Pages

07 October 2013

PERFEKSIONISME

Disajikan oleh : Pdt. Budi Asali, M.Div-





Perfeksionisme





Tulisan ini dikutip dari buku 'Systematic Theology' tulisan Louis Berkhof, hal 537-540 (Libronix).
H. Karakter Tidak sempurna  pada Pengudusan  dalam Hidup Ini


1. Pengudusan tidak sempurna dalam derajat/tahapan.

Ketika  kita  membicarakan pengudusan sebagai mahkluk yang tidak sempurna dalam hidup ini, kita  tidak  bermaksud untuk mengatakan bahwa   itu tidak sempurna  pada  bagian-bagian tertentu, seolah  hanya satu bagian pada diri manusia kudus  yang dihasilkan dalam  regenerasi yang telah  dipengaruhi. Adalah keseluruhannya,  namun demikian  manusia baru yang  belum berkembang, yang harus bertumbuh  menjadi manusia dalam derajat perkembangan yang penuh. Seorang anak  yang baru lahir adalah,  terlepas dari pengecualian-pengecualian, sempurna dalam bagian-bagian (tubuhnya), tetapi belum  dalam derajat pengembangan/pertumbuhan  sebagaimana yang  diharapkan untuk terjadi. Sangatlah  benar manusia baru itu adalah sempurna dalam bagian-bagian, tetapi  tetap dalam   kehidupan sekarang, tidak sempurna dalam derajat pembangunan rohani. Orang-orang Percaya harus bersaing dengan dosa selama mereka hidup, 1 Raja-Raja 8:46; Amsal 20:9; Pengkhotbah 7:20; Yakobus 3:2; 1 Yohanes 1:8.

-
Credit : Michigan Cares


[=
H. The Imperfect Character of Sanctification in This Life


1. Sanctification imperfect in degree. When we speak of sanctification as being imperfect in this life, we do not mean to say that it is imperfect in parts, as if only a part of the holy man that originates in regeneration were affected. It is the whole, but yet undeveloped new man, that must grow into full stature. A new-born child is, barring exceptions, perfect in parts, but not vet in the degree of development for which it is intended. Just so the new man is perfect in parts, but remains in the present life imperfect in the degree of spiritual development. Believers must contend with sin as long as they live, 1 Kings 8:46; Prov. 20:9; Eccl. 7:20; Jas. 3:2; 1 John 1:8.
]
 


2. Penyangkalan  Ketidaksempurnaan ini oleh Perfeksionis


a. Doktrin Perfeksionisme.

Berbicara secara umum, doktrin ini  adalah   sebagai akibat dari  apa  yang disebutkan bahwa kesempurnaan dapat dicapai dalam hidup saat ini. Doktrin ini diajarkan dalam beragam bentuk oleh penganut Pelagian, Roma Katolik atau Semi Pelagian, Arminian, Wesleyan, semacam sekte-sekte mistis seperti  penganut Labadis, Quietis, Quakers, dan lain-lain, beberapa dari para teolog Oberlin, seperti Mahan dan Finney, dan Ritschl.



Semua mereka ini setuju dalam  mempertahankan bahwa adalah mungkin bagi orang-orang percaya dalam hidup ini  untuk mencapai sebuah kondisi dimana mereka memenuhi semua ketentuan yang dipersyaratkan hukum yang mana  mereka tunduk padanya dalam hidup saat ini, atau dibawah hukum yang dalam derajat tertentu disesusaikan atau
diselaraskan terhadap kemampuan dan kebutuhan mereka saat ini,dan, sebagai konsekuensinya, menjadi  bebas dari dosa.



Akan tetapi,  mereka berbeda :

(1) Dalam pandangan mereka atas dosa, penganut Pelagian, dalam membedakan dari semua yang lain, menyangkal  kerusakan manusia sebagai hal yang melekat tak terpisahkan. Akan tetapi, mereka semua setuju dalam  eksternalisasi  dosa.


(2) Dalam konsepsi mereka pada hukum yang mana orang-orang percaya sekarang diwajibkan untuk memenuhinya, penganut Arminian, termasuk Wesleyan,berbeda dari semua yang lain dalam  memegang bahwa  hukum bukanlah  hukum moral yang asli, tetapi persyaratan-persyaratan injil  atau hukum baru  iman dan ketaatan injili.
Penganut Roma  Katolik dan  para teolog Oberlin mempertahankan bahwa  itu  adalah hukum  asli, tetapi mengakui bahwa tuntutan-tuntutan hukum ini disesuaikan dengan kemerosotan kekuatan-kekuatan  manusia dan kemampuannya pada saat ini. Dan Ritschl mencampakan seluruh ide bahwa manusia   tunduk pada sebuah hukum yang  diberlakukan sebagai wajib secara eksternal. Dia  membela otonomi perilaku moral, dan meyakini  bahwa kita tidak berada dibawah hukum tetapi hal semacam itu muncul  keluar dari watak  atau kecenderungan moral kita sendiri dalam perjalanan aktivitas-aktivitas untuk memenuhi panggilan atau fungsi khusus.



(3) Dalam gagasan mereka, ketergantungan orang berdosa pada anugerah Tuhan yang memperbarui kemampuan mereka untuk memenuhi  hukum. Semua, kecuali penganut Pelagian, mengakui bahwa dia dalam derajat tertentu bergantung pada anugerah ilahi  agar dapat mencapai kesempurnaan.


Ini sangat signifikan/  penting bahwa semua menuntun pada teori-teori perfeksionis (dengan satu-satunya pengecualian Pelagian, yang menyangkal kerusakan manusia yang  melekat atau tidak terpisahkan dari manusia) yang percaya  adalah perlu untuk  menurunkan  standard kesempurnaan dan tidak  memegang  tanggung jawab manusia untuk sebuah urusan besar   yang tidak diragukan telah dituntut oleh  hukum  moral asli. Dan adalah sama pentingnya bahwa mereka merasa keharusan mengeksternalisasikan ide dosa, ketika mereka mengklaim bahwa hanya  kesadaran berbuat salah dapat dianggap  demikian/dosa  dan menolak  untuk mengakui   dosa adalah sebuah soal besar yang digambarkan seperti dalam Kitab suci.


[=2. Denial of this imperfection by the Perfectionists
a. The doctrine of perfectionism. Speaking generally, this doctrine is to the effect that religious perfection is attainable in the present life. It is taught in various forms by Pelagians, Roman Catholics or Semi-Pelagians, Arminians, Wesleyans, such mystical sects as the Labadists, the Quietists, the Quakers, and others, some of the Oberlin theologians, such as Mahan and Finney, and Ritschl. These all agree in maintaining that it is possible for believers in this life to attain to a state in which they comply with the requirements of the law under which they now live, or under that law as it was adjusted to their present ability and needs, and, consequently, to be free from sin. They differ, however: (1) In their view of sin, the Pelagians, in distinction from all the rest, denying the inherent corruption of man. They all agree, however, in externalizing sin. (2) In their conception of the law which believers are now obliged to fulfill, the Arminians, including the Wesleyans, differing from all the rest in holding that this is not the original moral law, but the gospel requirements or the new law of faith and evangelical obedience. The Roman Catholics and the Oberlin theologians maintain that it is the original law, but admit that the demands of this law are adjusted to man’s deteriorated powers and to his present ability. And Ritschl discards the whole idea that man is subject to an externally imposed law. He defends the autonomy of moral conduct, and holds that we are under no law but such as is evolved out of our own moral disposition in the course of activities for the fulfilment of our vocation. (3) In their idea of the sinner’s dependence on the renewing grace of God for the ability to fulfill the law. All, except the Pelagians, admit that he is in some sense dependent on divine grace, in order to the attainment of perfection.


It is very significant that all the leading perfectionist theories (with the sole exception of the Pelagian, which denies the inherent corruption of man) deem it necessary to lower the standard of perfection and do not hold man responsible for a great deal that is undoubtedly demanded by the original moral law. And it is equally significant that they feel the necessity of externalizing the idea of sin, when they claim that only conscious wrong-doing can be so considered, and refuse to recognize as sin a great deal that is represented as such in Scripture.]



b. Bukti-Bukti Skriptural yang dikemukakan doktrin Perfeksionisme


(1) Alkitab memerintahkan orang-orang percaya untuk menjadi kudus dan bahkan menjadi sempurna, 1 Petrus 1:16; Matius 5:48; Yakobus 1:4, dan mendesak mereka untuk mengikuti contoh Kristus yang tidak melakukan dosa, 1 Petrus 2:21f.

Perintah-perintah semacam ini akan menjadi tidak masuk akal, jika    tidak mungkin  untuk mencapai kesempurnaan tanpa dosa. Tetapi   teks firman menuntut untuk menjadi kudus dan sempurna mengikat bagi yang belum regenerasi serta juga bagi  yang  sudah regenerasi (lahir baru),  karena hukum Tuhan menuntut kekudusan sejak pada mulanya dan tidak pernah dicabut. Jika perintah menyatakan secara tersirat bahwa mereka yang kepadanya hukum itu datang, dapat hidup  memenuhi persayaratan tersebut, maka   pasti  benar bagi setiap orang. Akan tetapi hanya mereka yang mengajarkan perfeksionisme dalam Pelagian menganggap dapat menganut pandangan ini. Ukuran kemampuan kita tidak dapat  disimpulkan secara berdasar dari perintah-perintah Kitab suci.


[=b. Scriptural proofs adduced for the doctrine of perfectionism.
(1) The Bible commands believers to be holy and even to be perfect, 1 Pet. 1:16; Matt. 5:48; Jas. 1:4, and urges them to follow the example of Christ who did no sin, 1 Pet. 2:21 f. Such commands would be unreasonable, if it were not possible to reach sinless perfection. But the Scriptural demand to be holy and perfect holds for the unregenerate as well as for the regenerate, since the law of God demands holiness from the start and has never been revoked. If the command implies that they to whom it comes can live up to the requirement, this must be true of every man. However, only those who teach perfectionism in the Pelagian sense can hold that view. The measure of our ability cannot be inferred from the Scriptural commandments.]
 



(2) Kekudusan dan kesempurnaan kerap dilekatkan kepada orang-orang percaya dalam  Kitab suci, Kidung Agung 4:7; 1 Kor 2:6; 2 Kor 5:17; Efesus 5:27; Ibrani 5:14; Filipi 4:13; Kolose 2:10.

Akan tetapi, ketika Alkitab berbicara orang-orang percaya sebagai kudus dan sempurna, hal ini tidaklah perlu bermakna bahwa mereka tanpa dosa, karena kedua kata-kata tersebut kerap dipergunakan dalam sebuah pengertian yang berbeda, tidak hanya dalam pembicaraan umum, tetapi juga didalam Alkitab. Orang-orang yang dikhususkan untuk pelayanan khusus bagi Tuhan disebut kudus dalam Alkitab, tanpa mempertimbangkan kondisi moral dan hidup mereka. Orang-orang percaya dapat dan disebut kudus,  karena  mereka secara obyektif kudus didalam Kristus,  atau karena mereka  pada prinsipnya/dasarnya secara subyektif   telah dikuduskan oleh Roh Tuhan.


Paulus dalam epistelnya secara konstan mengalamatkan pembaca-pembacanya sebagai orang-orang kudus, yaitu “orang kudus”, dan kemudian melanjutkan dalam  sejumlah kasus untuk membawa mereka untuk menegur keras   pada dosa-dosa mereka. Dan ketika orang-orang percaya digambarkan sebagai sempurna, ini bermakna dalam  beberapa kasus hanya bahwa mereka bertumbuh dewasa, 1 Korintus 2:6; Ibrani 5:14, dan  dalam ayat-ayat lainnya bahwa mereka sepenuhnya telah dilengkapi untuk  melakukan pekerjaan yang diembankan pada mereka, 2 Timotius 3:17. Semua ini secara pasti tidak  memberikan pandangan pada  teori kesempurnaan   tidak berdosa.


[=(2) Holiness and perfection are often ascribed to believers in Scripture, Song of Sol. 4:7; 1 Cor. 2:6; 2 Cor. 5:17; Eph. 5:27; Heb. 5:14; Phil. 4:13; Col. 2:10. When the Bible speaks of believers as holy and perfect, however, this does not necessarily mean that they are without sin, since both words are often used in a different sense, not only in common parlance, but also in the Bible. Persons set aside for the special service of God are called holy in the Bible, irrespective of their moral condition and life. Believers can be and are called holy, because they are objectively holy in Christ, or because they are in principle subjectively sanctified by the Spirit of God. Paul in his Epistles invariably addresses his readers as saints, that is “holy ones,” and then proceeds in several cases to take them to task for their sins. And when believers are described as perfect, this means in some cases merely that they are full-grown, 1 Cor. 2:6; Heb. 5:14, and in others that they are fully equipped for their task, 2 Tim. 3:17. All this certainly does not give countenance to the theory of sin less perfection.]



(3) Ada terdapat, dikatakan, contoh-contoh Biblikal, orang-orang kudus yang  menjalani kehidupan-kehidupan sempurna, semisal Nuh, Ayub, dan AS, Kejadian 6:9; Ayub 1:1; 1 Raja-Raja 15:14.


Tetapi, secara  pasti, contoh-contoh semacam ini tidak  membuktikan benar poin   yang dimaksud karena alasan sederhana bahwa mereka bukan contoh-contoh kesempurnaan  tidak berdosa. Bahkan orang-orang kudus yang paling patut diperhatikan di Alkitab  adalah digambarkan sebagai orang-orang yang memiliki kegagalan-kegagalan mereka dan yang  telah berdosa, dalam beberapa kasus secara sangat  menyedihkan. Ini benar  pada Nuh, Musa, Ayub, Abraham, dan semua yang lainnya.


Memang benar bahwa ini tidak   harus membuktikan bahwa  kehidupan-kehidupan mereka tetap penuh dosa selama mereka hidup di dunia, tetapi itu adalah sebuah fakta yang menyolok bahwa kita tidak sedang diperkenalkan pada satupun yang   dahulu tanpa dosa.


Pertanyaan Salomo masih berhubungan secara kuat dengan hal ini :”Siapa dapat berkata, aku telah membuat hatiku bersih, aku murni dari dosaku?” Amsal 20:9.  Bahkan, Yohanes berkata:” Jika kita berkata bahwa kita tidak memiliki dosa, kita memperdaya diri kita sendiri, dan kebenaran tidak ada didalam diri kita,” 1 Yohanes 1:8


[=(3) There are, it is said, Biblical examples of saints who led perfect lives, such as Noah, Job, and Asa, Gen. 6:9; Job 1:1; 1 Kings 15:14. But, surely, such examples as these do not prove the point for the simple reason that they are no examples of sinless perfection. Even the most notable saints of the Bible are pictured as men who had their failings and who sinned, in some cases very grievously. This is true of Noah, Moses, Job, Abraham, and all the others. It is true that this does not necessarily prove that their lives remained sinful as long as they lived on earth, but it is a striking fact that we are not introduced to a single one who was without sin. The question of Solomon is still pertinent: “Who can say, I have made my heart clean, I am pure from my sin?” Prov. 20:9. Moreover, John says: “If we say that we have no sin, we deceive ourselves, and the truth is not in us,” 1 John 1:8.]
 


(4) Rasul Yohanes mendeklarasikan secara eksplisit bahwa  mereka yang dilahirkan dari Tuhan tidak berbuat dosa, 1 Yohanes 3:6,8,9; 5:18.


Tetapi ketika Yohanes berkata bahwa mereka yang lahir dari Tuhan tidak  berbuat dosa, dia sedang  mengontraskan (membuat pembedaan tajam) dua kondisi, dilukiskan dengan  manusia lama dan baru, terkait dengan   natur dan prinsip esensial mereka.


Salah satu dari karakteristik esensial manusia baru adalah bahwa dia tidak  berbuat dosa. Memandangan fakta bahwa Yohanes konstan menggunakan kalimat bentuk present/kalimat bentuk saat ini untuk mengekspresikan gagasan bahwa   orang yang lahir dari Tuhan tidak berbuat dosa, adalah mungkin bahwa dia   ingin mengekspresikan gagasan bahwa anak Allah tidak   meneruskan melakukan dosa sebagai kebiasaan,  seperti   iblis, 1 Yohanes 3:8.


Ia secara pasti tidak  bermaksud untuk menyatakan bahwa orang percaya tidak pernah melakukan sebuah tindakan dosa, bandingkan 1 Yohanes 1:8-10.  Lebih lagi, Perfeksionis tidak dapat menggunakan  nas ini dengan sangat  baik untuk  membuktikan kebenaran  poinnya, karena mereka akan membuktikan terlampau banyak bagi  tujuannya. Dia tidak   bisa  bertindak berani untuk mengatakan bahwa semua orang percaya pada dasarnya tidak berdosa, tetapi hanya  mereka  yang dapat meraih sebuah kondisi kesempurnaan tidak berdosa.


Dan lebih daripada itu, mereka juga akan membuktikan bahwa orang-orang percaya tidak pernah jatuh dari kondisi anugerah (karena ini adalah perbuatan dosa); dan   lagian  para Perfeksionis adalah orang  yang secara ekstrim percaya bahwa bahkan orang-orang Kristen sempurna  mungkin   terjatuh.


[=4) The apostle John declares explicitly that they who are born of God do not sin, 1 John 3:6, 8, 9; 5:18. But when John says that they who are born of God do not sin, he is contrasting the two states, represented by the old and the new man, as to their essential nature and principle. One of the essential characteristics of the new man is that he does not sin. In view of the fact that John invariably uses the present to express the idea that the one born of God does not sin, it is possible that he desires to express the idea that the child of God does not go on sinning habitually, as the devil does, 1 John 3:8.He certainly does not mean to assert that the believer never commits an act of sin, cf. 1 John 1:8–10. Moreover, the Perfectionist cannot very well use these passages to prove his point, since they would prove too much for his purpose. He does not make bold to say that all believers are actually sinless, but only that they can reach a state of sinless perfection. The Johannine passages, however, would prove, on his interpretation, that all believers are without sin. And more than that, they would also prove that believers never fall from the state of grace (for this is sinning); and yet the Perfectionists are the very people who believe that even perfect Christians may fall away.] 






Keberatan-Keberatan Terhadap Teori Perfeksionisme


(1). Dalam terang Kitab suci, doktrin Perfeksionisme mustahil dipertahankan secara absolut. Alkitab memberikan kepada kita  jaminan yang eksplisit dan sangat pasti/ tidak dapat dipersengketakan bahwa tidak ada seorangpun diatas bumi yang tidak berbuat dosa, 1 Raja-Raja 8:46; Amsal 20:9; Pengkhotbah 7:20; Roma 3:10; Yakobus 3:2; 1 Yohanes 1:8.


Dalam pandangan pernyataan-pernyataan yang jelas dari Kitab suci, adalah sukar untuk melihat bagaimana  ada  orang yang mengklaim percaya Alkitab sebagai Firman Tuhan yang tidak dapat salah  dapat menganut bahwa mungkin bagi orang-orang percaya untuk menjalani kehidupan-kehidupan tidak berdosa, dan  bahwa beberapa diantaranya secara aktual  telah sukses dalam menghindari semua dosa.

[=c. Objections to the theory of Perfectionism.
(1) In the light of Scripture the doctrine of Perfectionism is absolutely untenable. The Bible gives us the explicit and very definite assurance that there is no one on earth who does not sin, 1 Kings 8:46; Prov. 20:9; Eccl. 7:20; Rom. 3:10; Jas. 3:2; 1 John 1:8. In view of these clear statements of Scripture it is hard to see how any who claim to believe the Bible as the infallible Word of God can hold that it is possible for believers to lead sinless lives, and that some actually succeed in avoiding all sin.]
 



(2) Menurut Kitab suci ada sebuah peperangan konstan/terus-menerus antara daging dan Roh dalam kehidupan anak-anak Allah, dan bahkan yang paling baik dari mereka masih berupaya keras untuk kesempurnaan.


Paulus memberikan  sebuah penggambaran yang tajam atas  perjuangan ini dalam Roma 7:7-25, sebuah nas yang secara pasti merujuk pada dia dalam regenerasinya yang tidak sepenuhnya bersih/mengalami hal yang tidak menyenangkan. Dalam  Galatia 5:16-24 dia sedang berbicara   tentang perjuangan yang  sangat sama  sebagai sebuah perjuangan yang  menjadi karakteristik semua  anak-anak Allah. Dan dalam Filipi 3:10-14 dia sedang membicarakan dirinya sendiri, secara praktis pada pengujung karirnya, sebagai  orang yang  belum   juga telah mencapai kesempurnaan, tetapi mendesak  dirinya sekuatnya   pada tujuan.


[=(2) According to Scripture there is a constant warfare between the flesh and the Spirit in the lives of God’s children, and even the best of them are still striving for perfection. Paul gives a very striking description of this struggle in Rom. 7:7–25, a passage which certainly refers to him in his regenerate stale. In Gal. 5:16–24 he speaks of that very same struggle as a struggle that characterizes all the children of God. And in Phil. 3:10–14 he speaks of himself, practically at the end of his career, as one who has not yet reached perfection, but is pressing on toward the goal.]
 



(3)Pengakuan dosa dan  doa bagi pengampunan  secara terus  menerus diperlukan.

Yesus telah mengajarkan  semua murid-murid-Nya tanpa pengecualian apapun untuk berdoa bagi pengampunan dosa-dosa dan  bagi pelepasan dari  cobaan dan dari yang jahat, Matius 6:12,13.


Dan  Yohanes berkata:”Jika kita mengakui dosa-dosa kita, Dia adalah setia dan  benar untuk mengampuni kita  atas dosa-dosa kita, dan untuk   membersihkan kita dari semua ketidakbenaran,” 1 Yohanes 1:9. 


Lebih  lagi, orang-orang kudus Alkitab  secara konstan telah digambarkan sebagai mengakui dosa-dosa mereka, Ayub 9:3,20; Mazmur 32:5; 130:3; 143:2; Amsal 20:9; Yesaya 64:6; Daniel 9:16; Roma 7:14.


[=(3) Confession of sin and prayer for forgiveness are continually required. Jesus taught all His disciples without any exception to pray for the forgiveness of sins and for deliverance from temptation and from the evil one, Matt. 6:12, 13. And John says: “If we confess our sins, He is faithful and righteous to forgive us our sins, and to cleanse us from all unrighteousness,” 1 John 1:9. Moreover, Bible saints are constantly represented as confessing their sins, Job 9:3, 20; Ps. 32:5; 130:3; 143:2; Prov. 20:9; Isa. 64:6; Dan. 9:16; Rom. 7:14.]



 
(4)Para Perfeksionis itu sendiri memandang   perlu untuk merendahkan/menurunkan standar hukum dan  untuk mengeksternalisasi gagasan/ide dosa, agar dapat mempertahankan teori mereka.


Bahkan, beberapa dari mereka telah secara berulang memodifikasi idealnya  yang mana, dalam estimasi/perkiraan mereka, orang-orang percaya dapat mencapainya.


Pada mulanya, idealnya adalah “kemerdekaan dari semua dosa”; kemudiankemerdekaan dari semua dosa yang disadari,” selanjutnya  “seluruh yang dikhususkan kudus bagi Tuhan,” dan, pada akhirnya, “ jaminan Kristen.”  Ini didalamnya sendiri  merupakan sebuah   pengecaman yang memadai  dari  teori mereka. Kita  pada dasarnya tidak menyangkal bahwa orang Kristen dapat  memperoleh jaminan iman.


[=(4) The Perfectionists themselves deem it necessary to lower the standard of the law and to externalize the idea of sin, in order to maintain their theory. Moreover, some of them have repeatedly modified the ideal to which, in their estimation, believers can attain. At first the ideal was “freedom from all sin”; then, “freedom from all conscious sin,” next, “entire consecration to God,” and, finally, “Christian assurance.” This is in itself a sufficient condemnation of their theory. We naturally do not deny that the Christian can attain to the assurance of faith.]



diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora




No comments:

Post a Comment