injil sinoptik, hingga kebangkitan-Nya dari antara orang mati. ‘Aqqad juga mengutip keterangan Ricard Husband dalam bukunya, The Prosecution of Christ, khususnya mengenai perbedaan tanggal penyaliban Yesus, sebelum akhirnya ia mengutip dongeng Ahmadiyah mengenai Yazu’ Asaf, yang sering diidentikkan dengan Yesus, berdasarkan keyakinan mereka bahwa Yesus telah lolos dari usaha penyaliban dan pergi ke India setelah itu.

Apapun pandangan ‘Aqqad, menariknya ia sama sekali tidak mengutip “teori penggantian” yang secara tradisional lazim diterima. Dalam epilog karyanya yang diberi judul, Lau ‘âda al-Masîh (Apabila Kristus Kembali), ‘Aqqad bertanya: “Apakah yang akan dikatakan Kristus kalau Ia datang kembali?” Pertanyaan penting ini, dijawab sendiri oleh ‘Aqqad, bahwa pastilah Kristus akan kecewa, sebab banyak orang sudah kembali ke qiblah lahiriah, yang dahulu dikritiknya habis-habisan. Karena pada hemat ‘Awwad, manusia terikat kepada ketaatan buta kepada huruf-huruf syari’ah, dan bukan kepada hati nurani yang menjadi inti dari ajaran Ketuhanan.


KAMIL HUSAIN:
SUATU HARI JUMAT DI YERUSALEM

Hari itu, hari Jumat. Meskipun begitu, hari itu berbeda dengan hari-hari biasa. Itulah hari dimana manusia telah menyeleweng sama sekali. Begitu menyelewengnya, sehingga sebenarnya mereka itu telah terlibat dalam suatu dosa yang sangat besar. Kejahatan sungguh telah menawan mereka hingga mereka menjadi buta akan kebenaran, meskipun kebenaran itu lebih terang dari cahaya fajar pagi. Mereka adalah orang-orang yang beragama, memahami pengetahuan dan akhlak, mencintai kebaikan dan selalu ingat hidayah Ilahi. Mereka sangat mendalam dalam memikirkan rahasia kehidupan. Mereka sangat mencintai bangsa dan tanah air mereka. Mereka giat, militan, dan ikhlas menjalankan keyakinan mereka. Sayang sekali, keahlian mereka dalam bidang keagamaan, tidak menolong mereka untuk menjauhkan diri mereka dari kejahatan, dan akal mereka tak mampu menolong mereka untuk menghindar dari dosa-dosa, dan keikhlasan mereka tidak membimbing mereka kepada jalan kebaikan. Mereka biasa bermusyawarah, tetapi justru musyawarah yang membawa mereka kepada penyelewengan.

Dan tuan-tuan mereka, yaitu orang-orang Romawi, adalah para ahli menjaga ketertiban, suatu ketertiban yang sangat melelahkan mereka. Rakyat Yerusalem pada hari itu telah kehilangan segala kriteria untuk menimbang setiap aksi, seolah-olah akal mereka telah tertutup. Mereka seakan-akan seperti orang yang tidak pernah mengenal ajaran agama dan akal budi.

Hari itu, semua orang Yahudi telah bersepakat untuk menuntut menyalibkan Yesus kepada Penguasa Romawi, agar dakwahnya dimusnahkan. Tetapi Kristus memanggil manusia ke dalam ketaatan kepada suara hati nurani dalam segala hal yang mereka pikirkan dan perbuat. Dan apabila mereka berkeinginan untuk menyalibkan Yesus, mereka sebenarnya telah menyalibkan hati nurani seluruh kemanusiaan dan hendak memadamkan cahayanya. Mereka menganggap bahwa agama dan rasionalitas menuntut hal-hal yang lebih tinggi daripada hati nurani mereka, tanpa membayangkan bahwa sebenarnya apabila manusia telah kehilangan hati nurani, mereka tidak akan dapat menggantinya dengan sesuatu yang lain. Sebab hati nurani adalah cahaya Ilahi dalam diri manusia. Tanpa hati nurani yang membimbing, manusia segala kebaikan akan hancur, segala kesalehan menjadi jahat, dan akal budi akan menjelma menjadi kegoblokan.


Demikianlah Kamil Husain membuka bukunya, Qaryah Dhalimah (Kota Yang Durhaka). Buku ini untuk pertama kalinya diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Kenneth Cragg berjudul City of Wrong: A Friday in Jerusalem. Buku tersebut diterbitkan setahun setelah ‘Abqariyyat al-Masih dan tampaknya meneruskan ide al-‘Aqqad mengenai “hati nurani”. Tema “hati nurani” ini tampak dari pesan seluruh bukunya yang ditulis dalam bentuk novel yang sedang kita bahas.


Pada hemat Husain, penyaliban Kristus terjadi karena kebutaan kolektif hati nurani manusia. Yerusalem, tiba-tiba menjadi “kota durhaka”, ketika seluruh anak-anak negeri itu buta hati dan nalar, kosong dari terang Ilahi. Itulah sebuah hari Jumat, ketika wakil-wakil semua kelompok penduduk Yerusalem bermufakat untuk menyalibkan Yesus. Mengapa hati nurani manusia tidak berbicara sehingga penyaliban itu terjadi? Dimanakah hati nurani, sesuatu yang paling berharga yang ditiupkan Allah saat anak manusia diciptakan, pada waktu itu? Jawabnya, hati nurani itu tetap ada, tetapi terdesak oleh ketakutan untuk berpihak terang-terangan kepada Kristus, Sang Kebenaran itu sendiri.


Meskipun hati nurani mereka meronta-ronta untuk mengatakan kebenaran, tetapi mereka takut dengan pembelaan terhadap suara kebenaran mereka akan terasing dari masyarakat mereka. Dan al-‘Aqqad menekankan, bahwa tragedi penyaliban itu terjadi, karena tenggelamnya kepribadian manusia yang berhati nurani dalam lautan kolektif masyarakat yang tanpa hati nurani. Ide yang diajukan Kamil Husain, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan “dosa asal”.


Pribadi yang tidak berdaya di depan kolektivitas, sehingga ia benar-benar tidak mampu menghadapinya, tenggelam di dalamnya tanpa sisa. “Yang terjadi pada saat itu”, tulis Husain, “adalah kenyataan bahwa segala sesuatu yang mendorong manusia untuk berbuat dosa”. Sebagai seorang Muslim, Kamil Husein tahu pasti bahwa penyaliban Yesus masih menjadi kontroversi diantara para mufasir al-Qur’an. Tetapi bukan itu yang hendak ditekankan oleh Husein, sebagaimana tulisnya lagi:

“Yang terjadi pada hari itu, bukan cerita-cerita dari abad-abad pertama, melainkan malapetaka yang bisa terjadi dan terulang kapan saja dalam kehidupan tiap-tiap orang. Dan sampai hari kiamat datang, manusia akan selalu mengalami kejadian itu sebagai sesuatu yang aktual, yaitu mereka akan menghadapi bahaya untuk mengulangi dosa penduduk Yerusalem. Kegelapan akan menjadi kegelapan mereka, sampai mereka sepakat untuk tidak melanggar norma-norma hati nurani.”


Jadi, terlepas dari kontroversi mengenai historisitas penyaliban Yesus dalam tafsir al-Qur’an, bagi Husein peristiwa Jumat di Yerusalem itu sebagai “pelajaran terbaik”: betapa tanpa hati nurani, manusia akan kehilangan kemanusiaannya. Maksudnya, tanpa hati nurani manusia akan menjelma menjadi makhluk yang begitu jahatnya, sehingga seolah “bukan manusia” lagi. Menariknya, meskipun Husein tidak sampai menerima fakta historis kematian Yesus, tetapi ia juga tidak sepakat dengan “teori penggantian” yang lazim didakwahkan, bahkan secara terang-terangan mengakui ketidakpuasannya atas teori ini. No cultured Muslim believes in this nowadays, tulis Husein.



NAGUIB MAHFUD:
INTERPRETASI PENULIS MUSLIM ATAS KEMATIAN

Seorang penulis roman Mesir lainnya yang namanya masih terus berkibar lewat puluhan karya-karya hingga sekarang, Naguib Mahfud, pada tahun 1959 menulis sebuah buku berjudul Aulad Haritna (Anak-anak dari Lingkungan Kita). Karya ini terbit pertama kali di Lebanon, dan terjemahan dalam bahasa Inggris pertama kali diterbitkan di Kairo baru pada tahun 2001. Buku ini cukup kontroversial di Mesir sampai sekarang ini, sehingga sulit mendapatkan dalam bahasa Arab, sebagaimana Mahfud mula-mula menulisnya dalam cerita bersambung.

Mahfud sendiri pernah ditembak oleh “seorang teroris”, yang merasa berhak menghalalkan darahnya, karena pikiran-pikirannya yang dianggap kafir. Apakah Aulad Haritna adalah bagian dari kontroversi itu, sehingga ia harus menjadi “membayar harga” atas gagasan-gagasannya? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas, buku ini adalah buku paling kontroversial yang pernah ia tulis. Dalam karyanya ini, Mahfud ingin menampilkan fase-fase sejarah manusia, dengan segala suka dan dukanya. Sejarah Manusia dan nabi-nabi itu seolah-olah berlangsung di Kairo, yang menurut sejarahwan Muslim Ibn al-Khaldun dikenal sebagai Umm al-Dunya (Ibunda Dunia).

Betapa pentingnya Kairo, kota kelahiran Naguib Mahfud, sehingga setiap orang mengeluhkan ketidakadilan, ia akan menunjuk ke Rumah besar yang terletak di pinggir kota, sambil memandangi gurun dari kejauhan: “Inilah rumah besar leluhur semua orang”, Mahfud mengawali kisahnya, “Kita semua berasal dari pangkuannya, dan kita sama-sama mempunyai hak atas harta pusakanya”. Selanjutnya dikisahkan riwayat hidup Adham, Gabal (dialek Mesir untuk Jabal, “Gunung”), Rifa’a dan Qasim, anak-anak dari leluhur yang sama, Gabalawi. Pembaca akan segera menangkap pesan Mahfud di balik tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Adham, maksudnya tentu saja Adam, Manusia Pertama dalam narasi Yahudi, Kristen dan Islam. Gabal adalah Musa, yang dalam kerasulannya mengaitkan hubungan Musa, umat Israel dan Gunung Sinai. Yesus dan Kekristenan ditampilkan di balik sosok Rifa’a, suatu nama yang mungkin diilhami oleh ayat al-Qur’an mengenai Yesus: “Yâ ‘Isa innî mutawaffika wa rafi’uka ilayya. “Wahai Yesus, sesungguhnya Aku telah mewafatkan engkau, dan mengangkat engkau kepada-Ku” (Q.s.An-Ni-sa’/4:157). Sedangkan Muhammad dan Islam, diwakili sosok Qasim, yang mungkin diilhami oleh nama anak Nabi Muhammad sendiri.


Menariknya, “para nabi” yang dipentaskan Mahfud di panggung Kairo itu, mempunyai leluhur spiritual yang satu dan sama, Gabalawi. Siapakah Gabalawi? Gabal (artinya: “Gunung”), dan awi (mungkin dialek Arab-Mesir untuk kata Qawwi, “Kuat”). Gunung Batu Yang Kuat, yang tidak lain adalah Allah, sebutan yang paling sering muncul di Mazmur. Ditekankan, Adham, Gabal, Rifa’a dan Qasim sama-sama dianggap “anak-anak dari Bapa yang satu”.


Meskipun, “para nabi” ciptaan Mahfud itu berasal dari trah spiritual yang sama, tetapi tidak jarang mereka sering bertengkar mengenai jalan yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan yang sebenarnya sama. Qasim, misalnya, tidak bisa mengerti bagaimana mungkin Rifa’a dapat mencapai tujuan dengan “revolusi kerohanian semata-mata”. Tidak, Qasim ingin mencapai keadilan dengan ketegasan, kalau perlu dengan kekerasan, sedangkan Gabal menghayati keadilan sosial dalam struktur masyarakat.

Menurut Mahfud, kalau jalan-jalan berbeda itu tidak pernah mencapai titik temu, maka tujuan mulia itu akan mengalami kegagalan. Justru, keberhasilan akhirnya dibawa oleh sosok ‘Arafa (kata Arab yang artinya “Pengetahuan”), tokoh terakhir dalam novel Mahfud. Dari sini jelas bahwa Mahfud ingin memenangkan ilmu pengetahuan dan pencerahan akal budi di atas agama-agama, apabila ia dipahami sebagai masalah dogmatik semata-mata, tanpa aksi yang konkret dan nyata. Secara khusus kita akan melihat sosok Rifa’a, sesuai dengan judul artikel ini. Bahan-bahan untuk menghidupkan sosok Rifa’a tidak hanya diambil Mahfud dari al-Qur’an, yang dalam hal ini belum tuntas menginformasikan mengenai akhir kehidupan Yesus.

Karena itu, soal kontroversial ini justru diambilnya dari Injil. Naguib Mahfud tidak ragu-ragu bahwa Yesus memang benar-benar telah mati di kayu Salib, sebagaimana tampak dalam kutipan di bawah ini:

“Jangan lupa”, kata Sadiq dengan suara lantang, “bahwa Gabalawi telah memilih Qasim dengan mengabaikan semua anak yang kuat, dan saya kira Gabalawi tidak akan meninggalkannya kalau ia berada dalam kesulitan!”.

Dengan kesal Zakaria menyaut, “Ini juga dikatakan tentang Rifa’a, bahwa Gabalawi sangat mendukung Rifa’a semasa hidupnya, tetapi akhirnya Ia dibunuh juga, dekat rumah Gabalawi sendiri”.


Lebih lanjut, kisahnya tentang Rifa’a yang tinggal bersama ibunya Abda (maksudnya Maria) dan ayahnya, Ammu Shafi yang bekerja sebagai tukang kayu. Mereka tinggal di dekat Bukit Muqattam, Kairo. Melalui sejumlah dialog dengan keluarga Ammu Shafi ini, Naguib Mahfud dengan sangat bagus menceritakan prinsip-prinsip pengajaran Yesus mengenai kasih, kebahagiaan dan jalan pengorbanan. Menurut Rifa’a, Adham mendamba kebahagiaan sejati, dan Gabal mengatur harta dunia untuk memenuhi kebahagian itu. Namun akhirnya gagal juga.


Harta benda tidak ada artinya, Bapa”, kata Rifa’a kepada ayahnya, Ammu Shafi. Mengapa? Karena bagi Rifa’a, kebahagiaan dan kepuasan batin adalah segala-galanya, meskipun setan-setan yang tersembunyi dalam diri kita bermaksud menghancurkannya. Rifa’a pun mengusir Setan dan roh-roh jahat. “Karena Kehendak Allah yang di surga, aku melakukan semua ini”, kata Rifa’a. Akhirnya, “Jalan Kematian” Rifa’a dikisahkan secara fiktif dengan menampilkan sosok istri yang tidak setia, Yasmin. Seorang yang dinikahi Rifa’a tanpa sama sekali melakukan hubungan suami-istri seperti layaknya.


Rupanya, sosok Yasmin hanya pementasan ulang tokoh Yudas Iskariot, si Pengkhianat. Dan seperti kisah Yesus, Rifa’a berkumpul dengan Yasmin dan para sahabat, pada malam menjelang dia dikhianati dan dibunuh di padang gurun. Jalan Rifa’a sungguh-sungguh tak terpahami, termasuk oleh orang terdekatnya sekalipun.


Mengapa engkau begitu gembira seperti berada dalam pesta perkawinan?”, tanya Yasmin. “Ada saatnya engkau bergembira, apabila engkau terbebas dari Iblismu!”, jawab Rifa’a. Selanjutnya, setelah Rifa’a mengajarkan prinsip-prinsip perdamian dan kebenaran, seseorang menangkapnya dan membawanya ke gurun. Rifa’a mati di tangan Bayumi dengan sebuah pukulan, setelah mengarahkan wajahnya ke rumah leluhurnya, sambil berteriak, “Ya, Gabalawi!”.

Rifa’a sebenarnya tidak pernah mati, justru jalan sengsaranya dirayakan menjadi nyanyian-nyanyian pujian dan tari-tarian dengan rebana. Meskipun Mahfud memberikan interpretasinya sendiri atas hidup Kristus, yang mungkin tidak selalu disetujui orang Kristen, tetapi dijadikannya kematian Kristus sebagai tempat penting dalam Aulad Haritna, suatu keberanian yang luar biasa. Karena tema ini, termasuk titik peka dalam dialog teologis Kristen-Islam.


‘ABD AL-HAKIM QASIM:
SALIB DAN KRITIK PEDAS ATAS ISLAMISASI

Masih dapat disebut sebuah cerita pendek yang ditulis oleh ‘Abd al-Hakim Qasim, berjudul Al-Mahdi. Karya ini untuk pertama kalinya diterbitkan di Beirut tahun 1973, dan baru diterjemahkan dalam bahasa Inggris di Kairo tahun 1996 dalam kumpulan cerita pendek berjudul Rites of Assent.

Novel yang ditulis oleh cerpenis Muslim ini, menjadi menarik karena ia mengangkat isu yang cukup sensitif, yaitu konversi iman atau perpindahan agama. Tetapi masalah yang diangkat Qasim bukan sekedar sebuah konversi biasa, suatu masalah yang wajar bisa terjadi bagi siap saja sesuai dengan hak azasinya, melainkan ada pergulatan politik dan ideologisasi agama di belakang peristiwa wajar itu. Adalah Awadallah al-Mahdi, seorang Kristen Koptik yang berpindah agama Islam, ingin mengumumkan “pertobatan”-nya itu ke Mahkamah Agama.

Rupanya, di belakang tekad al-Mahdi yang menggebu-gebu untuk menyaksikan imannya tersebut, ada “permainan politik” Ikhwan al-Muslimin (Persaudaraan Muslim), yang mewakili sayap keras Islam di Mesir. Sebagai penyeimbang, Qasim juga menyindir kaum Sufi, yang sekalipun sikap keagamaannya ramah, inklusif dan toleran, tetapi sering tidak berdaya ketika mengejawantahkan prinsip-prinsip teologis mereka secara praktis. Kembali ke soal pilihan iman al-Mahdi. Kesadarannya menemukan Islam berkat pencariannya yang jujur, memang harus dihargai. Sebagaimana juga pencarian seorang Muslim, andaikanlah sebaliknya, kalau ia menemukan Kristus dalam pengembaraan spiritualnya, patut pula dihormati, tanpa harus ada fatwa murtad, dan istilah sejenis yang tidak mengenakkan.

Mungkin Qasim jengkel dengan “politisasi vulgar” di balik “masuk Islam”-nya Awadallah al-Mahdi. Sosok al-Mahdi, dimaksudkan oleh Qasim untuk menggambarkan orang-orang Kristen Koptik. Kisah konversi besar-besaran kaum Koptik ke pangkuan Islam karena tekan politik, misalnya, seperti yang terjadi pada abad ke-13-14 Masehi. Dan Qasim khawatir, langkah-langkah yang dilakukan Ikhwan al-Muslimin, apabila mereka menggenggam kekuasaan di tangan mereka, akan mengulangi peristiwa itu. Meskipun harus dicatat pula, bahwa bentuk-bentuk ekstremisme agama semacam ini, juga seringkali merupakan reaksi dari pola-pola tanshir (kristenisasi) a la Koboi yang sering dimainkan para pekabar Injil dari Barat.

Qasim mengakhiri kisahnya dengan kematian tragis al-Mahdi di depan Mahkamah Agama, dimana ia mati di tengah-tengah kerumunan masa yang sedang mengelu-elukannya. Sebaliknya, Qasim menampilkan sebuah kontras dalam kisahnya, yaitu sosok lain yang mewakili kesetiaan iman kepada Kristus. Dia adalah Fula, seorang teguh iman yang selalu mengikuti al-Mahdi, mendoakan demi kebaikannya dan menangisi kematiannya, saat ia menyaksikan dari jauh kematian al-Mahdi. Dan ketika al-Mahdi meninggal, Fula berdoa dengan menyeru nama Yesus: “Bismi Rabbina Yasu’ al-Masih. In the name of our Lord, Jesus Christ”, lalu membuat tanda salib di atas dadanya.


FATHI ‘UTSMAN:
BERSAMA KRISTUS DALAM KEEMPAT INJIL

Karya terakhir yang berkaitan erat, meskipun tidak menyinggung langsung soal penyaliban, ditulis oleh Fathi ‘Utsman, berjudul Ma’a al-Masîh fî al-Anâjîl al-Arba’a (Bersama Kristus dalam Keempat Injil). Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1961. Fathi ’Utsman berasal dari kota al-Minyah, sebuah kota di Mesir yang komposisi penduduk Kristen dan Islamnya sama-sama besarnya, dan pernah bekerja di Kementerian Waqaf al-Jazair (Algeria).

Berangkat dari pengalaman perjumpaannya dengan saudara-saudara Kristennya, ‘Utsman tertarik mencermati sisi-sisi teologis Kristen yang menjadi pemisah dengan Islam. Dalam semangat dialog, ia menemukan bahwa dalam Perjanjian Baru terdapat ajaran moral yang dalam Islam lebih dikenal dengan al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar (perintah melaksanakan kebajikan dan menjauhi kemungkaran). Bahkan bagi ‘Utsman, keunggulan ajaran Kristus terletak pada penempatan ajaran cinta kasih sebagai inti dari hukum-hukum tertulis, khususnya bagaimana dengan itu Kristus menelanjangi tatanan sosial yang bobrok yang justru dilegitimasi dengan agama.

Meskipun ‘Utsman tidak menutupi perbedaan antara kedua agama, khususnya dalam pembahasan teologis soal keilahian Kristus, ketritunggalan Ilahi, Salib dan Penebusan, tetapi ia berusaha memahami Kristus dan Iman Kristen dari keempat Injil secara langsung. Konkritnya, ia setuju dengan ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad, bahwa justru keempat Injil memberikan rekaman yang paling dekat mengenai hidup Kristus secara historis dan ajaran-ajaran-Nya. Hal penting lain yang perlu dicatat dari karya ‘Utsman, bahwa berbeda dengan tafsiran dogmatik Islam bahwa misi Kristus hanya berlaku bagi Bani Israel pada zamannya saja, ‘Uthman menekankan universalitas ajaran kristus, dan tidak kehilangan validitas dengan kedatangan Islam dan kenabian Muhammad.


ANTARA JAMA’AH SASTRA DAN JAMA’AH PADA UMUMNYA:
DI BALIK REVISI NOVEL ‘AQBARIYYAT AL-MASÎH

Dari sekian banyak karya-karya sastra yang saya deskripsikan di atas, hanya buku ‘Abqariyyat al-Masih karya ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad yang sampai saat ini beredar luas dalam bahasa Arab di toko-toko buku di Mesir. Ma’a al-Masih-nya Fathi ‘Utsman tidak beredar lagi, sedangkan Qaryah Dhalimah-nya Kamil Husein, al-Mahdi-nya Qasim dan Aulad Haritna-nya Naguib Mahfud hanya beredar dalam edisi terjemahannya dalam bahasa Inggris. Malah, saya mendengar dari salah seorang rekan Mesir saya, dari puluhan karya-karya Naguib Mahfud dalam bahasa Arab, Aulad Haritna agaknya tidak diizinkan beredar.

Mengenai ‘Aqbariyyat al-Masih, punya kisahnya sendiri yang menarik untuk dicermati. Karena meskipun buku ini tetap beredar luas dalam bahasa Arab, tetapi rupanya penerbit telah mengubah judul, tampilan buku, dan beberapa kalimat didalamnya, tanpa sepengetahuan pengarangnya. Saya membeli buku ini dalam edisi revisinya dengan judul baru, Hayât al-Masîh (Kehidupan Kristus), sedangkan edisi aslinya ‘Abqariyyat al-Masîh, yang diterbitkan di Lebanon, saya harus puas hanya mendapatkan dalam bentuk foto copy dari Perpustakaan Dar Comboni Institute, Zamalek, Cairo.


Sejak cetakan pertamanya tahun 1953, buku ini diterima luas di kalangan Muslim maupun Kristen di Mesir. Kenneth Cragg melaporkan, bahwa lebih dari 200.000 buku telah habis terjual pada 9 bulan pertama tahun itu. Judul baru Hayât al-Masîh baru muncul pada cetakan ke-3, dengan beberapa revisi lain, karena “tekanan kelompok Islam garis keras”. Dari cetakan ke-3 hasil revisi ini, Ashgar Ali Enginne, seorang Muslim India, telah menerjemahkan dan menerbitkan buku ini dalam bahasa Urdu. Perlu diketahui, bahwa sumber informasi ‘Aqqad mengenai kehidupan Yesus banyak diambil dari Inji bahasa Arab hasil terjemahan Cornelis van Deyk yang lebih luas diterima gereja-gereja Arab, meskipun ia mempunyai koleksi Injil dalam terjemahan Arab lain. ‘Aqqad tetap mempertahankan sabda-sabda Yesus dalam Injil, termasuk ungkapan al-Ab (Sang Bapa) untuk Allah, Ruh al-Qudus (Roh Kudus), dan sebagainya, meskipun tidak serta merta memindahkan makna teologis Kristen atas istilah-istilah itu.

Meskipun demikian, tidak jarang pula ‘Aqqad menggunakan ungkapan-ungkapan Arab-Muslim dalam deskripsinya soal situasi keagamaan di sekitar Yesus pada zamannya. Misalnya, ‘Aqqad menggunakan istilah qibla dan mihrab dalam kaitan dengan Bait Allah di Yerusalem, menyebut para yuris agama Yahudi dengan fuqaha atau para ahli fiqh, dan mencatat “The Sermon on the Mount” dengan al-Khutbah ‘ala al-Gabal (Khutbah di atas Bukit), dan bukan al-Maw’izzah ‘ala al-gabal (Mau’izah di atas Bukit), seperti biasanya orang Kristen-Arab menyebut.

Apapun pendekatan ‘Aqqad dalam mendekati tokoh Kristus, bagi jama’ah (baca: pembaca) sastra, bukanlah hal yang baru dan aneh. Tetapi masalahnya, seiring dengan popularitas buku ini, dan tak ayal lagi, ketika buku jatuh di tangan “jama’ah pada umumnya” (baca: umat konvensional dalam suatu agama), kemudian menjadi masalah. Penerbit tentu harus tanggap dengan fenomena ini. Maka tangan-tangan terampil para editor pun berperan, meskipun tidak disangkal bahwa ‘Aqqad sendiri juga melakukan revisi atas karya ini.

Selain perubahan judul, editor menambahkan formula Bismillahir rahmanir rahim (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang), mengawali lembar meditatif dengan judul al-Syajarat al-Mubâraka (Pohon Keberkahan), yang ditempatkan sebelum Bab I (Fî Wadi al-Qumran, “Mengenai Lembah Qumran”). Pada lembar meditatif tersebut, ditambahkankan ayat-ayat al-Qur’an, lengkap dengan harakat dan format huruf khusus untuk membedakan dengan lembar-lembar novel yang ditulis dalam huruf Arab biasa, maksudnya tanpa harakat seperti lazim dalam bahasa Arab modern.

Dalam pasal 19 “Kerajaan Surga” (Malakût as-Samawât), yang membahas segi-segi historis dari agama Yahudi, mungkin menimbulkan kesulitan tertentu bagi pembaca Arab yang fanatik. Karena itu, editor mengubah ungkapan ‘Aqqad “an ethnic clique” menjadi “an ethnic fanaticism” (al-‘ashabiyyat al-‘anshiriyyah). Dan masih banyak lagi contoh yang bisa dikemukakan, tetapi beberapa kata yang dikemukakan di atas kiranya cukup untuk menggambarkan betapa “jama’ah sastra” lebih siap dan terbuka dengan ide-ide baru, mendobrak konvensionalisme dan konservativisme pemikiran, ketimbang “jama’ah pada umumnya”.

Inilah tantangan kita juga di Indonesia. Mungkin kita telah bebas dari “era pencekalan” karya-karya satra, tetapi bisa saja kini terjebak kepada konvensionalisme yang terkadang harus menghamba kepada “selera pasar”, “kebutaan kolektif” masyarakat manusia dan bentuk “salah kaprah” lain yang menurut istilah Husein, tanpa “hati nurani” itu. 



Bambang Noorsena
Zamalek, Cairo, 5 Juni 2004

Copyright © 2015 Institute For Syriac Culture Studies

No comments:

Post a Comment