Pages

02 September 2014

PELAJARAN V :CHRIST: THE GOD-MAN




Rabu, tgl 2 Juli 2014, pk 19.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
 

Leonardo da Vinci's late 1490s mural painting in Milan, Italy
"lAST sUPPER"
CHRIST: THE GOD-MAN

kristologi (5)

Bacalah lebih dulu bagian 4
V) Kristus: 1 person / pribadi dengan 2 natures / hake­kat.

A) Istilah Person dan Nature.

1) Mengapa digunakan istilah-istilah seperti person (= priba­di) dan nature (= hakekat), padahal istilah-istilah terse­but tidak ada dalam Kitab Suci?

Calvin (pada waktu ia berbicara tentang Allah Tritunggal dalam Yoh 1:1-2) menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut:

“And yet the ancient writers of the Church were excusable, when, finding that they could not in any other way maintain sound and pure doctrine in opposition to the perplexed and ambiguous phraseology of the heretics, they were compelled to invent some words, which after all had no other meaning than what is taught in the Scriptures. They said that there are three Hypostases, or Subsistences, or Persons, in the one and simple essence of God.” (= Dan / tetapi penulis-penulis kuno dari gereja bisa dibenarkan, karena pada waktu mereka melihat bahwa tidak ada jalan lain untuk mempertahankan doktrin yang sehat dan murni untuk menentang penyusunan kata yang membingungkan dan berarti dua dari orang-orang sesat, maka mereka terpaksa menciptakan beberapa kata-kata, yang sebetulnya tidak mempunyai arti lain dari pada apa yang diajarkan dalam Kitab Suci. Mereka berkata bahwa ada tiga pribadi dalam hakekat Allah yang satu dan sederhana.).



Herman Bavinck mengatakan sebagai berikut:
“It is of course self-evident that this confession of Nicea and Chalcedon may not lay claim to infallibility. The terms of which the church and its theology make use, such as person, nature, unity of substance, and the like, are not found in Scripture, but are the product of reflection which Christianity gradually had to devote to this mystery of salvation. The church was compelled to do this reflecting by the heresies which loomed up on all sides, both within the church and outside of it. All those expressions and statements which are employed in the confession of the church and in the language of theology are not designed to explain the mystery which in this matter confronts it, but rather to maintain it pure and unviolated over against those who would weaken or deny it.” (= Jelaslah bahwa pengakuan iman Nicea dan Chalcedon tidak bisa dianggap infalli­ble / tak bisa salah. Istilah-istilah yang digunakan oleh gereja dan theologinya, seperti pribadi, hakekat, kesatuan hakekat / zat, dan sebagainya, tidak ditemukan dalam Kitab Suci, tetapi merupakan hasil pemikiran yang secara bertahap / perlahan-lahan harus diberikan oleh kekristenan kepada misteri tentang keselamatan ini. Gereja dipaksa untuk melakukan pemikiran ini oleh bidat-bidat yang muncul dan mengancam dari semua sisi, baik di dalam maupun di luar gereja. Semua istilah dan pernyataan yang digunakan dalam pengakuan iman gereja dan dalam bahasa theologia, tidak dimaksudkan untuk menjelaskan misteri yang dihadapi, tetapi untuk menjaganya supaya tetap murni dan tak terganggu dari mereka yang ingin melemahkan atau menyangkalnya.) - OurReasonable Faith, hal 321-322.



Bavinck melanjutkan lagi:
“There have been many, and there still are many, who look down upon the doctrine of the two natures from a lofty vantage point, and try to supplant it by other words and phrases. What differences does it really make, they begin by saying, whether we agree with this doctrine or not? What matters is that we ourselves possess the person of Christ, He who stands high and exalted above this awkward confes­sion. But before long these same persons begin introducing words and terms themselves in order to describe the person of Christ whom they accept. ... And then history has taught that the terms of the attackers of the Doctrine of the Two Natures are far poorer in worth and force, and that they often, indeed, involve doing injustice to the incarnation as Scripture explains it to us.” (= Pernah ada banyak orang, dan sampai sekarang masih ada banyak orang, yang dari tempat yang tinggi dan menguntungkan, meremehkan / meman­dang rendah doktrin tentang 2 hakekat ini, dan mencoba untuk menggantinya dengan kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang lain. Mereka memulainya dengan berkata: apa bedanya apakah kami menyetujui doktrin ini atau tidak? Yang penting adalah bahwa kami memiliki pribadi Kristus, yang berdiri jauh di atas pengakuan yang aneh ini. Tetapi sebentar lagi, orang-orang ini sendiri mulai memperkenalkan kata-kata dan istilah-istilah untuk  menggambarkan pribadi Kristus yang mereka terima. ... Dan sejarah telah mengajar bahwa isti­lah-istilah dari para penyerang doktrin  tentang 2 hakekat ini, jauh lebih jelek dalam nilainya dan kekuatannya, dan bahwa mereka bahkan sering terlibat dalam perlakuan yang tidak benar terhadap inkarnasi seperti yang dijelaskan oleh Kitab Suci kepada kita.) - ‘Our Reasonable Faith’, hal 322.


Apa yang dikatakan oleh Bavinck ini terbukti dalam buku sesat dari Pdt. Yohanes Bambang, yang berjudul ‘Tuhan, Ajarlah Aku’.

Dalam hal 131, ia berkata sebagai berikut: “Jadi karena hakikat Alkitab berfungsi sebagai pewar­taan iman maka dalam kesaksiannya tidak pernah berspekulasi juga mengenai masalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Tertullianus. Alkitab tidak pernah membuat hipotesa tentang Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus dengan kategori-kategori ‘UNA SUBSTANTIA, TRES PERSONAE’ (satu zat yang memiliki tiga pribadi). Cara berpikir Tertullianus adalah cara berpikir yang filsafati ketim­bang cara berpikir teologis-alkitabiah. Bila demikian, identitas Roh Kudus bukan dalam pengertian ZAT ILAHI yang memiliki kepri­badian sendiri. Alkitab tidak pernah mengenal atau mempergunakan istilah dan pengertian ZAT ILAHI.


Jadi terlihat bahwa ia menolak ajaran Tertullian ini dengan alasan bahwa istilah ‘zat ilahi’ itu tidak ada dalam Kitab Suci. Tetapi anehnya dalam bagian lain dari bukunya ia berkata:

  • “Secara matematis memang berjum­lah tiga. Tetapi dari penghayatan iman dan materi Allah: keti­gaNya adalah YANG TUNGGAL” (hal 109).

  • “Jadi Allah dan Yesus adalah satu, tapi bukan satu dalam arti matematis, juga bukan dalam arti satu zat. Allah dan Yesus adalah satu dalam ciri hakiki ilahi dan karya (pekerjaan)Nya” (hal 110).

  •  “... sehingga dalam diri Yesus Kristus nampak seluruh ciri hakiki Allah sendiri” (hal 135).


Perhatikan bahwa sekarang ia menggunakan istilah-istilah ‘materi Allah’, ‘ciri hakiki ilahi’, dan ‘ciri hakiki Allah’. Bukankah istilah-istilah itu juga tidak ada dalam Kitab Suci? Jadi terlihat kebenaran kata-kata Bavinck di atas. Orang ini baru saja mencela penggunaan istilah ‘zat ilahi’, tetapi lalu menciptakan istilahnya sendiri, yang juga tidak ada dalam Kitab Suci, dan jelas lebih jelek nilainya dari istilah ‘zat ilahi’ yang ia cela.



2) Arti dari person dan nature.

Pada waktu LOGOS / Anak Allah berinkarnasi, Ia tidak mengambil pribadi manusia, tetapi hakekat manusia (yang lalu mendapat kepribadiannya dari LOGOS).

Kalau demikian, bisakah kita berkata bahwa Yesus tidak mengambil seluruh manusia, karena yang Ia ambil adalah manusia tanpa kepribadian? Kalau memang LOGOS tidak mengam­bil seluruh manusia, bukankah itu berarti bahwa Ia tidak menebus seluruh manusia? Kalau Ia tidak mengambil kepribadian manusia, bukankah itu berarti bahwa kepribadian kita tidak ditebus?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu mengerti tentang arti / definisi dari istilah ‘person / pribadi’ dan ‘nature / hekekat’.

a)   Human nature adalah substance / essence (= hakekat) dari manusia. Tidak ada perbedaan antara human nature yang satu dengan human nature yang lain. Semua manusia mempunyai human nature yang sama.

b)  Human nature sudah merupakan seluruh manusia, tidak ada sedikitpun yang kurang.

c) Human person (= pribadi manusia) adalah human nature yang sudah dipribadikan. Karena itu, human person yang satu berbeda dengan human person yang lain.


Beberapa kutipan kata-kata William G. T. Shedd:

1.  “Personality is not an integral and essential part of a nature, but is, as it were, the terminus to which it tends” (= Kepribadian bukanlah merupakan bagian yang perlu untuk melengkapi dan bukan bagian yang pokok / hakiki dari suatu hakekat, tetapi merupakan terminal / tujuan yang dituju oleh hakekat itu) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 287.


2. “When we  speak of a human nature, a real substance having physical, rational, moral and spiritual properties is meant. This human nature is capable of becoming a human person but as yet is not one. It requires to be personalized, in order to be a self-conscious individual man. A human person is a fractional part of a specific human nature or substance which has been separated from the common mass, and formed into a distinct and separate individual, by the process of generation. Prior to this separation and formation, this fractional portion of the common human nature has all the qualities of the common mass of which it is a part, but it is not yet individual­ized. It is potentially, not actually personal. It has all the properties that subsequently appear in the par­ticular individual formed of it,” [= Pada waktu kita berbicara tentang suatu hakekat manusia, maka yang dimaksud adalah suatu zat yang nyata yang memiliki sifat-sifat fisik, ratio, moral dan rohani. Hakekat manusia ini bisa (mempunyai kemampuan) menjadi pribadi manusia tetapi belum / bukan merupakan pribadi manusia. Hakekat manusia itu perlu dipribadikan supaya menjadi seorang manusia tersendiri yang sadar. Seorang pribadi manusia adalah sebagian kecil dari hakekat atau zat manusia tertentu yang telah dipisahkan dari seluruh massa, dan dibentuk menjadi pribadi tersendiri yang berbeda dan terpisah, oleh proses kelahiran. Sebelum pemisahan dan pembentukan ini, bagian kecil dari seluruh hakekat manusia itu, mempunyai semua sifat-sifat dari seluruh massa dari mana ia merupakan bagian, tetapi ia belum dipribadikan. Ia berpotensi untuk menjadi pribadi, tetapi ia tidak / belum sungguh-sungguh  merupakan pribadi. Ia mempunyai semua sifat-sifat yang sesudah itu muncul dalam pribadi terten­tu yang dibentuk darinya,] - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 289-290.


3.  “A lump of clay has all the properties of matter that belong to the vessel of honor and dishonor. But it has not as yet the individual form of the vessel. An act of the potter must intervene, whereby a piece of clay is separated from the lump and moulded into a particular vase having its own peculiar shape and figure. In like manner, human nature as an entire whole existing in Adam possessed all the elementary properties that are requi­site to personality, though it was not yet personalized.” (= Segumpal tanah liat mempunyai semua sifat-sifat dari bahan / zat yang dimiliki oleh bejana yang terhormat dan tak terhormat. Tetapi gumpalan tanah liat itu belum mempunyai bentuk dari bejana itu. Suatu tindakan dari penjunan harus ikut campur, dengan mana segumpal tanah liat itu dipisahkan dari seluruh gumpalan dan dibentuk menjadi suatu jambangan tertentu yang mempunyai bentuknya yang khas. Demikian juga, hakekat manusia sebagai suatu keseluruhan yang ada di dalam Adam mempunyai semua sifat-sifat dasar yang diperlukan untuk kepribadian, sekalipun hakekat manusia itu belum dipribadikan.) - ‘Shedd’s Dogmat­ic Theology’, vol II, hal 290-291.


4.  “The difference, then, between nature and person is virtually that between substance and form.” (= Jadi, perbedaan sebenarnya antara hakekat dan pribadi adalah perbedaan antara zat dan bentuk.) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 291.


5.   “Still another point of difference between a ‘nature’ and a ‘person’ is the fact that a nature can not be distin­guished from another nature, but a person can be from another person.” (= Perbedaan lain lagi antara ‘hakekat’ dan ‘pribadi’ adalah fakta bahwa suatu hakekat tidak bisa dibedakan dari hakekat yang lain, sedangkan suatu pribadi bisa dibedakan dari pribadi yang lain.) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 294.


Catatan: ini hanya ilustrasi untuk menjelaskan. Perlu dicamkan, bahwa dalam realitanya hakekat manusia yang belum dibentuk itu TIDAK PERNAH ADA sendirian / terpisah dari hakekat / pribadi ilahi!


Kesimpulan dari semua ini:

Karena person / pribadi adalah nature / hakekat yang sudah dibentuk / dipribadikan, maka sebetulnya person / pribadi tidak memiliki kelebihan zat dibandingkan dengan nature / hakekat. Ingat bahwa ‘pembentukan’ bukanlah penam­bahan zat! Sama seperti segumpal tanah liat, yang sudah dibentuk menjadi jambangan / gelas, tidak mempunyai kelebihan zat dibanding­kan dengan saat gumpalan tanah liat itu belum dibentuk, demikian juga person / pribadi tidak mempunyai kelebihan zat dibandingkan dengan nature / hakekat.


Illustrasi:
  



Dari illustrasi gambar ini terlihat dengan jelas bahwa perbedaan antara nature dan person, tidak terletak pada perbedaan zat / hakekat, tetapi pada pembentukan (nature / hakekat - belum dibentuk; person / pribadi - sudah dibentuk).


Dengan demikian, pada waktu Yesus mengambil human nature / hakekat manusia, Ia sebetulnya sudah mengambil seluruh manusia, tanpa ada yang kurang sedikitpun.



B) Hypostatical / personal Union (= persatuan pribadi).

1)  Yesus Kristus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Tetapi Ia hanya merupakan 1 pribadi.

Dasar dari pandangan ini:
Dalam Kitab Suci sering ditunjukkan akan adanya lebih dari 1 pribadi dalam diri Allah. Misalnya:

a)   Penggunaan kata ganti orang bentuk jamak.
Kej 1:26 - “Berfirmanlah Allah: ‘Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.’”.


b)  Pembicaraan antara satu pribadi dengan pribadi yang lain.
Maz 2:7 - “Aku mau menceritakan tentang ketetapan TUHAN; Ia berkata kepadaku: ‘AnakKu engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.”.


c)   Adanya saling kasih-mengasihi antara pribadi-pribadi itu.
Mat 3:17 - “lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: ‘Inilah AnakKu yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan.’”.


d)  Pribadi yang satu mengutus pribadi yang lain.
Bapa mengutus Anak, dan Bapa dan Anak mengutus Roh Kudus.

  • Yoh 17:3 - “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.”.

  • Yoh 14:26 - “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam namaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.”.

  • Yoh 15:26 - “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku.”.



Tetapi hal-hal tersebut tidak pernah terjadi pada waktu Kitab Suci menggambarkan Yesus Kristus. Jadi jelaslah bahwa berbeda dengan Allah Tritunggal yang memiliki lebih dari 1 pribadi 3 pribadi), Yesus Kristus hanya memiliki 1 pribadi saja!


2)  Sebelum inkarnasi, Yesus adalah Allah Anak yang jelas merupakan ‘seseorang’ yang berpribadi.

Jadi pada saat itu Ia adalah 1 pribadi dengan 1 hakekat, yaitu hakekat ilahi.
Pada saat Ia berinkarnasi, Ia tidak mengambil ‘pribadi manusia’ karena ini akan menimbulkan adanya 2 pribadi seperti yang diajarkan oleh Nestorianism.
Yang diambil olehNya adalah hakekat manusia.

Hakekat manusia dan hakekat ilahi bersatu dalam pribadi Anak Allah sehingga setelah inkarnasi, Yesus adalah 1 pribadi dengan 2 hakekat (ilahi dan manusia).

Ada yang beranggapan bahwa yang diambil oleh Logos bukanlah ‘hakekat manusia’ tetapi ‘pribadi manu­sia’, karena yang diambil itu terdiri dari tubuh dan jiwa / roh, yang mencakup pikiran, perasaan, dan kehendak, dan ketiga hal ini merupakan ciri-ciri dari seorang pribadi.


Tetapi ini tidak benar, karena sekalipun Logos itu mengambil tubuh manusia dan jiwa / roh manusia, yang mempunyai pikiran, perasaan dan kehendak, tetapi semua itu belum dipribadikan, sehingga sifatnya belum / tidak specific (= tertentu).


Jadi, pikirannya belum tertentu (pandai atau bodoh), perasaannya belum tertentu (halus atau kasar), kehendaknya belum tertentu (keras atau tidak). Bahkan tubuhnyapun belum tertentu (tinggi atau pendek, berkulit putih atau kuning atau hitam, bermata biru atau coklat, berambut pirang atau hitam, dsb).


Dengan demikian ini bukan pribadi manusia, tetapi hakekat manusia.
Tetapi pada saat pertama Logos mengambil hakekat manusia itu, maka hakekat manusia itu mendapat kepribadiannya dari Logos, sehingga menjadi manusia tertentu.


3)  Hakekat manusia itu tidak pernah ada terpisah dari pribadi Allah Anak.
Hakekat manusia itu mendapat kepribadiannya dari pribadi Allah Anak dan selalu ada di dalam pribadi Allah Anak itu.


Bahkan antara kematian dan kebangkitan Yesuspun, hakekat manusia itu tak terpisah dengan LOGOS / Allah Anak, karena sekalipun  hakekat manusia itu terpecah (roh terpisah dari tubuh), tetapi LOGOS / Allah Anak yang maha ada itu tetap bersatu baik dengan tubuh (yang ada di kuburan) maupun dengan roh (yang ada di surga).


4)  Dalam Personal Union (= persatuan pribadi) ini terjadi suatu persatuan, bukan suatu percampuran (mixture / confu­sion), antara hakekat manusia dan hakekat ilahi.

Hakekat manusia dan hakekat ilahi tidak bercampur dan lalu membentuk satu hakekat yang baru.

Juga hakekat manusia tidak berubah menjadi hakekat ilahi, dan hakekat ilahi tidak berubah menjadi hakekat manusia.

Jadi, baik hakekat manusia maupun hakekat ilahi tetap mempunyai / mempertahankan sifat-sifatnya sendiri-sendiri.

Mereka berbeda, tetapi bersatu dalam diri Yesus Kristus.




No comments:

Post a Comment