Pages

09 September 2010

Virgin Born

Menurut theolog besar, Millard J. Erickson, tema yang paling sering diperdebatkan setelah tema kebangkitan adalah tema kelahiran Yesus dari seorang perawan (virgin). Pada akhir abad 19, kelompok Fundamentalist/Konservatif/Injili telah sedemikian berseberangan dengan kelompok liberal/oikumenis/modernist. 

Menurut kelompok pertama, ajaran Virgin Birth (virginal conception) merupakan ajaran penting dan sangat mendasar yang harus dipegang dengan teguh. Sedangkan menurut kelompok liberal, ajaran tersebut harus ditolak atau ditafsirkan ulang.

Sebenarnya, penolakan seperti ini bukanlah hal baru. Sejak abad permulaan, berbagai kelompok mencoba menggugat dan menolak tema ini. Sebagai contoh, kelompok Ebionit Yahudi dan kelompok Marcion telah menolak ajaran tersebut.

Lalu apa yang baru? Yang baru adalah sikap dan metode penolakan tersebut, di mana pandangan yang menolak ajaran tersebut semakin terasa menyusup/memasuki gereja Tuhan, dan para theolog yang menganutnya mulai berani mengatakan penolakan tersebut secara terbuka.



Sebagai contoh, seorang bishop dari Inggris yang bernama David Jenkins memberi penafsiran lain dari Virgin Birth dengan menulis:

"Some people either simply cannnot understand, or simply will not listen to the point that many of the stories of the Bible are not for "real", not by being literally true, but by being inspired symbols of aliving faith about the real activity of God".

Mengapa ajaran Virgin Birth ditolak?

Ada beberapa alasan.

Pertama, karena menurut mereka, ajaran ini tidak menonjol di dalam Alkitab, bahkan tidak ditemukan di dalam surat-surat rasul Paulus.

Kedua, pandangan tersebut disamakan dengan kisah-kisah dongeng (myth) Yunani dan Mesir kuno tentang kelahiran dewa atau penyelamat dari seorang perawan, di mana dewa tersebut diakui sebagai penguasa langit dan lautan.

Ketiga, ajaran Virgin Birth sulit disejajarkan dengan ilmu pengetahuan yang semakin berkembang.

Bagaimana tanggapan kita terhadap keberatan di atas?

Terhadap keberatan yang pertama, memang benar bahwa ajaran tersebut tidak menonjol di dalam Perjanjian Baru. Kisah itu hanya ditemukan di dalam Injil Matius dan Lukas.

Namun demikian, para ahli telah melihat kelemahan dari argument from silence. Dalam kenyataanya, dua penulis Injil, yaitu Markus dan Yohanes tidak pernah menulis peristiwa kelahiran Yesus. Apakah itu berarti bahwa Yesus tidak pernah lahir? Kita tentu bisa menjawab itu dengan pasti.

Soal adanya dongeng Yunani dan Mesir kuno tidak cukup kuat untuk menolak, seolah-olah Injil juga sedang mengajarkan sebuah dongeng.

Dalam kenyataannya, jika kita membaca kedua kisah kelahiran Yesus dalam Injil Matius dan Lukas, kita dapat menyimpulkan bahwa hal itu bukan dongeng. Peristiwa yang disampaikan dengan cara yang sederhana dan straight to the point itu memberi kesan kuat bahwa apa yang mereka kisahkan adalah peristiwa nyata.

Mengapa kita mengambil kesimpulan demikian? Para ahli Perjanjian Baru (PB) menyimpulkan bahwa dengan membaca kedua kisah itu secara teliti, maka terlihat dengan jelas adanya perbedaan. Karena itu, dari segi teori sumber, yaitu dari mana sumber kisah itu diperoleh, nampak adanya dua sumber yang berbeda.

Keduanya berbeda tapi saling melengkapi. Injil Matius (1:18-25) yang menghubungkan peristiwa kelahiran Yesus dengan orang-orang Majus dari Timur, menjadikan Yusuf sebagai tokoh sentral.

Dalam kisah ini diberitahukan bahwa Yusuf bergumul setelah mengetahui bahwa Maria, tunangannya mengandung. Karena itu, dia berniat untuk meninggalkannya secara diam-diam.

Sedangkan di dalam kisah Lukas (1:26-38), kita mengamati bahwa tokoh Yusuf malah tidak muncul. Yang menjadi tokoh di sana adalah Maria sendiri yang bergumul dengan berita malaikat tentang dirinya yang akan mengandung: "Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami" (1:34).

Setelah melihat perbedaan yang sangat jelas tersebut di atas, kita melihat adanya persamaan penting: kedua kisah tersebut mengacu kepada kondisi Maria yang mengandung dari ROH KUDUS.

Di dalam Injil Matius, ketika Yusuf bergumul, kita membaca malaikat Tuhan datang kepadanya dan memberitahukan: "...sebab Anak yang di dalam kandungannya adalah dari ROH KUDUS" (1;20).

Sedangkan di dalam kisah Lukas, ketika Maria bergumul dan mempertanyakan bagaimana dia bisa hamil sedangkan dia belum bersuami, maka malaikat tersebut menjawab: "ROH KUDUS akan turun atasmu...sebab itu anak yang akan kau lahirkan itu akan disebut kudus" (1:35).

Kelahiran Yesus secara tidak normal (baca: ajaib, dari Roh Kudus) tersebut telah dipahami secara negatif selama bertahun-tahun. Itulah sebabnya, sekitar tiga puluh tahun kemudian kita membaca sindiran tajam dari orang-orang Yahudi yang diarahkan kepada Yesus sendiri. Mereka berkata:"Kami tidak lahir dari zinah" (Yoh.8:41). Dengan perkataan lain, secara tidak langsung mereka menuduh bahwa Tuhan Yesus merupakan hasil dari perbuatan zinah.

Selanjutnya, kita juga membaca pernyataan mereka: "... kami tidak tahu dari mana Ia datang" (Yoh.9:29). Di dalam Injil Markus kita membaca bahwa ketika Yesus mengajar di tempat asalnya di Nazaret, orang-orang menanggapinya dengan sinis: "Dari mana diperolehNya semuanya itu?...Bukankah Ia ini anak Maria?" (6:3).

Di dalam budaya Yahudi yang mengikuti garis keturunan ayah, cara tersebut tidak lazim. Karena itu, pengungkapan Yesus sebagai "Anak Maria" merupakan penghinaan.

Di sisi lain, mereka seakan-akan mau mengatakan bahwa kelahiranNya tidak jelas, di mana tidak diketahui siapa ayahnya yang sesungguhnya.

Rumor negatif tersebut terus berkembang dan menyebar. Itulah sebabnya, Celsius menulis bahwa Yusuf memulangkan Maria ke rumahnya karena dia kedapatan berzinah. Dengan siapa berzinah? Dengan seorang tentara yang bernama Panthera.

Kita bisa menulis banyak hal tentang penegasan orang-orang di zamanNya tentang kelahiran Yesus yang tidak normal; karena itu, dianggap perselingkuhan. Namun apa artinya semua itu?

Dari sisi positif, hal itu meneguhkan berita Alkitab, baik yang ditulis Matius maupun Lukas bahwa kelahiran Yesus memang tidak normal. Tapi hal itu tidak sama dengan negatif, akibat adanya perselingkuhan.

Kisah Matius malah dengan jelas menyangkal hal itu. Ketidaknormalan, atau lebih tepatnya, ketidaklaziman kelahiran Yesus tetap di dalam realita kebenaran, yaitu Roh Kudus yang menaungi rahim atau kandungan Maria. Realita seperti itu memang tidak dialami oleh orang-orang di zamanNya.

Untuk apa kita repot-repot menulis artikel dengan judul ini? Untuk apa kita membicarakan tema ini? "Does it really matter?" tanya seseorang. "Is there any problem?" tanya yang lain.

Jawaban kita, tentu ya. Jika Yesus merupakan hasil kelahiran sebagai akibat atau hasil dari adanya hubungan badan suami istri (misalnya Yusuf dengan Maria), maka terjadi hal yang sangat fatal: ada kemungkinan bahwa Yesus juga mewarisi dosa turunan.

Jika demikian halnya, maka Yesus tidak dapat berperan sebagai Penebus. Menarik sekali apa yang dikatakan oleh Malaikat sebagaimana kita kutip dalam kisah Lukas tersebut di atas. Ketika malaikat menegaskan bahwa kelahiran Yesus adalah dari Roh Kudus, bukan karena hubungan suami istri, malaikat tersebut melanjutkan:

"... SEBAB ITU, ANAK YANG AKAN KAU LAHIRKAN ITU AKAN DISEBUT KUDUS".
Selanjutnya ditegaskan bahwa Yesus adalah "ANAK ALLAH". (1:35).

Sejarah Gereja menegaskan bahwa natur atau keberadaan Yesus adalah sepenuhnya manusia dan sepenuhnya Allah. Seratus persen manusia dan seratus persen Allah. Mengapa? Karena Yesus lahir melalui kandungan Maria, maka Dia layak disebut anak Manusia. Tetapi karena itu bukan hasil hubungan suami istri, tapi karena Roh Kudus turun kepada Maria, maka Dia layak disebut Anak Allah, dalam arti bahwa Yesus sama zat atau sifat dengan Allah .

Aplikasi praktis

Apa makna praktis dari hal tersebut di atas bagi kita, yang mempercayainya? Banyak hal dapat kita sebut. Tapi mari kita sebut beberapa hal saja.

Pertama, kita bersyukur bahwa kita memiliki Penebus yang benar-benar tidak berdosa. Mutlak kudus. Ketika Anselm, (bapak Gereja di abad pertengahan) memberikan apologetikanya (pembelaannya) akan kepastian keselamatan di dalam bukunya yang berjudul "Cur Deus homo?" (Mengapa Allah menjadi manusia?), maka dia juga mengacu kepada fakta kehidupan Yesus yang suci.

Dia menegaskan bahwa kematian Yesus bukan sekedar kematian anak manusia yang benar-benarkudus dan tidak berdosa (sebenarnya, orang seperti ini tidak ada). Sebab jika demikian, Yesus hanya bisa menebus satu orang manusia berdosa.
Kematian Yesus Memberikan Pengharapan

Akan tetapi, kematian Yesus adalah kematian seorang Anak Allah, yang berarti Allah sendiri. Karena Dia adalah Allah, maka Dia memiliki nilai jiwa yang tidak terbatas. Itulah sebabnya Dia dapat menebus semua orang; keselamatan TERSEDIA BAGI SEMUA ORANG BERDOSA YANG PERCAYA KEPADANYA.

Kedua, dari kedua kisah tersebut, baik Yusuf maupun Maria, kita belajar satu persamaan: TAAT WALAU MENGANDUNG RESIKO".

Yusuf  TAAT untuk tetap mengambil Maria menjadi istrinya, walau itu berarti dia akan terus menanggung kesulitan disalahmengerti seumur hidupnya.

Hal itu telah kita baca di atas. Dari sisi negatif, Yusuf sepertinya menikah dengan seorang istri yang 'nakal'. Maria juga TAAT untuk tetap memelihara kandungannya, walau itu berarti seumur hidupnya dia menanggung derita disalahmengerti dan dituduh sebagai wanita yang berselingkuh dengan seseorang.

Sebenarnya, tuduhan seperti itu bukan hanya terjadi seumur hidupnya, bahkan hingga sekarang pun kita membaca karya-karya dari orang tertentu (bandingkan dengan film yang berjudul Jesus Christ Superstar, atau buku seorang filsuf, bernama Bertrand Russel) yang memberi label negatif terhadap dirinya.

Saya tidak tahu bagaimana perasaan Anda ketika membaca pernyataan Maria berikut:

'SESUNGGUHNYA AKU INI ADALAH HAMBA TUHAN; JADILAH PADAKU MENURUTPERKATAANMU" (Luk.1:39).

Sesungguhnya, dari teladan Yusuf dan Maria kita belajar pelajaran yang sangat berharga: Suatu gaya hidup yang rela membayar harga. Suatu gaya hidup yang siap menanggung kesulitan dan berbagai macam pengorbanan, berani dan tahan menderita dan DEMI MENGGENAPKAN MISI ALLAH DI DALAM DAN MELALUI HIDUP, BAGI SELURUH DUNIA.

Sebagai kaum awam, kita akan diperhadapkan kepada berbagai kemungkinan hidup, termasuk menjalani gaya hidup sulit, berat, penuh resiko demi ketaatan kita kepadaNya.

Jika anda seorang theolog, saya juga melihat hal yang sama. Sebagai contoh, setelah anda belajar theologia, dan semakin jauh mempelajarinya, maka dituntut keberanian untuk menerima dan memberitakan apa yang secara tegas dan jelas dinyatakan Alkitab, walau itu berarti adanya kemungkinan untuk diremehkan dan ditertawakan rekan-rekan lainnya yang berbeda pendapat, walau itu berarti adanya kemungkinan dituduh sebagai theolog bodoh yang tidak memakai akal sehat.

Kita juga perlu mencamkan kenyataan ini: hal seperti ini tidak hanya terjadi satu kali saja dalam hidup, di mana kita tinggal tutup mata dan melangkah, karena toh "badai akan segera berlalu".

Tidak, hal itu bisa terjadi tiap hari, Minggu, bulan dan tahun sepanjang hidup. Menjadi pertanyaan, sejauh mana kita berhasil menjalaninya? Jika gagal, sejauh mana kita menyesalinya dan ingin bangkit?

Jika berhasil, sejauh mana kita menikmati gaya hidup seperti itu? Kiranya Tuhan Yesus yang telah mengilhami Yusuf dan Maria untuk RELA MEMBAYAR HARGA DEMI KETAATANNYA, yang diriNya sendiri juga telah meninggalkan teladan yang sempurna, memberkati dan menguatkan kita semua, tiap hari dan senantiasa untuk makin menikmati gaya hidup yang demikian.

(selesai)

Salam penyerahan

Pdt. Mangapul Sagala Th.D
(www.mangapulsagala.com)

No comments:

Post a Comment