Pages

27 August 2013

KASIH DAN PERINTAH TUHAN (Bagian 4)

Oleh : Prof. D.A. Carson

[Bagian3]“…Pada ahirnya, Paulus dapat menempatkan dirinya sendiri dibawah sebuah sumpah ( misal Roma 9:1; 2 Kor 1:23); Tuhan menempatkan dirinya sendiri dibawah sebuah sumpah ketika dia bersumpah demi dirinya sendiri ( Ibrani 6:13-18). Tetapi tidak Paulus atau  juga Tuhan menggunakan sebuah sumpah untuk mengelak atau menyanggah  dusta/bohong. Tidak juga dengan ketiadaan sebuah sumpah berarti baik Paulus atau Tuhan dapat bebas untuk berbohong………

Lex  talionis,  legislasi “mata ganti mata” (Matius 5:38-42). Hukum Perjanjian Lama, “mata ganti mata, dan  gigi ganti gigi,”  telah ditegakan sebagai bagian sistem yudisial dari benih bangsa Israel (Keluaran  21:24; Imamat 24:20;  Ulangan 19:21). Untuk jenis-jenis kejahatan tertentu, faktanya sangatlah adil. Lex talionis (hukum pembalasan) tidak dapat diaplikasikan dalam  banyak kasus kriminal—penyembahan berhala, sebagai contoh, atau perkosaan, atau penghujatan—tetapi  dalam  kejadian-kejadian, katakanlah, personal dan niat menciderai orang lain,  dalam hal ini sangat adil.  Terlebih lagi, lex talionis memberikan keuntungan  membuat perseteruan yang berkepanjangan dapat dihentikan…..

Legislasi atau perundang-undangan Perjanjian Lama tidak hanya menyajikan kedilan yang ketat’keras ; legislasi atau perundang-undangan PL memberikan proyeksi gambaran akan realisasinya dimuka atas sebuah masyarakat yang   tertata secara benar dimana  orang-orang   berinteraksi  dan  mendukung satu sama lain tanpa prasangka buruk/kebencian. Pada dasarnya ini adalah  sebuah dunia yang  telah rusak dan penuh dosa; legislasi harus dijalankan untuk  mengekang atau membatasi kejahatan, memenuhi  klaim-klaim keadilan, dan  meredam  dendam.

...itulah natur hubungan antara hukum Mosaik—atau, lebih luas lagi, “kitab hukum [dan] para nabi” ( 5:17)—dan kesempurnaan kerajaan yang sempurna. Yang   terdahulu menunjuk kepada  yang kemudian/akan datang; hukum taurat dan kitab para nabi menunjuk pada kerajaan. Dan kerajaan itu telah terbit;   kerajaan itu telah dilantik/diresmikan dalam  hidup dan pelayanan dan kematian  dan kebangkitan dan peninggian Yesus.

Konflik Syria
Credit : http://21stcenturywire.com


Saya menduga saat  kita  berpikir  tentang kasih di tempat-tempat keras, maka kita secara alami condong pada  sukarnya tuntutan  Yesus untuk mengasihi musuh-musuh kita. Musuh dalam berbagai bentuk dan ukuran. Sebelum kita merefleksikan pada keragaman musuh-musuh, dan  oleh karena itu pada keragaman kasih yang  dimintakan untuk diperlihatkan, kita harus  memikirkan cara kita melalui apa yang berangkali  merupakan nas paling penting pada subyek ini.


A. Eksposisi Matius 5:43-48



(43) Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. (44) Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. (45) Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.(46) Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? (47) Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? (48) Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."
James Tissot, The Beatitudes Sermon,
Brooklyn Museum, c. 1890


Kamu telah  mendengar firmantetapi Aku berkata kepadamu” : Formula ini muncul  enam kali dalam Matius 5, dan karena bentuk semacam ini, pemunculan-pemunculannya secara kolektif disebut enam antitesis (kontras). Dalam setiap bagian, Yesus  menggunakan otoritasnya. Tujuannya,  berperan untuk mengoreksi sebuah  kesalahpahaman populer atas hukum Taurat. Kadang-kadang  Yesus hanya mengutip  teks Perjanjian Lama ( seperti dalam Matius 5:38); Kadang-kadang  dia mengutip teks dan  mengajukan interpretasi untuk mengoreksi ( seperti di sini dalam  Matius 5:43). Ada  perbedaan-perbedaandalam cara Yesus  berurusan dengan teks-teks Perjanjian Lama, dan perbedaan-perbedaan ini telah  memunculkan debat ilmiah yang substansial. Sedemikian menariknya debat-debat tersebut,  namun saya tidak bisa menghadirkannya disini. Saya hanya akan  menyatakan bahwa didalam setiap peristiwa, Yesus berkepentingan untuk memperlihatkan  arah  benar yang  ditunjukan atau dimaksudkan teks-teks tersebut.



Walaupun saya tidak dapat  mengulas seluruh variasi-variasi tersebut, ini berangkali mengklarifikasi apa yang harus saya  katakan  mengenai perintah untuk mengasihi musuh jika saya  secara singkat menimbang dua dari lima antitesis tersebut.


-
ILUSTRASI.  Credit: www.ntbprov.go.id

(1)Sumpah-sumpah ( Matius 5:33-37).  Perjanjian Lama pada  kenyataannya  telah mengatakan bahwa  umat  perjanjian  dilarang untuk melanggar sumpah-sumpah mereka. “janganlah kamu bersumpah dusta demi nama-Ku, supaya engkau jangan melanggar kekudusan nama Allahmu; Akulah TUHAN” (Imamat 19:12). “Apabila seorang laki-laki bernazar atau bersumpah kepada TUHAN, sehingga ia mengikat dirinya kepada suatu janji, maka janganlah ia melanggar perkataannya itu; haruslah ia berbuat tepat seperti yang diucapkannya” (Bilangan 30:2; bandingkan dengan Ulangan 23:21). Faktanya, Perjanjian Lama  secara aktual memerintahkan orang untuk  bersumpah demi Tuhan: “Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah” (Ulangan 6:13). Namun disini Yesus  sedang berkata, “Janganlah sekali-kali bersumpah” (Matius 5:34). Bukankah ini  sebuah kontradiksi yang jelas dari apa yang dimandatkan Perjanjian  Lama?


Mempersembahkan anak kepada Molokh-
Imamat 18:21- (illustration from the 1897
Bible Pictures and What They
Teach Us
by Charles Foster)


Pada tingkatan yang  dangkal, jelas, jawabannya haruslah ya. Tetapi ketika Lima Buku Pertama Perjanjian Lama memerintah umat kovenan/perjanjian Tuhan  untuk bersumpah demi Tuhan, perintah ini dimaksudkan  bagian dari sebuah perlindungan terhadap penyembahan berhala. Orang-orang bersumpah demi  apa yang mereka pikir paling tinggi, apa yang mereka nilai  pasti paling sakral. Sampai belakangan ini hampir semua warga Amerika, ketika mereka bersumpah di pengadilan untuk mengungkapkan kebenaran, segenap kebenaran, dan bukan yang lain selain kebenaran, menempatkan  tangan mereka diatas Alkitab karena merupakan  kedudukan  otoritas yang disematkan pada Alkitab dalam  tradisi Amerika. Dalam sejumlah variasi,  para warga Negara kemudian mengucapkan kata-kata, “So help me God” ( jadi bantulah saya Tuhan)---dan sekali lagi, kata-kata ini merefleksikan sebuah tradisi sakral. Hampir  semua orang Amerika tidak akan  membuat sebuah sumpah resmi dalam nama Tuhan dan menambahkan, “So help me Shiva,” merujuk pada salah satu dari dewa-dewa pemusnah dalam agama Hindu, Jadi perintah untuk  bersumpah demi Tuhan, demi Yahweh, merupakan sebuah perintah untuk  menjamin bahwa Yahweh adalah untuk  masyarakat Isreal, kebaikan tertinggi mereka,  hubungan yang paling sakral, Tuhan yang akbar diatas dia tidak ada yang lebih besar[1]. Ini dapat menjadi pertanda istimewa pemberontakan jika umat perjanjian Tuhan  mulai mengambil sumpah-sumpah mereka didalam nama salah satu dewa-dewa Baal, misalnya.



Tetapi pada masa Yesus, persoalan mengambil sumpah dalam  nama-nama yang berbeda   sedikit banyak tidak dapat  dikendalikan. Anda bisa  lihat hal ini paling jelas dalam Matius 23:16-22. Beberapa orang mengatakan bahwa jika seseorang bersumpah demi bait suci, maka tidak ada artinya, dan sumpah tersebut tidak mengikat, tetapi jika seseorang bersumpah demi emas bait suci,maka sumpah tersebut mengikat. Atau  lagi, jika seseorang bersumpah demi altar, sumpah tersebut tidak mengikat; tetapi jika seseorang bersumpah demi korban di altar bait suci; maka sumpah tersebut mengikat. Pendekatan ini adalah sebuah upaya untuk menaksir  kesakralan yang bersifat relatif pada beragam entitas agama, tetapi  efeknya adalah memperkenalkan  sumpah sebagai  sanggahan  atas  tindakan dusta. Hal ini sedikit mirip dengan anak yang berjanji, ”Aku tidak melakukannya! Aku    bersumpah! Apa   yang kuucapka memang benar adanya!” Dia lantas  berlalu dan  dengan   tampang puas  menjengkelkan berkata   pada sahabatnya  bahwa sumpah yang dia ucpakan tidak bermakna karena dia telah menyilangkan jari dibalik pundaknya pertanda tidak sahihnya sumpah yang dia katakan. Beberapa orang mengatakan bahwa jika kamu bersumpah demi Yerusalem, kota Raja Agung, kamu tidak terikat oleh sumpahmu; tetapi jika kamu bersumpah  sambil menghadap Yerusalem, maka kamu terikat oleh sumpahmu.



Yesus menolak semua  permainan kata-kata tersebut : “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambutpun” (Matius 5:34-36).



Poinnya adalah, bahwa setiap hal yang ada dalam alam semesta Tuhan   berada dibawah kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu, bersumpah demi   bagian apapun dari alam semesta Tuhan, karena kamu pada ahirnya tidak punya kendali atasnya oleh dirimu sendiri , maka  kamu harus bersumpah demi Tuhan. Jadi berhentilah  membantah dustamu (dengan sumpah). Lebih baik kamu tidak bersumpah sama sekali. “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Matius 5:37).




Sehingga pada level yang dangkal,kemudian, Yesus  secara formal mengkontradiksikan (mempertentangkan) Perjanjian Lama. Perjanjian Lama memberitahukan umat Tuhan untuk mengucap sumpah demi Yahweh; Yesus mengatakan kepada para pengikutnya untuk tidak bersumpah demi siapapun atau apapun. Namun yang ini adalah analisa yang dangkal. Arahan   pada   nas  Perjanjian Lama yang hendak tunjukan pada subyek ini adalah terhadap   kebenaranmengatakannya--- kebenaran-dikatakan dalam  semesta Tuhan. Dengan memanipulasi kesimpulan-kesimpulan ,beberapa pihak telah  mengubah  untuk penyesuaian  atas otoritas Perjanjian Lama  menjadi pembenaran untuk  penipuan. Yesus tidak akan  membenarkannya. Katakanlah kebenaran : itulah hal yang sesungguhnya “menggenapi  bagian dari “ kitab Taurat dan kitab  para nabi” (bandingkan dengan Matius 5:17-18). Karena   itulah Yesus datang untuk melakukan-menggenapkan. Dia tidak datang untuk melenyapkan hukum Taurat dan kitab para nabi tetapi untuk “menggenapi”, yaitu  untuk mewujudkan setiap hal yang dimaksudkan  kitab taurat dan kitab para nabi, setiap hal yang diprediksi kitab taurat dan kitab para nabi.



Tetapi Yesus  tidak sedang  mengatakan bahwa  ada sesuatu yang jahat secara instrinsik dalam mengambil sebuah sumpah demi nama seseorang.  Pada ahirnya, Paulus dapat menempatkan dirinya sendiri dibawah sebuah sumpah ( misal Roma 9:1; 2 Kor 1:23); Tuhan menempatkan dirinya sendiri dibawah sebuah sumpah ketika dia bersumpah demi dirinya sendiri ( Ibrani 6:13-18). Tetapi tidak Paulus atau  juga Tuhan menggunakan sebuah sumpah untuk mengelak atau menyanggah  dusta/bohong. Tidak juga dengan ketiadaan sebuah sumpah berarti baik Paulus atau Tuhan dapat bebas untuk berbohong. Sebaliknya, sumpah semata menambah kredibilitas mereka  diantara para pendengar  mereka. Faktanya, Kitab suci memberitahukan kepada kita  bahwa itulah  persinya mengapa Tuhan mengambil sebuah sumpah : dia “meyakinkan mereka yang berhak menerima janji itu akan kepastian putusan-Nya” (Ibrani 6:17). Problemnya adalah ketakpercayaan mereka, bukan  kecenderungan pada pihak Tuhan untuk  menipu.}



Sehingga tujuan dari antitesis sumpah-sumpah, kemudian, adalah untuk menegakan arahan yang benar dimana  maksud-maksud pembuatan aturan-aturan ini , yaitu untuk mengatakan kebenaran. Jika dianggap format (Yesus)  itu bermakna sebuah kontradiksi terhadap bentuk legislasi Perjanjian Lama, maka biarkanlah saja.



Hal ini membawa kita kepada antithesis kedua untuk dipertimbangkan.



(2)   Lex  talionis,  legislasi “mata ganti mata” (Matius 5:38-42).
Hukum Perjanjian Lama, “mata ganti mata, dan  gigi ganti gigi,”  telah ditegakan sebagai bagian sistem yudisial dari benih bangsa Israel (Keluaran  21:24; Imamat 24:20;  Ulangan 19:21). Untuk jenis-jenis kejahatan tertentu, faktanya sangatlah adil. Lex talionis (hukum pembalasan) tidak dapat diaplikasikan dalam  banyak kasus kriminal—penyembahan berhala, sebagai contoh, atau perkosaan, atau penghujatan—tetapi  dalam  kejadian-kejadian, katakanlah, personal dan niat menciderai orang lain,  dalam hal ini sangat adil.  Terlebih lagi, lex talionis memberikan keuntungan  membuat perseteruan yang berkepanjangan dapat dihentikan. Keadilan, keadilan yang ketat/keras, telah disajikan. Tanggapan terkenal yang dikaitkan dengan Gandhi—bahwa prinsip  “mata ganti mata” bermakna  bahwa dunia segera akan dibutakan  —adalah lucu dan menjadi  hal yang dikenang tetapi terus terang saja bodoh.



Ketika hukum diberlakukan untuk kejahatan-kejahatan yang telah dispesifikan dengan sebuah  peradilan yang dihasilkan secara benar, maka hukum tersebut memiliki efek membatasi dan membendung kekerasan,mengakhiri perseteruan yang berkepanjangan sebelum mereka memulai dan mengajarkan secara berulang-ulang  gagasan keadilan yang ketat.





Namun disini Yesus sedang mengatakan sesuatu yang sangat berbeda : ” Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu.Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu” (Matius 5:39-42). Apa yang harus dilakukan dengan ini?



Menilai dari contoh-contoh yang disampaikan oleh Yesus sendiri, dia terutama merespon pada kesimpulan-kesimpulan pribadi yang telah diambil  dari legislasi/perundang-undangan  lex talionis. Kelihatannya beberapa orang Yahudi  membaca bahwa legislasi tersebut dan telah melucutinya dari konteks yudisial. Jika seseorang membuatku cidera,mereka mungkin berkata, Kitab suci sendiri memberikan kepadaku hak untuk membalaskan  orang tersebut, mata ganti mata, gigi ganti gigi, cidera ganti cidera. Sehingga legislasi telah digunakan  menjadi pembenaran  untuk kejahatan personal,  sokongan terhadap tindak  balas dendam  personal, izin ilahi untuk pembalasan personal. Pada titik ini, Yesus menegaskan sebuah jalan yang lebih baik. Terima pukulan, dan tawarkanlah pipi yang lain. Jika prajurit Roma  memaksamu untuk membawa   muatan-muatannya atau perlengkapan sejauh satu mil (yang mana ini  adalah hak  yang sah dibawah perundang-undangan  Roma, tetapi dari sebuah perspektif Yahudi   merupakan sebuah  bentuk eksploitasi ketakadilan yang  buruk), bawahlah sejauh dua mil  ketimbang merencanakan pembalasan.


Dalam sejarah  gereja Kristen, nas ini dan    teks-teks terkait kerap digunakan untuk membenarkan  pasifisme --(perlawanan terhadap perang atau kekerasan untuk menyelesaikan pertikaian- istilah pasifisme pertama kali dilontarkan oleh seorang aktivis perdamaian Prancis Émile Arnaud- keterangan ini ditambahkan oleh editor Anchor)-- sistematik.   Saya pikir saya memahami daya tariknya sebagai “dataran tinggi” moralitas  yang  nyata atau masuk akal. Tetapi saya meragukan bahwa para Pasifis  memiliki pemahaman  secara tepat  akan apa yang Yesus sedang katakan. Nas ini  sama sekali tidak menghapuskan semua  penghukuman yudisial, atas nama memberikan pipi lainnya, dibandingkan dengan paragraph-paragraf sebelum  menghilangkan semua sumpah-sumpah, atas nama mengatakan kebenaran. Berpikiran sebaliknya, saya  takut, harus mengejar tradisi eksegesis yang dicirikan oleh lebih dari sekedar reduksionisme. Lebih buruk lagi, posisi ini gagal memandang bagaimana instruksi Yesus  sejatinya bertalian dengan nas-nas Perjanjian Lama yang kepada ayat-ayat yang dia rujukan. Karena sekali  lagi, Yesus secara   benar  telah memahami  arah  yang benar  pada apa yang dimaksudkan Perjanjian Lama.



Legislasi atau perundang-undangan Perjanjian Lama tidak hanya menyajikan kedilan yang ketat’keras ; legislasi atau perundang-undangan PL memberikan proyeksi gambaran akan realisasinya dimuka atas sebuah masyarakat yang   tertata secara benar dimana  orang-orang   berinteraksi  dan  mendukung satu sama lain tanpa prasangka buruk/kebencian. Pada dasarnya ini adalah  sebuah dunia yang  telah rusak dan penuh dosa; legislasi harus dijalankan untuk  mengekang atau membatasi kejahatan, memenuhi  klaim-klaim keadilan, dan  meredam  dendam. Tetapi seperti halnya dengan  hukum-hukum Musa  terkait sumpah-sumpah yang secara simultan menambahkan kredibilitas pembicara dalam sebuah dunia yang telah jatuh dan menolong kebaikan mengatakan kebenaran sebagai sebuah kebaikan itu sendiri, demikian juga Mosaik Lex  talionis secara simultan  menguatkan keadilan yang ketat’keras, membatasi dendam-dendam  dalam sebuah dunia yang telah jatuh, dan mengusung kebaikan sebuah masyarakat yang tertata secara baik, orang saling  memahami satu sama lain sebagi kebaikan itu sendiri. Yesus melihat dalam kedua kasus ini bahwa legislasi atau perundang-undangan formal  menunjuk  pada melampaui  dunia ini, yang telah jatuh kepada sebuah   kebaikan pokok/sempurna.




Itu sebabnya bab ini diakhiri dengan  cara yang diperlihatkan dalam ayat 48: ”Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” Hampir dipastikan bahwa ini bukanlah sebuah kesimpulan untuk ayat 43-47 tetapi untuk seluruh enam antitesis. Dalam setiap kasus, Yesus  berkata, hukum tidak hanya menjalankan fungsi mengatur didalam kovenan Mosaik, tetapi hukum  juga menunjuk pada lebih dari  sekedar dunia ini  kepada kesempurnaan tuntutan-tuntutan Tuhan. Itulah arah yang ada didalam  poin-poin hukum;  itulah natur hubungan antara hukum Mosaik—atau, lebih luas lagi, “kitab hukum [dan] para nabi” ( 5:17)—dan kesempurnaan kerajaan yang sempurna. Yang   terdahulu menunjuk kepada  yang kemudian/akan datang; hukum taurat dan kitab para nabi menunjuk pada kerajaan. Dan kerajaan itu telah terbit;   kerajaan itu telah dilantik/diresmikan dalam  hidup dan pelayanan dan kematian  dan kebangkitan dan peninggian Yesus.

Ilustrasi: Ketegangan/konflik di Tunisi
Credit :dw.de

Pada hubungan ini kita  sepertinya akan mendengar seseorang mengutarakan keberatan:  Ini bicara tentang kerajaan yang sempurna, semuanya sangat baik, tetapi kita secara sangat menyakitkan mengetahui bahwa dunia ini masihlah dunia yang jatuh dan rusak. Si Jahat  masih memiliki kedudukan atas setiap aspek  eksistensi manusia.” Itu benar, tentu saja.  Tetapi  semua keberatan itu sukses dalam menunjukan  salah satu hal yang  paling persisten dan mencirikan  banyak ketegangan  atau  tekanan dalam Perjanjian Baru, yaitu ketegangan  antara “yang sudah” dan “yang belum,” antara kerajaan yang telah dilantik dan kerajaan yang telah sempurna. Ada sebuah pemahaman dimana para pengikut Yesus harus melihat diri mereka,  seolah-olah, sebagai sebuah pos  terluar didalam waktu, didalam waktu kejatuhan, dari kerajaan sempurna yang masih  akan datang. Diambil sebagai sebuah keseluruhan, dokumen-dokumen Perjanjian Baru sepenuhnya mengakui realita kejahatan yang sedang berlangsung  bahkan  sekalipun mereka bersikukuh bahwa dunia ini  sudah berlalu ( 1 Yohanes 2:17) dan bahwa Setan amat geram sebab dia mengetahui bahwa waktu waktunya singkat ( Wahyu 12:12). Itu sebabnya mengapa kita harus  berdoa,”datanglah kerajaan-Mu” (Matius 6:10). Tak terelakan, hal itu bermakna bahwa kita hidup dengan ketegangan-ketegangan yang pasti. Tetapi ketegangan-ketegangan ini  memang benar-benar  perihal eskatologi Perjanjian Baru. Dan Yesus sepenuhnya mengakui  ketegangan-ketegangan tersebut. Jika dia mendesak para pengikutnya untuk memberikan pipi  lainya ketika seseorang menampar atau merespon dengan lemah lembut pada seorang serdadu Roma yang melakukan tindak  kekerasan, maka Yesus sepenuhnya menyadari bahwa etika-etika kesempurnaan masih harus dilakukan   dalam titik sejarah ini dalam sebuah dunia yang  teramat hancur dan telah kehilangan tatanan.




Hal itu membawa kita  pada nas yang  merupakan perhatian kita segera, yaitu Matius 5:43-47. Para pendengar Yesus telah mendengar bahwa  ada dikatakan,” Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu” (Matius 5:43). Tentu saja, tidak ada nas Perjanjian Lama yang berkata demikian. Bagian pertama, “kasihilah  sesamamu manusia,” diambil dari Imamat 19:18.  Sebagaimana yang telah kita lihat pada perkuliahan  pertama, Yesus   menggabungkan teks itu kedalam perintah ganda kasihnya. Kita tidak perlu mengulang pemeriksaan konteks  Perjanjian Lama dimana teks itu ditemukan. Tetapi darimanakah bagian kedua, “dan bencilah musuhmu,” berasal?



Orang  tidak dapat menjadi  pasti secara absolut bagaimana slogan “Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhnya  telah dikembangkan, tetapi tidaklah  sulit untuk membuat sejumlah dugaan-dugaan  yang memiliki dasar. Jika teks itu berkata, “kasihilah sesamamu  manusia,”  maka pastilah, beberapa orang mungkin berpikir, ada sanksi atau sokongan implisit untuk tidak mengasihi mereka yang bukan sesamamu manusia. Hal itu mungkin tidak terdengar sebagai hal yang logis, tetapi cukup  dapat dipahami. Dan kemudian itu hanyalah sebuah langkah kecil untuk  penyimpulan bahwa hal itu secara keseluruhan tepat untuk membenci orang tertentu, terutama musuh-musuh tertentu.  Pada ahirnya bukankan pemazmur merujuk musuh-musuhnya dan mendeklarasikan,” Aku sama sekali membenci mereka, mereka menjadi musuhku.” (Mazmur 139:22)?




Faktanya, ada  sebuah  rangkaian doa panjang (litani)  pada teks-teks yang mengotorisasi  sebuah  jenis kebencian tertentu. Dalam 2 Tawarikh 19:2 nabi Yehu menghardik Raja  Yosafat karena mengadakan aliansi-aliansi dengan  pihak-pihak jahat. Yehu secara tajam menanyakan raja,” "Sewajarnyakah engkau menolong orang fasik dan bersahabat dengan mereka yang membenci TUHAN?” ( 2 Taw 19:2) balas Yehu, tentu saja, raja tidak semestinya  mengasihi mereka yang membenci Tuhan. Dalam Mazmur 35 Daud berdoa, “Berbantahlah, TUHAN, melawan orang yang berbantah dengan aku, berperanglah melawan orang yang berperang melawan aku!” (35:1)—yang mana ini  sangat tidak terdengar seperti berikanlah pipi yang lain. Ada alasan-alasan untuk nas-nas semacam ini. Jadi apakah  slogan “Kasihilah sesamamu manusia dan bencilhan musuhmu” sangat salah?



Tak  terelakan, persoalan ini jauh lebih   laten daripada pertama kali terlihat, sebagaimana  juga halnya dengan  hukum pada sumpah-sumpah atau lex talionis. Ketika Yehu mengkonfrontasi Yosafat, dia menghardiknya  bukan  karena sikap personalnya terhadap sahabat-sahabat pribadi dan musuh-musuh pribadi, tetapi karena perilakunya sebagai raja: raja kovenan tidak memiliki hal untuk mengadakan aliansi-aliansi dengan mereka  yang terhadapnya Tuhan sendiri telah mengumumkan penhukuman. Dimana Daud mendeklarasikan bahwa dia  sama sekali membenci terhadap orang-orang tertentu, konteksnya disingkapkan: “Masakan aku tidak membenci orang-orang yang membenci Engkau, ya TUHAN, dan tidak merasa jemu kepada orang-orang yang bangkit melawan Engkau?” dia bertanya dalam gaya  retorika. Kemudian Daud  menyimpulkan, “Aku sama sekali membenci mereka, mereka menjadi musuhku” (Mazmur 139:21-22). Dalam konteks ini, kemudian, Daud berupaya untuk menyelaraskan dirinya dengan perspektif atau sudut pandang Tuhan. Daud memilih untuk  membenci mereka yang membenci Tuhan. Daud tidak membenci mereka karena  mereka adalah musuh-musuhnya, tetapi mereka telah dideklarasikan menjadi musuh-musuhnya karena dia  membenci mereka, mengimitasi   Tuhan. Dan bahkan dalam hal ini, Daud berhati-hati untuk tidak terlalu banyak mengupayakan pembalasan   oleh dirinya sendiri sehingga dia meminta Tuhan untuk  menumpas orang jahat (Mazmur 139:19). Tentu saja, ini merupakan bagian hakiki dari komitmen pemazmur untuk memikirkan pikiran-pikiran Tuhan   pada dirinya. Ini adalah titik balik negatif menuju positif  memikirkan kembali pikiran-pikiran Tuhan  agak lebih dini dalam  mazmur: “Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir. Apabila aku berhenti, masih saja aku bersama-sama Engkau.” (Mazmur 139:17-18) [2]. 




Terlihat kemudian, bahwa dalam  tambahan pada situasi-situasi khusus yang melingkupi tanggung jawab-tanggung jawab raja kovenan, pemazmur tertarik dalam  merefleksikan  contoh dari Tuhan sendiri. Tuhan tidak selalu, seolah-olah, memberikan pipi lainnya. Lebih lagi, sebagaimana  telah saya kemukakan dalam buku-buku terdahulu [3],  Alkitab dapat secara simultan/bersamaan mengafirmasi murka Tuhan terhadap orang-orang dan kasih kepada mereka: ini tidak mengisyaratkan bahwa   kasih Tuhan dan  “kebencian” yudisialnya haruslah  bersifat  eksklusif satu sama lain. Jadi mengapa harus kasih dan kebencian  menjadi  bersifat eksklusif --(maksudnya  kalau ada kasih  maka  tidak mungkin juga ada [ secara bersamaan] benci,keduanya dapat ada secara bersamaan—tambahan editor Anchor)-- didalam kita? Bahkan didalam sebuah mazmur  kutukan terhadap seseorang seperti  Mazmur 109, dimana mazmur ini sangat kaya dengan kutuk-kutuk, si pemazmur  membuat  hal ini jelas bahwa dia  telah mengasihi musuh-musuhnya dan berdoa bagi mereka : ” Sebagai balasan terhadap kasihku mereka menuduh aku, sedang aku mendoakan mereka. Mereka membalas kejahatan kepadaku ganti kebaikan dan kebencian ganti kasihku.” ( Mazmur 109:4-5).



Bersambung ke Bagian 5




Love in Hard Places- Chapter 2 “Love And Enemies, Big And Small” | diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora





Catatan Kaki :

[1]Of course that is why, when God puts himself under an oath, he swears by himself, for there is none greater (Heb. 6:13).

[2]See the useful discussion in John Piper, “Love Your Enemies”: Jesus’ Love Command in the Synoptic Tradition and the Early Christian Paraenesis (SNTSMS 38; Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 33-34.

[3]D. A. Carson, The Difficult Doctrine of the Love of God (Wheaton, Ill.: Crossway, 2000), chap. 4.









No comments:

Post a Comment