Pages

08 June 2013

REVOLUSI BUDAYA

Oleh : DR. R.C Sproul

Hari ini orang sangat sulit membaca sebuah novel, menonton program televisi, menonton sebuah filem di layar perak, atau bahkan melihat iklan-iklan di majalah-majalah dan di toko-toko tanpa secara  nyata dan gamblang menyadari pergeseran radikal ini. Seks adalah penjual nomor satu

Credit :http://blogs.lt.vt.edu

Pada awal tahun 1950-an fenomena siaran televisi mulai menyapu Amerika.  Akan tetapi pada awal era tersebut, hanya segelintir rumah tangga Amerika yang bangga memiliki seperangkat  televisi. Pada masa tersebut, sebuah  larangan diberlakukan dengan melarang jaringan-jaringan televisi menggunakan  kata “virgin” (perawan) dalam siaran televisi. Penyensoran kata ini dijelaskan dalam hubungannya dengan istilah-istilah yang lekat berhubungan dengan  hal-hal seksualitas. Menjadi demikian sensitifnya, para produser  televisi mula-mula cenderung menyinggung etika dan  adat istiadat masyarat Amerika bahwa kata-kata itu terlihat tidak berbahaya seperti halnya kata “virgin” yang  telah  disingkirkan dalam siaran untuk menjaga  kemungkinan lebih jauh  sindiran-sindiran seksual yang mungkin.


Secara menyolok, kita kini telah begitu jauh dari era Ozzie and Harriet  dan pemunculan perdana siaran televisi( ini adalah sebuah serial sitcom perdana yang pada perkembangannya merekam kehidupan aktual para pemainnya, disiarkan pertama kali oleh ABC pada 3 Oktober 1952- 26 Maret 1966, info lebih lanjut bisa dibaca di sini).  Akan tetapi, sejak saat itu, budaya Amerika telah   melintasi revolusi budaya yang paling radikal dalam sejarahnya. Revolusi budaya pada dekade enampuluhan dipenuhi dengan pergolakan terkait adat istiadat seksual. Pantangan-pantangan yang  lama terhadap hubungan seksual pramarital (sebelum menikah) dan ekstramarital ( diluar ikatan pernikahan) telah dihancurkan oleh etika seks yang baru. 



Etika seks yang baru telah digembar-gemborkan oleh para ilmuwan sosial seperti Alfred Kinsey dan kemudian oleh Chapman Report dan para penganjur lainnya. Apa yang kini diterima oleh masyarakat dalam praktek dan dalam  seni-seni telah memperlihatkan sebuah pergeseran dramatis dari sebuah era awal ketika kesucian telah dipandang sebagai sebuah kebajikan. Setiap aspek media, dalam hal ekspresi budaya, telah  menggunakan moralitas baru ini secara masif. Hari ini orang sangat sulit membaca sebuah novel, menonton program televisi, menonton sebuah filem di layar perak, atau bahkan melihat iklan-iklan di majalah-majalah dan di toko-toko tanpa secara  nyata dan gamblang menyadari pergeseran radikal ini. Seks adalah penjual nomor satu untuk setiap macam produk konsumsi apapun juga dari mulai pisau cukur  hingga otomotif. Jika  produk itu seksi, maka produk itu menjual.



Revolusi budaya membawa masuk kebangkitan iklim yang berbeda sama sekali  terkait kebebasan seks, seks ekstramarital, dan,   belakangan ini, praktek-praktek homoseksual. Iklim baru ini telah menghasilkan sebuah level stimulasi erotis  yang  belum pernah  dihadapi oleh generasi manapun dalam sejarah manusia di masa lalu.


Dikarenakan pergeseran  dalam  penerimaan budaya, orang muda khususnya  telah dibombardir setiap hari dalam kehidupan mereka dengan setiap macam stimulasi erotik yang  dapat terpikirkan.  Tentu saja, selama ada para pria dan perempuan, ada desakan-desakan biologis dan   hasrat seksual yang harus dihadapi/ditangani dalam upaya untuk hidup dalam kesucian dan kebajikan. Ada sebuah  keterkaitan dimana kejatuhan manusia selalu berhubungan dengan  pergumulan terhadap dorongan-dorongan erotik  di jiwa manusia, tetapi di saat yang sama ada sebuah eskalasi  godaan  yang masif  dibawa dalam kebangkitan   ledakan stimulasi erotik  di era kita kini.



Kedatangan era komputer dan penggunaan internet secara cepat telah meningkatkan eskalasi ini. Walaupun saya secara teknologi telah ditantang—Saya tidak tahu bagaimana  berkoneksi online, tanpa pernah menulis sebuah  berita email, lebih lagi tidak memiliki sebuah alamat email—Saya masih  menyadari bahwa pornografi di internet adalah sebuah industri multi juta dolar di negeri kami.  Penggunaan iternetku yang dibatasi untuk memperkecil paparan terhadap hal semacam ini, setiap hari salah satu mitraku  berbaik hati dan secara professional mengunduhkannya bagiku berita-berita baru  yang berasal dari Pittsburg, Pennsylvabia, terkait perkembangan-perkembangan tim football Steelers—salah satu kesukaanku. Apa yang mencengangkanku dalam membaca  artikel-artikel yang dicetak tersebut adalah  kerap pada margin  artikel-artikel utama ada gambar-gambar yang bersifat merangsang para  wanita muda cantik berpakaian minim, mengundang kita untuk melihatnya lebih lanjut. Semacam ini jelas-jelas pornografi,  bahkan dalam sebuah artikel olah raga, pornografi hanya sejauh satu atau dua klik saja.



Menerima bombardiran stimulasi eksternal  yang diterima anak muda pada hari ini, sangat dianjurkan bagi gereja, walaupun kita dipanggil untuk memelihara kekudusan dan kebajikan yang merupakan panggilan kita dari Kitab Suci, untuk  di saat yang sama memiliki belas kasih bagi orang  yang  telah dikuasai oleh godaan ini. Adalah baik bagi kita untuk mengingat perjumpaan  Yesus dengan perempuan yang tertangkap  berzinah, yang  sekalipun memperlakukannya dengan kebaikan kasih-Nya dan belas kasih yang lemah lembut dan mengampuninya atas dosanya,  namun tetap memerintahkan dia untuk berhenti dari perilaku tersebut , selanjutnya berkata, “ Pergi dan jangan berbuat dosa lagi.”


Jika kita memeriksa etika biblikal terkait dengan  perilaku seksual, kita melihat dari Perjanjian Lama sampai kedalam  Perjanjian Baru, etikanya pada dasarnya bersifat monolitik. Ambil sebuah contoh, studi  teknis pada kata pornea yang  digunakan dalam Kitab suci. Dalam kamus teologia Kittel “Theological Dictionary of The New Testament, kita membaca, “The New Testament is characterized by an unconditional repudiation of all extramarital and unnatural intercourse” (Perjanjian Baru dikarakteristikan dengan sebuah   penolakan tak bersyarat terhadap sebuah persetubuhan ekstramarital-diluar pernikahan dan yang tidak alami- hal. 590). Kittel menyatakan  jika sesuatu  merupakan  bagian dari pesan asli pada Perjanjian Baru, itu  merupakan penghakiman yang tegas terkait kemurnian seksual dan amoralitas.



Dalam surat Paulus kepada  orang-orang Roma, Paulus mengekspresikan kerusakan pada manusia yang  mengalirkan dasar penyembahan berhala, dan penghukuman Tuhan atas  dosa tersebut. Kita membaca dalam Roma 1:24-32 :” Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran, sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka. Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin. Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka. Dan karena mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk, sehingga mereka melakukan apa yang tidak pantas: penuh dengan rupa-rupa kelaliman, kejahatan, keserakahan dan kebusukan, penuh dengan dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan kefasikan. Mereka adalah pengumpat, pemfitnah, pembenci Allah, kurang ajar, congkak, sombong, pandai dalam kejahatan, tidak taat kepada orang tua, Sebab walaupun mereka mengetahui tuntutan-tuntutan hukum Allah, yaitu bahwa setiap orang yang melakukan hal-hal demikian, patut dihukum mati, mereka bukan saja melakukannya sendiri, tetapi mereka juga setuju dengan mereka yang melakukannya.”  Dalam surat ini Paulus melihat bahwa amoralitas seksual, terutama dalam hubungannya terhadap eskpresi aktivitas homoseksual, menggambarkan  tingkatan ektrim dimana moral manusia yang rusak terjerembab.  Paulus memandang praktek-praktek ini sebagai hasil  dari sebuah  pikiran yang  tak memiliki dasar, sebuah pikiran yang dipenuhi dengan ketidakbenaran, dan bahwa orang yang  melakukan hal-hal ini dalam pembangkangan terhadap Tuhan, pada saat yang sama mendorong orang-orang lain untuk melakukan hal yang sama juga.



Ketika masyarakat memberikan persetujuannya terhadap bentuk-bentuk  perilaku seksual terlarang, hal itu menjadi godaan  terkuat bagi semua orang yang  rentan untuk melakukan apa yang dilakukan  oleh setiap orang lain. Itu sebabnya mengapa ini adalah kewajiban orang Kristen di abad ke-20 untuk menekankan keunikan panggilan yang Tuhan berikan kepada kita untuk menjadi orang yang  tidak  menyelaraskan dirinya dengan sebuah budaya  yang telah jatuh dan pagan. Kita harus berupaya untuk  menjalani hidup yang telah ditransformasi dan memiliki pikiran yang  diisi bukan oleh apa yang orang lain lakukan dalam budaya sekuler,  bukan oleh apa yang kelihatannya dapat diterima dalam episode-episode televise atau layar-layar  filem mengenai  hubungan seks di luar pernikahan atau  hubungan seksual yang dilakukan oleh homoseksual, tetapi kita harus  mengisi pikiran kita dengan Firman Tuhan. Saya tahu tidak ada penawar lain bagi kita untuk menyembuhkan sakit pada jiwa kita di tengah-tengah krisis ini.



Cultural Revolution – Tabletalk, Ligonier Ministry and R.C Sproul  | diterjemahkan oleh : Martin Simamora

No comments:

Post a Comment