Pages

04 October 2018

KONSILI NICEA (1)


Oleh: James White, Ph.D

Apa Sebenarnya yang Terjadi Di Nicea


Sekilas Pandang
Konsili Nicea kerap disalahpahami oleh bidat-bidat dan gerakan-gerakan religius lainnya. Kepedulian utama konsili tersebut secara jelas dan gamblang adalah relasi antara Bapa dan Putera, apakah Kristus adalah sebuah ciptaan, atau Allah sejati? Konsili tersebut telah menyatakan bahwa Ia adalah Allah sejati. Akan tetapi, para penentang ketuhanan Kristus tak begitu saja mengakui keputusan konsili. Faktanya, mereka hampir berhasil menggulingkan afirmasi pengakuan iman Nicea atas ketuhanan Kristus. Tetapi orang-orang Kristen yang setia seperti Athanasius tetap terus mempertahankan kebenaran, dan pada akhirnya, kebenaran menaklukan kekeliruan.

Pembicaraan dengan cepat menajam. “Kamu tidak bisa sungguh-sungguh percaya Alkitab,” ujar seorang Latter-day Saints kenalanku, “karena kamu tidak benar-benar tahu kitab-kitab apa yang mencakupnya. Kamu tahu, segerombolan orang berkumpul dan telah memutuskan kanon kitab suci di Konsili Nicea, memilih sejumlah kitab-kitab, menolak yang lain-lainnya.” Beberapa lainnya mendengarkan percakapan di South Gate of the Mormon di Salt Lake City, itu adalah Sidang Umum LDS, dan saya kembali mendengar bahwa Konsili Nicea telah dihadirkan sebagai titik sejarah sesuatu “yang salah telah terjadi”, dimana sejumlah kelompok tanpa nama, tanpa muka “telah memutuskan” bagiku apa yang seharusnya dipercayai. Saya segera mengoreksinya mengenai Nicea-tidak ada satupun yang telah diputuskan, atau dikatakan, mengenai kanon kitab suci pada konsili tersebut.[1]

Saya telah diingatkan betapa sering frasa “Konsili Nicea” digunakan sebagai penudingan oleh mereka yang menolak iman Kristen. Para pengusung New Age kerap menuduh konsili tersebut telah membuang ajaran reinkarnasi dari Alkitab.[2] Dan tentu saja Saksi-Saksi Yehovah dan kritik-kritik ketuhanan Kristus juga ditudingkan pada konsili tersebut sebagai ‘permulaan tritunggal’ atau pertama kali ketuhanan Kristus telah dinyatakaan sebagai ajaran orthodoks.” Pihak-pihak lainnya melihat Konsili Nicea sebagai permulaan penyatuan gereja dan Negara dengan menyorot partisipasi Kekaisaran Roma, Konstantin. Beberapa bahkan berkata, konsili ini adalah permulaan gereja Roma Katholik.


Latar Belakang
Mengecualikan konsili apostolik di Yerusalem yang dicatat dalam Kisah Para Rasul 15, Konsili Nicea berdiri mengatasi konsili-konsili awal lainnya sejauh cakupan dan fokusnya. Luther menyebut konsili tersebut “paling sakral dari semua konsili.”[3] Ketika konsili ini diselenggarakan pada 19 Juni 325, api penganiayaan telah agak mendingin. Kerajaan Roma telah gagal dalam upayanya untuk melenyapkan iman Kristen. Empat belas tahun telah berlalu sejak penganiayaan-penganiayaan terakhir dibawah Kaisar Galerius telah disudahi. Banyak pria yang menggelar Konsili Nicea membawa pada tubuhnya tanda-tanda bekas luka aniaya. Mereka bersedia untuk menderitaa demi nama Kristus.

Konsili digelar atas permintaan Kaisar Konstantin. Mengajak para bishop dalam gereja menyetujui untuk berpartisipasi, begitu seriusnya masalah yang sedang dihadapi saat itu. Untuk memahami mengapa konsili universal pertama diadakan, kita harus kembali ke sekitar tahun 318 M. Di pinggiran Aleksandria yang padat penduduk Baucalis, seorang prebister terkenal bernama Arius telah memulai pengajaran dalam upaya melawan bishop Aleksandria, Alexander. Secara khusus, dia tidak menyetujui ajaran Alexander bahwa Yesus, Anak Allah, telah ada secara kekal, telah menjadi ada secara kekal oleh Bapa. Sebaliknya, Arius bersikukuh  bahwa “ada suatu masa ketika Anak tidak ada.” Kristus harus diperhitungkan diantara makhluk-makhluk ciptaan-yang diagungkan begitu tinggi, tentu saja, tetapi sebuah ciptaan, tidak ada yang lain. Alexander mempertahankan posisinya, dan itu tidak lama sebelum Arius telah mendeklarasikan sebuah ajaran sesat dalam sebuah konsili lokal pada tahun 321.

Ini tidak mengakhiri persoalan. Arius kemudian pindah ke Palestina dan mulai mempromosikan pemikiran-pemikirannyaa di sana. Alexander menulis surat-surat kepada gereja-gereja di kawasan tersebut, memperingatkan mereka untuk menentang apa yang ia sebut “Exukontians,” berasal dari sebuah frasa Yunani yang bermakna “out of nothing” atau “keluar dari ketiadaan”. Arius telah mengajarkan bahwa Anak Allah telah diciptakan “keluar dari ketiadaan.” Arius menemukan pengikut ajaran-ajarannya, dan selama perjalanan beberapa tahun perdebatan telah menjadi begitu memanas sehingga perdebatan ini menjadi perhatian Konstantin, sang kaisar.

Berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya atas kekaisaran, Konstantin telah mempromosikan kesatuan dalam setiap cara yang mungkin untuk diadakan. Ia telah menyadari sepenuhnya bahwa sebuah skisma (perpecahan) dalam gereja Kristen hanya akan menjadi faktor yang mendestabilisasi dalam kerajaannya, dan ia berupaya untuk memecahkan problem tersebut.[4] Sementara memang ia menerima dukungan dari orang-orang seperti Hosius, bishop Cordova, dan Eusebius dari Caesarea, Konstantin adalah satu-satunya orang yang secara resmi meminta pengadaan konsili.[5]

Para Partisipan dan Pandangan-Pandangannya
Konsili Nicea hampir didominasi wilayah Timur. Berdasarkan tradisi, 318 bishop menghadirinya, walau kebanyakan sejarahwan meyakini angka ini sedikit lebih tinggi. Mayoritasnya datang dari Timur, dengan kurang dari satu lusin sisanya mewakili wilayah lain Imperium.

Konsili dibagi kedalam tiga grup. Arius yang hadir, atas perintah Kaisar, bersama dengan sejumlah pendukungnya. Paling terkenal adalah bishop-bishop Mesir, Theonas dan Secundus, juga Eusebius dari Nicomedia. Grup ini mewakili sudut pandang bahwa Kristus adalah sebuah substansi yang berbeda (Yunani:heteroousios) daripada Bapa, menyatakan, bahwa Kristus adalah sebuah makhluk ciptaan.

Grup “orthodoks” dipimpin dalam kepemimpinan utama oleh Hosius dari Cordova dan Alexander dari Alexandria (ditemani oleh diaken mudanya yang brilian, dan kemudian menjadi pemenang posisi Nicea, Athanasius[6]). Mereka mewakili pandangan bahwa Kristus telah berasal dari substansi yang sama (Yunani: homo-ousious[7])sebagaimana Bapa, bahwa Kristus telah secara kekal turut serta dalam satu esensi bahwa adalah Allah dan dalam ketuhanan sepenuhnya.

Grup tengah, dipimpin oleh Eusebius dari Caeserea (dan karena itu kerap disebut pihak “Eusebian”), mencabut keyakinan pada terminologi homoousios, secara utama karena itu telah digunakan pada abad sebelumnya oleh modalistik[8] bidat Sabellius dan lain-lainnya yang ingin mengajar kesalahan bahwa Bapa dan Anak adalah satu pribadi. Kelompok tengah ini setuju dengan pihak orthodoks bahwa Yesus sepenuhnya Allah, tetapi mereka berpendapat bahwa terminologI homoousios dapat disalahpahami untuk mendukung pemikiran salah bahwa Bapa dan Anak adalah satu pribadi. Kelompok tengah ini kemudian mengajukan gagasan bahwa Anak adalah sebuah substansi serupa atau sejenis (Yunani:homoiousios) sebagaimana Bapa. Dengan maksud ini mereka berharap untuk menghindari kesalahan Arius dan juga bahaya pemahaman Sabelianisme yang didapati dalam terminologi homoousios.

Pihak/Pemimpin
Pandangan akan Kristus
Arian/Arius
Berasal dari sebuah substansi yang berbeda-heteroousios
Orthodoks/Alexander, Hosius, Athanasius
Berasal dari substansi yang sama-homoousios
Eusebian/Eusebius of Caesarea
Berasal dari substansi yang serupa/sejenis-homoiousios

Peran Konstantin
Kita bergantung, dalam ukuran besar, pada kata-kata Eusebius dari Caesarea bagi pengetahuan kita atas banyak peristiwa di konsili. Ini agak tak menguntungkan, karena Eusebius, sang “sejarahwan gereja, ” pertama adalah seorang partisipan partisan juga. Para sejarahwan mengetahui bahwa sudut pandangnya dipengaruhi oleh hasratnya  untuk menyenangkan kerajaan  dan tujuan-tujuan politik serta teologisnya sendiri, dan posisi-posisinya. Philip Schaff, dalam menuliskan kembali deskripsi Eusebius mengenai masuknya Kekaisaran kedalam konsili tersebut, berkata Eusebius yang “mengagungkan secara berlebihan.”[9] Eusebius menghadirkan Konstantin dalam istilah-istilah setinggi mungkin dalam upaya memperkuat posisinya.

Apa sesungguhnya peran Konstantin? Kerap dituding (secara khusus oleh Saksi-Saksi Yehovah, sebagai contoh) bahwa, apapun alasannya, Konstantin telah memaksakan pandangan “substansi yang sama” terhadap konsili[10], atau, setidak-tidaknya, telah menjamin bahwa pandangan itu pasti akan diadopsi. Bukan ini kasusnya. Tidak perlu ditanyakan bahwa Konstantin ingin menyatukan gereja setelah Konsili Nicea. Tetapi Konstantin bukan Teolog, tidak juga ia sungguh-sungguh peduli  dalam derajat apapun apakah basis atau pandangan yang akan digunakan untuk mematrikan kesatuan yang diinginkannya. Peristiwa-peristiwa berikutnya memperlihatkan bahwa Konstantin tidak memiliki kepenting diri khusus yang hendak diperjuangkannya dalam terminologi homoousios  dan berkeinginan untuk meninggalkannya, andaikata ia telah memandang bahwa dengan melakukan konsili dan memaksakan satu pandangan tertentu akan memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri, “Kata tersebut (homoousios)…bukan sebuah invention atau penemuan baru  konsilil Nicea, atau sedikit-dikitnya dari Konstantin, tetapi telah muncul sebelumnya dalam bahasa teologia, dan digunakan bahkan oleh Origen [185-254] dan diantara para Gnostik….”[11] Konstantin bukan sumber atau asal-usul terminologi tersebut, dan konsili tidak mengadopsi terminologi tersebut berdasarkan komandonya.

Keputusan & Kredo
Kebenaran bagaimana konsili sampai menggunakan terminologi tersebut, tidaklah sulit untuk diketahui secara jelas. Athanasius mencatat bahwa para bishop telah berkumpul bersama secara sungguh-sungguh untuk mengekspresikan iman mereka dalam keutamaan bahasa skriptural, dan mereka telah berupaya untuk melakukan secara demikian. Tetapi setiap kali mereka mengangkat sebuah pernyataan yang dibatasi secara utama pada terminologi-terminologi biblikal,para pengusung Arian dapat menemukan sebuah cara “membaca” pernyataan atau statement sehingga diharapkan dapat mencapai kesepakatan.[12]Mereka didesak untuk melihat bahwa mereka harus menggunakan sebuah terminologi sehingga tidak dapat disalahpahami, bahwa akan menjernihkan perbedaan antara sebuah kepercayaan pada ketuhanan Kristus sepenuhnya dan semua posisi yang mengkompromikan keyakinan ini. Karena itu, mereka berfokus pada terminologi homoousios sebagai posisi yang sepenuhnya bersifat antithesis terhadap posisi Arian, dan pada saat yang sama terminologi tersebut merefleksikan kebenaran skriptural bahwa Yesus Kristus bukanlah sebuah makhluk ciptaan, tetapi sepenuhnya Allah, keilahian yang berinkarnasi.

Pihak orthodoks harus mengekspresikan secara jelas kepada “kelompok tengah” bahwa dengan menggunakan terminologi homoousios mereka tidak memberikan sokongan dalam cara yang bagaimanapun dan menyelaraskan dengan modalist dan Sabelian di Timur yang terus melanjutkan ajaran salah mereka bahkan pada hari-hari diselenggarakannya Konsili Nicea. Mereka dengan menggunakan terminologi tersebut tidak sedang mengkompromikan eksistensi tiga Pribadi, tetapi sebaliknya menjaga ketuhanan seutuhnya tiga Pribadi, dan secara utama, Putera.[13] Kredo yang dihasilkan, ditandatangani oleh semua kecuali Arius dan dua bishop, yang sangat jelas posisinya:

Kami percaya…dalam satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, diperanakan dari Bapa, satu-satunya yang diperanakan,yaitu, dari substansi Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah sejati dari Allah sejati, diperanakan, bukan diciptakan, dari satu substansi (homoousios) dengan Bapa, melalui-Nya segala hal telah diciptakan…

Kredo di atas ini juga memasukan “anathema” (pengecaman atau pengutukan) bagi mereka yang menolak kebenaran-kebenaran ini. Untuk pertama kali anathema semacam ini dilaksanakan dengan dampak tak langsung pada aspek sipil. Arius dan sejumlah pengikutnya telah diasingkan, walau untuk waktu yang singkat, Ini membentuk sebuah preseden bahwa pada akhirnya akan menimbulkan dampak yang luar biasa pada budaya dan gereja, tetapi ini juga isu yang terpisah dari proklamasi teologis konsili Nicea.

Nicea tidak datang dengan membawa sesuatu yang ‘baru” dalam kredo atau pengakuan iman. Keyakinan dalam ketuhanan Kristus telah setua para rasul itu sendiri, yang mengumumkan atau memproklamasikan kebenaran ini berulang-ulang kali.[14] Rujukan-rujukan pada ketuhanan sepenuhnya Kristus berlimpah dalam periode sebelum KonsilI Nicea. Ignasius (wafat c.108), bishop Antiokia sang Martir Agung, dapat secara lugas membicarakan Yesus Kristus sebagai “Tuhan kita.”[15] Ketika menulis kepada Polycarpus ia dapat menasihatkannya untuk “menanti Dia yang mengatasi setiap musiM,sang Kekal, sang Tak dapat dilihat,(yang demi kita telah menjadi dapat dilihat!), sang Tak terjamahkan dan tak terpahami sepenuhnya oleh pikiran, sang tak dapat menjadi subyek penderitaan (yang demi kita telah menderita!), yang dalam segala jalan menanggung demi kita.”[16] Ignasius memperlihatkan pandangan tertinggi Kristus pada tahap sangat awal, ketika ia menulis kepada orang-orang Efesus. “Hanya ada satu tabib, dari daging dan dari roh, diciptakan dan tidak diciptakan, Allah dalam manusia, Hidup sejati dalam kematian, Putera Maria dan Anak Allah, pertama (Putera Maria) dapat merasakan penderitaan dan kemudian (Anak Allah) tidak dapat merasakan penderitaan, Yesus Kristus Tuhan kita.”[17]

Melito dari Sardis (c. 170-180), seorang tokoh yang kurang terkenal,secara luar biasa telah dikaruniakan dalam mengekspresikan iman purba  gereja terkait ketuhan Kristus:

Dan lalu ia telah ditinggikan pada sebuah kayu (salib) dan sebuah tulisan telah ditorehkan juga, untuk mengindikasikan siapakah yang telah dibunuh. Siapakah itu? Itu adalah hal terberat untuk dikatakan, dan sebuah hal paling mengerikan untuk ditahan agar tak diucapkan. Tetapi dengar, selagi engkau gemetar dihadapan wajahnya yang memiliki catatan menggentarkan bumi. Ia yang menggantungkan bumi pada tempat bumi digantungkan. Ia yang menetapkan langit-langit pada tempat yang ditetapkan untuk diletakan.Ia yang membuat segala sesuatunya cepat dbuat cepat pada kayu. Sang Tuan telah dihinakan. Tuhan telah dibunuh. Sang Raja Israel dihanncurkan oleh sebuah tangan Israel.[18]

Nicea kala itu tidak sedang menciptakan semacam doktrin baru, semacam keyakinan baru, tetapi secara jernih, secara eksplisit, mendefinisikan kebenaran menentang kesalahan.Konsili tidak memiliki pemikiran bahwa mereka, dengan berkumpul bersama, memiliki semacam kuasa sakramental mendefinisikan keyakinan-keyakinan: mereka telah berupaya mengklarifikasi kebenaran biblikal, tidak untuk meletakan diri mereka sendiri di garis depan dan membuat diri mereka sendiri sebuah sumber otoritas kedua.

Ini dapat dilihat secara mudah dari fakta bahwa Athanasius, dalam mempertahankan konsili Nicea, melakukannya pada basis keharmonian konsili dengan Kitab suci, tidak pada basis konsili memiliki otoritas melekat didalam dan berasal dari dirinya sendiri. Perhatikan kata-kataanya:”Tidak sama sekali mereka menyibukan diri dengan mengajukan berbagai pemikiran yang telah mereka tuntutkan pada konsili-konsili demi iman mereka; karena Kitab suci yang kudus adalah cukup untuk mengatasi segala hal; tetapi jika sebuah Konsili dibutuhkan pada poin tersebut, ada terdapat pengesahan dari Bapa-Bapa, karena Bishop-Bishop Nicene tidak mengabaikan masalah ini, tetapi telah menyatakan doktrin-doktrin sedemikian tepatnya, bahwa pribadi-pribadi membaca kata-kata mereka secara tulus, tidak dapat semata diingatkan oleh mereka atas agama terhadap Kristus yang telah diumumkan dalam kitab suci kudus.”[19]

Hubungan antara kecukupan kitab suci dan “Bishop-Bishop Nicene” harus diperhatikan secara cermat. Kitab suci tidak dibuat tak memiliki kecukupan oleh konsili; sebaliknya, kata-kata konsili “mengingatkan” salah satu “agama terhadap Kristus yang telah diumumkan oleh Kitab suci kudus.” Jelas, kemudian, otoritas konsili didapati dari ketakcemaran diri terhadap dan kesetiaan bertekun pada Kitab suci.


Bersambung






Sumber: equip.org
Diterjemahkan dan diedit oleh: Martin Simamora
 



Soli Deo Gloria




[1]Konsili Nicea tidak membahas isu kanon kitab suci. Faktanya, hanya konsili-konsili regional yang menyentuhnya (Hippo tahun 393, Chartage tahun 397) hingga bertahun-tahun kemudian. Kanon Perjanjian Baru telah berkembang dalam perhatian penuh gereja seutuhnya, tepat sebagaimana telah dilakukan pada kanon Perjanjian Lama, lihat Don Kistler, ed., Sola Scriptura: The Protestant Position on the Bible (Morgan, PA: Soli Deo Gloria Publications, 1995)
[2] Lihat Joseph P. Gudel, Robert M. Bowman, Jr., and Dan R. Schlesinger, “Reincarnation — Did the Church Suppress It?” Christian Research Journal, Summer 1987, 8-12.
[3] Gordon Rupp, Luther’s Progress to the Diet of Worms (New York: Harper and Row Publishers, 1964), 66
[4]Banyak telah dituliskan mengenai keyakinan-keyakinan religius Konstantin dan ‘pertobatannya’ masuk ke Kekristenan. Beberapa penulis  memujinya memiliki motif-motif tinggi dalam keterlibatannya di Nicea; lainnya melihatnya semata mengejar tujuan-tujuan politik. Pada kedua hal tersebut, kita tak perlu sama sekali memutuskan soal validitas pengakuan imannya, karena keputusan-keputusan Konsili Nicea pada natur Putera tidak didiktekan oleh Konstantin, dan bahkan setelah Konsili, Konstantin membuktikan dirinya bersedia “berkompromi” pada isu tersebut, semua demi kesatuan politis. Pertarungan sesungguhnya atas ketuhanan Kristus diperjuangkan diluar bayang-bayangnya, pastinya, tetapi itu berlangsung pada sebuah ranah yang ia sangat sukar untuk memahaminya,sendirian untuk mendominasinya.
[5]Pada abad-abad mendatang akan ditemukan gagasan sebuah konsili ekumenikal hanya dapat diminta bishop Roma, sang paus, hal tak terpikirkan. Karena itu, lama setelah Nicea, pada tahun 680M, kisah itu mulai disirkulasikan bahwa faktanya bishop Roma memanggil konsili untuk digelar , dan bahkan hingga hari ini beberapa upaya untuk membangkitkan anakronisme bersejarah ini, mengklaim dua prebister (Victor dan Vincentius) yang mewakili Sylvester, bishop Roma yang sudah lanjut usia. Faktanya telah duduk sebagai presiden-presiden atas konsili tersebut. Lihat  komentar-komentar Philip Schaff dalam bukunya History of the Christian Church (Grand Rapids: Eerdmans, 1985), 3:335.
[6] Peran Athanasius pada konsili tersebut telah diperdebatkan hangat.  Sebagai diaken, ia tidak boleh,berdasarkan standar-standar belakangan,  bahkan dibolehkan untuk memilih/vote. Tetapi kebrilianannya telah terlihat, dan pada akhirnya jatuh pada dirinya untuk mempertahankan keputusan-keputusan konsili, yang kemudian menjadi karya seumur hidupnya.
[7]Terjemahan Latin adalah consubstantialis, consubstantial, merupakan penerjemahan umum terminologi dalam versi-versi bahasa Inggris bentuk final kredo atau pengakuan iman Nicea
[8] Modalisme adalah keyakinan bahwa ada satu Pribadi dalam Ketuhanan/Godhead yang pada waktu-waktu bertindak sebagai Bapa, dan pada waktu lainnya sebagai Putera, dan pada waktu lainnya lagi sebagai Roh Kudus. Modalisme menyangkal Tritunggal, yang menyatakan bahwa bahwa tiga Pribadi telah  ada secara kekal.
[9] Schaff, 3:624
[10]satu-satunya basis untuk pemikiran semacam itu ditemukan dalam sebuah surat.dituliskan sendiri oleh Eusebius dari Caesera selama konsili itu sendiri kepada gerejanya sendiri, menjelaskan mengapa pada akhirnya mendukung dan menandatangani kredo tersebut dan menyetujui terminologi homoousios. Pada satu titik Eusebius menulis bahwa Konstantin “telah mendorong yang lainnya untuk menandatanganinya dan menyetujui ajarannya, hanya dengan menambahkan kata ‘consubstantial’ [yaitu, homoousios].” Terminologi spesifik yang telah digunakan Eusebius, parakeleueto, dapat diartikan sama kuatnya sebagai “perintah” atau selunak-lunaknya “saran” atau “menyemangati.” Namun tidak ada dalam surat Eusebius, yang dapat menunjuk bahwa ia telah merasa diperintahkan untuk mengikuti penggunaan terminologi tersebut, atau tidak juga ia telah merasa bahwa Konstantin adalah sumber aktual terminologi tersebut.
[11] Schaff, 3:628
[12] Seseorang mungkin berkata bahwa bahwa ini mendemonstrasikan ketakcukupan Kitab suci untuk berfungsi sebagai satu-satunya kontrol iman yang tak dapat salah bagi gereja; bahwa ini menentang sola scriptura.Tetapi sola scriptura tidak mengklaim adalah cukup untuk menjawab setiap penyimpangan kebenaran-kebenarannya sendiri yang disingkapkan. Petrus telah mengetahui bahwa akan ada mereka yang memelintirkan Kitab suci untuk kehancuran diri mereka sendiri, dan adalah baik untuk dicatat bahwa Allah tidak mensinyalkan adalah tepat untuk menyingkirkan semua bidat dari planet ini pada pertama kali mereka menyuarakan penyesatan mereka. Bertarung dengan ajaran palsu telah berlangsung dalam rencana kedaulatan Allah, telah menjadi sebuah bagian mendewasakan umat-Nya.
[13] Selama bergenerasi-generasi kesalahpahaaman antara Timur dan Barat, dirumitkan oleh perbedaan-perbedaan bahasa (Yunani tetap mendominasi di Timur, Latin menjadi bahasa normal wilayah Barat), melanggengkaan kontroversi bahkan ketika hal itu tak dibutuhkan.
[14] Titus 2:13, 2 Pet. 1:1, Yoh 1:1-14, Kol. 1:15-17, Fil. 2:5-11, dst
[15] lihat, sebagai contoh, surat atau epistelnya kepada orang-orang Efesus, 18, dan kepada orang-orang Roma, 3, dalam buku  J. B. Lightfoot dan J. R. Harmer, ed., The Apostolic Fathers (Grand Rapids: Baker Book House, 1984), 141 dan 150.
[16] Polycarp 3, The Apostolic Fathers, 161.
[17] Ephesians 7, The Apostolic Fathers, 139.
[18]Melito dari Sardis, Sebuah Homili Paskah, bag. 95-96,  sebagaimana didapati dalam Richard Norris, Jr., The Christological Controversy (Philadelphia: Fortress Press, 1980), 46. Homili atau khotbah ini adalah salah satu contoh terbaik khotbah mula-mula yang begitu solid senada dengan Alkitab dan pesan yang bersentral pada Kristus.
[19] Athanasius, De Synodis, 6, sebagaimana terdapat dalam Philip Schaff and Henry Wace, eds., Nicene and Post Nicene Fathers, Series II (Grand Rapids: Eerdmans, 1983), IV:453.

No comments:

Post a Comment