Pages

01 September 2018

Ketika Krisis Ekonomi Membuat Kehidupan Lebih Buruk Daripada Kemiskinan Itu Sendiri



Oleh: Martin Simamora


Berikanlah Kami Pada Hari Ini Makanan Kami yang Secukupnya

After a day of working manual labor, Paredes, who was a lawyer in Venezuela, returned home in Princes Town. Paredes, 40, also has a doctoral degree- The Washington Post.com

Ketika Uang Sama Sekali Tak Menarik Untuk Dicuri Bagi Para Pencuri
Pernahkah anda membayangkan untuk sungguh-sungguh berdoa bagi berkat jasmaniahmu kepada Tuhan dalam sebuah ketulusan atau mungkin keterdesakan seperti ini: berikanlah pada hari ini makanan kami yang secukupnya? Secara normal dan berdasarkan kemampuan manusia untuk mengantisipasi pemenuhan kebutuhan sehari-hari akan sukar untuk menemukan konteks keadaan yang akan membuat seseorang berdoa secara tulus atau barangkali dalam keterdesakan yang mungkin untuk terjadi, sehingga itu menjadi sebuah baris kalimat doa yang sungguh mulia dan mahal bagi kelangsungan hidupnya. Pernahkan anda membayangkan dalam hidup ini, bahkan anda akan mendapatkan uang bahkan tidak bernilai sama sekali sehingga sungguh amat mewah untuk memiliki sekaleng Sarden atau Makarel? Sukar bukan untuk membayangkannya. Atau, pernahkah anda dapat membayangkan bahwa para pencuri di seanteoro negaramu bahkan tak lagi tertarik untuk merampok tumpukan-tumpukan uangmu dalam lemari besi rumahmu, sekalipun anda menawarkannya demi mempertahankan sekaleng Makarelmu untuk anak-anakmu pada hari itu? Adakah yang siap untuk menerima realita bahwa mata uangmu terhadap mata uang dolar hanya senilai USD0,0001? Itu sebabnya  pencuri di seantero negaramu sudah tak berminat lagi dengan mata uang nasionalmu karena hanyalah seonggok kertas tak berharga!

Apakah mungkin dalam dunia kita kini atau dalam kekontemporeran di era saya, doa sebagaimana diajarkan Yesus itu sungguh benar divinitas dan sungguh substantif bagi saya dan anda? Kita memerlukan fakta kontemporer yang dapat membantu kita memahami dan memasuki realitas yang membuat baris doa tersebut sungguh mulia, karena itu mari kita memperhatikan situasi-situasi dibawah berikut ini:



In Venezuela, money has stopped working
A friend recently sent me a photograph that tells a powerful story about the situation Venezuelans find themselves in now. It’s not a very good picture, really, just a blurry cellphone shot of trash: some wrapping material, an old CD — the detritus left behind after a store was looted last week in San Felix, a city in the country’s southeast.
And yet I can’t stop thinking about it, because strewn about in the trash are at least a dozen 20-bolivar bills, small-denomination currency now so worthless even looters didn’t think it was worth their time to stop and pick them up.
The photo stopped me dead in my tracks. In theory, according to the “official” exchange rate, which long ago lost even a hint of connection with reality, each of those bills is worth $2. In fact, as Venezuela sinks deeper and deeper into the first hyperinflation the Western Hemisphere has seen in a generation, bolivar banknotes have come to be worth basically nothing: Each bill is worth about $0.0001 at the current exchange rate, meaning you need to have 100 of them to equal one penny.

It’s easy to see why the thieves left them behind.
Hyperinflation is disorienting. Five or six years ago, the 500 bolivars on the floor would’ve bought you a meal for two with wine at the best restaurant in Caracas. As late as early last year, they would’ve bought you at least a cup of coffee. At the end of 2016, they still bought you a cup of cafĂ© con leche, at least. Today, they buy you essentially nothing … well, except for 132 gallons of the world’s most extravagantly subsidized gasoline.
Prices are now rising more than 80 percent per month, according to the opposition-led National Assembly’s Finance Committee. (The government itself stopped publishing official inflation data long ago.) At that rate, prices double every 34 days or so. Salaries lag far behind, leaving more and more of the country to face outright hunger. Thus, the looting.

Rule No. 1 of surviving hyperinflation is simple: Get rid of your money. Given the speed with which money is shedding its value, holding on to it means you’re losing out. The second you’re paid you run out as fast as you can to buy something – anything – while you can still afford it. It’s better to hold almost any asset than money, because assets hold their value and money doesn’t.

Find a can of tuna? Buy it. Even if you hate tuna. Even if you have no intention of eating tuna. You can always trade it for something else later. Tuna holds its value. Money doesn’t.
I think this is what’s so hard to wrap your mind around if you’ve never experienced hyperinflation. It sounds like it’s about prices rising fast, but it really isn’t. It’s about money breaking down. Under hyperinflation, money no longer works. It doesn’t store value. It just stops doing the basic things people expect money to do. It stops being something you want to have and turns into something you’ll do anything to avoid having: something so worthless you won’t even bend down and scoop it up off the floor while you’re looting.
And that’s what it’s come to, widespread, state-aided looting. The final frontier in the collapse of Venezuela’s economy and civic culture. How did we get here?

Dunia kontemporer kita menunjukan bahwa doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus bukan menunjukan sebuah kebersahajaan hidup yang ekstrim atau sebuah ekstrimitas hidup yang menjauhkan diri dari kemewahan duniawi ini. Bukan itu gagasannya, tetapi menunjukan bahwa dunia ini pada titik-titik tertentunya mampu membuat perekonomian yang sangat melimpah dan begitu sejahtera dapat kehilangan kekuatannya hingga  membuat uang di dompet dan di tabungan-tabunganmu tak bernilai. Bahkan sementara orang-orang super kaya dapat menahan kehancuran ekonominya pada kepemilikan asset, namun dalam hal itupun terkait kebutuhan makan dan minum tak  ada bedanya dengan masyarakat pada umumnya:  uangnya tak dikehendaki pencuri dan semakin lama kehilangan daya beli untuk sekedar dapat minum saja.

Pemeliharaan Bapa Bagi Anak-Anak-Nya
Doa yang diajarkan oleh Yesus (Lukas 11:2-4) mengajarkan kepada setiap murid-murid Tuhan Yesus bahwa dunia dengan segenap pemerintahannya memiliki keterbatasan untuk memelihara segenap rakyatnya agar senantiasa sejahtera dan tak berkekurangan. Kita tahu bahwa salah satu kewajiban setiap negara adalah memastikan setiap warga negaranya sejahtera. Kalau kita  sebagai warga negara Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 pun mengamanatkan negara agar memastikan kesejahteraan kita: ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4). Lalu disambung lagi dengan Pasal 34 Ayat 1: ”Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara”; Ayat 2: ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”; dan Ayat 3: ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Sementara negara memiliki peran dan tanggungjawab demikian, tetapi doa yang diajarkan Yesus menunjukan ketaksempurnaan dan ketakberdayaan pemerintahan-pemerintahan dimuka bumi ini untuk memberikan kesejahteraan tersebut secara langgeng  dan aman. Itu sebabnya, setiap anak-anak Bapa harus berdoa: datanglah kerajaan-Mu.Doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus ini sekaligus mengajarkan kita untuk tidak meletakan kebergantungan kita kepada apa yang dapat diberikan oleh dunia, sebab dunia bahkan dapat gagal untuk memberikan sekedar makanan yang cukup untuk hari ini. Ketika pemerintahan dunia gagal memenuhi kewajibannya sebagaimana yang dapat kita lihat pada Venezuella saat ini, penjarahan  pada pusat-pusat toko makanan seperti supermarket menjadi pilihan utama. Inilah pilihan rasional sebab uang mereka tak mampu lagi memberikan daya beli sebanding pada nilai nominalnya, karena tergerus hebat oleh hiperinflasi.

Secara normal saja, manusia pada dasarnya adalah makhluk pencemas bahkan untuk apa yang dapat dimakan dan dipakai:
Matius 6:1 Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?

Teks ini bagi kita di Indonesia hanya berbicara kuat sejauh persepsi jiwa dan sejauh ketakpunyaan uang untuk membeli yang rasa kuatir itu akan usai entah sebentar atau berjangka waktu lama, kala memiliki uang entah dari mengemis seperti para pengemis; entah dari meminjam; entah dari mencuri atau entah dari hasil menipu sesamanya;entah hasil bekerja. Tetapi teks Matius 6:1 ini membawa kita pada komparasi yang bagi siapapun dalam kehidupan normal, terlihat mengada-ada atau mendramatisasi sangat berlebihan seperti ini: Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?

Kita akan berkata, andaikata kita bertatapmuka dengan Yesus: “Guru, semua itu penting!” Tidak akan ada yang tak memandang bahwa hidup, makanan dan tubuh tidak penting. Apakah rasionalitasnya bahwa hidup lebih penting daripada  makanan dan tubuh lebih penting dari pada pakaian? Maksudnya hanya satu, bahwa Allah mengerti apakah yang paling penting bagi saya dan anda. Anda akan temukan penekanan lebih jauh dan dalam pada penekanan  lebih lanjut oleh Yesus pada: Matius 6:26; Matius 6:28-30.

Manusia bisa panik jika ia sudah begitu terancam pada tiga hal tersebut yang merupakan refleksi jiwa manusia dalam memandang kebesaran dan bagaimana hidup bisa dinikmati dan diapresiasi: makanan, pakaian dan hidup itu sendiri. Apa yang anda makan, pakaian seperti apa yang digunakan, dan bagaimana kehidupan dirayakan atau diselebrasi, bagi manusia itu adalah  nilai martabatnya. Tetapi Yesus menganulirnya kala berkata bahkan Salomo kalah indah dibandingkan bunga Bakung yang usianya tak lebih dari satu hari saja. Ketika manusia panik maka manusia dapat kehilangan daya apresiasi kepada kehidupan yang Allah berikan, sehingga atas nama hidup, makanan dan pakaian, manusia dapat berperilaku seperti ini:

From Riches To Rags
As their oil-rich country buckles under the weight of a failed socialist experiment, an estimated 5,000 people a day are departing the country in Latin America’s largest migrant outflow in decades.
Venezuelan professionals are abandoning hospitals and universities to scrounge livings as street vendors in Peru and janitors in Ecuador. Here in Trinidad and Tobago — a petroleum-producing Caribbean nation off Venezuela’s northern coast — Venezuelan lawyers are working as day laborers and sex workers. A former well-to-do bureaucrat who once spent a summer eating traditional shark sandwiches and drinking whisky on Trinidad’s Maracas Bay is now working as a maid.

Apa yang paling penting bagi Tuhan Yesus agar menjadi perhatian bagi setiap murid-murid-Nya di sepanjang abad adalah bagaimana seharusnya saya dan anda memandang hidup sehingga menemukan nilai sebagaimana Yesus telah meletakannya. Letak nilai hidup ini berakar pada mengenal kasih setia Allah dan kuasa pemeliharaannya di dalam dunia yang dapat saja seketika menimpakan penderitaan-penderitaan atau kesengsaraan-kesengsaraan yang bahkan siapapun tak dapat mengantisipasinya. Sementara Tuhan Yesus telah berbicara tentang hidup, makanan dan pakaian yang merupakan kebutuhan mendasar sekaligus hal-hal normal yang menjauhkan manusia untuk berlaku kriminal di dunia ini, penekanan Yesus tetap pada Bapa memelihara:

Matius 6:30-31 Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya? Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai?
Bahkan dalam dunia yang pada momen-momen tertentu dapat memiskinkanmu dalam cara yang tak terduga, bahkan jika anda memiliki aset-aset pun bisa bernilai sampah jika negara terjebak dalam kekacauan politik yang mengacaukan struktur negara sehingga berujung perang saudara, apakah harta terpenting dan merupakan nilai kemuliaan setiap pengikut Kristus tetap bukan makanan dan pakaian, tetapi hidup. Namun hidup yang bagaimanakah? Inilah hidup  yang paling kaya bagi hidup sementara memang kita secara putus asa membutuhkan makanan dan pakaian:

Matius 6:32-33 Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.


Mencari Kerajaan Allah adalah Memiliki Kehidupan yang Tak Dapat Dibeli oleh Bahaya Kemiskinan
Kemiskinan yang paling berbahaya bukan tidak memiliki uang, tetapi memilikinya namun jiwanya mengalami semacam hiperinflasi dalam valuasi uang oleh jiwanya sehingga mendorongnya untuk korupsi dan merampas hak rakyat dan orang miskin untuk mencapai nilai kepuasan yang sudah tak bias divaluasi pada semata daya beli mata uang itu sendiri. Kalau pencuri tak tertarik dengan uang karena hiperinflasi telah menjadikan uang tak beda dengan sampah di jalanan, sebagaimana di Venezuella, maka orang kecil dan orang besar melakukan korupsi karena jiwanya tak memiliki nilai atau valuasi hidup yang kuat dan memiliki daya untuk membangun nilainya sendiri, sebab digerogoti oleh semacam hiperinflasi untuk memiliki rasa cukup sewajarnya. Orang seperti ini mustahil untuk dididik sehingga mampu memiliki substansi doa bagi hidupnya: berikanlah kami makanan secukupnya hari ini.


Secara umum, kemiskinan dalam perspekstif inflasi dan hiperingflasi telah membeli jiwa banyak manusia untuk menjadi budak kemiskinan yang memiskinkan jiwanya. Itu sebabnya korupsi merajalela, pengabaian hak-hak orang miskin semakin menggila dan tanpa takut akan Tuhan. Negara, karena itu, kehilangan daya optimalnya untuk melindungi masyarakatnya dari kerentanan kemiskinan sebab sekali pemerintahan gagal mengapresiasi keuangan bagi segenap rakyatnya dalam cara memerangi korupsi secara totalitas, seketika negara akan lemah dan gagal  menjadi abdi bagi rakyatnya. Karena itulah Tuhan Yesus memberikan penekanan yang unik kala berbicara kekuatiran akan makanan dan pakaian:

Matius 6:30 Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?

Itu penting dan sangat penting, tetapi fana! Jangan hancurkan diri ini sehingga menjadi onggokan yang lebih pantas di buang ke dalam api, hanya karena salah mengapresiasi hidup dan gagal merayakan kehidupan ini. Rayakanlah hidup yang dari Tuhan, bukan dari dunia ini.

Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut.- Amsal 11:4

Soli Deo Gloria

Catatan-Catatan
-Kembali Ke Pasal 33 UUD 45:



-









No comments:

Post a Comment