Pages

22 December 2019

MENJAWAB MITOS-MITOS ANTI-X'MAS


ET’PATAH ISCS
              Jum’at, 18 Januari 2019


DIALOG IMAJINER
RAHIB DIONYSIUS EXIGUUS DAN KYAI TUNGGUL WULUNG:
BINTANG BETLEHEM DAN THE MAGI CODE 
(Tulisan Terakhir dari Dua Tulisan)
 

Oleh Dr. Bambang Noorsena





1. 25 DESEMBER ATAU 7 JANUARI?

    :  “Kalau begitu, wahai Rahib. Mengapa gereja-gereja Timur merayakan Natal 7 Januari, berbeda dengan Barat yang merayakan 25 Desember?”, tanya Kyai Tunggul Wulung melanjutkan diskusi minggu lalu.

    :  “Itu hanya beda sistem kalender, tidak ada perbedaan ajaran teologinya”, jawab rahib Dionysius.

    :  “Maksudnya, Rahib?”.

    :  “Mula-mula”, kisah Rahib Dionysius, “Barat dan Timur merayakan Natal 25 Desember, sampai tahun 1582 ketika Paus Gregorius XIII memodifikasinya, akhirnya dikenal kalender Gregorian yang kini diakui secara internasional”.

    :  “Jadi, secara liturgis gereja-gereja Timur masih memakai hitungan Kalender Yulian, sedangkan di Barat memakai kalender baru Gregorian?”, tanya Sang Kyai.

    :  “Betul, betul Kyai!”

    :  “Lalu mengapa kalender Yulian berubah menjadi 7 Januari, Rahib?”.

    :  “Justru yang berubah itu kalender yang baru, karena tanggalnya maju 13 hari. Jadi, 25 Desember itu mestinya masih 12 Desember, Kyai”.

    :  “Lha iya, yang saya tanyakan kenapa kok maju 13 hari, Rahib. Maaf...”, Kyai Tunggul Wulung terus mengejar.

    :  “Selisih 13 hari itu mula-mula disebabkan perbedaan dalam menghitung jatuhnya Paskah”, jelas Rahib Dionysius. “Gereja Barat menetapkan jatuhnya perayaan Paskah tepat pada bulan purnama musim semi. Ini mengikuti kebiasaan Paskah Yahudi. Padahal Yahudi memakai kalender bulan yang setahunnya hanya 354 hari. Itu berarti selisihnya dengan kalender matahari 10 hari. Paskah Yahudi, yang mengenang keluarnya Israel dari Tanah Mesir, memang selalu jatuh pada bulan purnama, 15 Nisan”.


    :  “Ooo... padahal Paskah Kristiani sebagai peringatan kebangkitan Kristus dihitung berdasarkan peredaran matahari. Inikah pokok masalahnya, Rahib?”.

    :  “Benar, Kyai. Akibat perbedaan ini, ketika pada tahun-tahun yang lain bulan purnama jatuh sebelum jatuhnya perayaan Paskah Kristiani, maka Paskah di gereja Barat terpaksa harus dimajukan”, jelas Rahib Dionysius.

    :  “Sedangkan gereja-gereja Timur menghitung jatuhnya Paskah selalu pada hari Minggu. Benarkah itu, Rahib?”.

    :  “Benar, Kyai. Paskah Kristiani tidak lagi mengacu tepat pada bulan purnama atau tidak, sebab yang menjadi patokan bukan lagi pengorbanan domba-domba dalam upacara kurban Yahudi, tetapi Yesus sendirilah “Anak Domba Paskah kita” (1 Korintus 5:7)”, St. Dionysius sejenak diam, seperti mengingat sesuatu.

    :  “Ehm....”

    :  “Pada tanggal 5 Oktober 1582”, lanjutnya, kalender Gregorian maju 10 hari. Kemudian satu hari hilang pada tahun 1700, 1800, dan 1900. Akibatnya, 10 hari ditambah 3 hari menjadi 13 hari itu. Karena itu hitungannya jadi berbeda”.

    :  “Jadi, 25 Desember 2018 kemarin itu mestinya masih tanggal 12 Desember, sedangkan 7 Januari 2019 sebenarnya sama dengan 25 Desember 2018 tahun Yulian yang digunakan sebelum tahun 1582. Begitu, Rahib?”, tanya Kyai Tunggul Wulung lagi memastikan

    :  “Benar, ya benar, Kyai”.


2. TANGGAL SAMA, KENAPA PERKIRAAN TAHUN BISA BERBEDA?

    :  “Jadi, tanggal Natal itu sudah pasti, sedangkan tahunnya bisa selisih. Begitu Rahib?”, tanya sang Kyai.

    :  “Betul, sejak tahun 126 Natal sudah di rayakan di Roma berdasarkan kalender Yulian 25 Desember. Lalu di Mesir 29 Kyakh menurut kalender ANNO MARTYRI (AM), dan 25 Kislev menurut kalender Yahudi. Jadi, semua dokumen kuno dari tahun 126, 160, I89 dan 202, jauh sebelum Roma pagan membajak kalender Natal menjadi Natalis Sol Invicti tahun 274”, tegas Rahib Dionysius Exiguus.

    :  “Bagaimana itu bisa terjadi, tanggalnya bisa pasti, tetapi tahunnya kok bisa selisih, Rahib?”.

    :  “Dimana anehnya, Kyai?”, Sang Rahib balik bertanya. “Tanggal Paskah Yahudi juga pasti, 15 Nisan. Tetapi coba tanyakan Paskah Yahudi saat penyaliban Yesus, waktu itu bertepatan dengan tahun Masehi 30 atau 33? Karena tergantung dari tarikh apa dulu yang kita jadikan dasar perhitungan to, Kyai Ibrahim?”.

    :  “Paham, paham, saya jadi paham, Rahib. Tanggal kemerdekaan Indonesia juga jelas, 17 Agustus. Tetapi dalam naskah asli Proklamasi tahunnya ditulis dengan tahun Jepang 05. Maksudnya 2605, karena penghitungan tahun Jepang dimulai sejak Kaisar Jimmu naik tahta pada tahun 660 SM, 660 tahun lebih awal dari Kalender Masehi Gregorian. Jadi, kalau tahun Gregorian saat itu 1945 ditambah dengan 660, maka akan ketemu dengan 2605. Itu bandingannya Rahib?”.

    :  Bravo, bravo... Tepat sekali, Kyai. Jadi kalau misalnya ada orang Jepang yang menghitung berbeda tahun naiknya Kaisar Jimmu, misalnya 665 tahun lebih awal dari tahun Masehi, itu urusan lain. Sama sekali tidak bisa dijadikan argumentasi untuk meragukan bahwa Proklamasi Indonesia terjadi pada tanggal 17 Agustus. Begitu pula tanggal Natal sudah pasti 25 Desember yang jelas tercatat dalam dokumen-dokumen gereja kuno”.

    :  “Konkritnya lagi, kalau Rahib Dionysius telah salah menghitung tahun kelahiran Yesus ternyata selisih sekitar lima atau enam tahun lebih awal, karena Rahib lupa menghitung 4 tahun pemerintahan Herodes dan masih ada satu atau dua tahun lagi yang lalai Rahib masukkan, itu sama sekali tak membatalkan tanggal perayaan Natal yang sudah pasti. Begitu maksudnya, Rahib?”, simpul Kyai Tunggul Wulung.

    :  “Tepat sekali, Kyai Ibrahim. Terima kasih, karena Panjenengan lebih ngerti kelalaian saya waktu itu”, kata Sang Rahib.

    :  “Sama-sama, Rahib. Maaf juga ya, saya banyak nanya”.

Kedua penghuni Firdaus itu jelas melihat laksana diputarkan kembali berjuta peristiwa masa lampau, mulai dari berdirinya Kota Roma (AB URBE CONDITA), Natal Kristus sebagai awal perhitungan kalender Masehi (ANNO DOMINI).... Bahkan zaman pra-sejarah hingga sejarah Indonesia. Dan pemandangan terakhir yang mau mereka “share”-kan kepada jama'ah ISCS adalah peristiwa setelah Jepang “hengkang kaki” dari Indonesia.

    :  “Aku melihat bocah-bocah Indonesia telanjang dada, mula-mula raut muka mereka sedih meratapi ayah mereka yang gugur karena romusha, namun sesaat kemudian mereka bersorak riang menyanyi: “O.. KKO perang karo Jepang, Jepang mati ketèpang, KKO mesti menang...” Bahasa apa itu, Kyai? Apa artinya?”.

    :  “Maaf, Rahib. Itu lagu rakyat Indonesia. Bahasa Jawa. KKO atau lengkapnya KKO-AL itu singkatan dari Korp Komando Angkatan Laut, berdiri 15 Nopember 1945. Saya tidak tahu lagu rakyat itu kapan digubah, tetapi intinya KKO perang melawan Jepang, Jepang mati tertendang, KKO pasti menang”, sang Kyai menahan tawa.

    :  “Ooo... Gara-gara Jepang mati ketèpang itu, kalender Jimmu hilang ditendang zaman, begitu Kyai?”.

    :  “Betul, betul Rahib, makanya tahun Kaisar Jimmu 2605 hilang dari pembacaan teks Proklamasi, dan saat itu kok Bung Karno membacanya dengan tahun Gregorian: Djakarta, 17 Agustus 1945, seakan sebagai isyarat dari langit”, tegas Kyai Tunggul Wulung.

    :  “Ooo... Begitu ceritanya Kyai”.

    :  “Lha ya itu, Rahib”, suara Sang Kyai pelan, setengah bergumam. Pangkate opo? Lha zaman Jepang saja sudah lupa, sakit ingatan.... Héééé... begitu kok mau kritik perhitungan Natal, yang kejadiannya 2.000 tahun silam!”.


3. BINTANG BETHLEHEM DAN “THE MAGI CODE

Sesaat ketika mata suci keduanya beradu pandang, bintang gemintang di atas bumi memancarkan cahayanya nan terang benderang:

‡ & †                :               “Ehm... Ingat bintang Betlehem”, gumam kedua Hamba Kristus itu hampir bersamaan.

    :  “Rahib, kira-kira bintang apakah yang dilihat orang Majus pada zamannya? Katakanlah, the Magi Code yang mereka tafsirkan sebagai pertanda hadirnya seorang Raja Yahudi?”, tanya Kyai Tunggul Wulung.

    :  “Menurut Johannes Kepler, seorang bapa Astronom Barat (1571-1630), the Christmas Star, yang juga dikenal Bintang Betlehem secara astronomik bisa dijelaskan sebagai konjungsi planet Jupiter dan Saturnus pada konstelasi Pisces”, jawab Sang Rahib yang juga astronom pada zamannya itu.

    :  “Kapan konjungsi tiga planet itu terjadi, Rahib?”.

    :  “Pada tahun 1925, P. Scanable menemukan situs bekas sekolah astrologi di menara Zippar, terdapat inskripsi dalam bahasa Babel kuno: MULU-BABAR U KAIWANU INA ZIPPATI (Jupiter dan Saturnus pada konstelasi Pisces). Itu terjadi pada 29 Mei, 1 Oktober dan 4 Desember 7 SM”, jelas Rahib Dionysius.

    :  “Apakah kira-kira bintang itu yang dilihat orang Majus, Rahib?”.

    :  “Bisa saja, Kyai. Tapi itu hanya salah satu kemungkinan. Sebab pada tahun-tahun menjelang dan saat kelahiran Kristus, telah terjadi lebih dari satu fenomena perbintangan. Menurut St. Klemens dari Alexandria (150-215), bintang itu adalah bintang Novae yang muncul pada waktu-waktu tertentu, kadang samar-samar, lalu sangat terang dan berangsur-angsur menghilang”, tambahnya.

    :  “Benar, Rahib. Saya mendengar bahwa Ma Huan, ahli astronomi China, juga menulis tentang bintang Novae ini dalam ensiklopedia China kuno, Wen Hien Thung Kao. Menurut R.A. Rosenburg, bintang ini juga pernah menampakkan diri pada tahun yang sama dan biasa dilihat dari Timur, Persia dan Arab”.

    :  “Oh iya?”

    :  “Tapi apa ya kira-kira makna simbolis di balik fenomena perbintangan itu, sehingga para Majus menafsirkannya sebagai kelahiran Raja Yahudi, Rahib?”.

    :  “Dalam astrologi Babel kuno”, urai Rahib Dionysius, “bintang sering diidentikkan dengan bangsa-bangsa tetangga mereka, selain dikaitkan dengan makna lain. Pisces lambang zaman akhir. Jupiter, planet terbesar dalam astrologi Babel, simbol Raja, Saturnus lambang Tanah Israel. Jadi, The Magi Code itu bisa dibaca “Seorang Raja atau Penguasa datang di Israel pada masa-masa akhir ini”.

    :  “Woow... Luar biasa!”, Kyai Tunggul Wulung takjub. “O iya Rahib, kira-kira dalam bahasa apa ya orang Majus itu berbicara? Saya kok jadi penasaran?”.

    :  Aramaik. Bahasa yang juga dipakai oleh Kristus, meski beda dialek. Nah, kita bisa merekonstruksi ucapan mereka seperti tercantum dalam Matius 2:2, teks Peshitta: ܐܰܝܟ݁ܰܘ ܡܰܠܟ݁ܳܐ ܕ݁ܺܝܗܽܘܕ݂ܳܝܶܐ ܕ݁ܶܐܬ݂ܺܝܠܶܕ݂ Aiku Malkā d'Īodayē d'etiled?” (Dimanakah raja Yahudi yang baru dilahirkan itu?)”. Begitu kira-kira bunyinya, Kyai”.

    :  KAIWANU...”, gumam Sang Kyai lirih, “Planet atau bintang, benar begitu maksudnya, Rahib?”, lanjutnya sejenak kemudian.

    :  “Ya, betul. Istilah Babel kuno KAIWANU paralel Aramaiknya ܟܘܟܒkaukab, ܟܘܟܒܐ kaukabā, seperti ucapan orang Majus dalam teks Peshitta: ܚܙܰܝܢ ܓ݁ܶܝܪ ܟ݁ܰܘܟ݁ܒ݂ܶܗ ܒ݁ܡܰܕ݂ܢܚܳܐ ܘܶܐܬ݂ܰܝܢ ܠܡܶܣܓ݁ܰܕ݂ ܠܶܗ Hazein geir kaukabeh d'madinha w'atain le mesgad leh” (Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia)”, jelas sang Rahib.




4. CATATAN PENUTUP

    :  “Jelas, jelas, Rahib. Tapi maaf lho ya, kok seperti saya pernah baca ini, sekali lagi maaf.... sepertinya kok copy-paste” dari Wikipedia. Nuwun sewu lho, Rahib”, kata sang Kyai agak ragu.

    :  “Justru wikipedia yang copy-paste tanpa menyebut sumbernya lho, Kyai”. Faktanya sub-judul Bukti Arkheologis dan Budaya pada artikel Bintang Natal Wikipedia itu, utuh-utuh dikutip dari artikel Bintang Betlehem dan Tahun Kelahiran Almasih,

    :  “Ooh...makanya kok persis”, kata Sang Kyai sembari sekilas mengamati artikel lawas yang pertama ditulis tahun 1999 itu. “Bukti kalau wikipedia tidak baca langsung sumber primernya, kesalahan-kesalahan ketik ISCS disalinnya begitu saja. Haaa... Lha yang ngerti itu salah ketik pasti yang nulis artikel aslinya to, Rahib”.

Lonceng berdentang memanggil mereka sembahyang: ܩܕܝܫܐ ܐܠܗܐ، ܩܕܝܫܐ ܚܝܠܬܢܐ، ܩܕܝܫܐ ܠܐ ܡܝܘܬܐ، ܪܚܡ ܥܠܝܢ Qaddīšā Alāhā, Qaddīšā Ḥēlaṯānā, Qaddīšā lā māyūṯā, raḥem 'alayn” (Kuduslah Allah, Kuduslah Yang Maha Kuasa, Kuduslah Yang Maha Baka, kasihanilah kami)”, kidung Trisagion sudah dilantunkan. Misa suci kali ini memakai Liturgi Syria Timur. Itu tampak dari Trisagion “trinitaris” yang dikidungkannya, bukan Trisagion “kristologis” seperti lazimnya gereja-gereja non-Khalsedonian.

Kedua insan cita itu segera bergegas bergabung, bermadah kidung memuja Sang Hyang Agung. Tema “Tautan Kronologis Bintang Bethlehem, Orang Majus dan Pengungsian Keluarga Kudus ke Mesir” belum sempat dibahas lebih mendalam. Mungkin saat Perayaan دخول العائلات المقدسة إلى مصر Dukhûl al-'Āilāt Al-Muqaddas ila Mishr” (Tibanya Keluarga Kudus di Mesir), tanggal 24 Bashan menurut kalender Koptik ANNO MARTYRI (kira-kira Juni), tema langka ini akan mereka diskusikan lagi di salah satu café “Al-Firdaus” yang nyaman untuk ngopi sembari ngalor-ngidul “olah rasa bawa rasa”. ¶


Balikpapan, 20 Januari 2019


2018 ¶ ISCS©All Rights Reserved

No comments:

Post a Comment