Pages

09 March 2015

Sihir Dalam Dunia Alkitab (1)



Oleh : Edwin Yamauchi,Ph.D  (Professor of History)


Sihir Dalam Dunia Alkitab (1)


Pengantar
Tidak dapat diragukan bahwa baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru telah lahir dalam lingkungan-lingkungan yang  disesaki dengan  keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek sihir[1]. Sebab itu tidaklah mengejutkan menemukan Musa bertarung dengan para penyihir di Mesir, yang kemudian dikenali sebagai Yanes dan Yambres (2Timotius 3:6-8)[2], sebab sihir telah merupakan faktor dominan dalam budaya orang-orang Mesir[3]. Karena orang-orang Mesir untuk dapat menjangkau kehidupan setelah kematian harus menyediakan bagi mereka sendiri formula kata-kata mantera atau upacara-upacara magis, sebagaimana ditunjukan pada teks-teks di Piramid dalam KerajaanLama, pada peti-peti jenazah dalam Kerajaan Menengah, dan Kitab Kematian  dalam Kerajaan Baru[4]. Sihir juga sebuah kekuatan yang hebat dalam budaya-budaya  kontemprer lainnya, seperti yang terdapat pada orang-orang Hitti (Turki kini dan belahan utara Syria)[5].

Daniel di majelis Nebukadnezar di Babel merupakan seorang mitra sejawat ‘para ahli sihir dan astrolog,”[6] yang merupakan warisan tradisi sihir dan meramal masa depan secara supranatural dari orang-orang Mesopotamia purba[7]. Perhatikan teks-teks berikut ini:


Daniel 1:20 Dalam tiap-tiap hal yang memerlukan kebijaksanaan dan pengertian, yang ditanyakan raja kepada mereka, didapatinya bahwa mereka sepuluh kali lebih cerdas dari pada semua orang berilmu dan semua ahli jampi di seluruh kerajaannya.


Daniel 2:2 Lalu raja menyuruh memanggil orang-orang berilmu, ahli jampi, ahli sihir dan para Kasdim, untuk menerangkan kepadanya tentang mimpinya itu; maka datanglah mereka dan berdiri di hadapan raja.


Daniel 2:10 Para Kasdim itu menjawab raja: "Tidak ada seorangpun di muka bumi yang dapat memberitahukan apa yang diminta tuanku raja! Dan tidak pernah seorang raja, bagaimanapun agungnya dan besar kuasanya, telah meminta hal sedemikian dari seorang berilmu atau seorang ahli jampi atau seorang Kasdim.

Daniel 2:27 Daniel menjawab, katanya kepada raja: "Rahasia, yang ditanyakan tuanku raja, tidaklah dapat diberitahukan kepada raja oleh orang bijaksana, ahli jampi, orang berilmu atau ahli nujum.

Daniel 4:7 Kemudian orang-orang berilmu, ahli jampi, para Kasdim dan ahli nujum datang menghadap dan aku menceritakan kepada mereka mimpi itu, tetapi mereka tidak dapat memberitahukan maknanya kepadaku.

Daniel 5:7 Kemudian berserulah raja dengan keras, supaya para ahli jampi, para Kasdim dan para ahli nujum dibawa menghadap. Berkatalah raja kepada para orang bijaksana di Babel itu: "Setiap orang yang dapat membaca tulisan ini dan dapat memberitahukan maknanya kepadaku, kepadanya akan dikenakan pakaian dari kain ungu, dan lehernya akan dikalungkan rantai emas, dan di dalam kerajaanku ia akan mempunyai kekuasaan sebagai orang ketiga."

Daniel 5:11 sebab dalam kerajaan tuanku ada seorang yang penuh dengan roh para dewa yang kudus! Dalam zaman ayah tuanku ada terdapat pada orang itu kecerahan, akal budi dan hikmat yang seperti hikmat para dewa. Ia telah diangkat oleh raja Nebukadnezar, ayah tuanku menjadi kepala orang-orang berilmu, para ahli jampi, para Kasdim dan para ahli nujum,

Daniel 5:15 Kepadaku telah dibawa orang-orang bijaksana, para ahli jampi, supaya mereka membaca tulisan ini dan memberitahukan maknanya kepadaku, tetapi mereka tidak sanggup mengatakan makna perkataan itu.


Sekalipun Perjanjian Lama mengutuk  praktek-praktek sihir dan meramal masa depan tersebut, hal ini tidak mencegah sejumlah orang Yahudi dari mengadakan penggunaan upaya-upaya terlarang semacam itu, para nabi sangat kerap  mengutuk perbuatan tersebut untuk menjauhkan orang-orang Israel dari penyembahan berhala[8]. Sihir telah menjadi hal pragmatis serta  memiliki daya tarik yang melintasi keyakinan/iman atau agama. Mantra yang sama dapat digunakan dengan perubahan-perubahan kecil oleh orang yang berasal dari ragam latar belakang agama.[9]

Sekalipun protes-protes dari para rabbi atau guru Yahudi, sihir telah semakin tinggi digunakan oleh masyarakat umum dalam era Talmud(abad ke 3-5 Masehi). Bukti yang  mengejutkan untuk hal ini datang dari sebuah manuskrip penting Ibrani yang disebut Sepher Ha-Razim, ‘Kitab Rahasia-Rahasia,’ yang diterbitkan oleh M. Margalioth pada tahun 1966.[10] Pada masa pertengahan, tradisi mistik Yahudi Kaballah dipenuhi dengan instruksi yang bersifat sihir[11].

Dalam Perjanjian Baru, kita dapat memikirkan perjumpaan Petrus dengan Simon si penyihir[12]

Kisah Para Rasul 8:9-24
Seorang yang bernama Simon telah sejak dahulu melakukan sihir di kota itu dan mentakjubkan rakyat Samaria, serta berlagak seolah-olah ia seorang yang sangat penting....(18) Ketika Simon melihat, bahwa pemberian Roh Kudus terjadi oleh karena rasul-rasul itu menumpangkan tangannya, ia menawarkan uang kepada mereka,(19) serta berkata: "Berikanlah juga kepadaku kuasa itu, supaya jika aku menumpangkan tanganku di atas seseorang, ia boleh menerima Roh Kudus."(20) Tetapi Petrus berkata kepadanya: "Binasalah kiranya uangmu itu bersama dengan engkau, karena engkau menyangka, bahwa engkau dapat membeli karunia Allah dengan uang.


dan penentangan Paulus yang efektif terhadap para penyihir Yahudi bernama Elimas atau Bar Yesus, di Siprus:

Kisah Para Rasul 13:6-12
Mereka mengelilingi seluruh pulau itu sampai ke Pafos. Di situ mereka bertemu dengan seorang Yahudi bernama Baryesus. Ia seorang tukang sihir dan nabi palsu. Ia adalah kawan gubernur pulau itu, Sergius Paulus, yang adalah orang cerdas. Gubernur itu memanggil Barnabas dan Saulus, karena ia ingin mendengar firman Allah. Tetapi Elimas--demikianlah namanya dalam bahasa Yunani--,tukang sihir itu, menghalang-halangi mereka dan berusaha membelokkan gubernur itu dari imannya. Tetapi Saulus, juga disebut Paulus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap dia, dan berkata: "Hai anak Iblis, engkau penuh dengan rupa-rupa tipu muslihat dan kejahatan, engkau musuh segala kebenaran, tidakkah engkau akan berhenti membelokkan Jalan Tuhan yang lurus itu? Sekarang, lihatlah, tangan Tuhan datang menimpa engkau, dan engkau menjadi buta, beberapa hari lamanya engkau tidak dapat melihat matahari." Dan seketika itu juga orang itu merasa diliputi kabut dan gelap, dan sambil meraba-raba ia harus mencari orang untuk menuntun dia. Melihat apa yang telah terjadi itu, percayalah gubernur itu; ia takjub oleh ajaran Tuhan.


Banyak orang yang bertobat dan beriman menjadi Kristen di Efesus telah membakar gulungan-gulungan sihir mereka:

Kisah Para Rasul 19:17-20
Hal itu diketahui oleh seluruh penduduk Efesus, baik orang Yahudi maupun orang Yunani, maka ketakutanlah mereka semua dan makin masyhurlah nama Tuhan Yesus. Banyak di antara mereka yang telah menjadi percaya, datang dan mengaku di muka umum, bahwa mereka pernah turut melakukan perbuatan-perbuata seperti itu. Banyak juga di antara mereka, yang pernah melakukan sihir, mengumpulkan kitab-kitabnya lalu membakarnya di depan mata semua orang. Nilai kitab-kitab itu ditaksir lima puluh ribu uang perak. Dengan jalan ini makin tersiarlah firman Tuhan dan makin berkuasa.


Apa yang disebut ‘kitab-kitab Efesus,’ merupakan kombinasi-kombinasi bersifat sihir yang terdiri dari surat-surat tak bermakna seperti “abrakadabra” yang sangat kita kenal kini, adalah hal yang terkenal dalam era purba[14].  Ilustrasi-ilustrasi kata-kata mantra magis dijumpai dalam jumlah yang melimpah ruah dalam papiri sihir berbahasa Yunani  terkenal yang telah dipublikasikan oleh K. Preisendanz[15], sebagaimana juga didalam literatur klasik[16].



Etimologi
Kata “magic” berasal dari era Yunani μαγικός –magikos yang berhubungan dengan magi, yang  pada dasarnya merupakan sebuah keimaman campuran yang melayani orang-orang Media dan Persia[17]. Selama era Helenistik, kata magi bermakna para astrolog, seperti dalam kisah ‘orang-orang Majus’ yang telah datang untuk mengagumi  sang  bayi Kristus di Bethlehem (Matius 2:1-12)[18].  Pada awal abad ke 5 SM, kata μάγος -magos juga telah memiliki makna rendah dan bernilai buruk pada  ‘penyihir’ atau ‘penipu yang mahir’ dan kata tersebut diaplikasikan pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan Simon (Kisah Para Rasul 8:9.11) dan Elimas (Kisah Para Rasul 13:6,8)[19].


Sihir vs Agama
Walaupun sihir dan agama  bukan katagori yang eksklusif satu sama lain[20], keduanya secara umum telah dipahami mewakili dua perilaku yang berbeda. Misalkan saja, dalam agama seseorang berdoa kepada tuhan-tuhan; dalam sihir seseorang memerintahkan dewa-dewa[21]. Dalam hal semacam ini, agama orang-orang Mesir dahulu kerap bukan bersifat magis[22]. Orang-orang Mesir mengancam dewa-dewanya dengan dewa-dewa melalui hikmat kekuatan sihirnya.


Perbedaan utama antara sihir dan agama, yang biasanya merujuk kepada para perintis antropologi E.B. Taylor dan James Frazer [23]. Elemenpemaksaan,’ ‘kendali,’ atau ‘manipulasi’ telah dinilai sebagai elemen esensial sihir dalam banyak definisi. Sebagai contoh, H.H. Rowley mencatat:

The line between magic and religion. is not always easy to define, but broadly we may say that wherever there is the belief that by a technique man can control God, or control events, or discover the future, we have magic
Garis antara sihir dan agama, tidak selalu mudah untuk didefinisikan, tetapi secara luas kita dapat mengatakan bahwa dimana ada keyakinan yang oleh sebuah tehnik manusia dapat mengendalikan Tuhan, atau mengendalikan peristiwa-peristiwa, atau menyingkapkan masa depan, kita memiliki sihir.[24]


Menurut William Howells, seorang antropolog, ‘magic atau sihir dapat merangkai hal-hal untuk terjadi, sementara doa kepada  Tuhan hanya dapat berupaya untuk membujuk.[25]. Psikolog Walter Houston  Clark menyatakan, ”Khas perilaku  bersifat sihir atau magis adalah gagasan bahwa manusia dapat memaksa atau secara kuat mempengaruhi Tuhan dengan melakukan sejumlah  ritual-ritual secara  tepat atau melontarkan kata-kata kutuk.’[26]



Obat dalam Sihir
Salahsatu praktek yang dikecam dalam Perjanjian Baru adalah penggunaan obat-obatan untuk  tujuan-tujuan yang bersifat sihir. Kata Yunani  φαρμακον- pharmakon yang aslinya berarti obat, yang digunakan dalam pengobatan (Plato, Protagoras 354A, kemudian menjadi kata yang digunakan ‘farmasi’). Kata ini muncul dalam Wahyu 9:21 yang mungkin merujuk pada penggunaan obat-obatan dalam perapalan mantra atau pelaksanaan ritual sihir yang bersifat erotis karena keterkaitannya dengan amoralitas seksual [50]. Akan tetapi hampir semua bagian turunan kata pharmakon merujuk pada lebih banyak untuk meterial-material bersifat magic atau sihir untuk tujuan-tujuan kebecian daripada cinta. Praktek-praktek semacam ini didaftarkan sebagai salah satu perbuatan-perbuatan daging dalam Galatia 5:20:

penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah,

KJ Idolatry, witchcraft, hatred, variance, emulations, wrath, strife, seditions, heresies,
NIV idolatry and witchcraft; hatred, discord, jealousy, fits of rage, selfish ambition, dissensions, factions

[φαρμακεία - pharmakeia, witchcraft]. Mereka yang mempraktekan seni kejahatan keji, φαρμακεύς- pharmakeus, Wahyu 21:8
Tetapi orang-orang penakut, orang-orang yang tidak percaya, orang-orang keji, orang-orang pembunuh, orang-orang sundal, tukang-tukang sihir, penyembah-penyembah berhala dan semua pendusta, mereka akan mendapat bagian mereka di dalam lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang; inilah kematian yang kedua."


Wahyu 22:15 φάρμακος – pharmakos akan disingkirkan dari sorga
Tetapi anjing-anjing dan tukang-tukang sihir, orang-orang sundal, orang-orang pembunuh, penyembah-penyembah berhala dan setiap orang yang mencintai dusta dan yang melakukannya, tinggal di luar.



Bersambung ke Bagian 2

Kredit foto: "prosesi Apis"  - F Arthur Bridgman



Catatan Kaki
1Magic is distinct from but closely related to ‘divination’, the foretelling of the future by various signs. See my essay, ‘Divination in the Biblical World’, presented to the American Scientific Affiliation, August. 102. My own interest in the subject of magic has grown out of the research for my dissertation, published as Mandaic Incantation Texts [hereafter MIT ] (New Haven: American Oriental Society, 1967). As I included an extensive bibliography on magic in this volume (pp. 372-395), 1 will for the most part refrain from repeating titles listed there. I am indebted to a fellowship from the Institute for Advanced Christian Studies for aid in continued research on ancient ma gic and divination.


2Cf. T. Hopfner, Griechisch-ägyptischer Offenbarungszauher (Leipzig: Haessel, 1924), II, Nos. 10-11. For references to Jannes and Jambres in the targums, see M. McNamara, The New Testament and the Palestinian Targum to the Pentateuch (Rome: Pontifical Biblical Institute, 1966) 32-96; L. J. Grabbe, ‘The Jannes/Jambres Tradition in Targun Pseudo-Jonathan. and Its Date,’ JBL 98 (1979) 393-401. For the contrast between the Egyptian magicians and Moses and Aaron, see M. Greenberg, Understanding Exodus (New York: Behrman, 1969) 152, 169.


3 For Egyptian magic see P. Ghalioungi, Magic and Medical Science in Ancient Egypt (London: Hodder Stoughton, 1963); J. F. Borghouts, The Magical Texts of Papyrus Leiden (Leiden: Brill, 1971); idem, Ancient Egyptian Magical Texts (Leiden: Brill, 1978); R. Brier, Ancient Egyptian Magic (New York: William Morrow, 1960); K. A. Kitchen, ‘Magic and Sorcery. 2. Egyptian and Assyro-Babylonian’, The Illustrated Bible Dictionary, ed. J. Douglas & N. Hillyer (Leicester: Inter-Varsity, 1980), II, 933-935.


4 A. de Buck, The Egyptian Coffin Texts (Chicago: University of Chicago, 1935-56) 6 vols.; R. O. Faulkner, The Ancient Egyptian Pyramid Texts (Oxford: Oxford University, 1969) 2 vols.; Miriam Lichtheim, Ancient Egyptian Literature. 1.The Old and Middle Kingdoms (Berkeley; University of California, 1975) 29-50, 131- 133;idem,Ancient Egyptian Literature. 2.The New Kingdom(Berkeley: University of California, 1976) 119-132.


5 The relation of the biblical ‘Hittites’ to the Anatolian ‘Hittites’ has been a matter of controversy. See H. A.Hoffner, ‘Some Contributions of Hittitology to Old Testament Study’,TB20 (1969) 27-55; A. Kempinski,‘Hittites in the Bible - What Does Archaeology Say?’BAR5.4 (1979) 20-45. For Hittite magic see H. Otten,Mythische und magische Texte in hethitischer Sprache(Berlin: Vorderasiatische Abteilung der StaatlichenMuseen, 1943); A. S. Kapelrua, ‘The interrelationship between Religion and Magic in Hittite Religion’,Numen6 (1959) 32-50; D. Engelhard,‘Hittite Magical Practices’ (unpublished Ph.D. Dissertation, Brandeis University,1970); I. Wegner, ‘Regenzauber im Hattiland’,UF10 (1978) 403-410. For applications from Hittite magic to theOT, see H. A. Hoffner, ‘Symbols for Masculinity and Femininity’,JBL85 (1966) 326-334;idem, ‘The Hittitesand Hurrians’ inPOTT215-217.



6 In Dn. 1:20 the first word for magician is derived from the Egyptianh»ry-tp; the second word is derived fromthe Akkad.āšipu, ‘enchanter’. The latter, which occurs only inDaniel, is placed incongruously in an Egyptian setting in the genesis Apocryphon 20.19. See J. A. Fitzmyer, The Genesis Apocryphon of Qumran Cave I (Rome; Pontifical Biblical institute, 1966) 57, 118.


8 See  MIT 392-394; 1. A. Fishbane, ‘Studies in Biblical Magic’ (unpublished Ph.D. Dissertation, Brandeis  University, 1971). 


9 The same spells which were used by the Mandaeans ( MIT) were also used by Jewish clients in their Aramaic bowl incantations and by Christian clients in their Syriac howl incantations. See V. P. Hamilton, ‘Syriac incantation Bowls’ (unpublished Ph.D. Dissertation, Brandeis University, 1970); C. D. Isbell,Corpus of the Aramaic Incantation Bowls (Missoula: Scholars Press, 1975). We are all indebted to our mentor, Professor Cyrus H. Gordon (see MIT 379-380), who in turn studied under James A. Montgomery, who published the first major study on the magic bowls of Nippur in 1913.


10 (Jerusalem: American Academy for Jewish Research, 1966). An English translation is being prepared by M. Morgan for Scholars Press. See N. Sec, ‘Le Sēfer ha-Rāzim et A Méthode de “combinaison des lettres”‘,Revuedes études juives130 (1971) 295-304; J. Goldin, ‘The Magic of Magic and Superstition’, in Aspects of Religious Propaganda in Judaism and Early Christianity, ed. by B. S. Fiorenza (Noire Dame: Notre Dame University, 1976) 115-147. Margalioth dated the work to the 3rd century, but I. Groenwald (‘Knowledge and vision’, Israel Oriental Studies 3 [1973] 71) prefers a 5th-6th century date.



11 G. Scholem, On the Kabbalah and Its Symbolism (New York: Schocken, 1969);idem Kabbalah (New York: New American Library, 1974); S. Sharot, Messianism, Mysticism, and Magic (Chapel Hill: University of North Carolina, 1982) 27-44.



12 The Apocryphal Acts of Peter describes how Simon astounded the crowds at fore by his magical flights until Peter prayed that he might crash to the ground. See E. Hennecke and W. Schneemelcher, New Testament Apocrypha (London: Lutterworth, 1965; Philadelphia: Westminster, 1965), II, 289-216. The early church fathers regarded Simon as the fountainhead of all the Gnostic heresies, though the book of acts, our earliest source, describes him simply as a magician. See R. P. Casey, ‘Simon Magus’ in The Beginnings of Christianity, ed. F. J. Foakes Jackson and K. Lake (Grand Rapids: Baker, 1966 reprint), \4 151-163; E. M. Yamauchi, Pre-Christian Gnosticism (London: Tyndale, 1973) 58-65; J. D. M. Derrett, ‘Simon Magus Acts 8:9-24)’, ZNW 33 (1962) 52-68



14 K. Wessely, Ephesia grammata (Vienna: Franz-Joseph Gymnasium, I886); A, Deissmann, ‘Ephesia Grammata’, Abhandlungen zur Semitischen Religionskunde and Sprachwissenschaft, 0. W. Frankenberg and F. Kuchler Messon: Töpalmann, 1918) 121-124; C. C. McCown, ‘The Ephesia Grammata in Popular Belief’, Transactions of the American Philological Association 54 (1923) 128-140; B. M. Metzger, ‘St. Paul and the Magicians’, Princeton Seminary Bulletin 38 1944) 27-30; K. Preisendanz, ‘Ephesia Grammata’, RAC 5 A965) columns 515-520; O. F. A. Meinardus, St. Paul in Ephesus ... (Athens; Lycabettus, 1973) 90-92.




15 K. Preisendanz published two volumes of the Greek Magical papyri in 1928 and 1931:Papyri Graecae Magicae[PGM] (Leipzig: Teubner, 1928, 1931) vols. 1 and 2. Mostof the copies of the third volume, publishedin 1942, were destroyed by an allied air raid upon Berlin (see J. M. Hull,Hellenistic Magic and the SynopticTradition[London: SCM, 1974] 8). A second edition, edited by A. Hearichs, was published some thirty years later (Stuttgart: Teubner, 1973-74). An English translation di rected by H. D. Betz and aided by others including D. E. Aune, H. Martin, and M. W. Meyer will be published shortly by Brill. See A. Deissmann, Light from the Ancient East (Grand rapids: Baker, 1965 reprint of the 1922 ed.) 254-264; A. D. Nock, ‘Greek Magical Papyri’, JEA 15 (1929) 219-235, reprinted in Stewart, Essays on Religion, 1, 176-194; C. K. Barren, ed.,The NewTestament Background(London: SPCK, 1956; New York: Harper, 1956) 29-35; M. W. Meyer, The ‘Mithras Liturgy’ (Missoula: Scholars Press, 1976); H. D. Betz,‘Fragments from a Catabasis ritual in a Greek Magical Papyrus’, History of Religions 19 (1980) 287-295; idem, ‘The Delphic Maxim “Know Yourself” in the Greek Magical Papyri’,History of Religions 21 (1981) 156-171


16 See MIT 391; Éliane Massonneau, La magie dans L’antiquité romaine (Paris: Librairie du Recueil, 1934); Jacqueline de Romilly, Magic and Rhetoric in Ancient Greece (Cambridge, Massachusetts: Harvard University, 1976).


17 Pliny (NH30.2) therefore concluded, ‘Without doubt magic arose in Persia with Zoroaster’. See G. Messina,Der Ursprung der Magier and die zarathuštriche Religion(Rome: Pontifical Biblical Institute, 1930); E.Senveniste,Les mages dans l’ancien Iran(Paris: Maisonneuve, 1938). See TDNT1.73?-738; 4.356-359.



18 J. Bidez and F. Cumont, Les mages hellénistes (Paris: ‘Les Belles Lettres’, 1938) ; A. D. Nock, ‘Greeks and Magi’, JRS 30 (1940) 191-198, reprinted in Stewart, ch. 30. See E. Yamauchi, ‘Christmas Metamorphoses: How the Magi Became Melchior, Gaspar and Balthasar’ BA (forthcoming).


19 Homily, Magic and Rhetoric 12.



20 For general discussions see Lynn Thorndike, History of Magic and Experimental Science. 1. During the First Thirteen Centuries of Our Era (New York: Columbia University, 1923) vol. 1; G. B. Vetter, Magic and Religion (New York: Philosophical Library, 1953); M. Bonisson, Magic: Its History and Principal Rites (New York; E. P. Dutton, 1960); J. de Vries, ‘Magic and Religion’, History of Religions 1 (1961) 214-221; M. Mauss, A General Theory of Magic (London: Routledge & Kegan Paul, 1972); R. Garosi, Magia (Rome; Bulzoni, 1976).


21 But note that prayers can contain magical elements. See E. Burri ss, ‘The Magical Elements in Roman Prayers’, Classical Philology 25 (1930) 47-55.


22 C. J. Bleeker, Egyptian Festivals (Leiden: Brill, 1967) 43-114.


23 K. Thomas, ‘An Anthropology of Religion and Magic, II, Journal of Interdisciplinary History 6 (1975) 96. On Sir James G. Frazer’s theories about magic see J. C. Jarvie and J. Agassi, ‘The Problem of the Rationality of Magic’, The British Journal of Sociology 18 (1967) 55-74; J. Z. Smith, ‘When the Bough Breaks’, History of Religions 12 (1973) 342-371; R. Ackerman, ‘Frazer on Myth and Ritual’, Journal of the History of Ideas 36 (1975) 115-134; Mary Douglas, ‘Introduction’, in J. G. Frazer, The Illustrated Golden Bough (Garden City: Doubleday, 1978) 9-15.


24. The Faith of Israel (London: SCM, 1961 reprint of. the 1956 ed.) 27.


25 The Heathens (Garden City: Doubleday, 1948) 64.


26 The Psychology of Religion (New York: Macmillan, 1958) 146.


50 So J. Moffatt, cited by R. H. Mounce, The Book of Revelation (Grand Rapids: Eerdmans, 1977) 204, n. 47.




Diterjemahkan, diedit dan diringkas untuk kepentingan pembaca oleh: Martin Simamora, dari: Magic in the Biblical World,” Tyndale Bulletin 34 (1983): 169-200.

No comments:

Post a Comment