Pages

22 December 2019

MENJAWAB MITOS-MITOS ANTI-X'MAS


ET’PATAH ISCS
             Jum’at, 11 Januari 2019


DIALOG IMAJINER
RAHIB DIONYSIUS EXIGUUS DAN KYAI TUNGGUL WULUNG:
KONTROVERSI PERAYAAN TAHUN BARU
(Tulisan Pertama dari Dua Tulisan)


Oleh Dr. Bambang Noorsena


1. KILAS BALIK

Pada tahun 533 M, St. Dionysius Exiguus Sang Rahib dari Roma (470-544), seorang teolog, matematikawan, dan ahli astonomi, menciptakan Kalender Masehi yang kini menjadi kalender internasional. Tahun ini dikenal sebagai ANNO DOMINI/AD (Tahun Tuhan), karena dihitung setelah kelahiran Yesus, sedangkan tahun-tahun sebelumnya lebih dikenal BEFORE CHRIST/BC (Sebelum Kristus).

Kyai Ibrahim Tunggal Wulung (1800-1885) dilahirkan dengan nama muda Raden Tandakusuma. Sebagai “trahing kusuma” (keturunan priyayi) ternyata Sang Kyai masih cicit KGPAA. Mangkunegara I. Ketika menjabat demang di wilayah Kediri, sang Kyai lebih dikenal dengan nama Demang Padmadirdja. Pada tahun 1855 dalam pengejaran Belanda karena keterlibatannya dalam Perang Diponegoro (1825-1830), Kyai Tunggul Wulung memutuskan menjadi pengikut Kristus berdasarkan wangsit yang diterimanya ketika bertapa di gunung Kelud. Karena itu, Kyai yang juga diduga penulis Serat Darmogandhul ini, dikenal sebagai Ki Ajar Kelud.






2. PRA-SEJARAH KALENDER MASEHI

    :  Rahayu. Apa kabar, Rahib?”, sapa Kyai Tunggul Wulung takzim.

    :  Shalom, kabar baik, Kyai. Apa panjenengan juga sehat?”, balas rahib Dionysius.

    :  “Syukur kepada Gusti Allah, Rahib”, kata Sang Kyai, “Cuma ada kontroversi soal Tahun Baru. Kata seorang ustadz, perayaan 1 Januari itu perayaan dewa Janus. Apa benar begitu?”.

    :  “Ah, sok tau saja... Hmm...”, Sang Rahib tersenyum.

    :  “Maaf, Rahib. Mumpung ketemu dengan yang bikin Kalender Masehi, makanya saya tanyakan kepada ahlinya langsung”, pinta sang Kyai.

    :  “Sejujurnya saya katakan”, jelas St. Dionysius, “saya cuma mereformasi sistem kalender yang sudah ada ratusan tahun sebelum saya, meneruskan kalender Julian yang ditetapkan Kaisar Julius (46 SM), yang juga merombak kalender sebelumnya”.

    :“Ooo...itu kalender yang dihitung sejak 21 April 753 SM, yaitu sejak berdirinya kota (Roma,), Ya Sayid?”.

   :“Betul, betul sekali, Kyai. Kita lazim menyebut AB URBE CONDITA (AUC), “sejak berdirinya Kota” , jelasnya dalam bahasa Latin.

    :  “Bisa dijelaskan lebih rinci sejarahnya, Rahib?”.

    :  “Mula-mula”, Sang Rahib mulai berkisah. “Kalender pertama Roma kuno yang dibuat oleh penguasa Roma pertama, yaitu Romulus, hanya terdiri dari 10 bulan, diawali bulan Martius (Maret), bulan pertama setiap tahunnya”.

    :“Ooh... jadi sama dengan Nisanu, bulan pertama menurut kalender Babel yang juga jatuh sekitar Maret?”, tanya Kyai Tunggul Wulung.

    : “Tepat sekali, Kyai. Karena pengaruh kalender Babel, Israel selain merayakan רֹאשׁ הַשָּׁנָה Rosh HaSanah” (Tahun Baru) 1 Tishri, juga mengenal 1 Nisan sebagai Tahun Baru khusus untuk perayaan liturgis mereka”.

    :“Kalau nama-nama dari ke-10 bulan Roma purba itu apa saja? Benarkah nama-nama itu mengabadikan dewa-dewa mereka, wahai Rahib?”.

    :“Tadi sudah saya jelaskan, pertama Martius, lalu Aparailis, Maius, Junius, Quintilis, Sextilis, September, October, November, dan December. Tidak semua merujuk nama dewa-dewa... Lagian, kenapa takut sekali dengan dewa-dewa?”, tanya Sang Rahib lalu sejenak diam.

    :  “Ada yang kurang berkenan, Rahib?”, tanya Sang Kyai.

    :  No, No problem”, jawabnya. “Di sini terlalu ramai saja Kyai!”.

Suara Rahib Dionysius kadang lirih terdengar, karena gemuruh sembah puja beribu-ribu malaikat dan jemaat أَرْوَاح أَبْرَارٍ مُكَمَّلِينَ Arwah Abrar Mukammalin” (Ibrani 12:22-23, “roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna”), sedang bersyafaat bagi saudara-saudari seiman mereka di Indonesia, khususnya memasuki tahun politik 2019.

Di sebuah pendopo Rumah Joglo gaya Jawa di ܡܕ݂ܺܝܢ݈ܬ݁ܳܐ ܕ݁ܰܐܠܳܗܳܐ ܚܰܝܳܐ Mdinta d'Alaha Haya” (Kota Allah yang hidup), keduanya melanjutkan diskusinya, cukup gayeng sembari ngopi ditemani ubi rebus dari gunung Kawi:

    :“Ada nama-nama dewa, ada juga yang tidak. Martius, dari nama Mars, dewa perang Roma. Mei dari Maia, dewi Yunani, putri Atlas, dewa penyangga bumi. Maia adalah ibu Hermes, dewa pembawa pesan langit. Dari “Hermes” muncul istilah “Hermeneutika”. Tidak berarti ketika menafsir Alkitab kita memuja “Hermes”, bukan?”, jelas Sang Rahib.

    : “Lalu bulan Juni, Ya Rahib?”.

   :“Juni berasal dari nama dewa Yuno, ayahnya Mars, Kyai. Selebihnya netral aja, Kyai. April (Aparailis) asalnya dari “aperiri”, artinya cuaca nyaman di musim semi. Bulan lainnya hanya hitungan angka 5 sampai 10”, jawab St. Dionysius.

    : “Bisa diuraikan lagi? Maaf, maaf...”, pinta Kyai Tunggul Wulung.

   : Enam sisanya merujuk urutan bulan aslinya dalam sistem Romulus”, lanjut sang rahib. Quintilis, dari kata “quinque”, bulan kelima. Nama bulan ini di kemudian hari diganti Juli, untuk mengabadikan nama Julius Caesar. Sextilis, dari kata “sex”, bulan keenam, nantinya disebut Agustus untuk mengabadikan nama Kaisar Augustus. Lalu September dari kata “septem”, bulan ke tujuh, October dari “octo”, bulan ke delapan, November dari “novem”, bulan kesembilan, dan terakhir December dari “decem”, bulan kesepuluh”.


3. MEMAKNAI TAHUN BARU

3.1. Ab Urbe Condita (AUC): Setelah Berdirinya Kota Roma

    :  “Ooo... Lalu kapan mulai ditambahkan menjadi 12 bulan, Rahib? Dan bagaimana dengan dewa Janus, ‘danyang’-nya bulan Januari yang akhir-akhir ini dicurigai kaum bumi datar itu?”, lagi tanya Kyai Tunggul Wulung.

    :  “Sejak tahun 717 SM, penguasa Roma Pompillus yang menambahkan 2 bulan awal di kalender Roma, yaitu Januarius dan Februarius, sehingga Martius geser menjadi bulan ketiga”, jawab St. Dionisyus. “Selanjutnya pada tahun 46 SM, Julius Caesar menyempurnakannya lagi. Sehingga akhirnya populer dengan kalender Julian”, tambahnya.

    :  “Jadi benar?”.

    :  “Benar, Kyai. Januari itu berasal dari nama Janus, dewa yang wajahnya menatap ke belakang dan ke depan, simbol tentang masa lalu dan masa depan”.

    :  “Lha kalau Februari itu mengenang dewa siapa, Rahib?”.

    :  “Tidak ada dewa Februari, kabeh-kabeh kok Dewa... Heeee.. Lho, lha kok aku melu ketularan bahasamu, Kyai....?”

‡ & †  : “Haaa... Haaa...”, keduanya terkekeh.

    :  “Februari dari kata “Februar”, itu semacam syukuran untuk menyambut akan datangnya musim semi pada bulan Maret”, kata Sang Rahib.

    :  “Ehm... Lalu bagaimana 1 Januari mulai menjadi perayaan Tahun Baru dan apa maknanya?”.

    :  “1 Januari zaman siapa dulu, Kyai? Tak bisa dipukul rata begitu. Tak setiap Januari ada Janus, bisa saja lakonnya ganti Janaka kalau tetanggamu menyambut Tahun Baru nanggap wayang lakonnya “Parta Krama” (Janaka Menikah), Heeee...” St. Dionysius tertawa lepas.

    :  “Ya, ya betul, Rahib. Ternyata Rahib ngerti wayang juga ya? Heee.... “, sang Kyai terbahak.

    :  “Nah, kita lanjutkan. Kalau 21 April hari penting apa, Kyai?”.

    :  AB URBE CONDITA (Sejak berdirinya Kota Roma), tanggal 21 April 753 SM”, jawab Kyai Tunggul Wulung.

    :  “Siapa bilang? Itu kan orang Roma. Lha kalau di negerimu sekarang, 21 April itu Hari Kartini to Kyai.... Haa..”, gurau Rahib Dionysius.

‡ & †                :               “Haaaa... Haaa...”, keduanya lalu terpingkal.

    :  “Sekali lagi, harus lihat konteksnya dulu, Kyai. Pada zaman Julius Caesar tanggal 1 Januari dirayakan oleh rakyat karena pergantian konsul Roma, tiap-tiap konsul masa baktinya 12 bulan”, tambah Sang Rahib.

    :  “Ya, ya, saya mengerti, Rahib. Tak setiap Januari yang jadi bintang adalah Janus. Bisa saja Janaka, Jan Pieterszoon Coen, Jan Ethes cucunya Pak Jokowi... tergantung lakonnya”, kelakar Sang Kyai tak kalah jenaka.

3.2. Anno Domini (AD): Asal-Usul Tahun Masehi

    :  “Berbeda latarbelakangnya, Kyai. Makna perayaan 1 Januari zaman Julius Caesar tentu berbeda dengan perayaan di zaman Kekristenan”.

    :  Matur sembah nuwun infonya yang penting. Kalau Tahun Masehi, nyuwun pirsa, bagaimana sejarahnya?”.

    :  “Pada tahun 525 St. Yohanes I, Paus Roma, menugaskan saya untuk membuat kalender baru yang nama dan hitungannya sejak inkarnasi Gusti kita Yesus Kristus (AB INCARNATIONE DOMINI NOSTRI JESU CHRISTI ANNORUM TEMPORA). Nah, berdasarkan dokumen-dokumen kuno, Kristus dilahirkan 25 Desember. Tinggal menghitung tahunnya, lalu saya temukan 753 AUC atau Tahun 1 SM”, jelas Rahib Dionysius.

    :  “Lho kok tahun 1 SM, Rahib? Katanya tahun Masehi dihitung sejak kelahiran Yesus?”.

    :  “Ya, tetapi awal Tahun Baru dihitung dari delapan hari setelah kelahiran-Nya, Kyai. Kalau Yesus lahir 25 Desember 753 AUC, delapan hari setelah Natal adalah 1 Januari 754 AUC”, ungkapnya.

    :  La ilaha illallah, Sun angandel Allah sawiji, Kang nglangkungi kuwasa-Né, La ilaha illallah, Yesus Kristus Ya Rohullah...” (Tiada ilah selain Allah, Yang Kuasa-Nya tanpa batas. Tiada ilah selain Allah, Yesus Kristus dan Roh Allah)”, Sang Kyai berdecak kagum mengulang credo trinitaris Eyang Coelen yang pernah didengarnya di Ngoro. “Ini angka yang bagus, Rahib. 1-1-1, tanggal satu, bulan satu, tahun satu. Ini angkanya Gusti, Tahunnya Gusti. ANNO DOMINI” , tambah Kyai Tunggul Wulung.

    :  “Itulah makna Tahun Baru kita, Kyai. Tanggal 1 Januari adalah عيد ختانة المسيح بالجسد Ied Khitanat Al-Masih bi al-Jasad” (Perayaan Khitan Kristus secara fisik), Praepitim Iesu, atau Holy Prepuce, sekaligus pemberian nama suci bagi-Nya: “Ketika genap delapan hari dan Ia harus disunatkan, Ia diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Ia dikandung ibu-Nya” (Lukas 2 :21), jelas St. Dionysius Exiguus.

    :  “Ooo... Itu sebabnya selain dokumen kuno membuktikan Natal telah dirayakan tanggal 25 Desember jauh sebelum kultus Dewa Matahari di Roma tahun 274 M, Sextus Julius Africanus (160-240 M) dan Hypolitus (170-235 M) sudah menyebut tanggal kelahiran Yesus πρὸ ὀκτὼ καλανδῶν ἰανουαρίων “pro okto kalandon Ianouarion” (delapan hari sebelum kalender Januari). Benarkah begitu, Domine?”.

    :  “Mantul (mantap betul) jawabanmu, Kyai. Sejak tahun 126, Paus Telesporus di Roma sudah merayakan misa Natal 24 Desember malam. Karena itu kita bisa menghitungnya mulai tanggal 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31 dan hari ke delapan jatuh tanggal 1 Januari. Itulah Tahun Baru, yang tepat terjadi pada upacara בְּרִית מִילָה B'rit Milah, Perayaan Khitan Yesus, untuk menggenapi Taurat Musa”.

    :  “Jelas, jelas sekarang, Rahib. Tapi dengar-dengar, ada kesalahan dalam kalkulasi beberapa tahun?”.

    :  “Betul, saya lupa menghitung 4 tahun masa pemerintahan Herodes, lalu hilangnya 1 tahun lagi. Jadi, sebenarnya Yesus lahir 5 atau 4 tahun sebelum tahun 1 AD. Maaf, Kyai...”, kata St. Dionysius yang terkenal dengan julukan “Exiguus”, Sang Rendah hati itu.


4. REFLEKSI MULTIKULTURAL

    :  “Mengkritik memang mudah, Rahib. “Mereka pikir membuat sistem kalender dengan hitungan cermat bulan, hari dan jam peredaran matahari itu semudah menghitung bunga kredit KPR apa?”, gerutu Ki Ageng Kelud sembari nyruput kopi panasnya.

    :  “Harus diakui, Tahun Masehi adalah persembahan St. Dionysius Exiguus yang terbaik bagi sejarah peradaban dunia”, lanjutnya.

    :  “Terima kasih, Kyai”, ucapnya datar tak mabuk pujian.

Di tengah-tengah gayengnya diskusi, sesekali keduanya melihat ke bawah matahari, Bumi Ngarcapada. Kontroversi Natal sudah lewat, kini Tahun Baru mereka debat: “Pokoknya Januari itu penyembahan dewa Janus!”, suara itu lantang, diulang-ulang.

    :  “Dengar, dengarlah, Rahib. Kaum kampret itu masih ngotot!”, kata Kyai Tunggul Wulung.

Sang Rahib senyum-senyum mendengarnya, sambil ngicipi ketela rebus yang paling enak di planet bumi.

    :  “Pernah dengar bulan Suro, Kyai?”, tanya Sang Rahib.

    :  “Tentu saja, Rahib. Suro adalah tanggal kesepuluh Muharam, bulan pertama dalam kalender Islam. Tetapi di negeri kami, Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) telah menjadikannya nama bulan pertama kalender Jawa”, jawab Ki Ageng Kelud.

    :  “Terus?”.

    :  “Istilah Jawa “Suro” berasal dari bahasa Arab عَاشُورَاءَ 'Āshûrā', meskipun asalnya dari kaum Yahudi, namun umat Islam disunnahkan untuk puasa: وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ Wa su'ila 'an shaum 'āshûrā'a faqāla yakafiru al-ssanat al-mādhiyah”. Artinya: Dan ditanyakan tentang puasa 'Asyura, Nabi saw., menjawab: “Puasa itu bisa menghapus dosa kecil pada tahun sebelumnya” (H.R. Muslim)”, jelas Kyai Tunggul Wulung.

    :  “Ehm”, Sang Rahib menganggukkan kepalanya.

    :  “Hanya saja, umat Islam diperintahkan agar menyelisihi puasa Yahudi: صُومُوهُ وَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا وَ لاَ تُشَبِّهُوَا بِالْيَهُوْدِ Shûmûhu wa shûmû qablahu aw ba'dahu yauman wa lā tusyabbihû bi al-Yahudi” (Puasalah Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya, dan janganlah kamu menyerupai kaum Yahudi)”, tambahnya.

    :  “Nah, dalam hal ini ada upaya reinterpretasi kan, Kyai? Maksud saya, kalau umat Islam berpuasa sebelum atau sesudahnya, itu artinya tidak persis tanggal 10? Padahal kata عَاشُورَاءَ 'Āshura, seasal dengan kata Ibrani עָשׂוֹר' 'ashor, artinya “sepuluh”, jelas Sang Rahib.

    :  “Ya, ya. Betul, lebih gamblang sekarang, Rahib. Apakah tentang 'Āshura ini ada dalilnya dalam Taurat?”.

    :  “Ada. Itu yang dikenal Yom Kippur, tertulis dalam Imamat 23:27, bunyinya: אַךְ בֶּעָשׂוֹר לַחֹדֶשׁ הַשְּׁבִיעִי הַזֶּה יוֹם הַכִּפֻּרִים Ak be 'ashor lakhodesh hashevi'it hazzeh yom hakippurim” (Tetapi pada tanggal sepuluh bulan yang ketujuh itu Hari Penebusan)”, tambah sang Rahib.

    :  “Jadi, meskipun kata Suro itu akar katanya sama, tetapi dalam perjalanan sejarah yang panjang, Yahudi, Islam, dan Kejawen memaknainya berbeda-beda. Maknanya semula יום כיפור Yom Kippur” (Hari Penebusan). Unsur “penebusan” (kaffarah) ini masih ada dalam Islam Sunni, meskipun tidak menjadi titik sentral ajarannya... “, Sang Kyai berhenti sejenak.

    :  “Bagi kaum Muslim Syiah, bulan 'Āshura adalah bulan dukacita, itulah tanggal gugurnya Husein, cucu Rasulullah”, Sang Rahib menambahkan.

    :  Bulan Suro”, giliran kata Sang Kyai, “bagi Kejawèn adalah eru-eru akèh bilahi kang têko” (bulan hura-hara banyak bencana yang datang)”.

Sementara keduanya asyik berdiskusi, di bumi perdebatan tak kunjung selesai. “Mau diputer-puter ke manapun, namanya Januari itu kan asalnya dari Janus, dewa pagan Roma”, kata seorang pengkhotbah melalui pengeras suara.

    :  “Gimana meluruskan logika seperti ini, Rahib?”.

    :  “Itu sama saja kalau kita berkata, terlepas dari beragam pemaknaan 'Āshura, sebagai hari penebusan dosa atau dukacita, bulan tirakat atau bulan bencana. Tak soal apakah puasa Muslim dibedakan sebelum atau sesudah Ashura Yahudi, tetapi “the origin of 'Āshura” tetap berkaitan dengan kata שׂוֹר asor”, عشرة asyrah”, artinya sepuluh”, tandas sang rahib.

    :  “Tetapi tidak berarti setiap Muslim yang puasa Ashura harus kita simpulkan mereka murtad jadi Yahudi to, Rahib?”, tambah Kyai Tunggul Wulung.

    :  “Lagi pula, tak semua yang memakai kalender AD menyebut bulan pertama selalu Januari, Kyai”.

    :  “Oh iya?”.

    :  “Beda dengan orang Mesir menyebut يناير Yanair” (Januari), di Irak, Lebanon dan Syria mereka menyebut كانون الثانٍ Kanun al-Tsani” (Kanon kedua), sebab Desember mereka namakan كانون الأوّل Kanun al-Awwal” (Kanun pertama)”, tambah sang Rahib.

Di bumi teriakan mengutuk Januari serba sayup mulai tak terdengar lagi, mungkin kalah energik dengan lagu “EGP”-nya Maia Estianty:

“...Apa yang kau kata, apa yang dia kata, ku tak pernah ambil pusing.
Kau mau bilang apa, semua mau bilang apa, ku hanya bisa berkata: EMANG GUA PIKIRIN!”.

Berbareng dengan usainya diskusi di “Yerusalem Kaswargan”, di bawah langit sana, yaitu di bumi Ngarcapada, sayap-sayap fajar merekah mengusir gelap malam, dan pagi terus merangkak pasti menuju rembang siang. ¶

(Bersambung)

“Bhumi Bung Karno”, 7 Januari 2019

2018 ¶ ISCS©All Rights Reserved

No comments:

Post a Comment