Pages

14 December 2019

INJIL BARNABAS DALAM DIALOG TEOLOGIS KRISTEN-ISLAM


ET’PATAH ISCS
Jum’at, 13 Desember 2019


INJIL BARNABAS DALAM DIALOG TEOLOGIS KRISTEN-ISLAM
(Tulisan Pertama dari Dua Tulisan +)



Oleh Dr. Bambang Noorsena

+) Makalah ini yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Problematika Injil Barnabas” yang diselenggarakan
Yayasan “Hidayah Bangsa” dan IAIN Salatiga, 28 Nopember 2019.

1. CATATAN PENGANTAR

Minat sebagian orang terhadap Injil Barnabas, menarik untuk dikaji. Cukup besar minat itu, sampai Prof. Anwar Musaddad menggolongkannya mendekati hadits, sekalipun dalam kategori daif. Untungnya, tidak semua orang silau terhadap kehadiran buku ini. Prof. Drs. K.H. Hasbullah Bakry, misalnya, memustahilkan buku ini berasal dari murid-murid Isa Al-Masih, sebab “Injil” ini ditulis dalam bahasa Italia, sedangkan pada zaman Yesus bahasa-bahasa yang dipakai adalah Ibrani, Aramaik, Yunani atau minimal bahasa Latin sebagai bahasa adminstrasi kekaisaran Roma saat itu.

Bahasa Italia adalah bentuk moderen dari bahasa Latin, yang baru menjadi bahasa tulis sejak abad XV, karena itu tidak mungkin berasal dari zaman Yesus. Pada abad pertama bahasa Yunani Koine adalah bahasa internasional, sehingga keempat Injil kanonik, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, semua telah ditulis pada abad pertama. Pemakaian publikasi palsu ini dalam dialog teologis Kristen-Islam, merusak semangat dialog yang jujur. Karena itu, Abbas Mahmoud Al Aqqad, sastrawan Mesir yang terkenal, dalam bukunya “ayāt al-Masīh fī al-Tārīkh wa al-Kusyûf al-’ashr al-adīts” (1954), menyarankan agar umat Islam di dunia membuang jauh-jauh publikasi palsu ini.



2. NASKAH “INJIL” BARNABAS

2.1. Melacak Barnabas Historis: Kesaksian Perjanjian Baru dan Synaxarion Kuno

St. Barnabas lahir di Salamis, Cyprus, dengan nama asli Yusuf (Ibrani: יוֹסֵף Yosef”, Yunani: Ισης, ”Iōsēs”), tidak termasuk 12 rasul Kristus, tetapi salah seorang dari 70 murid-Nya. Setelah Barnabas menjual hartanya dan menyerahkan hasilnya kepada para rasul di Yerusalem (Kis. 4:6-47), Yusuf diberi nama baru dalam bahasa Aramaik ܒ݁ܰܪܢܰܒ݂ܰܐ Bar Naba” (ejaan Yunani: Βαρνάβας, “Barnabas”), yang artinya: ܒ݁ܪܳܐ ܕ݁ܒ݂ܽܘܝܳܐܳܐ Brā d’Bûya-a”, υός παρακλήσεως,Huios Paraklēseōs”, anak penghiburan (Kis. 4:47). Sebagai anggota 70 murid, St. Barnabas menjamin kepada ke-12 rasul, bahwa pertobatan St. Paulus adalah benar, dan karena itu diterima dan diakui sebagai rasul juga di Yerusalem (Gal. 2:9).

Setelah pertobatannya, bersama St. Paulus, St. Barnabas mewartakan Injil kepada kaum non-Yahudi. Yohanes yang disebut Markus, keponakannya, ikut bergabung dalam misi ke Siprus (Kis. 12:25). Dari Siprus mereka melanjutkan perjalanan misi Pisidia, Ikonium, Listra, Derbe hingga kembali ke Antiokhia. Di Antiokhia, terjadi keributan karena ada umat Kristen-Yahudi yang memaksakan kewajiban sunat kepada umat Kristen non-Yahudi. Sikap St. Barnabas sama dengan St. Paulus yang menolak penerapan sunat kepada umat non-Yahudi Jadi, kalaupun pernah ada perselisihan antara keduanya, sama sekali bukanlah soal teologis, melainkan hanya soal teknis (Kis. 15:35-41).

Ketika mereka hendak melakukan perjalanan misi untuk kedua kali, St. Barnabas bersikeras ingin membawa St. Markus, namun St. Paulus menolaknya, karena menganggap Markus tidak setia. Meskipun berbeda dalam soal teknis, hubungan keduanya tetap baik (Gal. 2:9; 2 Tim. 4:11). Mereka berdua berpisah, St. Paulus pergi dengan Silas, dan Barnabas disertai Markus berangkat ke Siprus (Kis. 15:39). Kisah selanjutnya yang tidak tercatat dalam Alkitab dijumpai dalam literatur gereja-gereja kuno, antara lain dalam Synaxarion Koptik, yang mencatat kemartiran St. Barnabas pada tahu 61 M, di Salamis, Cyprus, tanggal 21 Khyak, yang dirayakan di gereja-gereja Barat tanggal 11 Juni.


2.2. “Injil” Barnabas dalam Dexretum Pseudo-Gelasianum?

Harus dicatat pula, bahwa jauh setelah ditulisnya keempat Injil yang termaktub dalam Perjanjian Baru, beredar juga beragam buku yang juga diberi judul “Injil”, “Kisah”, dan “Wahyu”, misalnya Injil Yakobus, Injil Tomas, Injil Petrus, Injil masa Kanak-kanak Yesus, Kisah Yohanes, Wahyu Petrus, dan sebagainya. Kitab-kitab PB ditulis paling akhir tahun 90 M dan paling awal tahun 45 M, hanya sekitar 20 tahun setelah kenaikan Yesus ke surga pada tahun 33 M. Sedangkan kitab-kitab yang ditolak gereja dan disebut apokrif, paling awal ditulis sekitar tahun 160 M, yaitu Injil Yakobus, dan masih terus ditulis sampai di atas tahun 500-an.



Jadi, tidak seperti yang sering diisukan orang bahwa gereja pernah membakar kitab-kitab, kumpulan buku-buku apokrif ini masih dapat dibaca dan mudah diakses sampai hari ini, antara lain bisa dibaca dari Abd al-Masīh Basīth al-Khair (ed.), Abûkrīfa Al-’Ahd al-Jadīd. Kaifa Kutiba? Wa Limadzā rafadhatuhā al-Kanīsah? “Apokrifa Perjanjian Baru. Bagaimana ditulis? Mengapa Gereja menolaknya?” (Cairo, 2007). Diantara puluhan buku-buku apokrifa itu, tidak ada buku yang berjudul Injil Barnabas. Pernah hilangkah? Tidak juga. Sebab pernah ada buku yang hilang, yaitu Injil Ibrani, tetapi kutipannya tersebar dalam sejumlah naskah lain yang sezaman atau tak jauh sesudahnya.

Untuk pertama kali sebutan Injil Barnabas ada dalam dokumen yang berjudul Dekrit Pseudo-Gelasius I (Latin: Decretum Pseudo-Gelasianum), termasuk salah satu dari 60 naskah yang dinyatakan apokrifa oleh Paus Gelasius I (w. 496). Daftar yang memuat buku-buku apokrif ini berasal dari abad VI, tidak berasal dari Paus Gelasius I, karena itu disebut “pseudo” (tidak asli). Namun, tidak satupun naskah kuno yang mengutip isi “Injil Barnabas”, sekalipun satu ayat. Satu-satunya kemungkinan, daftar ini akibat salah sebut buku lain yang juga ditulis dengan nama Barnabas. Ada 2 buku yang memakai nama Barnabas, yaitu Epistle of Barnabas (sekitar 100 M) dan Acts of Barnabas (abad V M). Karena Epistle of Barnabas sudah masuk urutan ke-18 dari 60 “buku-buku terlarang” itu, maka Injil Barnabas pada urutan ke-24 pasti “salah sebut” dari Acts of Barnabas yang absen dalam Decretum Pseudo-Gelasianum (M.R. James, The Appocryphal New Testament, Oxford: The Clarendon Press, 1955, hlm. 23).


2.3. Sejarah Naskah “Injil” Barnabas




Dari antara kisah-kisah yang beredar di gereja kuno, ada ungkapan yang dapat disebut semacam “Ipsisima fox Barnabas” (kata-kata asli Barnabas). “Dalam pertikaian yang buruk”, kata St. Barnabas, “maka pihak yang menang yang paling menderita, sebab ia meninggalkan pertempuran dengan beban dosa yang lebih besar.” Namun ungkapan itu tidak berasal dari sebuah “injil” Barnabas, melainkan tradisi suci yang dipertahankan dari generasi ke generasi. Lagi pula, sabda ini juga tidak tertulis dalam Injil Barnabas yang “viral” sejak abad pertengahan itu. “Injil” Barnabas pertama disebut dalam buku Bernard de La Monnoi, Managiana, Vol. IV, yang terbit di Paris, 1715.

Selanjutnya, pada tahun 1718 terbit buku John Toland, “Nazarenus or Jewish, Gentile and Mohamedan Christianity”, yang menyebutkan sekilas penemuan buku ini di Amsterdam, seraya menyebut “It is a Mohamedan Gospel never before publicly Made now among Christians” (Bambang Noorsena, Telaah kritis Injil Barnabas, Yogyakarta: Yayasan Andi, 1990:8). Baru George Sale, dalam “Terjemahan Qur’an”-nya yang terbit tahun 1734, memuat panjang lebar “kabar burung” pencurian naskah Injil Barnabas oleh Fra Marino dari Perpustakaan Paus Sixtus V (1585-1590 M), yang dikutipnya dari naskah Injil Barnabas bahasa Spanyol yang diterjemahkan oleh Mustafa de Arande (yang tidak lain adalah Fra Marino sendiri).

Sejak naskah Injil Barnabas dipindahkan ke perpustakaan Viena tahun 1738, para ahli mulai mengakses lebih luas. Lebih-lebih, setelah terbit terjemahannya dalam bahasa Inggris berdampingan dengan bahasa aslinya, Italia, oleh Lonsdale dan Laura Ragg, The Gospel of Barnabas. Edited and Translated from the Italian MS in the Imperial Library at Vienna (Oxford: At Clarendon Press, 1907). Setahun kemudian, terbit terjemahannya dalam bahasa Arab oleh Dr. Khalil Sa’adah, seorang intelektual dari Gereja Ortodoks Koptik, Injīl Barnābā. Di kemudian hari, setelah kematian Khalîl Sa’adah, penerbitan buku ini dilanjutkan oleh Majalah al-Manar, asuhan Rasyid Ridha, murid Syeikh Muhammad ‘Abduh, pembaru Islam yang terkenal itu.


2.4. “Epistle of Barnabas” dan “Acts of Barnabas”

Informasi dokumen tentang “kitab-kitab terlarang” dalam Dekrit Pseudo-Gelasian tersebut, juga tidak masuk akal. Mengapa? Karena sejak zaman rasuli, gereja sangat menghormati “Epistle of Barnabas”. Karena sekalipun kitab ini tidak termasuk kanon Kitab Suci, tetapi termasuk literatur penting Bapa-bapa Rasuli/Apostolic Fathers (Arab: الآباء الرسوليون al-Abā’ al-Rasûliyyûn”), yaitu tulisan-tulisan dari zaman murid-murid para rasul sendiri. Karena itu, Epistle of Barnabas ini dimasukkan satu jilid dengan Codex Sinaiticus (350M). Dan yang lebih penting lagi, dokumen kuno ini justru bertolak belakang dengan isi “Injil” Barnabas. Misalnya, penegasan bahwa Yesus adalah Anak Allah yang menyatakan diri, dan nasehat agar orang Kristen tidak lagi jatuh kepada hukum-hukum Yahudi yang bersifat legalistik.

Sedangkan buku yang berjudul “Acts of Barnabas”, kita membaca: “Sesudah mengabarkan Injil yang diterimanya dari kawan sepelayanannya Matius, Barnabas mulai mengajarkan kepada orang-orang Yahudi”. Menurut kisah yang muncul pada masa belakangan, uskup-uskup Siprus telah menemukan kembali jenazah St. Barnabas dengan Injil Matius yang disalinnya dan diletakkan di atas dadanya. Husein Abubakar dan Abubakar Basjmeleh dalam “Terjemah Injil Barnabas” (1970), mengutip kisah penemuan mayat Barnabas, namun dengan menghapus nama Matius: “...pada tahun keempat maharaja Zeno (478 M) dan satu salinan injilnya yang ditulis dengan tangannya sendiri ditemukan di atas dadanya”. Jadi, dengan menuturkan kisah tersebut tanpa menyebut nama Matius, kesannya seakan-akan Barnabas sendiri menulis sebuah Injil.

(Bersambung).


Tulisan ini juga bisa di akses di www.bambangnoorsena.com


Donasi: Michael Andrew; Bank BCA: A/C. 7880-210-461

2019 ISCS© All Rights Reserved

No comments:

Post a Comment