Pages

27 June 2017

“Bhinneka Tunggal Ika”


Sejarah, Filosofi, dan Relevansinya
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara *)

Oleh: Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A.**)

Setelah dahulu pada zaman-zaman sebelumnya Brahma-Wishnu-lshwara menjelma di dalam berbagai raja-raja di dunia, maka kini pada zaman kaliyuga turunlah Sri Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Bathara Kala. Sebagaimana Sidharta Gautama, sebagai titisan Sri Jinapati, Sutasoma putra Mahaketu raja Hastina, keturunan Pandawa, meninggalkan kehidupan istana dan memilih hidup sebagai seorang pertapa. Pada suatu hari, para pertapa mendapat gangguan dari Porusada, raja raksasa yang suka menyantap daging manusia. Mereka memohon kepada Sutasoma untuk membunuh raksasa itu, tetapi permintaan itu ditolaknya. Setelah dalam olah spiritualnya Sutasoma mencapai kemanunggalan dengan Sang Buddha Wairocana, akhirnya ia kembali ke istana dan dinobatkan menjadi raja Hastina. Sementara itu Raksasa Porusada, yang ingin disembuhkan dari sakit parah pada kakinya, bernazar akan mempersembahkan seratus raja sebagai santapan Bathara Kala. Tetapi Sutasoma menyediakan diri disantap oleh Kala, asalkan seratus raja itu dibebaskan. Bahkan ketika Bathara Siwa sangat murka, dan karena kesaktiannya telah merusak dan membunuh para lawannya, Sutasoma titisan Sang Buddha menghadapinya dengan cinta kasih. Panah-panah api Siwa dihadapinya dengan kekuatan tapanya, berubah menjadi air amerta. Semakin marahlah Siwa, sehingga ia menjeima menjadi api Kala yang siap melebur jagad raya. Turunlah para bathara dari kahyangan untuk menyadarkan Siwa. Semua maharshi melantunkan mantera-mantera Wedha, dan berdoa agar dunia tidak dihancurkannya. “Jangan lakukan itu, wahai Tuanku”, mereka memohon. “Engkau guru kami. Berbelaskasihanlah kepada ciptaan ini sebelum kiamat tiba (yuganta)”. Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka Jinatwa lwan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharmma mangrwa (Konon dikatakan wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Siwa dan Buddha memang berbeda, namun bagaimana kita mengenalinya dalam sekilas pandang? Hakikat ajaran Buddha dan Siwa sebenamya tunggal. Berbeda-beda tetapi satu jua. Tidak ada kebenaran yang mendua). Bathara Siwa yang menitis pada Porusada akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah Sang Buddha sendiri. Porusaddha santa. Sang Porusada tenang kembali. Tiada nafsu membunuh, tiada nafsu menghancurkan sesama ciptaan.[1]

Kisah di atas dikutip dari Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular, yang ditulisnya pada masa keemasaan kemaharajaan Majapahit (1340). Hal penting yang perlu digarisbawahi dari penggalan karya Mpu Tantular ini adalah asal-usul istilah Bhinneka Tunggal Ika yang kini menjadi salah satu dari Catur Pilar Kebangsaan Indonesia, khususnya adalah makna filosofinya. Perlu dicatat pula, bahwa dari sumber kesusastraan yang sama kita juga mengenal istilah “mahardhika” (yang menjadi asal kata salam nasional kita “Merdeka”), dan nama Dasar Negara kita Pancasila. Karena itu, “Bhinneka Tunggal Ika”, - ungkapan yang menurut Dr. Soewito Santoso dalam bukunya Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana, - “is a magic one of great significance and it ambraces the sincere hope the whole nation in its struggle to become great, unites in frame works of an Indonesian Pancasilais community.”[2]


Seperti sinopsis kisahnya yang telah dikutip selayang pandang, kisah ini mula-mula hendak menekankan pentingnya kerukunan antara kedua aliran agama pada zaman itu, yaitu agama Hindu (Siwa) dan agama Buddha. Sosok Bathara Siwa mewakili Hindu dan Raja Sutasoma mewakili ajaran Buddha, yang dimata sang pujangga sekalipun secara lahiriah berbeda-beda tetapi keduanya merupakan ekspresi kebenaran tunggal yang sama. Anda boleh tidak setuju kepada kesimpulan teologis mengenai adanya the transcendental unity of religions yang diwakili oleh ungkapan: Tan Hana Dharma Mangrwa (Tidak ada kebenaran agama yang mendua). Tetapi inti masalahnya yang hendak dipecahkan sang pujangga pasti semua tidak keberatan. Yaitu bagaimana menjinakkan kutub-kutub ekstrim yang ada pada setiap agama, agar tersedia “ruang bersama” untuk saling berbagi, saling melengkapi dalam membangun NKRI sebagai rumah bersama. Karena itu, kini ungkapan bhinneka tunggal ika tercantum sebagai seloka dalam lambang negara kita dalam makna kebangsaan yang lebih kompleks. Meskipun dalam narasi di atas konteksnya hanya mengacu kepada kemajemukan dalam agama, tetapi dalam implementasinya dalam kehidupan kenegaraan, falsafah Bhinneka Tunggal Ika menjiwai kehidupan sosial politik kenegaraan secara lebih luas pada zaman itu, tercermin dari tatanan sosial politik, budaya, dan hukum, sebagaimana yang kita implementasikan dalam problem kebangsaan kita yang sekarang jauh lebih kompleks.

Dalam konteks pergulatan bangsa di tengah-tengah problem kemajemukan, Pancasila tampil sebagai ideologi yang paling cemerlang, khususnya apabila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain dalam pergulatan nasional mereka, meskipun problem kemajemukan kita jauh Iebih kompleks. Salah satufaktor, kita memiliki pijakan historis danfilosofis yang jauh lebih kuat. Kita bisa membandingkan, Ernest Renan mengucapkan pidatonya yang terkenal Qu’est ce qu’une Nation? -“Apakah suatu Bangsa itu?”, di Universitas Sorbone, Prancis tahun 1882. Renan menekankan bahwa agama tidak bisa menjadi landasan kokoh berdirinya suatu bangsa, mungkin setelah ia melihat perpecahan Belanda dan Belgia, yang salah satu faktomya karena kepentingan wilayah Belgia yang mayoritas Katolik tidak merasa terakomodasi oleh pemerintah pusat Belanda yang mayoritas Protestan. Dalam hal tumbuhnya kesadaran mengelola kemajemukan masyarakat, di Barat - yang memang relatif sebagai suatu yang sangat baru - dapat dibilang sangat lambat. Kita memiliki pijakan historis yang lebih kokoh. Jauh sebelum Barat menyadarinya, seloka Bhinneka Tunggal Ika, sudah diperkenalkan lebih kurang 600 tahun sebelumnya (1340), bahkan jauh sebelum munculnya kesadaran Pluribus Unum-nya Amerika, karena memang ketika Mpu Tantular menulis karyanya, saat itu Amerika belum lahir.

Bahkan dari kisah yang dikutip sekilas di awal tulisan ini, Mpu Tantular tidak hanya telah meletakkan landasan politis bagaimana mengatasi pluralisme agama, tetapi malahan sudah dikembangkan landasan teologi kerukunan yang jauh lebih mendasar dan memadai. Karena itu bukan tanpa kebetulan kalau para founding fathers di awal berdirinya NKRI menjadikan Majapahit (dan Sriwijaya) menjadi “model” bagi negara kebangsaan (Nationale Staat) dalam mengatasi masalah warisan kemajemukan, sebagaimana yang ditekankan Bung Kamo dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945.[3] Perlu dicatat pula bahwa sekalipun Majapahit pada waktu itu mayoritas Hindu-Buddha, ini berbeda dengan Kesultanan Demak, Pajang, Banten, Ternate, Tidore, dan negara-negara merdeka lain di Nusantara, namun bagitu Majapahit bukan negara theokrasi Hindu, melainkan sebagai negara nasional dengan spirit Hindu dan Buddha sebagai dua agama yang dominan waktu itu dan dikelola oleh prinsip “Bhinneka Tunggal Ika”.

Bahkan dibuktikan bukan hanya pada sistem politik kenegaraannya, falsafah “Bhinneka Tunggal Ika” ini juga tercermin pada politik Hukum Majapahit yang tidak didasarkan mentah-mentah pada Hukum Manu (Manawa Dharmasastra) India, melainkan telah dikembangkan suatu sistem hukum nasional yang sesuai dengan warisan sosial dan budaya bangsa pada zamannya, seperti tercermin dalam dua kitab Undang-undang Majapahit, yaitu Sang Hyang Kutaramanawa atau Sang Hyang Agama,[4] yang asal-usulnya dapat dilacak dari zaman Raja Hayamwuruk (1350-1389) dan Sang Hyang Adigama[5] yang berasal dari zaman Raja Wikramawardhana (1389-1428). Kedua kitab undang-undang Majapahit ini yang sampai sekarang masih menjadi salah satu rujukan dalam Hukum Adat di Bali, termasuk dari kitab-kitab Catur Agama. Bahkan dibuktikan juga, bahwa ternyata beberapa kompilasi hukum Nusantara yang berasal dari zaman pra-kolonial, seperti Pepakem Cirebon, Simbur Cahaya, dan lain-Iain, juga berasal dari lontar-lontar hukum dari zaman Majapahit. Bahkan pranata hukum yang berlaku pada zaman kerajaaan-kerajaan Nusantara pra-kolonial juga berasal dari sistem Majapahit, misalnya sistem Jeksa Pepitu dalam pepakem Cirebon, ternyata berasal dari Sapta Upapati. Seperti disebutkan dalam Undang-undang Adigama, pada zaman Majapahit penegakan hukum yang transparan digambarkan dengan “Dewan Hakim Tujuh” yang biasanya menyidangkan perkara di bawah pohon beringin (lambang pengayoman) dan disaksikan oleh rakyat banyak.



“Bhinneka Tunggal Ika”: Implementasinya dalam Relasi Negara dan Agama
Dalam kaitannya dengan relasi agama dan negara, Pancasila diajukan Bung Kamo sebagai Philosopie Gronslag (Dasar Falsafah) Negara Indonesia dalam pidatonya yang berjudul Lahirnya Pancasila, di depan sidang Dokoritsu Zonbie Tjosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 1 Juni 1945, dalam rangka menjawab dan menemukan solusi dari para peserta sidang yang terbelah menjadi dua pilihan, yaitu pilihan Negara Islam, dan pilihan Negara Sekular. Pancasila muncul sebagai “jaian tengah“ diantara dua kutub ekstrim antara paham negara agama (Theocracy) dan paham negara sekuler (Secularism). Pada satu pihak dengan penegasan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa“, maka tidak mungkin kita mendepak nilai-nilai agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari kehidupan berbangsa dan ber-negara, karena hal itu bertentangan dengan degub jantung kehidupan rakyat Indonesia yang sangat religius. Di pihak lain, dengan mengangkat dasar “Ketuhanan yang Maha Esa" (bukan agama tertentu) juga berarti pengakuan terhadap semua agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Jadi, bukan Ketuhanan menurut salah satu agama saja, melainkan Ketuhanan menurut agama masing-masing, sebagaimana ditegaskan oleh Bung Karno:

Prinsip Ketuhanan. Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhannya menurut petunjuk Isa Al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab suci yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain.[6]

Dalam kerangka berpikir seperti itulah Bung Karno menyebut bahwa Indonesia yang hendak didirikan adalah sebuah Nationale Staat (Negara Nasional). Dan dalam mengelolakemajemukan masyarakat Indonesia, maka model yang hendak dipilih oleh Bung Karno adalah Sriwijaya dan Majapahit, bukan negara-negara agama seperti Demak, Pajang, Mataram, Temate, Tidore dan lain-lain. Selanjutnya, semboyan yang dicantumkan dalam lambang negara adalah "Bhinneka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetapi Satu), suatu ungkapan yang berasal dan Mpu Tantular, di puncak kejayaan Majapahit, dengan tepat mengungkapkan problem kemajemukan Indonesia yang harus dijadikan asas dalam pembangunan hukum. Rujukan kepada negara nasional Majapahit bagi para pendiri bangsa Indonesia, ternyata secara historis mempunyai dasar filosofis yang sangat mendalam.

Fakta sejarah juga membuktikan bahwa jauh sebelum Pasal 29 ayat (1) UUD1945 menegaskan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”,yang menekankan pengakuan negara atasTuhan Yang Maha Esa sebagai Causa Prima, tanpa terikat oleh definisi menurut salah satu agama, kesadaran ini sudah muncul pada negara nasional Majapahit. Berkaitan dengan seloka “Bhinneka Tunggal Ika”, S. Supomo dalam penelitiannya yang berjudul Arjunawijaya: A Kakawin of Mpu Tantular, mengatakan bahwa pada zaman Majapahit konsep “Ketuhanan Yang Maha Esa” disebut dengan Sang Hyang Parawataraja, yang mengatasi konsep-konsep ketuhanan menurut agama-agama pada waktu itu. Dalam konsep "The National Godhead” dinyatakan bahwa Negara berdasarkan atas kesadaran adanya Tuhan yang Maha Esa, tetapi tidak identik dengan salah satu agama:

He was both the Supreme God and the great ruler of realm, he was neither Siwa nor Buddha, but in Prapanca words: Siwa-Buddha (Nag. 1,1), the protector of the absolute (natha ning anatha), the ruler of the world ruler (pati ning jagad pati), and the God of tutelary deities (Hyang ning hyang inisthi). As such he symbolized the unity of the kingdom and the oneness of the dharma.[7]
(Terjemahan bebas: “Dia adalah Tuhan Yang Maha Tinggi, sekaligus Penguasa alam semesta, bukan Tuhan menurut konsep agama Siwa maupun konsep agama Buddha, tetapi seperti istilah Mpu Prapanca Siwa-Buddha - yang menampung baik Hindu maupun Buddha – Dialah Pelindung yang Mutlak (natha ing anatha), Sang Penguasa segala penguasa dunia (pati ning Jagad pati), dan Tuhan di atas segala konsep ketuhanan dalam paham agama-agama (Hyang ning hyang inisthi). Istilah ini merupakan simbol dari kesatuan kerajaan dan sekaligus kesatuan transendental yang diajarkan agama.”).

Bertitik tolak dari konsep Nationale Staat (Negara Nasional) yang tidak didasarkan atas agama tertentu, Mr. Muhammad Yamin membuktikan bahwa pada waktu itu sudah dikenal jabatan tinggi yang disebut Dharmadyaksa yang mengurusi agama Hindu (Dharmadyaksa ring Kasyaiwan) dan agama Buddha (Dharmadyaksa ring Kasogatan). Sedangkan sebuah kelompok tersendiri yang disebut Karesyan - barangkali sejajar dengan Penghayat Kepercayaan pada zaman sekarang - berada di bawah seorang pejabat yang bernama Mentri Herhaji.[8] Ketiga kelompok agama dan keyakinan tersebut dalam Kakawin Negarakrtagama, karya Mpu Prapanca (1361) disebut Tripaksa, dan langsung di bawah kekuasaan Raja: “Aramba Nareqware pageha sang Tripaksa Jawa” (Artinya: “yang meneguhkan hak dan kewajiban Tripaksa di wilayah pulau Jawa dalam perlindungan kekuasaan Raja”-Kakawin Negarakrtagama LXXX;i).[9] Hak-hak kebebasan beragama, beribadah dan mengekspresikan keyakinan dari ketiga kelompok agama dan kepercayaan tersebut dijamin oleh negara, tanpa ada diskriminasi satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Dalam konteks pemikiran seperti yang dikutip di atas, ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi satu) dikemukakan pertama kali oleh Mpu Tantular yang juga berasal dari zaman yang sama yang dijadikan sesanti negara dalam mengelola warisan kultural kemajemukan agama-agama pada zamannya, yang kemudian diangkat kembali oleh para pendiri bangsa Indonesia untuk menjawab problem kemajemukan bangsa Indonesia modern yang tentunya jauh lebih kompleks. Sebagaimana sudah disinggung sepintas di depan, bahwa dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) beberapa bulan menjelang kemerdekaan Indonesia, masalah penting yang hendak dipecahkan adalah dasar negara yang akan menjadi landasan Indonesia Merdeka. Pada waktu itu ada dua kelompok, yaitu kelompok yang menghendaki Negara Islam, dan yang lain menghendaki negara yang netral agama. Selain pemikiran Bung Karno yang disampaikan dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Bung Hatta menghendaki Negara Sekuler yang memisahkan agama dan negara (Scheiding van Kerk en Staat),[10] sedangkan Soepomo seperti Bung Karno menghendaki pemisahan agama dan negara, tetapi tidak berarti bahwa negara bersifat “a-religious” Sebaliknya, agama-agama harus menjadi landasan etik, moral dan spiritual untuk membangun bangsa dan negara menuju kejayaannya, sebagaimana dikatakan oleh Soepomo:

Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa negara itu akan “a-religious”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang demikian itu dan hendaknya negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur, dasar moral yang juga dianjurkan oleh agama Islam.[11]

            Karena itu Soepomo membedakan antara “Negara Islam” dengan “Negara berdasar atas cita-cita luhur dari agama Islam”. Meskipun Soepomo menegaskan bahwa pilihan negara Islam tidak tepat, karena “akan timbul soal-soal minderheden, soal golongan agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain”,[12] namun dua hari setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya tanggal 19 Agustus 1945, ketika membentuk kabinet, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Inkai) Soepomo menghendaki agar melalui Kementrian Kehakiman negara tidak hanya mengatur soal peradilan, soal penjara, tetapi juga turut mengatur masalah nikah, talak, rujuk, infaq dan zakat yang terkait dengan masalah-masalah keagamaan, khususnya agama Islam. Gagasan inilah yang di kemudian hari ditampung dengan pembentukan Departemen Agama. Dan karena Indonesia bukan negara Islam, maka departemen mengatur dalam batas-batas tertentu urusan yang berkaitan dengan agama-agama yangada di Indonesia.



“Bhinneka Tunggal Ika”: Implementasinya dalam Relasi Antar Suku Bangsa
Dalam risalah sidang kedua Dokuritsu Zyunbi Tyosakai (Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan), yang berlangsung 10-17 Juni 1945, muncul juga tema menarik yaitu soal wilayah Indonesia. Dalam kaitannya dengan tema “Bhinneka Tunggal Ika” dan masalah etnisitas atau kemajemukan suku-suku bangsa, Bung Hatta mempertanyakan apakah Papua termasuk wilayah Indonesia. Karena secara etnologis, Papua termasuk rumpun Melanesia, berbeda dengan rumpun penduduk Indonesia lainnya yang termasuk rumpun Polinesia. Menurut Hatta, yang lebih rasional dan sesuai dengan hukum internasional, yang menjadi wilayah Indonesia adalah bekas jajahan Belanda. Diingatkan Hatta, jangan sampai dengan konsep “tumpah darah” (Jerman: kultur and boden) menjadi nafsu imperialis seperti Jerman. Tetapi Hatta juga manyadari, bahwa seperti penduduk Indonesia di wilayah Barat dan Tengah adalah asimilasi dari orang-orang Melanesia dengan bangsa-bangsa Arab, Cina, India, begitu juga bisa jadi hasil percampuran antara penduduk Melanesia dengan Polinesia lalu menjadi Papua, menjadi dasar dimasukkannya Papua menjadi wilayah Indonesia.[13]

Sebelumnya Yamin menekankan, bahwa wilayah kita jangan hanya menjadi enclaves dari “seluruh tanah Indonesia atas beberapa kekuasaan imperialisme 350-400 tahun yang belakangan ini”. Menurut Yamin, perkataan “Indonesia” sendiri dibuat dengan pemahaman yang mengatakan Indonesia melingkupi daerah Malaya dan Polinesia. Jadi, dengan sendirinya pada waktu perkataan Indonesia lahir, dimaksudkan tanah Papua masuk ke dalam daerah Indonesia. Menurut paham Geopolitik, pulau Papua adalah lompatan yang paling akhir dari benua Indonesia menuju lautan Pasifik, dan lompatan yang pertama dari lautan pasifik menuju tanah air kita. Apalagi menurut faham Indonesia, sebagian besar pulau Papua adalah masuk hak adat lingkungan adat kerajaan Tidore, sehingga dengan sendirinya betul-betul daerah itu masuk bagian daerah Indonesia. Akhirnya Yamin juga menandaskan bahwa wilayah Indonesia adalah “Kepulauan Delapan”: Sumatra, Melayu, Borneo, Jawa, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku, dan Papua (masing-masing dengan kepulauan-kepulauan kecil di sekeliling Kepulauan Delapan tersebut. Yamin menyebut bahwa sebenarnya itu bukan keinginannya, tetapi sejak beribu-ribu tahun tumpah darah Indonesia itu terbentuk, yang disebutnya “Testamen Gajahmada”.[14]

Menariknya, berbeda dengan Hatta yang masih agak ragu-ragu memasukkan Papua, Bung Kamo sepakat 100% dengan Yamin, dan memperkuat argumentasi Yamin bahwa wilayah kita bukan warisan Belanda, sebaliknya “....bersandar kepada kekuatan sejarah kita dulu, bersandar pada batas sejarah kita yang dulu. Bukalah, tuan-tuan,Negarakertagama yang ditulis Prapanca, maka tuan-tuan akan membaca di dalamnya beberapa nama tempat dan daerah yang menunjukkan, bahwa kerajaan Majapahit pun daerahnya melebar sampai kepada Papua”.[15] Bung Kamo percaya, kalau kita melihat peta dunia maka kita akan melihat bahwa Tuhan Allah SWT telah menentukan beberapa daerah sebagai suatu kesatuan. Allah telah menentukan kepulauan Inggris sebagai satu kesatuan, atau menentukan kepulauan Hellenia (Yunani) sebagai satu kesatuan, demikian juga Allah telah menentukan wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu, pentingnya faktor wilayah ini ditekankan Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, untuk melengkapi definisi Ernest Renan dan Otto Bauer. Renan mensyaratkan bangsa hanyalah “kehendak akan bersatu” (le desir d'etre ensemble), sedangkan Bauer mendefinisikan: “Bangsa adalah satu perasaan perangai yang timbul karena persatuan nasib” (Eine nations ist aus Schiksals gemenischafft erwachsene charakter gemenischaft).[16] “Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya”, demikian tegas Bung Karno.

Apa yang diwacanakan oleh para “Founding Fathers” di atas bukan sekedar apologetika atau bentuk pembelaan diri mengenai hak bangsa Indonesia untuk menempati tumpah darah Indonesia, tetapi sadar atau tidak juga merupakan bagian dari upaya pencarian mereka atas rujukan historis bagaimana kita harus memaknai warisan kemajemukan kita, khususnya dalam hal suku-suku bangsa. Tetapi para pendiri bangsa itu tidak berlebihan. Indonesia ternyata tidak hanya mempunyai bukti-bukti prasasti dan bergudang manuskrip kuno yang membuktikan bahwa sebelum mereka hendak mendirikan NKRI, rakyat yang mendiami ratusan pulau besar dan kecil dari Sabang sampai Merauke itu, memang pernah disatukan dalam satu wadah Negara. Itulah yang dimaksudkan Bung Karno sebagai “sebuah Negara Nasional” (Nationale Staat), sebelum NKRI sekarang, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Bukti-bukti itu tidak hanya tercatat dalam Kakawin Negarakrtagama, karya Mpu Prapanca (1365), dan sejumlah manuskrip Nusantara kuna lainnya, tetapi juga karya-karya pujangga manca negara yang sezaman, bahkan ketika di Indonesia sendiri masih disebut “pra-sejarah”. Maksudnya, sudah ada catatan-catatan manca negara yang merujuk eksistensi bangsa Indonesia, ketika bangsa Indonesia sendiri tidak atau belum mencatat sejarahnya.

Salah satunya yang dapat disebut di sini adalah Srimad Valmiki-Ramayana, karya pujangga Valmiki (kira-kira tahun 150 M), sudah menyebut eksistensi Kerajaan Nusantara sebagai berikut:

Yatnavanto Javadvipam saptarajyopasobhitam,
Suvarnarupyakadvipwan, Suvarnakaramanditam,
Javadvipamatikramya Sisiro namaparvatah.
Divam sprasati srgena devadanavasevitah.
Etesam giridurgesa prapatesa vanesa cha.


Artinya:
“Jelajahilah Tanah Jawa, dan tujuh wilayah kerajaan sebagai hiasan.
Nusa Emas dan Perak, dan sebuah pulau bertambang emas.
Di luar pulau Jawa, ada gunung tinggi menjulang namanya Sisira,
puncaknya tinggi mencium langit, ditunggu Dewa dan dihuni raksasa.
Gunung itu puncaknya bersalju....”[17]


Menurut Phalgunadi, kata saptarajya merujuk kepada tujuh pulau Nusantara, yaitu Javadvipa (Jawa), Suvarnadvipa (Sumatra), Barhinadvipa (Borneo), Balidvipa (Bali), Angadvipa (Nusa Tenggara), Shankadvipa (Celebes), dan Papua yang dalam Ramayana hanya disebut letaknya “di luar pulau Jawa” (Javadvipapamatikramya).[18] Dengan demikian, penduduk Indonesia bukan hanya meliputi suku-suku yang mendiami wilayah Barat Nusantara yang dikenal sebagai rumpun Polinesia, tetapi juga suku-suku Papua yang dikenal dengan rumpun Melanesia. Nah, keanekaragaman penduduk yang menghuni kepulauan Nusantara selama berabad-abad dengan segala kompleksitas budaya, bahasa dan adat istiadatnya, meskipun dalam konteks narasi yang dikutip di awal tulisan ini tidak dibahasnya langsung, namun secara substansial juga menjadi perhatian para pujangga Nusantara.





Falsafah “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai
Modal Dasar Mengokohkan Keindonesiaan

Selanjutnya, seperti sudah diuraikan di bagian depan, bahwa Indonesia memiliki preseden sejarah yang jauh lebih kuat ketimbang bangsa-bangsa lain dalam mengelola kemajemukan masyarakat kita. Barat masih relatif baru mengawalinya. Karena itu, jauh sebelum orang-orang Barat memikirkan apa yang disebut dengan multikulturalisme, ratusan tahun yang lalu bangsa kita sudah mempunyai falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”. Fakta sejarah juga membuktikan, bahwa semakin banyak suatu bangsa yang menerima warisan kemajemukannya, maka semakin toleran bangsa tersebut terhadap kehadiran “yang Iain”. Ambillah contoh negara-negara Islam di wilayah Asia dan Timur Tengah. Bukankah Mesir, Palestina, dan Lebanon yang sejak awal menerima warisan kemajemukan dan lebih heterogen masyarakatnya, jauh Iebih toleran dan ramah sikap keagamaannya apabila dibandingkan dengan Saudi Arabia, Yaman, dan Pakistan yang masyarakatnya sangat homogen satu agama?

Contohnya, Nasionalisme Mesir yang didominasi 2 agama besar, Islam dan Kristen Ortodoks Koptik, pada waktu revolusi nasional tahun 1919, afiliasi kebangsaan telah berhasil didefinisikan oleh partai Wafd. Kesadaran historis bahwa agama tidak bisa dijadikan dasar pemersatu Mesir, disuarakan oleh para pemimpin revolusi seperti Sa'ad Zaghlul, Musthafa al-Nuhas, Wisha Washif, dan rekan-rekan mereka, berbareng dengan dikenalkannya kredo nasionalis: al-Dîn lil Lah wa al-Wathan li al-Jami' (Agama untuk Allah, dan Tanah air untuk semua). Pada dekade selanjutnya, khususnya yang menguat pada masa sekarang ini, kaum fundamentalis berusaha menolak kredo kebangsaan itu, dan menegaskan bahwa afiliasi keagamaan harus didahulukan di atas afiliasi kebangsaan.

Contoh lain, Libanon yang memiliki 17 aliran keagamaan, satu-satunya negara Arab dengan dominasi Kristen Maronit, mereka dipersatukan oleh Nasionalisme Arab yang menuntut kemerdekaan dari Perancis pasca-perang Dunia II, dengan kredo nasionalisme mereka: Anâ al-‘Arabî qabla al-Islâm (Saya adalah orang Arab sebelum Islam). Namun sejak fenomena kebangkitan agama-agama menjelang dan pada abad XXI, afiliasi keagamaan kembali menuntut supremasinya atas afiliasi kebangsaaan. Negeri “Cedar Suci” ini akhirnya menjadi lahan subur tragedi kemanusiaan dan perang saudara selama 17 tahun (1978-1992), yang nyaris memecah belah Lebanon menjadi beberapa negara bagian. Untunglah, kaum nasionalis cepat bangkit menyadarkan mereka, bahwa pembagian Lebanon menjadi kavling-kavling negeri kecil yang akan melemahkan mereka. Lebanon kembali utuh, setelah kesadaran kebangsaan yang mengatasi sektarianisme agama yang sempit dan pengap itu, memulihkan dan menyatukan mereka. Sebelum menajamnya perbedaan agama-agama pada era sekarang, sebelum itu India telah terpecah dengan Pakistan karena alasan alifiasi keagamaan.

Masih banyak contoh lain yang bisa dikemukakan, bahwa konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh afiliasi keagamaan jauh lebih kompleks dibandingkan ranah-ranah lain, seperti masalah rasial, misalnya. Konflik-konflik non-agama bisa saja mencair dengan meningkatnya kemakmuran masyarakat, kecanggihan teknologi dan kesejahteraan umum, tetapi konflik agama belum tentu dapat dilerai dengan semua itu. Tetapi sejarah membuktikan, bahwa tidak ada kejahatan yang melebihi kejahatan yang digerakkan oleh sentimen keagamaan. Memang, situasi politik yang dimotivasi agama ini, tidak bisa dilepaskan dari gerakan fundamentalisme global sebagai reaksi dari politik luar negeri Amerika Serikat yang tidak adil. Tesis Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations yang terbit tahun 1993,[19] turut menyuburkan pandangan “determinisme historis” yang memandang bahwa tindakan manusia sangat ditentukan oleh sentimen-sentimen bawaan dalam dirinya. Dengan dalil ini, Huntington telah menetapkan Islam (tanpa melihat varian-varian di dalamnya yang sangat beragam) sebagai “musuh baru” dunia Barat pasca-perang dingin. Buku ini mula-mula berasal dari artikel yang dipublikasikan dalam jurnal foreign affairs, sebuah jurnal bergengsi seputar tema politik luar negeri Amerika Serikat. Kalau cermat kita baca, artikel ini turut merekomendasikan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat. Karena itu, artikel Huntington tersebut tidak bisa dibaca sebagai studi akademis murni dari seorang guru besar ilmu politik, melainkan juga mengandung misi politik, propaganda dan agitasi.[20]

Lebih seram dibandingkan dengan tesis Karl Marx, yang memandang bahwa faktor penggerak sejarah adalah benturan dan konflik kelas, Huntington menarik konflik dalam skala yang lebih luas lagi, yaitu benturan dan konflik peradaban. Tesis ini telah berhasil memobilisasi opini publik Amerika dan Eropa untuk mencari “kambing hitam” baru, yaitu Islam sebagai “imperium kejahatan” yang harus dihadapi dengan perang salib baru, setelah “phobia komunisme” tidak lagi efektif untuk menyatukan sentimen masyarakat Barat. Tesis ini justru telah berhasil memompa motivasi baru bagi kaum fundemantalis Islam, yang sebelumnya sudah ada, tetapi nyaris kurang digubris oleh mayoritas umat Islam sendiri. Dan entah sadar atau tidak, ketika George W. Bush menabuh “genderang perang” sebagai reaksi atas peristiwa WTC, tanggal 11 September 2001, ia menyebut sebagai “perang salib baru”. Pernyataan ini, meskipun buru-buru dikoreksinya, justru membuktikan bahwa itulah “suara bawah sadar” Presiden George W. Bush sendiri.[21]

Dunia Arab sendiri cukup diresahkan dengan “tesis futurologis” ini, terbukti dari koreksi Prof. Dr. Shalah Qansu, seorang guru besar Universitas Cairo, dalam “Kata Pengantar” terjemahan bahasa Arab buku Huntington ini, Saddâm al-Hadhârât wa’ l’âdat Shun’in Nidhâm al-‘âlami.[22] Patut ditekankan, bahwa dunia Arab tidak dapat dianggap mewakili Islam, antara lain juga terbukti dari sanggahan keras atas karya Huntington ini yang berasal dari seorang intelektual Gereja Ortodoks Koptik, Dr. Mîlâd Hanâ dalam bukunya, Qabûl al-âkhar: Min ajli Tawâshul Hiwâr al-Hadhârat,[23] yang menilai tesis Huntington tidak lebih sebagai model baru politik Devide et Impera (Memecah dan Menguasai). Pada hemat Hanâ, kesalahan teori Marx maupun tesis Huntington terletak pada titik tolaknya yang “memusuhi yang Iain” (rafdh al-akhâr), padahal hukum alam membuktikan bahwa selalu ada 2 hal yang berbeda tetapi tidak harus selalu bermusuhan, bahkan bisa saling melengkapi. Mîlâd Hanâ mengemukakan antitesis kultural yang disebutnya qabûl al-âkhar(menerima pihak lain), dan mencontohkan praktek budaya ini di Mesir. Dikemukakannya, bahwa Islam Mesir sangat jauh berbeda dengan Islam di Saudi, Pakistan atau Afghanistan. Mesir bisa mengembangkan budaya “menerima pihak lain”, karena karakter unik kebudayaan Mesir yang berasal dari akumulasi serpihan-serpihan aneka peradaban. Berakar pada peradaban kuno Firaun dari tahun 3500 SM, lalu peradaban Romawi-Byzantium, Kristen Koptik dan Arab Islam. Warisan aneka peradaban itu, telah melahirkan Islam Mesir yang khas: berwajah Suni, berdarah Syi’ah, berhati Kristen Koptik, dan bertulang peradaban Fir’aun. Itulah al-A’midah as-Sab'ah li asy-Syakhsyiah al-Mishriyyah (tujuh pilar kepribadian Mesir).[24]

Ungkapan ini dikemukakan Hanâ, ketika Presiden Anwar Sadat, demi mengambil hati kaum fundamentalis, mengatakan bahwa ia adalah Presiden Muslim di sebuah negara Islam. Mesir bukanlah Mesir tanpa unsur Koptik di dalamnya, karena memang negeri ini berpijak pada Mesir Kristen dan Mesir Islam. Intelektual Kristen Mesir peraih International Simon Bolivar Prize tahun 1998 ini, mencontohkan pula kehidupan antarumat beriman di Mesir pada masa sekarang. Disebutkan bahwa penampilan Syeikh al-Azhar yang teduh dan kedatangannya setiap perayaan Natal (khidmat miladiyah) turut memberikan citra keramahan Islam. Sebaliknya, tenda-tenda buka puasa bersama yang lebih populer disebut ma’idah al-rahman (Perjamuan Sang Pengasih), yang juga rutin diselenggarakan oleh pemimpin-pemimpin Gereja Ortodoks Koptik, menjadi simbol persatuan nasional (wihdah al-wathani).[25]


“Bhinneka Tunggal Ika” dan Tantangan Era Kesejagadan
Pada akhirnya, dengan falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”-nya nasionalisme Indonesia harus menghadapi konteks baru, yaitu era kesejagadan (globalisasi) dan kebangkitan agama-agama. Sekali lagi, nasionalisme Indonesia harus diuji di “kawah candradimuka”-nya tantangan sejarah baru yang menghadang. Mengenai globalisasi, patut juga ditekankan bahwa tidak ada universalisme yang tidak berakar pada partikularitas tertentu. Dalam konteks partikularitas kita, nasionalisme Indonesia mendapatkan tempat, meskipun harus terus menerus dilihat dalam konteks masyakarat global yang menghisabkan kita dalam warga masyarakat dunia. Meminjam istilah Bung Karno dalam pidato Lahirnya Pancasila, “Nasionalisme Indonesia harus tumbuh subur di tamansari Internasionalisme”. Seperti Mesir kita harus berbangga, bahwa kita mempunyai rujukan sejarah sebagai bangsa yang besar. Kita juga bangga bahwa di wilayah Nusantara ini, berbagai budaya dan agama dunia pernah bertemu, saling berinteraksi, saling berbagi dan menyumbangkan pernik-pernik yang memperindah mozaik keindonesiaan kita.

Terbukti bangsa yang tidak mempunyai warisan sejarah seperti itu, harus susah payah membangun harga diri mereka untuk membuktikan siapakah mereka kepada dunia. Dan kita lebih dari Mesir, karena kesadaran untuk mengelola kemajemukan itu bukan baru pada zaman modern ketika bangsa-bangsa lain di muka bumi tengah pula mempergumulkannya. Bangsa Indonesia telah menemukannya kurang lebih 600 tahun sebelum bangsa-bangsa di dunia ini menyadari, bahwa warisan kemajemukan bukanlah harus memecah belah, tetapi justru akan menjadi kekuatan pemersatu bangsa. Contoh-contoh menarik dapat dikemukakan di sini. Misalnya, munculnya chauvinisme bangsa Jerman yang digerakkan Adolf Hitler. Pertumbuhan “nasionalisme” Jerman ini, lebih jauh dapat dilacak dari peristiwa bubarnya Imperium Romanum Sacrum, ketika Napoleon Bonaparte menduduki kota Wina tahun 1789. Sebelum itu bangsa-bangsa Eropa diikat oleh kesatuan civilisasi, yaitu anggota Imperium Romawi, yang sudah berkuasa kurang lebih dari 2000 tahun. Revolusi Perancis benar-benar menyadarkan bangsa-bangsa Eropa itu bahwa mereka sebenarnya tidak mempunyai identitas budaya, sosial maupun kebangsaan, kecuali ketundukan kepada penguasa-penguasa aristokrat mereka. Kesadaran ini merangsang berkembangnya paham kebangsaan. Tetapi berbeda dengan Itali, karena banyak wilayahnya yang secara langsung masih tetap dikuasai Raja Austria, yang sejak tahun 1815 diakui sebagai Kaisar ‘Monarchi Austria-Hongaria’ oleh wilayah-wilayah lain yang dikuasainya. Jadi, dengan mudah bangsa Itali mencari sumber pada identitas yang dapat mempersatukan mereka dari tradisi budaya yang pernah berkembang di kerajaan Romawi dahulu. Sebaliknya, bagi para nasionalis Jerman, usaha untuk mencari titik persamaan itu sangat sulit. Mereka akhirnya mencari bukan dari sejarah, tetapi dari mitologi. Syair Nibelungen dan syair-syair kuno lain yang bersumber dari mitologi suku-suku Jerman kuna menjadi peluang dan sumber untuk mencari dasar supaya nasionalisme Jerman berkembang. Faktor inilah yang membuat nasionalisme Jerman menjadi tertutup.[26]

Selain itu, dibuktikan pula bahwa secara psikologis rasa percaya diri orang-orang Jerman sangat lemah, maka keunggulan mereka harus dibuktikan “secara ilmiah”, yaitu dengan menetapkan superioritas ras Arya berdasarkan ilmu biologi. Itulah yang melatarbelakangi kelahiran kredo chauvinisme mereka: Deutschland Über Alles (Tidak ada yang mengungguli Jerman). Dalam kondisi psikologis seperti ini, orang-orang Yahudi di Eropa pada waktu itu yang meyakini diri mereka sebagai bangsa pilihan Allah,sudah barang tentu, keyakinan diri bangsa Yahudi ini dianggap menantang klaim superioritas Jerman. Apakah karena “rasa aman” sebagai bangsa terganggu, itu sebabnya sehingga Hitler yang sakit jiwa itu, menginstruksikan Nazi Jerman untuk melakukan pembantaian besar-besaran kaum Yahudi di kamp-kamp rahasia? Pertanyaan ini menarik untuk kita renungkan bersama. Bukankah fenomena di atas tidak jauh berbeda dengan kebangkitan kaum teroris yang terkenal sangat militan itu? Secara umum, sejak runtuhnya kekalifahan Utsmani tahun 1924, dan semakin kuatnya hegemoni Barat, kelemahan dan ketertinggalan bangsa-bangsa yang mayoritas menganut Islam telah menyulut semangat untuk mencari model dan jalan untuk kembali meraih kejayaan Islam di masa silam.

Menurut Zuwairi Misrawi dan Khamami Zada, slogan-slogan yang mengemuka antara lain: al-Islâm huwa al-hal (Islam adalah alternatif), tatbiq al-syari’ah (menegakkan syari’at Islam), khilafah al-Islâmiyah (mendirikan kembali kekhalifahan Islam), dan sebagainya.[27] Doktrin ini menggelora selama berabad-abad, khususnya pasca-runtuhnya dinasti Utsmaniyah, sehingga dalam batas-batas tertentu doktrin tersebut telah membentuk kognisi keagamaan dogmatis yang bercorak “hitam-putih”. Secara khusus, sejak munculnya negara Israel tahun 1948 afiliasi keislaman di negara-negara Arab muncul kembali ke permukaan, terutama setelah kekalahan Mesir pada perang dengan Israel tahun 1973. Afiliasi berdasarkan agama ini menguat karena nasionalisme Arab dianggap tidak berdaya melawan hegemoni Barat yang semakin kuat menancapkan cakarnya di Timur Tengah. Politik luar negeri Amerika semakin condong ke Israel, dan sering mengorbankan rakyat Palestina, juga menjadi faktor pendorong munculnya gerakan-gerakan militan Islam.


Refleksi Kebangsaan: Mengelola Warisan Kebhinnekaan Kita
Harus dicatat pula, bahwa realitas kemajemukan bangsa adalah warisan sejarah panjang perjalanan Indonesia selama berabad-abad sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dengan luas wilayah Nusantara yang hampir 2 juta kilometer persegi, terdiri dari sekitar 13.700 pulau besar dan kecil, lebih dari 300 ragam etnis, dengan adat istiadat, budaya dan keyakinan agama yang berbeda-beda, menyimpan potensi keretakan yang kapan saja bisa mengemuka apabila tidak ada alasan atau raison de'etre sebagai bangsa untuk bersatu. Bahwa raison de'etre untuk menjadi satu bangsa, bukan sekedar perasaan subjektif para pendiri bangsa menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945, melainkan mendapatkan pijakan sejarah selama berabad-abad seperti telah dibuktikan di atas. Dan kesadaran sebagai putra-putri dari sebuah bangsa yang besar yang telah melahirkan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, kiranya menjadi tugas sejarah untuk terus memperjuangkan dan mewujudkan kesatuan bangsa, dan menjadi obor penyuluh, ketika sebagian anak-anak bangsa ini mulai dijangkiti penyakit sektarian sempit, fanatisme agama, dan egoisme kelompok dan golongan yang mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam situasi seperti ini, pesan Mpu Tantular menjadi relevan untuk kita sosialisasikan kembali, yaitu dengan kesadaran bahwa selain di “ruang privat” kita masing-masing tentang kebenaran agama apapun yang kita yakini (diwakili seloka: Tan Hana Dharma Mangrwa - “Tidak ada kebenaran religius yang mendua”), tetapi di “ruang publik” kita harus menghela tugas sejarah bersama, yang dengannya eksistensi NKRI sebagai rumah kita bersama, kita pertaruhkan: Bhinneka Tunggal Ika ~ “Berbeda-beda, tetapi Satu Jua”.



Penyegaran Materi Sosialisasi di MPR-RI, Jakarta, 13-16 Pebruari 2015


*)Makalah disajikan dalam Lokakarya yang diselenggarakan oleh MPR-RI di Hotel Mulia, Jakarta, 17-19 Juni 2011.
**)Bambang Noorsena, adalah pengamat budaya dan masalah kebangsaan dan aktivis dialog antariman. Penulis juga pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS), Dosen Universitas Kristen Cipta Wacana (UKCW) Malang, dan pernah menjadi anggota Dewan Konsultatif Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).
[1]Sinopsis karya-karya Mpu Tantular dapat dibaca dari P.J. Zoetmulder, SJ.,Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995), hlm. 430-437. Lebih lanjut, Seluruh kisah di atas Kakawin Sutasoma Mpu Tantular. Alih Bahasa: Dwi Woro Resno Mastuti dan Hastho Bramantyo (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009).
[2]Soewito Santoso, Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana (New Delhi: International Academy of Indian Culture, 1975).
[3]Lihat: Pidato Bung Karno “Lahirnya Pantjasila”, dimuat dalam R.M. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945. Edisi Revisi (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 159.
[4]Naskah lengkap perundang-undangan ini telah pula diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul Perundang-undangan Madjapahit (Djakarta: Bhratara Karya Aksara, 1967). Naskah ini berasal dari naskah yang sama yang diangkat menjadi disertasi J.C.G. Yonker, Een Oud-Javaansch Wetboek Vergeleken met Indische Rechtsbronnen, yang dipertahankan di Universitas Leiden Negeri Belanda, untuk memperoleh gelar doktor dalam kesusastraan Timur, tahun 1885. Ternyata naskah ini pernah diterbitkan dalam terjemahan bahasa Bali dan Melayu oleh I Goesti Poetoe Djelantik dan HJ.E.F. Schwartz, Wetboek "Agama” in Het Hoog-Balisch en Medisch Vertaaid (Batavia: Landrukkerij, 1918). Naskah undang-undang kuno ini diterbitkan pada masa kolonial untuk kepentingan pengadilan Kerta, di Bali dan Lombok. Dalam bahasa asli Jawa kuna yang dilestarikan dalam bentuk Lontar, Kutaramanawa disimpan di Perpustakaan Leiden, Belanda (Code: G.D. Huet).
[5]Goesti Poetoe Djelantik dan Ida Bagoes Oka, Adi Agama: Oud Bausch Wetboek op Last van den Resident van Bali en Lombok in Het Hoog Balisch Vertaaid (Batavia: Landrukkerij, 1918). Selain kedua kitab tersebut, J.J. Fraser dalam bukunya De inheemse Rechtpraak op Bali, bahkan menyebut 26 lontar hukum peninggaian masa Jawa kuno. Diantara sumber-sumber tertulis hukum adat Bali peninggalan dari masa Jawa kuno itu, untuk menyebut beberapa yang paling sering dikutip antara lain: Agama (atau Kutaramanawa), Adigama, Purwa Agama(atau Purwadhigama), Rajapatigundala, Siwasasana, Siwajambu, Swarajambu, Dewagama (atau Dharma Upapati), Dewadanda (atau Dharma Wicara), dan sebagainya (G. Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra (Manu Dharmacastra) atau Weda Smrti Compedium Hukum Hindu(Jakarta: PT. Junasco, 1978), hlm. 8-9.
[6]Soekarno, “Lahirnya Pancasila” dalam RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945. Edisi Revisi (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 163.
[7]S. Soepomo, Arjunawijaya: A Kakawin of Mpu Tantular,Bibleotheca Indonesica, No. 14 -Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (The Hague: Martinus Nijhoff, 1977), hlm. 80-81.
[8]Muhammad Yamin, Tata Negara Madjapahit, Sapta Parwa, Jilid IV (Jakarta: Prapanca, 1962), hlm. 248-249.
[9]Ketut Riana, Kekawin Desa Warnana utawi Nagara Krtagama, Masa keemasan Majapahit (Jakarta: Penerbit Kompas, 2009), hlm. 152-153.
[10]RM. A.B. Kusuma, Op. Cit., hlm. 118,128
[11]Ibid, hlm. 129-130.
[12]Ibid
[13]Ibid., hlm. 251-253.
[14]Ibid., hlm. 246-247.
[15]Ibid., hlm. 255. Disebutkan dalam Kakawin Negarakrtagama (Canto ke-14, pupuh ke-5, baris ke-3): “Muwah tikhan i wandan, ambwan athawa maloko wwanin. Artinya: “Begitu juga Wandan, Ambwan (Ambon) atau Maloko (Maluku), Wwanin (Papua)”. H. Kern, Met Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 AD), "Hadi Poestaka” Boekh. (Uitg.-Mij's- Gravenhage - Amsterdam, 1919), hlm. 49-50.
[16] A.B. Kusuma, Op. Cit., hlm. 157.
[17]Teks Sanskrit dengan terjemahan bahasa inggris, dikutip dari Srimad Valmiki-Ramayana. Part II (Aranya-Kanda, Kiskindha-Kanda and Sundara-Kanda). Gorakhpur (India: Gita Press, 1992), hlm. 1019-1020.
[18]Epos Ramayana juga menyebut bahwa kayu cendana diimpor dari kepulauan Nusantara, dari Gunung Rsabha yang terletak di Timor. I.B. Putu Suamba, Siwa-Buddha di Indonesia: Ajaran dan perkembangannya (Denpasar, Universitas Hindu Indonesia dan Widya Dharma, 2007), hlm. 41.
[19]Tesis Huntington ini, beberapa tahun kemudian lalu ditulisnya menjadi sebuah buku yang lebih lengkap: Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order (London: Touchstone Books, 1998).
[20] Tendensi ini tampak pada penjelasan Bab I buku ini. “Keberadaan musuh sangatlah penting”, tulis Huntington, “dan permusuhan yang paling penting di masa mendatang akan terjadi pada area persinggungan antar peradaban-peradaban utama di dunia.” (Ibid., hlm. 28-31).
[21]Lihat artikel saya: Bambang Noorsena, “Sindrom Perang Salib di Afghanistan”, dimuat dalam Mingguan TEMPO, 4 Nopember 2001.
[22] Samuel P. Huntington, Saddâm al-Hadhârât wa ‘I’âdat Shun’in Nidhâm al-‘âlamî (Cairo, Mesir: Suthûr li an-Nasyr, 1998).
[23]Dr. Mîlâd Hanâ, Qabûl al-âkhar: Min ajli Tawâshul Hiwâr al-Hadhârat(Cairo, Mesir: Al-l’lamiyyah li an-Nasyr, 2002), hlm. 40.
[24]Ibid., hlm. 67-68.
[25] Lihat juga artikel saya: Bambang Noorsena, “Ramadhan di Cairo”, dimuat Harian Sore Surabaya Post, 20 September 2004.
[26]0laf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 16-17.
[27]Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam melawan Terorisme (Jakarta: Lembaga Studi Islam Progresif/LSIP dan Yayasan TiFA, 2004), hlm. 94-95.

No comments:

Post a Comment