Pages

17 May 2013

ULAR, KELEDAI YANG BERBICARA

Oleh : Robin Schumacher,Ph.D



Orang-orang Kristen skeptik kerap melontarkan pernyataan-pernyataan seperti ini dalam upayanya untuk  melepaskan baik Alkitab dan iman Kristen :”Ya, andaikan saya  dapat percaya dengan seekor ular yang berbicara, berangkali saja saya akan mempertimbangkan Alkitab secara serius.”


Dapatkah anda mempercayai apa yang Alkitab katakan  mengenai sejarah Yesus, dan lebih lagi ketika Alkitab memiliki narasi-narasi yang menggambarkan binatang-binatang yang berbicara seperti manusia? Saya pikir anda dapat;  saya akan menjelaskan mengapa.

Memahami  Alkitab Secara Literal

Saya percaya sepenuhnya bahwa cara yang benar untuk menginterpretasikan Alkitab adalah harus mengikuti apa yang disebut sebagai metoda interpretasi Literal-Historical-Gramatical, yang bertujuan untuk mengungkapkan makna dari nas Alkitab tertentu sebagaimana penulis asli telah maksudkan dan apa yang telah dipahami oleh para pendengar mula-mula. Seperti yang dimaksudkan oleh bagian pertama dari metode itu, ini bermakna sebuah pembacaan literal dari teks tersebut.


Sekali seorang Kristen mengafirmasi sebuah interpretasi literal dari Kitab suci, dengan segera para  Kristen skeptic menerkam dan mengajukan pertanyaan semacam ini,” Jika itu benar, maka Yesus pastilah sebuah pintu dalam arti yang sebenar-benarnya (literal), karena dia berkata dalam Yohanes 10:9, “Aku adalah pintu.”  Sayangnya bagi si peragu, argument mereka cacat dalam dua hal. Pertama, argumen semacam ini merupakan kesalahan logis-logical fallacy  yang disebut  reduction ad absurdum (atau reduce to absurdity-  mengurangi  sampai menjadi absurd-red) , yang berupaya untuk membangun sebuah argumen berdasarkan pada absurditas klaim-klaim lawan yang disangka benar .


Tetapi yang lebih penting lagi, para skeptik  tersebut gagal untuk memahami bahwa Alkitab memberdayakan banyak  genre yang berbeda (diantaranya. Puisi, naratif, pengajaran didaktik, dan lain-lain) dan  tehnik-tehnik sastra yang sama  dipergunakan literatur-iteratur  lainnya. Metode-metode ini  sama sekali tidak menjauhkan  sebuah pembacaan Alkitab yang literal, tetapi sebaliknya menambahkan kedalaman yang sangat berarti terhadap teks—sebagaimana memang teks-teks itu dirancang demikian. Beberapa terapan yang paling umum dijumpai didalam Alkitab termasuk sebagai berikut:


Bahasa Fenomologis, yang digunakan untuk menggambarkan berbagai hal sehari-ahri dalam percakapan umum. Contoh:” Tetapi menjelang matahari terbenam…” (Yosua 10:27)


Bahasa Hiperbola,  merupakan sebuah pembesar-besaran yang  jelas dan dilakukan secara sengaja. Contoh :” lihatlah, seluruh dunia datang mengikuti Dia” (Yohanes 12:19)


Metafora, perkataan  kiasan yang digunakan untuk menunjukan  sebuah keserupaan. Contoh :” Sebab nama TUHAN akan kuserukan: Berilah hormat kepada Allah kita, Gunung Batu.


antropomorphisme, yang berupaya untuk merepresentasikan Tuhan dalam sebuah bentuk  tertentu, atau dengan sejumlah  jenis atribut-atribut mahluk hidup dan  perasaan/kasih. Contoh : “Biarlah aku menumpang di dalam kemah-Mu untuk selama-lamanya, biarlah aku berlindung dalam naungan sayap-Mu!  (Maz 61:4)



Personifikasi, yang  merupakan atribusi sebuah natur atau karakter pribadi untuk  menghidupkan obyek-obyek atau ide abstrak. Contoh :” gunung-gunung serta bukit-bukit akan bergembira dan bersorak-sorai di depanmu, dan segala pohon-pohonan di padang akan bertepuk tangan.” (Yesaya 55:12)



Simbolisme, yang merepresentasikan realita tertentu dengan menggambarkannya dalam sebuah  gaya kiasan dari realita itu. Contoh :’ Lalu aku berpaling untuk melihat suara yang berbicara kepadaku. Dan setelah aku berpaling, tampaklah kepadaku tujuh kaki dian dari emas’ (Wahyu 1:12)

Tehnik-tehnik sastra ini dalam cara  yang bagaimanapun tidak mengelakan sebuah pembacaan Alkitab yang literal dan kebenarannya, secara intelektual yang jujur skeptik  memahami hal ini. Akan tetapi, apa yang dilakukannya ketika sejumlah narasi Alkitab terlihat begitu fantastik  dan bertentangan dengan pengalaman setiap hari—seperti seekor binatang berbicara dalam bahasa manusia? Bagaimana kemudian orang  harus menginterpretasikan Alkitab?



Ular didalam Taman


Naratif ini ditemukan dalam Kejadian 3 tentang seekor ular yang  berbicara dan kejatuhan manusia yang merupakan  literal dan  sebuah model atau tipe asli dimana  peristiwa/hal serupa berpola -archetypical. Dari sebuah perspesktif literal, kita melihat bagaimana dosa telah  masuk kedalam manusa melalui orang tua pertama. Mengacu kepada sejarah, meskipun beberapa orang berupaya  untuk berpendapat bahwa Adam dan Hawa bukanlah orang dalam arti sebenarnya/literal, faktanya baik  Yesus dan  Paulus merujuk mereka sebagai  orang yang memang ada dan bahwa   Adam muncul dama silsilah-silsilah dalam makna literal membuatnya sulit untuk  menyimpulkan bahwa mereka adalah fiksi jika orang berupaya mengeksegese Kitab suci dengan disiplin apapun.


Pada level archetypical, teks dalam Kejadian 3 memperlihatkan bagaimana godaan   berlangsung secara konstan dalam pengalaman manusia, dan bahwa orang-orang Kristen tidak boleh mengabaikan siasat-siasat musuh ( 2 Korintus 2:11). Tetapi apakah musuh secara nyata-nyata memang berbicara  melalui  seekor ular?


Mereka yang mengafirmasi bahwa Setan memang telah benar-benar bercakap-cakap dengan Hawa melalui seekor ular dalam arti sesungguhnya, itu jika anda percaya ayat pertama dalam Kejadian, maka tidak ada masalah mempercayai apapun juga, termasuk seekor binatang berbicara kepada seorang manusia. Akankah hal semacam ini menjadi terlalu sulit bagi seorang Tuhan yang berbicara kepada setiap mahluk jidup? Sama sekali tidak sulit. Lebih lagi, Paulus terlihat merujukan  peristiwa ini sebagai sungguh-sungguh terjadi dalam ruang-waktu sejarah :

2 Korintus 11:3
Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya

Yang lain lagi  memandang Kejadian 3  sebagai yang menggunakan simbolisme untuk menceritakan sebuah kisah.  Seperti  halnya Setan digambarkan sebagai seekor ular dan naga dalam Wahyu 12, ular didalam Kejadian merepresentasikan  sesosok mahkluk yang sesungguhnya (iblis), tetapi  beberapa orang berpendapat bahwa simbolisme digunakan untuk mengkomunikasikan  sifat-sifat Setan karena jika tidak maka jadi sulit untuk memahaminya.


Dapatkah anda secara sungguh-sungguh mempercayai Alkitab, menjadi seorang Kristen,dan  menganut metoda yang belakangan untuk interpretasi  pada Kejadian 3? Seorang ateis yang menjadi Kristen, C.S. Lewis terlihat berpikiran sama. Lewis, seorang ahli literatur  yang  mengajar pada fakultas di Oxford, telah menuliskan Kejadian sebagai berikut: “Bab-bab pertama Kejadian, tidak meragukan, memberikan  kisah penciptaan dalam bentuk   sebuah kisah rakyat”[1].Lebih lanjut, ayat 15 secara jelas menyatakan bahwa keturunan ular akan berselisih dengan  keturunan-keturunan perempuan. Hampir semua teolog setuju bahwa hal ini merujuk pada dua keturunan rohani dalam makna actual dan literal—satu yang   beriman dan satu lagi tidak beriamn—hal ini  berlangsung  sepanjang kemanusiaan (benih Tuhan dan benih Setan).

Apakah ular itu literal atau simbolik, satu hal yang tidak dapat disangkali adalah realitas dari efek-efek penggoda—keuniversialan dosa. Dari hal itu, Reinhold Neibuhr  berani  berpendapat “doktrin dosa asal adalah satu-satunya yang secara empirik  dapat  memverifikasi doktrin iman Kristen.”[2]


Keledai Bileam

Ular Taman dalam Kejadian 3 bukanlah satu-satunya  binatang yang berbicara didalam Kitab suci.

Kitab Bilangan mencatat rentet kejadian kisah seorang peramal bernama Bileam bin Beor yang dipanggil oleh  raja Moab Balak untuk mengutuk bangsa Israel dalam upaya untuk menghentikan kemajuan Israel dalam melakukan penaklukan atas tanah yang Tuhan telah janjikan bagi mereka. Sebagai senjata yang disewakan, Bileam  memang seorang yang jujur, dan kemarahan Tuhan diperlihatkan dalam bab 22 dimana Tuhan mengakibatkan keledai Bileam berbicara dalam arti sebenarnya dan menegurnya.

Apakah ini  sesuatu dari sebuah filem berjudul Shrek ataukah  peristiwa itu memang kejadian yang sungguh-sungguh terjadi?


Sebenarnya, kesejarahan eksistensi Bileam bukanlah sesuatu  yang  terlalu banyak diperdebatkan oleh para ahli. Pada 1967, Profesor Henk Franken telah menemukan fragmen-fragmen plester kuno di kawasan Yordania yang disebut Tel Deir Alla ( yang secara persis sesuai degan kawasan yang digambarkan Alkitab  ketika Bileam menghentakan tanah), yang mengandung sejumlah pernyataan “nabi, Bileam bin Beor” yang  secara telah telah  melumpuhkan tudingan bahwa Bileam adalah tokoh fiksi.


Tapi seekor keledai yang berbicara?


Terus terang saha, kisah keledai Bileam yang berbicara adalah satu nas dalam Kitab Perjanjian Lama yang saya secara pribadi   gumuli lebih daripada yang lain. Tetapi bukan karena keledai yang berbicara; sebaliknya apa yang telah mengusik saya lebih banyak pada reaksi Bileam :

(28) Ketika itu TUHAN membuka mulut keledai itu, sehingga ia berkata kepada Bileam: "Apakah yang kulakukan kepadamu, sampai engkau memukul aku tiga kali?" (29) Jawab Bileam kepada keledai itu: "Karena engkau mempermain-mainkan aku; seandainya ada pedang di tanganku, tentulah engkau kubunuh sekarang."(30) Tetapi keledai itu berkata kepada Bileam: "Bukankah aku ini keledaimu yang kautunggangi selama hidupmu sampai sekarang? Pernahkah aku berbuat demikian kepadamu?" Jawabnya: "Tidak." (Bilangan 28)

Saya mau  berterus terang: jika salah satu kucing keluarga kami  berjalan menghampiri saya dan berkata, “Hei, kotak sampah itu  sangat jorok saat ini; kamu harus membereskannya,” Saya  akan terbangun di salah satu rumah sakit setempat di unit perawatan jantung. Saya sangat pasti tidak akan dapat meresponnya secara tenang terhadap seekor binatang seperti yang  telah   dilakukan  Bileam.

Kisah ini  telah menyusahkanku untuk jangka waktu yang lama—bagaimana hal semacam ini sungguh-sungguh terjadi ketika saya masuk seminari. Saya secara khusus memawa kisah ini kepad profesor Perjanjian Lama-ku, yang memberikan pencerahan kepadaku pada  bagaimanakah narasi yang bersifat sejarah itu.


Kisah Bileam dan  keledai membayang-bayangi  hubungan antara Bileam dan Balak. Ketakberdayaan nabi ini terhadap seekor binatang yang berbicara  adalah kebodohan sejenis pada Balak.


Tabel berikut ini menolong memperlihatkan  timbal balik antara karakter-karakter kunci   dan apakah yang sedang didemonstrasikan Tuhan dalam teks ini: Apa yang dilakukan keledai terhadap Bileam, Bileam lakukan pada Balak.




BILEAM
BALAK
Keledai melihat seorang  malaikat yang tidak dilihat oleh  Bileam
Bileam melihat berkat Tuhan pada Israel yang tidak dapat dilihat Balak
Keledai melihat malaikat tiga kali; keledai dipukuli tiga kali
Bileam memperkatakan berkat Tuhan pada Israel tiga kali ketika diminta untuk mengutuk Israel tiga kali
Setiap kali keledai berpaling dari malaikat, efek pada Bileam  buruk
Dengan setiap berkat pada Israel, efek pada Balak buruk
Bileam  telah dicegah untuk membunuh keledai
Balak tidak dapat membunuh Bileam
Keledai berbicara karena Tuhan membuka mulutnya
Bileam berkata bahwa dia hanya dapat mengatakan kata-kata yang Tuhan taruh dalam mulutnya
Bileam  tidak berdaya  terhadap fakta keledai yang berbicara
 Balak tidak berdaya terhadap berkat-berkat Bileam pada Israel



Apakah Isu  Sesungguhnya?

Ular  berbicara, keledai  yang berbicara dalam bahasa manusia, seorang yahudi tukang kayu yang  telah disalibkan yang  bangkit kembali dari kematian… hal-hal ini, para skeptik  menunjukan, adalah hal-hal yang secara rutin kita lihat dan alami, dan karena itulah kita harus menolak hal-hal semacam itu sebagai hal-hal yang palsu dan melihatnya tidak memiliki substansi yang  nyata dibandingkan dengan sebuah kisah  fable yang ditulis oleh seorang Yunani bernama Aesop.

Tetapi apakah yang menjadi isu sebenarnya disini? Apakah benar seekor ular berbicara atau sesuatu yang lain?


Pada intinya, masalah sebenarnya adalah : skeptik membawa masuk bias anti supernatural mereka dan presuposisi-presuposisi (dugaan-dugaan) filosopis yang naturalistik  kedalam pandangan mereka pada Alkitab. Sejak semula  sikap a priori mereka adalah bahwa Tuhan tidak ada. Hal itu menjadi benar dalam pandangan dunia mereka, kemudian  mujizat-mujizat  menjadi tidak mungkin untuk terjadi, dan karena Alkitab berisikan kisah-kisah  yang menakjubkan, Alkitab menjadi tidak mungkin untuk dipercayai.

Tetapi bagaimana jika Tuhan tidak ada? Kemudian mungkinkah kita  mengharapkan sebuah buku yang menggambarkan  hal-hal  agak spektakuler dan jarang? Kita  pasti dapat mengharapkannya. Sebagaimana yang diamati oleh C.S Lewis, “Tetapi jika kita mengakui Tuhan, haruskah kita mengakui Mujizat? Tentu saja, tentu saja anda tidak memiliki  jaminan  untuk melawan hal itu. Itulah tawar-menawarnya.”[3]


Sebenarnya, seekor ular yang berbicara atau keledai bukan hal yang terlampau ajaib dibandingkan dengan  keganjilan-keganjilan dalam hidup yang  bermunculan diatas planet kita sendiri,  alam semesta sebagaimana yang kita ketahui dan sejumlah  konstan-konstan kosmologis yang harus berada ditempatnya bagi kita untuk sungguh-sungguh eksis. Atau DNA yang memunculkan  kesesuaiannya sendiri. Atau… buatlah pilihanmu atas   sebuah paduan   hal-hal yang menakjubkan yang  luar biasa untuk percaya, tetapi entah bagaimana masih ada.


Pertanyaannya bukan andai seekor ular atau keledai dapat berbicara, tetapi andai  Tuhan yang supernatural eksist. Jika yang belakangan ini benar, yang terdahulu adalah sebuah jalan-jalan di taman. Itulah pertanyaan yang  semestinya dengan sepenuh hati dikejar oleh  skeptik,  bukannya menggunakan seekor ular  yang berbicara sebagai sebuah pembenaran untuk  menyisihkan perbicangan yang sesungguhnya.

=================
[1] C. S. Lewis, "Dogma and the Universe" in God in the Doc (Grand Rapids: Eerdmans, 1970), pg. 42. However, in the interest of full disclosure, I should point out that Lewis also stated in his work, The Problem of Pain, that Satan may have indeed used the snake for his purposes: New York: Simon & Schuster, 1996, pg. 119.
[2] http://goo.gl/vbPMW
[3] C. S. Lewis, Miracles (New York: Harper Collins, 1974), pg. 169.



Talking Snakes, Donkeys, and Believing the Bible | diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora


No comments:

Post a Comment