Pages

13 August 2014

Pertanyaan Kesembilan : Mana dalilnya Yesus lahir pada tanggal 25 Desember dan perintah merayakannya!!



Oleh : Pdt. Budi Asali, M.Div

Pertanyaan Kesembilan :
Mana dalilnya Yesus lahir pada tanggal 25 Desember
dan perintah merayakannya!!

Bacalah lebih dulu bagian delapan


SEJARAH NATAL
Christmas diartikan sebagai hari kelahiran Yesus, yang dirayakan oleh hampir semua orang Kristen didunia, berasal dari ajaran Gereja Katolik Roma. Padahal ajaran tersebut tidak terdapat dalam Alkitab dan Yesus-pun tidak pernah memerintahkan kepada murid-muridnya untuk menyelenggarakannya.

Perayaan yang masuk kedalam ajaran Gereja Katolik Roma pada abad ke empat ini, berasal dari upacara adat masyarakat penyembah berhala. Perayaan Natal yang diselenggarakan diseluruh dunia ini samasekali tidak mempunyai dasar dari Alkitab.

Menurut penjelasan di dalam Catholic Encyclopedia edisi 1911, yang berjudul ‘Christmas’, ditemukan kata-kata yang berbunyi sebagai berikut:

“Christmas was not among the earliest festivals of church, the first evidence of the feast is from Egypt. Pagan custom centering around the January calends gravitated to christmas.”
“Natal bukanlah upacara gereja yang pertama, melainkan ia diyakini berasal dari Mesir. Perayaan yang diselenggarakan oleh para penyembah berhala & jatuh pada bulan Januari ini, kemudian dijadikan hari kelahiran Yesus.”

Tanggapan Pdt. Budi Asali:




1)  Asal usul Natal dari kekafiran / penyembahan berhala bukanlah merupakan sesuatu yang pasti.

Di sini saya memberikan informasi dari Encyclopedia Britannica tentang sejarah Natal, juga tentang kata ‘Christmas’, dan asal usul tanggal 25 Desember dan perayaannya.


Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Christmas’:

“from Old English Cristes maesse, ‘Christ’s mass’), Christian festival celebrated on December 25, commemorating the birth of Jesus Christ. It is also a popular secular holiday. According to a Roman almanac, the Christian festival of Christmas was celebrated in Rome by AD 336. In the eastern part of the Roman Empire, however, a festival on January 6 commemorated the manifestation of God in both the birth and the baptism of Jesus, except in Jerusalem, where only the birth was celebrated. During the 4th century the celebration of Christ’s birth on December 25 was gradually adopted by most Eastern churches. In Jerusalem, opposition to Christmas lasted longer, but it was subsequently accepted. In the Armenian Church, a Christmas on December 25 was never accepted; Christ’s birth is celebrated on January 6. After Christmas was established in the East, the baptism of Jesus was celebrated on Epiphany, January 6. In the West, however, Epiphany was the day on which the visit of the Magi to the infant Jesus was celebrated. The reason why Christmas came to be celebrated on December 25 remains uncertain, but most probably the reason is that early Christians wished the date to coincide with the pagan Roman festival marking the ‘birthday of the unconquered sun’ (natalis solis invicti); this festival celebrated the winter solstice, when the days again begin to lengthen and the sun begins to climb higher in the sky. The traditional customs connected with Christmas have accordingly developed from several sources as a result of the coincidence of the celebration of the birth of Christ with the pagan agricultural and solar observances at midwinter. In the Roman world the Saturnalia (December 17) was a time of merrymaking and exchange of gifts. December 25 was also regarded as the birth date of the Iranian mystery god Mithra, the Sun of Righteousness. On the Roman New Year (January 1), houses were decorated with greenery and lights, and gifts were given to children and the poor. To these observances were added the German and Celtic Yule rites when the Teutonic tribes penetrated into Gaul, Britain, and central Europe. Food and good fellowship, the Yule log and Yule cakes, greenery and fir trees, and gifts and greetings all commemorated different aspects of this festive season. Fires and lights, symbols of warmth and lasting life, have always been associated with the winter festival, both pagan and Christian. Since the European Middle Ages, evergreens, as symbols of survival, have been associated with Christmas. Christmas is traditionally regarded as the festival of the family and of children, under the name of whose patron, Saint Nicholas, or Santa Claus, presents are exchanged in many countries”.

Saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi: “Alasan mengapa Natal sampai dirayakan pada tanggal 25 Desember tetap tidak pasti, tetapi paling mungkin alasannya adalah bahwa orang-orang kristen mula-mula ingin tanggal itu bertepatan dengan hari raya kafir Romawi yang menandai ‘hari lahir dari matahari yang tak terkalahkan’ ...; hari raya ini merayakan titik balik matahari pada musim dingin, dimana siang hari kembali memanjang dan matahari mulai naik lebih tinggi di langit. Jadi, kebiasaan yang bersifat tradisionil yang berhubungan dengan Natal telah berkembang dari beberapa sumber sebagai suatu akibat dari bertepatannya perayaan kelahiran Kristus dengan perayaan kafir yang berhubungan dengan pertanian dan matahari pada pertengahan musim dingin. ... Tanggal 25 Desember juga dianggap sebagai hari kelahiran dari dewa misterius bangsa Iran, yang bernama Mithra, sang Surya Kebenaran”.



Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘from church year Christmas’:

“The word Christmas is derived from the Old English Cristes maesse, ‘Christ’s Mass.’ There is no certain tradition of the date of Christ’s birth. Christian chronographers of the 3rd century believed that the creation of the world took place at the spring equinox, then reckoned as March 25; hence the new creation in the incarnation (i.e., the conception) and death of Christ must therefore have occurred on the same day, with his birth following nine months later at the winter solstice, December 25. The oldest extant notice of a feast of Christ’s Nativity occurs in a Roman almanac (the Chronographer of 354, or Philocalian Calendar), which indicates that the festival was observed by the church in Rome by the year 336. Many have posited the theory that the feast of Christ’s Nativity, the birthday of ‘the sun of righteousness’ (Malachi 4:2), was instituted in Rome, or possibly North Africa, as a Christian rival to the pagan festival of the Unconquered Sun at the winter solstice. This syncretistic cult that leaned toward monotheism had been given official recognition by the emperor Aurelian in 274. It was popular in the armies of the Illyrian (Balkan) emperors of the late 3rd century, including Constantine’s father. Constantine himself was an adherent before his conversion to Christianity in 312. There is, however, no evidence of any intervention by him to promote the Christian festival. The exact circumstances of the beginning of Christmas Day remain obscure. From Rome the feast spread to other churches of the West and East, the last to adopt it being the Church of Jerusalem in the time of Bishop Juvenal (reigned 424-458). Coordinated with Epiphany, a feast of Eastern origin commemorating the manifestation of Christ to the world, the celebration of the incarnation of Christ as Redeemer and Light of the world was favoured by the intense concern of the church of the 4th and 5th centuries in formulating creeds and dogmatic definitions relating to Christ’s divine and human natures. Christmas is the most popular of all festivals among Christians and many non-Christians alike, and its observance combines many strands of tradition. From the ancient Roman pagan festivals of Saturnalia (December 17) and New Year’s come the merrymaking and exchange of presents. Old Germanic midwinter customs have contributed the lighting of the Yule log and decorations with evergreens. The Christmas tree comes from medieval German mystery plays centred in representations of the Tree of Paradise (Genesis 2:9). Francis of Assisi popularized the Christmas crib, or crèche, in his celebration at Greccio, Italy, in 1223. Another popular medieval feast was that of St. Nicholas of Myra (c. 340) on December 6, when the saint was believed to visit children with admonitions and gifts, in preparation for the gift of the Christ child at Christmas. Through the Dutch the tradition of St. Nicholas (Sinterklaas, hence ‘Santa Claus’) was brought to America in their colony of New Amsterdam, now New York. The sending of greeting cards at Christmas began in Britain in the 1840s and was introduced to the United States in the 1870s”.


Saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi: Tidak ada tradisi tertentu yang pasti tentang tanggal kelahiran Kristus. Para penghitung waktu Kristen dari abad ketiga percaya bahwa penciptaan dunia / alam semesta terjadi pada musim semi di saat siang dan malam sama lamanya, yang pada saat itu dianggap sebagai tanggal 25 Maret; karena itu penciptaan baru dalam inkarnasi (yaitu ‘pembuahan’ / mulai adanya janin Kristus) dan kematian Kristus harus terjadi pada hari yang sama, dengan kelahiranNya 9 bulan berikutnya pada titik balik matahari pada musim dingin, 25 Desember. ... Banyak orang memberikan teori bahwa hari raya tentang kelahiran Kristus, hari lahir dari ‘surya kebenaran’ (Mal 4:2) ditetapkan di Roma, atau mungkin di Afrika Utara, sebagai suatu saingan Kristen terhadap hari raya kafir dari Surya yang tak terkalahkan pada titik balik matahari. ... Keadaan yang tepat tentang permulaan / asal usul hari Natal tetap kabur.

Perhatikan 2 hal:

a)   Kata-kata ‘tetap tidak pasti’, ‘tidak ada tradisi tertentu yang pasti’, dan ‘keadaan yang tepat tentang permulaan / asal usul hari Natal tetap kabur’, yang saya cetak dengan huruf besar itu. Ini menunjukkan bahwa asal usul kafir itu memang tidak bisa dipastikan. Lalu mengapa orang-orang bodoh yang anti Natal ini menuduh hanya berdasarkan suatu kemungkinan yang tidak pasti?

b)  Sedikitnya ada 4 asal usul tanggal 25 Desember (yang tiga dari Encyclopedia Britannica 2000 di atas, dan yang satu ditambahkan oleh Alfred Edersheim), yaitu:

  1. Hari raya Romawi yang memperingati titik balik matahari. 
  2. Hari lahir dari dewa bangsa Iran. 
  3. Itu ditentukan oleh para penghitung waktu Kristen (sekalipun dengan cara yang sangat tidak masuk akal) 
  4. Alfred Edersheim memberikan asal usul tanggal 25 Desember yang berbeda.


Alfred Edersheim: “the date of the Feast of the Dedication - the 25th of Chislev - seems to have been adopted by the ancient Church as that of the birth of our blessed Lord - Christmas - the Dedication of the true Temple, which was the body of Jesus” [= tanggal dari hari raya Pentahbisan Bait Allah - bulan Kislew tanggal 25 - kelihatannya telah diadopsi oleh Gereja kuno sebagai tanggal kelahiran dari Tuhan kita yang terpuji - Natal - Pentahbisan dari Bait Allah yang sejati, yang adalah tubuh dari Yesus (bdk. Yoh 2:19-22)] - The Temple, hal 334.



Perhatikan bahwa point 3. dan 4. tidak menunjukkan asal usul dari kafir!

Semua ini jelas menunjukkan bahwa asal usul tanggal 25 Desember sebagai hari Natal masing simpang siur dan tidak ada kepastiannya. Tetapi orang-orang bodoh yang anti Natal itu dengan beraninya (atau dengan cerobohnya / lancangnya) telah menuduh tidak karu-karuan. Menuduh tanpa fakta yang pasti, sama dengan memfitnah!


2)  Sekarang andaikata tanggal 25 Desember itu memang diadopsi dari hari raya kafir, kita masih harus memperhitungkan apa motivasi orang-orang kristen pada saat itu untuk melakukan hal tersebut.

Encyclopedia Britannica 2000 yang sudah saya kutip di atas, mengatakan bahwa ada teori yang mengatakan bahwa orang-orang kristen mengadopsi tanggal itu supaya perayaan Natal menyaingi perayaan kafir tersebut. Untuk jelasnya saya mengutip ulang bagian itu.

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘from church year Christmas’:
“The word Christmas is derived from the Old English Cristes maesse, ‘Christ’s Mass.’ There is no certain tradition of the date of Christ’s birth. Christian chronographers of the 3rd century believed that the creation of the world took place at the spring equinox, then reckoned as March 25; hence the new creation in the incarnation (i.e., the conception) and death of Christ must therefore have occurred on the same day, with his birth following nine months later at the winter solstice, December 25. The oldest extant notice of a feast of Christ’s Nativity occurs in a Roman almanac (the Chronographer of 354, or Philocalian Calendar), which indicates that the festival was observed by the church in Rome by the year 336. Many have posited the theory that the feast of Christ’s Nativity, the birthday of ‘the sun of righteousness’ (Malachi 4:2), was instituted in Rome, or possibly North Africa, as a Christian rival to the pagan festival of the Unconquered Sun at the winter solstice. This syncretistic cult that leaned toward monotheism had been given official recognition by the emperor Aurelian in 274. It was popular in the armies of the Illyrian (Balkan) emperors of the late 3rd century, including Constantine’s father. Constantine himself was an adherent before his conversion to Christianity in 312. There is, however, no evidence of any intervention by him to promote the Christian festival. The exact circumstances of the beginning of Christmas Day remain obscure. From Rome the feast spread to other churches of the West and East, the last to adopt it being the Church of Jerusalem in the time of Bishop Juvenal (reigned 424-458). Coordinated with Epiphany, a feast of Eastern origin commemorating the manifestation of Christ to the world, the celebration of the incarnation of Christ as Redeemer and Light of the world was favoured by the intense concern of the church of the 4th and 5th centuries in formulating creeds and dogmatic definitions relating to Christ’s divine and human natures. Christmas is the most popular of all festivals among Christians and many non-Christians alike, and its observance combines many strands of tradition. From the ancient Roman pagan festivals of Saturnalia (December 17) and New Year’s come the merrymaking and exchange of presents. Old Germanic midwinter customs have contributed the lighting of the Yule log and decorations with evergreens. The Christmas tree comes from medieval German mystery plays centred in representations of the Tree of Paradise (Genesis 2:9). Francis of Assisi popularized the Christmas crib, or crèche, in his celebration at Greccio, Italy, in 1223. Another popular medieval feast was that of St. Nicholas of Myra (c. 340) on December 6, when the saint was believed to visit children with admonitions and gifts, in preparation for the gift of the Christ child at Christmas. Through the Dutch the tradition of St. Nicholas (Sinterklaas, hence ‘Santa Claus’) was brought to America in their colony of New Amsterdam, now New York. The sending of greeting cards at Christmas began in Britain in the 1840s and was introduced to the United States in the 1870s”.

Saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi: “Banyak orang memberikan teori bahwa hari raya tentang kelahiran Kristus, hari lahir dari ‘surya kebenaran’ (Mal 4:2) ditetapkan di Roma, atau mungkin di Afrika Utara, sebagai suatu saingan Kristen terhadap hari raya kafir dari Surya yang tak terkalahkan pada titik balik matahari.

Hal yang mirip dengan itu adalah, baik Nebukadnezar dan Artahsasta disebut dengan istilah ‘raja di atas segala raja’.

  • Dan 2:37 - “Ya tuanku raja, raja segala raja, yang kepadanya oleh Allah semesta langit telah diberikan kerajaan, kekuasaan, kekuatan dan kemuliaan”.
  • Ezra 7:12 - “‘Artahsasta, raja segala raja, kepada Ezra, imam dan ahli Taurat Allah semesta langit, dan selanjutnya. Maka sekarang”.

Tetapi gelar dari raja kafir itu lalu diberikan kepada Yesus / Allah.
  • 1Tim 6:15 - “yaitu saat yang akan ditentukan oleh Penguasa yang satu-satunya dan yang penuh bahagia, Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan”.
  • Wah 17:14 - “Mereka akan berperang melawan Anak Domba. Tetapi Anak Domba akan mengalahkan mereka, karena Ia adalah Tuan di atas segala tuan dan Raja di atas segala raja. Mereka bersama-sama dengan Dia juga akan menang, yaitu mereka yang terpanggil, yang telah dipilih dan yang setia.’”.
  • Wah 19:16 - “Dan pada jubahNya dan pahaNya tertulis suatu nama, yaitu: ‘Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan.’”.

Mengapa bisa demikian? Jawabannya diberikan oleh Encyclopedia di bawah ini.

The International Standard Bible Encyclopedia, vol II:
“The title ‘King of kings,’ denoting absolute authority rather than divinity per se, is used of God and Christ in the NT (always with ‘Lord of lords’: 1Tim. 6:15; Rev. 17:14; 19:16). Its use was a response by both Jews and Christians to the practice of deifying earthly political rulers [= Gelar ‘Raja segala raja’ lebih menunjukkan otoritas mutlak dari pada keilahian sendiri, digunakan terhadap Allah dan Kristus dalam PB (selalu dengan ‘Tuhan segala Tuhan’: 1Tim 6:15; Wah 17:14; 19:16). Penggunaannya merupakan suatu tanggapan baik oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen terhadap praktek pendewaan penguasa-penguasa politik duniawi] - hal 508.

Jadi rupanya pada jaman itu banyak raja duniawi disebut dengan istilah ‘raja di atas segala raja’. Orang-orang kristen merasakan itu sebagai tidak tepat, dan mereka menganggap hanya Yesus / Allah yang pantas memakai gelar itu, dan mereka lalu memberikan gelar itu kepada Allah / Yesus, dan bahkan setiap kali gelar itu mereka berikan kepada Allah / Yesus, maka mereka menambahi dengan kata-kata ‘Tuhan atas segala Tuhan’. Jadi mereka menampilkan Yesus / Allah sebagai saingan terhadap raja-raja kafir yang didewakan oleh rakyat kafir mereka. Apakah ini juga mau kita anggap berasal dari kafir? Kalau mau dikatakan berasal dari kafir, memang jelas berasal dari kafir. Tetapi apakah kita mau menyalahkan motivasi mereka, yang sebetulnya bisa dikatakan sebagai ‘mulia’?

Demikian juga, andaikata Natal memang diambil dari kafir, tetapi motivasinya adalah untuk menyaingi hari-hari raya kafir, itu adalah sesuatu yang ‘mulia’, dan bertujuan untuk memuliakan Tuhan.


Apa maksudnya orang-orang kristen itu menyaingi hari-hari raya kafir itu? Mungkin pada jaman itu orang-orang kristen tertentu sering menghadiri hari raya kafir, dan pada saat-saat seperti itu biasanya mereka jatuh ke dalam dosa-dosa tertentu, seperti penyembahan berhala, perzinahan, makan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala, dan sebagainya. Karena itu gereja lalu menepatkan Natal dengan tanggal tersebut, supaya orang-orang kristen itu merayakan Natal di gereja, dan tidak pergi ke perayaan-perayaan kafir.

Ini mirip dengan kalau gereja mengadakan acara pada malam tahun baru (tanggal 31 Desember), yang sebenarnya sama sekali bukan hari kristen / rohani, tetapi sebaliknya hanya merupakan hari sekuler. Dari pada jemaatnya pergi ke tempat-tempat hiburan yang tidak karuan, lebih baik mereka diarahkan untuk pergi ke gereja. Hanya orang bodoh dan tidak rohani yang akan menyalahkan hal seperti ini!


3)  Dalam kristen maupun dalam kehidupan kita sehari-hari ada banyak hal yang berasal dari kekafiran, tetapi tetap dipertahankan, setelah dibuang kekafirannya. Sebagai contoh adalah gelar ‘raja di atas segala raja’ yang sudah kita bahas di atas. Saya akan memberikan beberapa contoh lain:

a)   Nama Lucifer (KJV) / bintang timur (Yes 14:12), yang berasal dari astrology, suatu bentuk pemberhalaan.

Yes 14:12 - “‘Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa!”.
KJV: ‘How art thou fallen from heaven, O Lucifer, son of the morning! how art thou cut down to the ground, which didst weaken the nations!’ (= Bagaimana engkau jatuh dari surga, hai Lucifer / Bintang Timur, putera pagi / Fajar! bagaimana engkau ditebang / dijatuhkan ke tanah, yang melemahkan bangsa-bangsa!).

Dari International Standard Bible Encyclopedia dengan topik ‘ASTROLOGY’:
“THE WORSHIP OF THE HEAVENLY BODIES THE FORM OF IDOLATRY TO WHICH THE ISRAELITES WERE MOST PRONE: ... 5. Lucifer, the Shining Star” (= Penyembahan terhadap benda-benda surgawi / angkasa; bentuk pemberhalaan terhadap mana bangsa Israel paling condong: ... 5. Lucifer, bintang yang bersinar).

Tetapi nama Lucifer / bintang timur ini akhirnya dipakai oleh Yesus untuk diriNya sendiri dalam Wah 22:16 - “‘Aku, Yesus, telah mengutus malaikatKu untuk memberi kesaksian tentang semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat. Aku adalah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang-gemilang.’”.

Kalau Yesus sendiri boleh menggunakan suatu nama yang berasal dari kekafiran untuk diriNya sendiri, lalu mengapa kita tidak boleh?

Catatan: sebetulnya merupakan sesuatu yang salah untuk mengatakan bahwa kata Lucifer itu menunjuk kepada pemimpin malaikat yang lalu jatuh dan menjadi setan.
  • Kata / nama ‘Lucifer’ hanya muncul satu kali dalam Kitab Suci, yaitu dalam Yes 14:12, dan itupun hanya dalam versi-versi Kitab Suci tertentu, seperti KJV, NKJV, Living Bible. Selain ketiga versi ini, saya tidak tahu apakah ada versi lain lagi yang menterjemahkannya seperti itu.
  • Kata / nama ‘Lucifer’, berarti ‘light-bearer’ (= pembawa terang), dan merupakan nama bahasa Latin untuk planet Venus, benda yang paling terang di langit selain matahari dan bulan, yang kelihatan sebagai suatu bintang, kadang-kadang pada malam dan kadang-kadang pada pagi (‘The New Bible Dictionary’).


Kata ‘bintang timur’ / ‘Lucifer’ dalam Yes 14:12 ini lalu ditujukan kepada Iblis / setan, karena:
  •  konteks dari Yes 14:12, khususnya Yes 14:12-14 yang berbunyi: “(12) Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa! (13) Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. (14) Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi!.
  • dihubungkan dengan ayat-ayat seperti:
*   Luk 10:18 - “Lalu kata Yesus kepada mereka: ‘Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit.”.
*        Wah 9:1 - “Lalu malaikat yang kelima meniup sangkakalanya, dan aku melihat sebuah bintang yang jatuh dari langit ke atas bumi, dan kepadanya diberikan anak kunci lobang jurang maut”.
*        Wah 12:9 - “Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya”.

Tetapi, sekalipun penafsiran seperti ini sangat populer, ini adalah penafsiran yang salah, karena:

1. Jelas bahwa dalam Yes 14 istilah ‘Bintang Timur’ / ‘Lucifer’ itu sebetulnya menunjuk kepada raja Babel.
Yes 14:4,22-23 - “(4) maka engkau akan memperdengarkan ejekan ini tentang raja Babel, dan berkata: ‘Wah, sudah berakhir si penindas sudah berakhir orang lalim! ... (22) ‘Aku akan bangkit melawan mereka,’ demikianlah firman TUHAN semesta alam, ‘Aku akan melenyapkan nama Babel dan sisanya, anak cucu dan anak cicitnya,’ demikianlah firman TUHAN. (23) ‘Aku akan membuat Babel menjadi milik landak dan menjadi air rawa-rawa, dan kota itu akan Kusapu bersih dan Kupunahkan,’ demikianlah firman TUHAN semesta alam”.


2.   Kejatuhan raja Babel dalam Yes 14:12-14 itu merupakan peristiwa sejarah.
Peristiwa sejarah tidak boleh dilambangkan / dialegorikan. Peristiwa sejarah hanya bisa menjadi TYPE, tetapi kalau demikian, maka peristiwa itu akan menunjuk ke masa depan, karena TYPE (apa ini? Bacalah ini) tidak pernah menunjuk ke masa lalu. Padahal kejatuhan setan terjadi di masa lalu. Karena itu, saya menganggap bahwa teks tersebut (Yes 14) itu sama sekali tidak berbicara tentang setan maupun kejatuhannya. Kalau saudara merasa bahwa penggambaran tentang raja Babel (perhatikan bagian-bagian yang saya garis-bawahi dalam Yes 14:12-14) rasanya tidak menunjuk kepada seorang manusia, maka ingatlah bahwa bagian ini berbentuk suatu puisi, dan karenanya menggunakan bahasa puisi, yang tentunya tidak bisa diartikan secara hurufiah.

Untuk mendukung pandangan saya ini, saya memberikan 2 kutipan di bawah ini, yang merupakan komentar John Calvin dan Adam Clarke tentang Yes 14:12.

Calvin: “The exposition of this passage, which some have given, as if it referred to Satan, has arisen from ignorance; for the context plainly shows that these statements must be understood in reference to the king of the Babylonians. But when passages of Scripture are taken at random, and no attention is paid to the context, we need not wonder that mistake of this kind frequently arise. Yet it was an instance of very gross ignorance, to imagine that Lucifer was the king of devils, and that the Prophet gave him this name. But as these inventions have no probability whatever, let us pass by them as useless fables” (= Exposisi yang diberikan oleh beberapa orang tentang teks ini, seakan-akan teks ini menunjuk kepada setan / berkenaan dengan setan, muncul / timbul dari ketidak-tahuan; karena konteks secara jelas menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan ini harus dimengerti dalam hubungannya dengan raja Babel. Tetapi pada waktu bagian-bagian Kitab Suci diambil secara sembarangan, dan kontex tidak diperhatikan, kita tidak perlu heran bahwa kesalahan seperti ini muncul / timbul. Tetapi itu merupakan contoh dari ketidak-tahuan yang sangat hebat, untuk membayangkan bahwa Lucifer adalah raja dari setan-setan, dan bahwa sang nabi memberikan dia nama ini. Tetapi karena penemuan-penemuan ini tidak mempunyai kemungkinan apapun, marilah kita mengabaikan mereka sebagai dongeng / cerita bohong yang tidak ada gunanya) - hal 442.

Adam Clarke: “And although the context speaks explicitly concerning Nebuchadnezzar, yet this has been, I know not why, applied to the chief of the fallen angels, who is most incongruously denominated Lucifer, (the bringer of light!) an epithet as common to him as those of Satan and Devil. That the Holy Spirit by his prophets should call this arch-enemy of God and man the light-bringer, would be strange indeed. But the truth is, the text speaks nothing at all concerning Satan nor his fall, nor the occasion of that fall, which many divines have with great confidence deduced from this text. O how necessary it is to understand the literal meaning of Scripture, that preposterous comments may be prevented!” [= Dan sekalipun konteksnya berbicara secara eksplisit tentang Nebukadnezar, tetapi entah mengapa konteks ini telah diterapkan kepada kepala dari malaikat-malaikat yang jatuh, yang secara sangat tidak pantas disebut / dinamakan Lucifer (pembawa terang!), suatu julukan yang sama umumnya bagi dia, seperti Iblis dan Setan. Bahwa Roh Kudus oleh nabiNya menyebut musuh utama dari Allah dan manusia sebagai ‘pembawa terang’, betul-betul merupakan hal yang sangat aneh. Tetapi kebenarannya adalah, text ini tidak berbicara sama sekali tentang Setan maupun kejatuhannya, ataupun saat / alasan kejatuhan itu, yang dengan keyakinan yang besar telah disimpulkan dari teks ini oleh banyak ahli theologia. O alangkah pentingnya untuk mengerti arti hurufiah dari Kitab Suci, supaya komentar-komentar yang gila-gilaan / tidak masuk akal bisa dicegah!] - hal 82.

b)  Kata ‘Behold’ / ‘Lihatlah’ dalam Yes 7:14 diambil dari kekafiran dan diterapkan pada kelahiran Kristus.

Yes 7:14 - “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel”.
KJV: ‘Therefore the Lord himself shall give you a sign; Behold, a virgin shall conceive, and bear a son, and shall call his name Immanuel’ (= Karena itu, Tuhan sendiri akan memberimu suatu tanda; Lihatlah, seorang perawan akan mengandung, dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan akan menamaiNya Immanuel).

E. J. Young: “‘Behold!’ ... It has also appeared in the texts from Ugarit. ... In Ugarit it had been used to announce the birth of gods, nonexistent beings who were a part of that web of superstition which covered the ancient pagan world. On Isaiah’s lips, however, this formula is lifted from its ancient pagan context and made to introduce the announcement of the birth of the only One who truly is God and King” (= ‘Lihatlah!’ ... Kata itu juga muncul dalam text-text dari Ugarit. ... Di Ugarit kata itu telah digunakan untuk mengumumkan kelahiran allah-allah / dewa-dewa, makhluk-makhluk yang tidak mempunyai keberadaan yang merupakan sebagian dari jaringan takhyul yang meliputi dunia kafir kuno. Tetapi di bibir Yesaya, formula ini diangkat dari konteks kafir kunonya dan digunakan untuk mengajukan pengumuman tentang kelahiran dari satu-satunya ‘Makhluk’ yang sungguh-sungguh adalah Allah dan Raja) - The Book of Isaiah, vol I, hal  284-285.

Kalau Yesaya boleh menggunakan kata yang berasal dari orang kafir dalam urusan berhala mereka, dan menggunakannya untuk menubuatkan kelahiran Kristus, mengapa orang Kristen jaman sekarang menolak Natal dengan alasan itu berasal dari orang kafir / penyembah berhala?

c)  Kata Yunani THEOS (= Allah) mungkin juga berhubungan dengan kekafiran, seperti yang dikatakan oleh Bavinck di bawah ini.

Herman Bavinck: “Formerly the Greek word THEOS was held to be derived from TITHENAI, THEEIN, THEASTHAI. At present some philologists connect it with Zeus, Dios, Jupiter, Deus, Diana, Juno, Dio, Dieu. So interpreted it would be identical with the Sanskrit ‘deva, the shinning heaven, from ‘divorce’ to shine. Others, however, deny all etymological connection between the Greek word THEOS and the Latin Deus and connect the former with the root THES in THESSASTHAI to desire, to invoke. In many languages the words ‘heaven’ and ‘God’ are used synonymously; the oldest Grecian deity Uranus was probably identical with the Sanskrit Varuna; the Tartar and Turkish word ‘Taengri’ and the Chinese word ‘Thian’ mean both heaven and God; and also in Scripture the words heaven and God are sometimes used interchangeably; e.g., in the expression ‘kingdom of heaven’ or ‘kingdom of God.’” (= Dahulu dipercaya bahwa kata Yunani THEOS diturunkan dari TITHENAI, THEEIN, THEASTHAI. Pada saat ini beberapa ahli bahasa menghubungkannya dengan Zeus, Dios, Jupiter, Deus, Diana, Juno, Dio, Dieu. Ditafsirkan demikian, maka kata itu menjadi identik dengan kata Sansekerta ‘deva’, ‘langit / surga yang berkilau / bersinar’, dan berasal dari kata ‘div’ yang berarti ‘berkilau / bersinar’. Tetapi para ahli bahasa yang lain menyangkal semua hubungan asal usul kata antara kata Yunani THEOS dan kata Latin DEUS dan menghubungkan kata THEOS itu dengan akar kata THES dalam THESSASTHAI, yang berarti ‘menginginkan’, ‘meminta / memohon’) - The Doctrine of God’, hal 98-99.

Juga bandingkan dengan kata-kata Dabney di bawah ini.

R. L. Dabney: “... the Greek and Latin names of God, Zeuj and Jove. ... Now the votaries of the comparative philology of modern days, will have Zeuj derived (by a change of Z to its cognate D,) from the sanscrit root, Dis, whose root-meaning was supposed to be ‘splendour.’ To the same source they trace qeoj, Deus, Divus, Dies, &c. ... But as to Zeuj and Jove, may not another etymology be more probable? (as is confessed by some of the best Greek scholars) that Zeuj is from Zew, Zaw, ‘I live,’ and Zwh, ‘life.’ Notice, then, the strange resemblance, almost an identity, between ‘Jehovah,’ and ‘Jove.’ The latter, with ‘pater,’ makes the Latin nominative Jupiter - Jov-Pater - father Jove. If this origin is true, then we have the Greek name of the chief God, Zeuj, involving the same fundamental idea; ‘The Living One,’ - the self-existent source of life. This is much more explanatory of the early myths touching Jove, as the ‘Father of Gods and men,’ than the primary idea of the supposed sanscrit root” [= ... nama-nama Allah dalam bahasa Yunani dan Latin, Zeuj dan Jove. ... Sekarang penggemar-penggemar dari ilmu perbandingan bahasa jaman modern, menurunkan kata Zeuj (dengan suatu perubahan dari Z kepada D yang asal usulnya sama), dari akar kata Sansekerta, Dis, yang arti akar katanya dianggap sebagai ‘semarak / kemegahan’. Kepada sumber / asal usul yang sama mereka menelusuri qeoj, Deus, Divus, Dies, &c. ... Tetapi berkenaan dengan Zeuj dan Jove, tidak bisakah etymology / asal usul kata yang lain lebih memungkinkan? (seperti yang diakui oleh sebagian ahli-ahli bahasa Yunani yang terbaik) bahwa Zeuj berasal dari Zew (ZEO), Zaw (ZAO), ‘Aku hidup’, and Zwh (ZOE), ‘kehidupan’. Lalu perhatikan kemiripan, dan bahkan hampir merupakan suatu keindetikan, yang aneh, antara ‘Yehovah’ dan ‘Jove’. Yang terakhir, dengan ‘pater’, membuat kata nominatif bahasa Latin ‘Yupiter’ - ‘Yov-Pater’ - ‘bapa Jove’. Jika asal usul ini benar, maka kita mempunyai nama Yunani dari Allah utama / tertinggi, Zeuj, melibatkan pengertian dasar yang sama; ‘Yang Hidup’, - sumber kehidupan yang ada dari dirinya sendiri. Ini lebih memberi penjelasan dari mitos-mitos mula-mula mengenai Jove, sebagai ‘Bapa dari Allah-Allah dan manusia-manusia’, dari pada pengertian utama dari akar kata Sansekerta yang diduga] - Lectures in Systematic Theology’, hal 145 (footnote).


Memang dalam Kitab Suci kata Elohim, Theos, dsb, dipakai, baik untuk menunjuk kepada Allah yang benar, maupun kepada dewa-dewa / berhala-berhala kafir, bahkan kepada setan (1Sam 28:13  2Kor 4:4). Apakah kita harus membuang penggunaan istilah itu?

  • 1Sam 28:13 - “Maka berbicaralah raja kepadanya: ‘Janganlah takut; tetapi apakah yang kaulihat?’ Perempuan itu menjawab Saul: ‘Aku melihat sesuatu yang ilahi (Ibrani: ELOHIM) muncul dari dalam bumi.’”.
Istilah ELOHIM, yang biasanya diterjemahkan ‘Allah’, di sini diterjemahkan ‘sesuatu yang ilahi’, dan pasti menunjuk kepada setan.

  • 2Kor 4:4 - “yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah (THEOS) zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah”.
Istilah ‘ilah zaman ini’ tentu menunjuk kepada setan.


d)  Istilah dalam Wah 1:4 yang digunakan untuk Allah juga mempunyai banyak kemiripan dengan istilah-istilah yang digunakan terhadap dewa kafir.

Wah 1:4 - “Dari Yohanes kepada ketujuh jemaat yang di Asia Kecil: Kasih karunia dan damai sejahtera menyertai kamu, dari Dia, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, dan dari ketujuh roh yang ada di hadapan takhtaNya”.

Barnes’ Notes (tentang Wah 1:4): “It is remarkable that there are some passages in pagan inscriptions and writings which bear a very strong resemblance to the language used here by John respecting God. Thus, Plutarch (De Isa. et Osir., p. 354.), speaking of a temple of Isis, at Sais, in Egypt, says, ‘It bore this inscription -- ‘I am all that was, and is, and shall be, and my vail no mortal can remove’’ -- ... . So Orpheus (in Auctor. Lib. de Mundo), ‘Jupiter is the head, Jupiter is the middle, and all things are made by Jupiter.’ So in Pausanias (Phocic. 12), ‘Jupiter was; Jupiter is; Jupiter shall be.’ [= Merupakan sesuatu yang luar biasa bahwa ada beberapa text dalam prasasti-prasasti dan tulisan-tulisan kafir yang mengandung suatu kemiripan yang sangat kuat dengan bahasa / ungkapan yang digunakan oleh Yohanes di sini berkenaan dengan Allah. Sesuai dengan itu, Plutarch (De Isa. et Osir., p 354.), berbicara tentang kuil dari Isis, di Sais, di Mesir, berkata: ‘Itu mengandung tulisan ini - ‘Aku adalah semua yang dahulu ada, dan sekarang ada, dan yang akan datang, dan tidak seorangpun bisa menyingkirkan cadar(?)ku’’ - ... Demikian juga Orpheus (in Auctor. Lib. de Mundo), ‘Yupiter adalah kepala, Yupiter adalah tengah-tengah, dan segala sesuatu dibuat oleh Yupiter’. Demikian juga dalam Pausanias (Phocic. 12), ‘Yupiter ada dahulu; Yupiter ada sekarang; Yupiter akan ada’.] - hal 1543.


e)  Pada jaman dahulu (Perjanjian Lama) banyak orang kafir menyembah benda-benda angkasa, termasuk bintang.

2Raja 23:5 - “Ia memberhentikan para imam dewa asing yang telah diangkat oleh raja-raja Yehuda untuk membakar korban di bukit pengorbanan di kota-kota Yehuda dan di sekitar Yerusalem, juga orang-orang yang membakar korban untuk Baal, untuk dewa matahari, untuk dewa bulan, untuk rasi-rasi bintang dan untuk segenap tentara langit.


Amos 5:26 - “Kamu akan mengangkut Sakut, rajamu, dan Kewan, dewa bintangmu, patung-patungmu yang telah kamu buat bagimu itu”.


Kis 7:43 - “Tidak pernah, malahan kamu mengusung kemah Molokh dan bintang dewa Refan, patung-patung yang kamu buat itu untuk disembah. Maka Aku akan membawa kamu ke dalam pembuangan, sampai di seberang sana Babel”.


Juga bintang dipakai sebagai alat meramal (horoscope) seperti dalam Yes 47:13 - “Engkau telah payah karena banyaknya nasihat! Biarlah tampil dan menyelamatkan engkau orang-orang yang meneliti segala penjuru langit, yang menilik bintang-bintang dan yang pada setiap bulan baru memberitahukan apa yang akan terjadi atasmu!.


Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘nature worship’, ‘Stars and constellations’: “True star worship existed only among some ancient civilizations associated with Mesopotamia, where star worship was practiced” (= Penyembahan bintang yang sesungguhnya hanya ada di antara beberapa kebudayaan kuno yang bersekutu dengan Mesopotamia, dimana penyembahan bintang dipraktekkan).

Tetapi pada kelahiran Kristus, bintang dipakai oleh Allah untuk memimpin orang-orang Majus untuk bisa menemukan Kristus.

Mat 2:2,7,9-10 - “(2) dan bertanya-tanya: ‘Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintangNya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.’ ... (7) Lalu dengan diam-diam Herodes memanggil orang-orang majus itu dan dengan teliti bertanya kepada mereka, bilamana bintang itu nampak. ... (9) Setelah mendengar kata-kata raja itu, berangkatlah mereka. Dan lihatlah, bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada. (10) Ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka”.

Mengapa Allah mau menggunakan bintang, yang tadinya merupakan ‘alat kafir’ ini, sebagai alatNya untuk menunjukkan Kristus kepada orang-orang Majus?

f)   Tahun Baru dan perayaannya juga berasal dari kekafiran.

Saksi Yehuwa mengatakan: “Menurut ‘The World Book Encyclopedia, ‘Penguasa Roma Julius Caesar menetapkan tanggal 1 Januari sebagai Hari Tahun Baru pada tahun 46 S.M. Orang-orang Roma membaktikan hari ini kepada Yanus, dewa dari gerbang, pintu, dan awal mula. Bulan Januari disebut menurut nama Yanus, yang mempunyai dua wajah - satu melihat ke depan dan yang lainnya melihat ke belakang.’ - (1984), Jil. 14, h. 237. - ‘Bertukar Pikiran Mengenai Ayat-Ayat Alkitab’, hal 133.

Secara implisit Saksi Yehuwa menentang perayaan tahun baru dengan alasan ini. Dengan kata lain, mereka menentang perayaan Tahun Baru karena berbau kafir, atau berasal usul kafir. Haruskah kita mengikuti Saksi-Saksi Yehuwa yang sesat ini, dengan mulai sekarang mengabaikan Tahun Baru dan perayaannya?


g)  Orang kristen berbakti pada hari yang dalam bahasa Inggris disebut ‘Sunday’, yang berasal dari nama hari raya kafir.

Microsoft Encarta Reference Library 2003: “‘Sunday,’ first day of the week. Its English name and its German name ( Sonntag) are derived from the Latin dies solis, ‘sun’s day,’ the name of a pagan Roman holiday. In the New Testament (see Revelation 1:10) it is called the Lord’s Day (Dominica in the Latin version), from which the name of Sunday is derived in Romance languages (French Dimanche; Italian Domenica; Spanish Domingo; Roman Duminica). In the early days of Christianity, Sunday began to replace the Sabbath and to be observed to honor the resurrection of Christ. Sunday was instituted as a day of rest, consecrated especially to the service of God, by the Roman emperor Constantine the Great” [= ‘Minggu’, hari pertama dari suatu minggu. Nama bahasa Inggris dan bahasa Jermannya (Sonntag) diturunkan / didapatkan dari kata bahasa Latin ‘dies solis’, ‘hari matahari’, nama dari hari raya Roma kafir. Dalam Perjanjian Baru (lihat Wahyu 1:10) itu disebut ‘Hari Tuhan’ (‘Dominica’ dalam versi Latin), dari mana nama ‘Sunday’ didapatkan dalam bahasa-bahasa Romance (Perancis ‘Dimanche’; Italy ‘Domenica’; Spanyol ‘Domingo’; Romawi ‘Duminica’). Pada hari-hari awal dari kekristenan, Minggu mulai menggantikan Sabat dan diperingati / dihormati untuk menghormati kebangkitan Kristus. Hari Minggu ditetapkan sebagai hari istirahat, dipersembahkan secara khusus untuk pelayanan / ibadah kepada Allah, oleh kaisar Romawi Kontantin yang Agung].

Apakah kita tidak boleh berbakti pada hari itu, karena hari itu berasal usul dari hari raya kafir? Atau apakah kita sebagai orang-orang kristen harus mengubah nama hari itu? Apakah orang kristen tidak boleh menggunakan istilah ‘Sunday School’ (= Sekolah Minggu)?

Juga, semua nama hari dalam bahasa Inggris dan juga nama-nama bulan seperti Januari, dan sebagainya, berasal dari nama-nama dewa atau dari nama-nama kaisar Romawi yang didewakan. Apakah kita sebagai orang-orang kristen tidak boleh memakai nama-nama hari dan bulan itu?

h)  Kebiasaan melakukan ‘toast’ dalam perayaan pernikahan juga berasal dari tradisi kafir dalam penyembahan berhala. Tetapi boleh dikatakan semua orang kristen melakukan ‘toast’ tersebut.

Dalam tafsirannya tentang 1Kor 10:21 Albert Barnes mengatakan: “In the feasts in honor of the gods, wine was poured out as a libation, or drank by the worshippers; .... The custom of drinking ‘toasts’ at feasts and celebrations arose from this practice of pouring out wine, or drinking in honor of the pagan gods; and is a practice that still partakes of the nature of paganism. It was one of the abominations of paganism to suppose that their gods would be pleased with the intoxicating drink. Such a pouring out of a libation was usually accompanied with a prayer to the idol god, that he would accept the offering; that he would be propitious; and that he would grant the desire of the worshipper. From that custom the habit of expressing a sentiment, or proposing a toast, uttered in drinking wine, has been derived” (= Dalam pesta-pesta untuk menghormati dewa-dewa, anggur dicurahkan sebagai suatu upacara pencurahan, atau diminum oleh penyembah-penyembah itu; ... Kebiasaan untuk minum toast pada pesta-pesta dan perayaan-perayaan muncul dari praktek pencurahan anggur ini, atau minum untuk menghormati dewa-dewa kafir; dan merupakan suatu praktek yang tetap mengambil bagian dalam sifat dasar / hakekat dari kekafiran. Merupakan sesuatu yang menjijikkan dari kekafiran untuk menganggap bahwa dewa-dewa mereka disenangkan dengan minuman yang memabukkan. Pencurahan minuman keras seperti itu biasanya disertai dengan suatu doa kepada dewa berhala, supaya ia menerima persembahan itu; supaya ia bermurah hati / senang; dan supaya ia mau mengabulkan keinginan dari si penyembah. Dari tradisi itu telah didapatkan kebiasaan untuk menyatakan suatu permohonan, atau pengajuan ‘toast’, dinyatakan dengan peminuman anggur).
 
Dewa-dewa Kanaan- British Museum
i)  Seluruh Kanaan dulunya adalah negeri kafir yang dipenuhi dengan penyembahan berhala. Tetapi Tuhan mengambilnya dan memberikannya kepada bangsa pilihanNya, dan Kanaan lalu menjadi Holy Land, dan Bait Allah dibangun di sana.

j)    Bahasa Yunani juga merupakan bahasa bangsa kafir, tetapi lalu diambil dan digunakan sebagai bahasa asli dari Kitab Suci.

Kesimpulan: karena dunia ini dulunya seluruhnya kafir, adalah mustahil bagi kita untuk menghindari hal-hal yang berasal dari kekafiran. Jadi selama kekafiran itu bisa disaring / dibersihkan, tidak jadi soal dengan hal-hal yang asal usulnya kafir itu.


Masih dalam Encyclopedi itu juga dengan judul ‘Natal Day’ bapak Katolik pertama mengakui bahwa:
“In the Scriptures, no one is recorded to have kept a feast or held a great banquet on his birthday. It is only sinners (like Pharaoh and Herold) who make great rejoicings over the day in which they were born into the world.”
Didalam Kitab Suci, tidak seorangpun yang mengadakan upacara atau menyelenggarakan perayaan untuk merayakan hari kelahiran Yesus. Hanya orang-orang kafir saja (seperti Firaun dan Herodes) yang berpesta pora merayakan hari kelahirannya ke dunia ini.”

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

1)  Memang Alkitab hanya mencatat dua orang yang merayakan hari ulang tahunnya, dan kedua orang itu adalah orang kafir, yaitu Firaun dan Herodes.
Kej 40:20 - “Dan terjadilah pada hari ketiga, hari kelahiran Firaun, maka Firaun mengadakan perjamuan untuk semua pegawainya. Ia meninggikan kepala juru minuman dan kepala juru roti itu di tengah-tengah para pegawainya”.
Mat 14:6 - “Tetapi pada hari ulang tahun Herodes, menarilah anak perempuan Herodias di tengah-tengah mereka dan menyukakan hati Herodes”.

Tetapi kalau ini dijadikan dasar untuk melarang orang Kristen untuk merayakan hari ulang tahunnya, ataupun untuk merayakan hari ulang tahun Yesus, maka saya beranggapan bahwa ini merupakan sesuatu yang bodoh dan elstrim. Mengapa? Karena ini merupakan ‘argument from silence’ (= argumentasi dari ke-diam-an apa ini? Baca ini) yang merupakan suatu metode penafsiran yang luar biasa bodohnya. Bahwa Kitab Suci ‘diam’ atau ‘tidak berkata apa-apa’ tentang adanya orang-orang benar yang merayakan hari ulang tahunnya, tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa hal itu dilarang. Bahwa orang kafir melakukan sesuatu, tidak berarti bahwa orang kristen tidak boleh melakukan hal itu. Hanya kalau orang kafir melakukan sesuatu yang dilarang oleh Tuhan, barulah orang kristen dilarang untuk meniru mereka. Tetapi menyalahkan untuk meniru orang kafir pada saat ia melakukan hal-hal, yang dalam dirinya sendiri tidak bisa dikatakan sebagai dosa, seperti mandi, makan, belajar, dan juga merayakan hari ulang tahun / pernikahan dsb, merupakan suatu fanatisme yang picik, extrim dan bodoh!

2)   Ini sama dengan pandangan Saksi-Saksi Yehuwa.
Hebatnya, ini adalah kebodohan dan keekstriman yang persis sama dengan yang dilakukan oleh Saksi-Saksi Yehuwa (buku ‘Bertukar Pikiran Mengenai Ayat-Ayat Alkitab’, hal 145-147). Ajarannya persis, dan juga ayat-ayat yang digunakan tentang Firaun dan Herodes juga persis. Mungkin mereka sama-sama mendapat pencerahan dari setan!

3)  Konsekuensi dari ajaran / argumentasi mereka dalam hal ini.
Kalau merayakan hari ulang tahun / hari ulang tahun Yesus dilarang dengan alasan bahwa dalam Kitab Suci hanya orang-orang jahat yang merayakan hari ulang tahun, maka dengan cara yang sama kita bisa mendapatkan ajaran-ajaran yang menggelikan, seperti:

a) Orang kristen dilarang untuk mencalak mata / alis, yang dalam Kitab Suci hanya dilakukan oleh Izebel (2Raja 9:30 bdk Yeh 23:40 - ini juga orang jahat).
2Raja 9:30 - “Sampailah Yehu ke Yizreel. Ketika Izebel mendengar itu, ia mencalak matanya, dihiasinyalah kepalanya, lalu ia menjenguk dari jendela”.
Bdk. Yeh 23:40 - “Tambahan lagi mereka meminta orang-orang datang dari tempat yang jauh dengan menyuruh suruhan memanggil mereka, dan sungguh, mereka datang. Demi kedatangan mereka engkau mandi bersih-bersih, mencalak alismu dan menghias dirimu dengan perhiasan-perhiasan.


b)  Seorang istri dilarang untuk menghibur dan menolong suaminya yang sedang sumpek, karena dalam Kitab Suci hanya Izebel yang melakukan hal itu (1Raja 21:1-16).
1Raja 21:1-16 - “(1) Sesudah itu terjadilah hal yang berikut. Nabot, orang Yizreel, mempunyai kebun anggur di Yizreel, di samping istana Ahab, raja Samaria. (2) Berkatalah Ahab kepada Nabot: ‘Berikanlah kepadaku kebun anggurmu itu, supaya kujadikan kebun sayur, sebab letaknya dekat rumahku. Aku akan memberikan kepadamu kebun anggur yang lebih baik dari pada itu sebagai gantinya, atau jikalau engkau lebih suka, aku akan membayar harganya kepadamu dengan uang.’ (3) Jawab Nabot kepada Ahab: ‘Kiranya TUHAN menghindarkan aku dari pada memberikan milik pusaka nenek moyangku kepadamu!’ (4) Lalu masuklah Ahab ke dalam istananya dengan kesal hati dan gusar karena perkataan yang dikatakan Nabot, orang Yizreel itu, kepadanya: ‘Tidak akan kuberikan kepadamu milik pusaka nenek moyangku.’ Maka berbaringlah ia di tempat tidurnya dan menelungkupkan mukanya dan tidak mau makan. (5) Lalu datanglah Izebel, isterinya, dan berkata kepadanya: ‘Apa sebabnya hatimu kesal, sehingga engkau tidak makan?’ (6) Lalu jawabnya kepadanya: ‘Sebab aku telah berkata kepada Nabot, orang Yizreel itu: Berikanlah kepadaku kebun anggurmu dengan bayaran uang atau jika engkau lebih suka, aku akan memberikan kebun anggur kepadamu sebagai gantinya. Tetapi sahutnya: Tidak akan kuberikan kepadamu kebun anggurku itu.’ (7) Kata Izebel, isterinya, kepadanya: ‘Bukankah engkau sekarang yang memegang kuasa raja atas Israel? Bangunlah, makanlah dan biarlah hatimu gembira! Aku akan memberikan kepadamu kebun anggur Nabot, orang Yizreel itu.’ (8) Kemudian ia menulis surat atas nama Ahab, memeteraikannya dengan meterai raja, lalu mengirim surat itu kepada tua-tua dan pemuka-pemuka yang diam sekota dengan Nabot. (9) Dalam surat itu ditulisnya demikian: ‘Maklumkanlah puasa dan suruhlah Nabot duduk paling depan di antara rakyat. (10) Suruh jugalah dua orang dursila duduk menghadapinya, dan mereka harus naik saksi terhadap dia, dengan mengatakan: Engkau telah mengutuk Allah dan raja. Sesudah itu bawalah dia ke luar dan lemparilah dia dengan batu sampai mati.’ (11) Orang-orang sekotanya, yakni tua-tua dan pemuka-pemuka, yang diam di kotanya itu, melakukan seperti yang diperintahkan Izebel kepada mereka, seperti yang tertulis dalam surat yang dikirimkannya kepada mereka. (12) Mereka memaklumkan puasa dan menyuruh Nabot duduk paling depan di antara rakyat. (13) Kemudian datanglah dua orang, yakni orang-orang dursila itu, lalu duduk menghadapi Nabot. Orang-orang dursila itu naik saksi terhadap Nabot di depan rakyat, katanya: ‘Nabot telah mengutuk Allah dan raja.’ Sesudah itu mereka membawa dia ke luar kota, lalu melempari dia dengan batu sampai mati. (14) Setelah itu mereka menyuruh orang kepada Izebel mengatakan: ‘Nabot sudah dilempari sampai mati.’ (15) Segera sesudah Izebel mendengar, bahwa Nabot sudah dilempari sampai mati, berkatalah Izebel kepada Ahab: ‘Bangunlah, ambillah kebun anggur Nabot, orang Yizreel itu, menjadi milikmu, karena Nabot yang menolak memberikannya kepadamu dengan bayaran uang, sudah tidak hidup lagi; ia sudah mati.’ (16) Segera sesudah Ahab mendengar, bahwa Nabot sudah mati, ia bangun dan pergi ke kebun anggur Nabot, orang Yizreel itu, untuk mengambil kebun itu menjadi miliknya”.

c)   Orang kristen dilarang untuk menjadi bendahara gereja, karena dalam Kitab Suci hanya dilakukan oleh Yudas Iskariot (Yoh 12:6). Dalam Kitab Suci banyak orang menjadi ‘bendahara negara’ tetapi tidak ada bendahara gereja, kecuali Yudas Iskariot.
Yoh 12:6 - “Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya”.

d) Orang kristen dilarang untuk disunat pada usia 13 tahun, karena dalam Kitab Suci hanya Ismael yang mengalami hal itu.
Kej 17:25 - “Dan Ismael, anaknya, berumur tiga belas tahun ketika dikerat kulit khatannya”.

e)   Seorang laki-laki dilarang memasakkan makanan untuk ayahnya, karena dalam Kitab Suci hanya Esau yang melakukan hal itu.
Kej 27:30-31 - “(30) Setelah Ishak selesai memberkati Yakub, dan baru saja Yakub keluar meninggalkan Ishak, ayahnya, pulanglah Esau, kakaknya, dari berburu. (31) Ia juga menyediakan makanan yang enak, lalu membawanya kepada ayahnya. Katanya kepada ayahnya: ‘Bapa, bangunlah dan makan daging buruan masakan anakmu, agar engkau memberkati aku.’”.

f)   Orang kristen tidak boleh mencucuk daging dengan garpu bergigi 3, karena dalam Kitab Suci hanya bujang dari Hofni dan Pinehas yang melakukannya.
1Sam 2:12-17 - “(12) Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN, (13) ataupun batas hak para imam terhadap bangsa itu. Setiap kali seseorang mempersembahkan korban sembelihan, sementara daging itu dimasak, datanglah bujang imam membawa garpu bergigi tiga di tangannya (14) dan dicucukkannya ke dalam bejana atau ke dalam kuali atau ke dalam belanga atau ke dalam periuk. Segala yang ditarik dengan garpu itu ke atas, diambil imam itu untuk dirinya sendiri. Demikianlah mereka memperlakukan semua orang Israel yang datang ke sana, ke Silo. (15) Bahkan sebelum lemaknya dibakar, bujang imam itu datang, lalu berkata kepada orang yang mempersembahkan korban itu: ‘Berikanlah daging kepada imam untuk dipanggang, sebab ia tidak mau menerima dari padamu daging yang dimasak, hanya yang mentah saja.’ (16) Apabila orang itu menjawabnya: ‘Bukankah lemak itu harus dibakar dahulu, kemudian barulah ambil bagimu sesuka hatimu,’ maka berkatalah ia kepada orang itu: ‘Sekarang juga harus kauberikan, kalau tidak, aku akan mengambilnya dengan kekerasan.’ (17) Dengan demikian sangat besarlah dosa kedua orang muda itu di hadapan TUHAN, sebab mereka memandang rendah korban untuk TUHAN”.


g)   Orang kristen tidak boleh mandi di sungai karena dalam Kitab Suci hanya puteri Firaun yang melakukannya (Kel 2:5). Naaman bukan mandi, tetapi hanya membenamkan diri di sungai untuk mentahirkan kustanya sesuai dengan perintah Elisa.
Kel 2:5 - “Maka datanglah puteri Firaun untuk mandi di sungai Nil, sedang dayang-dayangnya berjalan-jalan di tepi sungai Nil, lalu terlihatlah olehnya peti yang di tengah-tengah teberau itu, maka disuruhnya hambanya perempuan untuk mengambilnya”.

h)  Seorang ibu tak boleh membawa anaknya dengan roti dan sekirbat air, karena dalam Kitab Suci hanya Hagar yang melakukan hal itu.
Kej 21:14 - “Keesokan harinya pagi-pagi Abraham mengambil roti serta sekirbat air dan memberikannya kepada Hagar. Ia meletakkan itu beserta anaknya di atas bahu Hagar, kemudian disuruhnyalah perempuan itu pergi. Maka pergilah Hagar dan mengembara di padang gurun Bersyeba”.

i)   Seorang ibu tidak boleh menangisi anak laki-lakinya yang hampir mati kehausan, karena dalam Kitab Suci hanya Hagar yang melakukan hal itu.
Kej 21:16 - “dan ia (Hagar) duduk agak jauh, kira-kira sepemanah jauhnya, sebab katanya: ‘Tidak tahan aku melihat anak itu (Ismael) mati.’ Sedang ia duduk di situ, menangislah ia dengan suara nyaring”.

 
Bersambung ke Bagian sepuluh

No comments:

Post a Comment