Pages

18 May 2013

KEINGINAN MENYANGKALI KEBENARAN YANG Wow…

Oleh : Robin Schumacher Ph.D


Kemampuan  seorang manusia untuk tidak percaya terhadap kebenaran tentang sesuatu terkadang dapat mempesonakan

Para ateis dan Kristen skeptik secara konsisten berkata bahwa alasan mereka tidak percaya kepada Tuhan  karena tidak ada bukti akan Tuhan. Andaikan  saja mereka dapat menemukan kebenaran—bukti yang baik untuk Tuhan dan untuk kesejarahan Yesus—para ateis berkata bahwa hal itu akan membuat banyak perubahan dalam dunia, dan mereka  akan segera menjadi percaya.


Tetapi  apakah hanya ini saja masalahnya?


Deborah Lipstadt mungkin  memiliki sepatah atau dua patah untuk dikatakan tentang mempercayai kebenaran.  Dr. Lipstadt Profesor Dorot untuk studi-studi  Modern Jewish  dan Holacaust di Emory University berangkali bukan seorang Kristen atau memiliki seekor anjing dalam  pertarungan antara ateisme vs Kekristenan, tetapi dia juga tahu  sebuah atau dua buah hal mengenai kemampuan orang untuk menjadi buta mata terhadap bukti ketika bukti disodorkan  kepada mereka. Lipstadt adalah penulis buku berjudul Denying the Holocaust : The Growing Assault in Truth and Memory, dan telah menghabiskan waktu selama bertahun-tahun mempelajari kemampuan orang untuk menolak kebenaran.


Meskipun kebanyakan orang berpikir bahwa  penyangkalan itu hanya individual-individual seperti Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad yang  melemparka keraguan atas apakah Holacust-pembasmian bangsa Yahudi telah terjadi, Lipstadt menemukan bahwa validitas kesejarahan holacaust dipertanyakan oleh sejumlah orang yang jauh lebih banyak daripada yang mungkin diyakini. Lebih lanjut, dia menemukan penyangkalan semacam ini tidak hanya terus mendapatkan pengikutnya, tetapi telah menjadi sebuah gerakan yang luas dan internasional dengan cabang-cabang yang terorganisasi, pusat-pusat riset yang disangka “independen” (dengan nama-nama yang tersamar secara cerdik), dan berbagai publikasi yang mempromosikan sebuah pandangan revisionist terhadap sejarah Perang Dunia II.



Tetapi bagaimana  dengan semua bukti yang secara jelas menunjang kesejarahan Holacaust? Lipstadt menulis :’Upaya untuk menyangkal Holacaust mendaftarkan sebuah  distorsi strategi dasar. Kebenaran dicampurkan dengan kebohongan-kebohongan mutlak, membingungkan para pembaca yang tidak  terbiasa dengan taktik-taktik para penyangkal. Kebenaran-kebenaran setengah dan  segmen-segmen kisah  yang  secara nyaman menghindari informasi yang kritis, meninggalkan pendengar dengan sebuah impresi yang telah terdistorsi akan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Dokumen-dokumen yang melimpah dan kesaksian-kesaksian  yang mengkonfirmasi Holacust telah diabaikan sebagai dibuat-buat, dipaksakan, atau pemalsuan  dan kepalsuan.”[1]



Dengan merujukan  pada temuan-temuan Lipstadt, apakah saya sedang menyamakan para ateis dengan  para penyangkal Holacaust? Tidak sama sekali. Sebaliknya, apa yang sedang saya upayakan adalah fakta bahwa ketika  tiba pada   seseorang memilih untuk percaya atau menyangkali sesuatu,  ada hal yang lebih besar pada peristiwa itu daripada yang ditemukan mata.


Menerima  atau Menolak sebuah Keyakinan
J.P. Moreland menyatakan bahwa  kepercayaan akan sesuatu   bermula dengan pertama-tama penerimaan  seseorang bahwa sebuah klaim tertentu adalah  memiliki dasar/masuk akal. Struktur  kemasukakalan, atau  “kondisi-kondisi yang menguntungkan,” terbentuk didalam pikiran sehingga klaim tersebut dapat diterima, dengan  apapun juga tanpa dipandang sebagai masuk akal-memiliki dasar  untuk ditolak.[2]

Apa yang membantu membangun kemasukakalan seseorang sehingga dia akan percaya pada klaim kebenaran? Studi mengenai  hal ini dan bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan (disebut ‘epistemologi’ dalam filospi) adalah sebuah subyek monumental, tetapi dalam metode-metode umum termasuk  empirisme /pragmatisme (melalui sains-sains dan  nalar), rasionalisme (pemikiran), subyektifisme (intuisi dan persentuhan langsung), dan otoritariansime (testimoni/kesaksian).


Diantara semuanya ini, metoda yang paling banyak digunakan oleh para sejarahwan seperti Lipstadt untuk menemukan kebenaran adalah metoda yang terakhir yaitu testimoni. Dan  memang metoda ini yang menyebabkan skeptik sangat gelisah, terutama  dimana hal-hal  seperti yang menjadi kepedulian Perjanjian Baru. Akan tetapi, seperti yang ditunjukan  oleh Joe Boot, tidak semestinya, sebab metoda itu secara sempurna tepat dan  cara yang meyakinkan dalam memvalidasi kebenaran : ‘Ada sebuah perbedaan penting antara motode-metode [testimoni] yang bersifat sains dan legal untuk menentukan kebenaran. Metode legal tidak mengabaikan testimoni atau fakta-fakta karena hal-hal ini tidak  dapat direproduksi dan diuji. Dengan sebuah proses eliminasi dan  bukti yang menguatkan, metode legal membolehkan sejarah dan testimoni untuk berbicara bagi dirinya sendiri sampai sebuah keputusan  yang mengikat tercapai mengatasi keraguan berdasar dan  keseimbangan probabilitas dicapai. Saya tidak menyaksikan beragam pertempuran yang telah terjadi di sepanjang sejarah dan saya tidak dapat mereproduksi Perang Dunia Kedua sehingga saya harus bergantung pada dokumen-dokumen dan testimoni independen untuk menentukan kemasukakalannya. Jenis-jenis uji tertentu adalah  tepat bagis bagi ranah-ranah pemikiran yang berbeda.’[3]



Akan tetapi fakta ini tidak menghentikan para skeptik dari menyingkirkan testimoni sebagai bukti bahkan ketika testimoni itu sedekat dan selangsung yang mungkin dapat dilakukan. Dalam buku lanjutannya, Lipstadt menggambarkan dirinya dituntut oleh seorang penyangkal  Holacaust terkemukan bernaman David Irwing[4], yang menentang karyanya  yang terdahulu. Pada sebuah masa reses dalam persidangan, seorang perempuan mendatangi Irving dan mengatakan kepadanya bahwa orang tuanya telah  mati di ruang  gas di Auswitz. Seorang reporter yang  berdiri tidak jauh disana mendengarkan  jawaban Irving: “Ibu, anda berangkali akan senang untuk mengetahui bahwa mereka hampir pasti telah mati karen tipes.”[5]



Sebuah Contoh dari Alkitab

Kita melihat sebuah contoh besar  penyangkalan testimoni saksi mata dalam  Yohanes 9, yang  secara khusus mengenai  penyembuhan Yesus atas seorang yang buta sejak lahir. Para tetangga orang tersebut dan orang-orang lainya dalam kerumunan begitu ternganga keheranan oleh peristiwa tersebut dan tidak mau menerima testimoni orang yang telah disembuhkan itu akan apa  yang Yesus telah lakukan  sehingga mereka membawa orang tersebut kepada orang-orang  Farisi untuk diperiksa.

Itu adalah dimana kelucuan yang sesungguhnya mulai. Anda lihat, Yesus telah menyembuhkan orang pada hari Sabat dan  para pemimpin agama berpendapat “pekerjaan” apapun seperti menyembuhkan seseorang merupakan tindakan melanggar Hukum Taurat. Orang-orang Farisi telah siap dalam menyangkal  kesembuhan dan marah terhadap Yesus, dan  hal ini menambahkan bahan bakar kedalam api.



Dengan orang-orang Farisi, orang itu menyampaikan kisah yang sama untuk kali kedua terkait apa yang Yesus telah lakukan. Tetapi bahkan dengan orang banyak dan tetangga yang mengenal dia dan kesaksian orang itu sendiri,  Orang-orang Yahudi itu tidak percaya, bahwa tadinya ia buta dan baru dapat melihat lagi” (Yohanes 9:18).

Mereka  memutuskan  bahwa mereka memerlukan lebih banyak bukti lagi, sehingga mereka memanggil orang tua orang yang sembuh tersebut untuk memverifikasi  berbagai hal. Ibu adan ayah gemetar ditas kaki mereka kerena mengenai ini dikenal sangat baik bahwa siapapun yang mengakui Yesus sebagai pembuat mujizat sejati dan adalah Kristus (Yang diurapi) akan dikeluarkan-dikucilkan dari rumah ibadah- sinagog ( sebuah hukuman yang lebih besar daripada apa yang terdengar pada  permukaan). Mereka secara  hati-hati membenarkan bahwa putera mereka dilahirkan dalam keadaan buta, tetapi tidak mengatakan lebih lanjut bagaimana dia sekarang melihat.



Anda akan berpikir pada titik ini adalah waktunya bagi orang Farini untuk berteriak ‘paman’ dan memberikan kredit bagi  Yesus untuk  sebuah mujizat sejati, benar bukan? Salah. Sekarang situasinya  menjadi buruk  sebab orang –orang Farisi membawa kembali orang ini untuk ronde kedua.



Para pemimpin agama memulai dengan menyebut  Yesus adalaah seorang berdosa,  yang  ditolak orang tersebut dengan menyatakan :” "Apakah orang itu orang berdosa, aku tidak tahu; tetapi satu hal aku tahu, yaitu bahwa aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat"(ayat 25). Jawabannya  sangat menakjubjan karena jawabannya memaksa orang-orang Farisi untuk meninjau presuposisi-presuposisi (dugaan-dugaan) mereka  terhadap Yesus dan fokus pada realita bahwa  pernyataan orang itu sedang menatap mereka  (secara literal) pada wajah.



Saya suka apa yang terjadi selanjutnya. Orang-orang Farisi  menanyai orang tersebut untuk mengulangi kisahnya kembali, yang untuk permintaan ini, orang tersebut  menjawabnya begini:"Telah kukatakan kepadamu, dan kamu tidak mendengarkannya; mengapa kamu hendak mendengarkannya lagi? Barangkali kamu mau menjadi murid-Nya juga?" (Yohanes 9:27)


Kapanpun juga saya merasakan sebuah diskusi dengan seorang skeptik atau ateis akan berputar dalam lingkaran-lingkaran dan saya sendiri  harus mengulangi dengan bukti terkait Kristus yang telah saya sajikan, saya akan meminta sesuatu semacam ini :”Sebelum kita mengulas hal yang sama ini kembali,  biarkan saya bertanya kepada anda: apakah pentingnya hal ini bagimu? Apakah kamu sungguh-sungguh tertarik untuk mengetahui kebenaran mengenai Yesus dan siap untuk berlutut  kepada-Nya sebagai Tuhan jika  pertanyaan-pertanyaanmu dijawab tuntas?” Anda akan terkejut pada  respon-respon yang saya dapatkan, banyak  yang dapat disimpulkan sebagai “Tidak.”



Reaksi orang yang dulunya buta  terhadap orang-orang Farisi pada  soal ini  mendalam :”Mereka mencercanya” (Yohanes 9:28). Orang-orang Farisi tidak tertarik  untuk mengikut Yesus tidak juga mereka tertarik mendengarkan lebih  lanjut bukti atau testimoni yang memvalidasi kemesiasannya. Mereka menolak untuk percaya  pada kebenaran yang mereka telah temukan.



Tetapi hal ini tidak menghentikan orang  itu untuk memukul mereka dengan satu lagi sedikit pengetahuan:” Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya. Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah terdengar, bahwa ada orang yang memelekkan mata orang yang lahir buta. Jikalau orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa." (Yohanes 9:31-33).


Apa yang didapatkan orang ini dari upayanya ini? Dari orang-orang Farisi, dia telah menerima pengucilan dari sinagog, tetapi dari Yesus dia telah menerima keselamatan ( Yohanes 9:38)


 Apakah yang Kamu Ingin Percayai adalah Kebenaran?

Seperti telah saya katakan  diawal, kemampuan orang untuk menyangkal kebenaran mengenai sesuatu dapat  mempesonakan. Tetapi apakah yang ada di  jantung pada penyangkalan semacam ini? Apakah yanag menghentikan seseorang dari bahkan  untuk  mulai berpikir bahwa sebuah klaim kebenaran tertentu  biasa  jadi masuk akal?


Ini jelas merupakan subyek yang rumit, tetapi bagi banyak orang, hal ini menguap menjadi satu hal sederhana : mereka tidak ingin perihal dalam pertanyaan itu menjadi benar.


Kisah-kisah  berlimpah  dengan penderita kanker  yang mengabaikan tanda-tanda peringatan yang benderang pada sisi kotak rokok dan gejala-gejala fisik yang sedang mereka alami,  para  gadis muda yang  secara literall hamil  9 bulan dan yang tidak kan percaya bahwa mereka akan  memiliki seorang bati dan bahkan individu-individu seperti David Irving yang  berdiri dalam ruang pengadilan Kanada dan bersaksi: ’Tidak ada dokumen-dokumen yang seperti apapun memperlihatkan sebuah Holocaust pernah terjadi.”[6]

Kemauan untuk menyangkali kebenaran dapat  menjadi luar biasa sangat kuat


Ketika  ini mengenai Tuhan, beberapa ateis mengakui ini adalah halangan yang mereka hadapi. Thomas Nagel telah menulis sebagai berikut:”Saya  ingin ateisme menjadi  benar dan membuat menjadi tidak mudah oleh fakta bahwa  beberapa orang   paling cerdas dan orang dengan pengetahuan yang memadai yang saya tahu orang-orang percaya religious. Ini tidak sekedar saya tidak percaya kepada Tuhan dan, secara alami  mengharapa bahwa saya benar dalam keyakinanku. Itulah  yang saya harapkan bahwa  tidak ada Tuhan! Saya tidak ingin ada yang menjadi Tuhan; saya tidak ingin alam semesta seperti itu.” [7]



Dapatkah orang-orang Kristen menjadi bersalah akan hal ini—menginginkan Tuhan untuk ada  sedemikian kuatnya  mereka berubah menjadi buta terhadap klaim-klaim kebenaran sehingga berperilaku berlawanan dengan keyakinan-keyakinan mereka? Tentu saja. Inilah salah satu alasan para apologet Kristen sedemikian nyaringnya menabuh gendang mereka dan meminta semua orang percaya untuk secara kritis memeriksa fakta-fakta sebagaimana Rasul Paulus minta agar kita lakukan, (1 Tes 5:21).



“Kebenaran” ujar  Søren Kierkegaard, “ adalah subyektifitas.”[8] Dia tidak memaksudkan bahwa kebenaran adalah subyektif, tetapi lebih kepda bahwa orang   harus mensubyekan dirinya terhadap kebenaran dan mengaitkan dengan  sebuah kebenaran dari sebuah  titik pandang yang personal dan moral. Sejauh ini Kierkegaard (dan kita semua), jika ateis benar, kita semua  harus  menjadi para ateis, tetapi jika Kekristenan  adalah benar,maka setiap orang  harus bertelut  lutut pada Kristus.



Setelah Yesus memulai pelayanannya, Dia kembali ke kota asalnya untuk mendapatkan sebuah kondisi yang menyedihkan. Setiap orang telah mengetahui mujizat-mujizatnya dan telah menyadari pengajaran-Nya yang melampaui pengajaran-pengajaran lainnya sebelum Dia. Tetapi Alkitab mengatakan bahwa  mereka “mengadakan perlawanan” terhadap Dia (Markus 6:3). Kata Yunani menggunakan kata  kandalizō  yanga dikaitkan dengan kata dalam Bahasa Inggris “Scandal.” Seperti orang-orang Farisi,mereka telah menolak Dia dan  bepikir mengenai Dia akan menjadi skandal (batu sandungan) bagi cara atau jalan hidup mereka.



Hal selanjutnya yang Alkitab katakan  adalah Dia, “ merasa heran pada ketidakpercayaan mereka(Markus 6:6). Anak Allah secara harfiah  telah dipukau dan dibuat kagum pada bagaimana mereka dapat melewatkan bukti   yang Dia sajikan tentang klaim-klaim kebenaran dan menyangkal bukti yang ada tersaji dihadapan mereka.

Keajaiban dari sebuah  keinginan untuk tidak  percaya adalah memfrustrasikan dan  juga  menyedihkan—khsususnya ketika  ini terkait dengan menolak Yesus. Jika anda bukan seorang Kristen, saya mendorong anda untuk tidak mengikuti jejak-jejak  para orang Farisi dan orang-orang di kota asal Yesus. Sebaliknya, berilah pandangan yang segar pada Kristus jika anda belum melakukannya maka lakukanlah sejenak.  Sebuah pengamatan singkat yang baik pada kehidupan Yesus layak untuk diperiksa pada karya John Dickson yang berjudul Life of Jesus : Who He is and Why He Matters.

=========

[1] Deborah Lipstadt, Denying the Holocaust: The Growing Assault on Truth and Memory (New York: Simon and Shuster, 1993), pg. 2.
[2] J. P. Moreland, Love Your God With All Your Mind (Colorado Springs: NavPress, 1997), pgs. 75-76.
[3] Joe Boot as quoted by Stuart McAlister in Just Thinking podcast episode, Ravi Zacharias Ministries.
[4] https://en.wikipedia.org/wiki/David_Irving.
[5] Deborah Lipstadt, History on Trial: My Day in Court with a Holocaust Denier (New York: Harper, 2005), pg. xiv.
[6] Lipstadt, History, pg. xiii.
[7] http://goo.gl/Ki9Yp.
[8] http://goo.gl/JZERI.


Sometimes the  truth is easy to find, but that doen’t mean we’ll belive it | diterjemahkan dan diedit oleh :Martin Simamora



No comments:

Post a Comment