Pages

14 July 2013

Menjelaskan Kebangkitan Yesus : Kebangkitan Teori-Teori Halusinasi Terkini (Bagian 1)


Oleh :  Prof.Dr. Gary R. Habermas

“Zusne dan Jones berpendapat bahwaharapan” dan “kegembiraan emosionil” adalah “prasyarat-prasyarat” sebelum sebuah kelompok semacam ini mengalami apa yang akan terjadi (halusinasi  kelompok) orang-orang percaya perdana telah diperhadapkan  langsung dengan realisme  yang gamblang pada kematian  tak terduga dan belum lama  menimpa sahabat terbaik mereka, yang telah mereka harapkan  akan menyelamatkan Israeldalam rangkaian pukulan-pukulan  yang menimpa  fisik Yesus, penyaliban, dan terlihat tanpa daya, respon normal atas situasi ini adalah menjadi takut, hilangnya kepercayaan, dan depresi



Abstrak

Setelah selama hampir  satu abad dalam tidur semu, sejumlah hipotesis-hipotesis  alternatif  yang naturalistik terkait kebangkitan Yesus  muncul kembali dalam publikasi baru-baru ini. Serupa dengan situasi di akhir abad ke 19, halusinasi dan pendekatan-pendekatan subyektif terkait lainnya kembali paling popular dikalangan para pengeritik. Kita akan mensurvei beberapa formulasi-formulasi terkini. Kemudian kita akan menawarkan sejumlah kritik-kritik, baik kepada pendekatan-pendekatan subyektif sebagai sebuah keseluruhan, serta juga sebagai   dua isu inklusif. Kita akan  mengungkapkan bahwa strategi-strategi alternatif ini gagal menjelaskan  kesejarahan  penampakan-penampakan kebangkitan Yesus untuk sejumlah alasan, bahkan ketika dinilai  oleh standar-standard  yang telah diterima secara kritis.


Taktik-taktik naturalistik untuk menjelaskan penampakan-penampakan kebangkitan  Yesus berangkali telah ada sama tuanya dengan  telah diproklamasikannya peristiwa ini. Beberapa  pendekatan alternatif  bahkan muncul dalam  Injil-Injil itu sendiri. Akan terlihat bahwa kritik-kritik tersebut, mengetahui bahwa kebangkitan terletak  di jantung Kekristenan, telah mengkhususkan kebangkitan  menghadapi  tantangan-tantangan khsusus.



Pendekatan kita disini akan dimulai dengan menyediakan sejumlah  perspektif historis terhadap isu ini, membuat sejumlah komentar-komentar singkat terkait masa kejayaan teori-teori naturalistik dalam teologi abad ke sembilan belas. Kasusnya serupa, terkait 100 tahun lalu, hipotesis-hipotesis  halusinasi juga menempati posisi kritisi paling popular sampai  tidak lagi menjadi favorit keilmuan. Kemudian berdasarkan pada surveiku belum lama ini’ lebih dari 500 publikasi mengangkat subyek kebangkitan Yesus, telah dipublikasikan sejak 1975 hingga saat ini, kita akan mendokumentasikan popularitas yang meningkat pada hipotesis-hipotesis ini pada  masa kini, terutama dari para  ahli selama satu atau dua decade belakangan ini. Terakhir, kita akan menyajikan sebuah kritik multisisi dari posisi-posisi ini, menggunakan hanya data-data tersebut yang dapat  dipastikan secara kritis, sehingga  menjadi diterima oleh para ahli secara luas [1]




Sebuah Tinjauan : Pendekatan-Pendekatan Naturalistik Sejak  Abad ke Sembilan Belas



Publikasi-publikasi dari akhir abad ke 18 hingga ke 19 memberikan sejumlah contoh-contoh paling kuat mengenai teori-teori naturalistik terkait penampakan-penampakan kebangkitan Yesus. Dalam  volume  klasik studi-studi  yang  mendokumentasikan kesejarahan Yesus selama masa ini, Albert Schweitzer mengkronologikan banyak pendekatan-pendekatan ini. Sebagai contoh  sebuah usaha pertama oleh  Hermann Reimarus  telah menuduh murid-murid Yesus sudah mencuri jasadnya[ii]. Friedrich Schleiermacher menyukai  teori jatuh pingsan, pandangan yang menyatakan bahwa Yesus tidak pernah mati di kayu salib[iii]David Strauss telah mempopulerkan teori halusinasi[iv], dan yang  lain seperti Ernest Renan mengikutinya[v]. Otto Pfeinderer dan  ahli-ahli lain berpikir bahwa legenda-legenda dapat menjelaskan  banyak hal mengenai data ini[vi].



Sebuah plot kecil  luar biasa yang mana banyak ahli liberal memberikan sanggahan-sanggahan hipotesis-hipotesis tandingan. Schleiermacher dan Heinrich Paulus telah menyerang dengan beragam teori penglihatan[viii], sehingga beberapa ahli telah mendukungnya seturut dengan kritiknya[ix]. Bahkan walaupun dia  lebih menyukai tesis-tesis legenda, Pfeiderer  bahkan  telah mengakui bahwa tesis tersebut tidak dapat sepenuhnya menjelaskan data kebangkitan Yesus![x].



Akan tetapi, selama hampir sepanjang abad ke 20, secara keseluruhan  hanya ada sedikit minat terhadap teori-teori naturalistik menentang kebangkitan Yesus. Mereka yang telah menolak kesejarahan peristiwa ini, jarang membuat rujukan  untuk formulasi-formulasi alternatif. Setelah menyebutkan sebuah daftar panjang berisikan teori-teori kritis, Raymond Brown telah mengindikasikan beberapa dekade lampau:


Kritisme   hari ini tidak mengikuti jejak-jejak yang telah diambil oleh kritisme masa  lampau. Teori-teori yang mentah tidak lagi dapat dihormati…popular di masa lampau…Para  ahli yang serius hanya memberikan perhatian kecil terhadap rekonstruksi-rekonstruksi fiksional ini.”[xi]


Melemahnya pihak pakar  pengeritik ini  disebabkan  lebih dari satu alasan. Bukan kebetulan bahwa ketertarikan dalam banyak hal terkait  kesejarahan Yesus telah merosot selama  waktu yang sama ini. Namun  yang  mendekati pemuncak daftar yang menyebabkan  kemerosotan ini  ada pada kegagalan-kegagalan hipotesis-hipotesis  naturalistik untuk menjelaskan data yang telah diketahui.  Dengan kata lain, alasan utama untuk menolak tesis-tesis alternatif  ini adalah bahwa setiap tesis tersebut telah disanggah oleh  fakta-fakta.  Setelah mengamati  beberapa  teori ini, James D.G. Dunn menyimpulkan : “interpretasi-interpretasi alternatif atas data telah gagal untuk menyediakan sebuah penjelasan yang memuaskan”[xii]. Ahli filsafat Stephen Davis setuju bahwa kritik-kritik:


tidak mampu untuk muncul dengan sebuah kisah yang koheren dan  meyakinkan  yang mengokohkan bukti di tangan. Semua hipotesis-hipotesis yang  saya kenal baik adalah lemah secara sejarah; beberapa diantaranya sangat lemah sehingga  hipotesis-hipotesis tersebut runtuh karena bobotnya sendiri kala dipaparkan… teori-teori alternatif yang telah diajukan tidak hanya lebih lemah tetapi  jauh lebih lemah pada menjelaskan  bukti kesejarahan yang tersedia…[xiii].


Meskipun dengan perkembangan-perkembangan ini, yang ada muncul saat ini   merupakan sebuah  tren terbatas terhadap kembalinya beberapa upaya yang lebih tua usianya untuk menjelaskan kebangkitan pada dasar-dasar natural. Akan  hal ini, pilihan terakhir  yang paling populer adalah beberapa bentuk tesis yang melibatkan  orang-orang Kristen yang berhalusianasi atau pengalaman-pengalaman subyektif lainnya yang paling awal.



Kembalinya Hipotesis-Hipotesis Halusinasi Baru- Baru Ini


Dalam survei yang kulakukan belum lama ini terhadap  ratusan publikasi yang mengkritisi tajam kebangkitan, menjadi terlihat bahwa lebih banyak ahli yang mendukung   beragam hipotesis-hipotesis yang naturalistik daripada  yang telah terjadi  sebelumnya dalam  dekade-dekade belakangan ini. Fenomena ini tidak disebabkan oleh perubahan apapun dalam lanskap sejarah. Sebaliknya, ini  seperti pepatah lama, bahwa apa yang pernah ada akan kembali  muncul—seolah-olah para ahli itu secara gampang berpikir bahwa ini saatnya untuk  sebuah perubahan.



Akan tetapi, mereka yang sekarang lebih menyukai penjelasan-penjelasan halusinasi, hanya  terdapat segelintir ahli yang  mengejar pendekatan ini  secara detail. Kita akan melihat sejumlah ahli lain yang hanya menyebutkan kemungkinannya, atau hanya menyebutkan kesukaan pada tesis-tesis halusinasi[xiv].



Gerd Ludemann, dalam  volume-volume belum lama ini, telah menjelaskan sebuah kasus yang sangat mengingatkan  pada berbagai upaya pada abad ke 19, menyatakan bahwa penjelasan ini dapat diberlakukan pada semua partisipan utama dalam gereja perdana:  murid-murid, Paulus,  500 orang, dan Yakobus, dan saudara Yesus[xv]. Ludemann  berpendapat bahwa adalah jelas bahwa bahasa Paulus   yaitu terminology  ophte dalam  1 Korintus 15:3 dan seterusnya bermakna bahwa dia sedang berbicara  mengenai penglihatan yang  sesungguhnya  berasal dari interpretasi stimulus sensorik pada dirinya…” demikian juga pada rasul-rasul lainnya. Sehingga Paulus “pasti mengharapkan orang-orang Korintus untuk memahami terminologi tersebut secara sejarah”[xvi] . Ludemann menyimpulkan bahwa  penglihatan-penglihatan   yang disebabkan oleh halusinasi diperlukan  bersama dengan “karakteristik-karekateristik terkait dengan indera pendengaran” yang telah memproduksi sebuah  “stimulus,”  “antusiasme,” “kemabukan religius,” dan “ekstasi,” bagi Petrus. Hal ini menghinggapi murid-murid lain oleh “ sebuah rantai reaksi yang tidak ada bandingannya.” Paulus, murid-murid yang lain, 500 orang, dan Yakobus semuanya telah mengalami hal yang serupa, penglihatan-penglihatan subyektif ini,  mencuatkan sebuah “ekstasi masal.”[xvii].



Walaupun pendekatannya sangat berbeda pada poin-poinnya, Jack Kent juga berpikir bahwa halusinasi menjelaskan klaim-klaim baik  murid-murid, Paulus, dan  Yakobus[xviii]. Kent mengkombinasikan dua teori naturalistik  untuk menjelaskan   tampilan-tampilan kebangkitan Yesus. Para murid dan para perempuan telah mengalami  hal normal, yaitu  halusinasi-halusinasi yang terkait dengan kesedihan mendalam.” Paulus, pada satu sisi lainnya, telah mengalami sebuah konfik didalam dirinya dan pergolakan jiwa atas keterlibatannya dalam kematian Stefanus dan penganiayaannya atas orang-orang Kristen. Sebagai akibatnya, Paulus  telah mengalami sebuah “konversi yang kacau,” sebuah penyakit kejiwaan yang dikenali, bertanggungjawab atas konversinya di jalan menuju Dasmakus, termasuk rebahnya dan kebutaan, khususnya[xix]. Tidak seperti Ludemann, Kent ingin menghindari  halusinasi-halusinasi yang kolektif[xx].



Lebih dekat kepada Kent, Michael Goulder menerapkan sebuah penjelasan yang terkait dengan pengalaman-pengalaman Petrus, Paulus, dan beberapa orang lainnya[xxi]. Goulder berpikir bahwa Paulus telah mengalami apa yang dia sebut sebuah “penglihatan-penglihatan yang mengakibatkan konversi,” bermacam-macam jenis halusinasi yang telah  dihasilkan selama masa tekanan hebat, perasaan bersalah, dan  meragukan diri sendiri. Akibat dari hal-hal ini bagi rasul-rasul, satu yang dahulu  pernah  menyangkali Tuhannya dan satu lagi yang pernah menganiaya orang-orang Kristen, adalah sebuah orientasi baru terhadap hidup—sebuah transformasi  yang menuntun pada “ heroisme  yang terjadi kemudian dan  penderitaan serta kematian sebagai martir”[xxii].



Satu pendekatan lain yang saya sebut teori Iluminasi berangkali  juga harus disebutkan secara ringkas. Belakangan ini sejumlah ahli lebih menyukai sebuah strategi yang meskipun  kelihatannya dekat dengan tesis halusinasi, tidaklah persis sama. Secara  umum, idenya : Petrus adalah yang pertama memiliki pengalaman semacam pengalaman subyektif atau keyakinan bahwa Yesus  hidup. Hal  ini kemudian agaknya  dikomunikasikan   kepada pengikut Yesus lainnya, yang telah menyimpulkan bahwa Yesus telah bangkit. Mereka menyatakan bahwa kita sekarang tidak dapat berbicara tentang natur historis dari insiden ini. Peristiwa ini adalah iman orang-orang percaya perdana yang  benar-benar sangat penting disini[xxiii]. Kerap dinyatakan bahwa pengalaman-pengalaman ini bukan merupakan halusinasi-halusinasi[xxiv] tetapi banyak kritik-kritik kita dibawah ini akan tetap diterapkan pada tesis ini.



Sebuah Kritik Pada Hipotesis Halusinasi


Meskipun gelora tesis-tesis halusinasi belakangan ini menyingkapkan beberapa perbedaan, ada lebih banyak keserupaan-keserupaan. Kita  harus  menimbang  hipotesis-hipotesis tersebut sebagai sebuah keseluruhan. Tetapi  kita akan memulai dengan mengevaluasi dua sisi penting isu-isu: kemungkinan atas  halusinasi-halusinasi  pada   sekelompok orang dan status  tesis  kekacauan  konversi yang diusulkan oleh Kent dan Goulder.



Halusinasi-Halusinasi Kolektif. Salah satu isu sentral dalam keseluruhan diskusi terkait apakah sekelompok orang dapat menceritakan  halusinasi  yang sama. Kebanyakan psikolog  berselisih pendapat  terhadap realitas-realitas pada   kejadian-kejadian semacam ini, sebagaimana telah diperlihatkan dibawah ini.



Sebuah upaya yang  langka menyatakan bahwa halusinasi-halusinasi kolektif adalah mungkin, tanpa  aplikasi apapun terhadap kebangkitan Yesus Kristus, yang dibuat  oleh Leonard Zusne dan Warren Jones. Mereka menunjuk  pada fenomena  seperti penglihatan-penglihatan yang diklaim  sebagai perawan Maria dan laporan-laporan lainnya yang menyertai dari  berbagai kelompok orang. Dalam kasus-kasus semacam ini, “harapan-harapan” dan  kegembiraan yang emosioniladalah “sebuah prasyarat untuk terjadinya halusinasi-halusinasi kolektif.” Dalam  kelompok-kelompok semacam ini kita melihat “penularan emosional yang terlampau sering terjadi dalam kerumunan-kerumunan yang digerakan oleh emosi-emosi yang kuat…[xxv]



Tetapi menyokong halusinasi-halusinasi kolektif sangatlah problematik, dan ini mengacu pada beberapa hal dasar.



(1)Untuk memulai, contoh-contoh utama  untuk “halusinasi-halusinasi kolektif” disediakan oleh Zusne dan Jones adalah pengalaman-pengalaman kelompok religius seperti penampakan-penampakan Maria. Tetapi kutipan-kutipan ini pada dasarnya  mengemis  pertanyaan  terkait apakah pengalaman-pengalaman semacam ini dapat  memiliki kemungkinan menjadi obyektif, atau bahkan  supernatural, setidak-setidaknya dalam beberapa hal. Dengan kata lain, mengapa seorang naturalistik,  dalam hal ini malah mengasumsikan sebuah penjelasan yang subyektif[xxvi]? Ini  terlihat  menyingkirkan contoh-contoh tersebut dari sebuah bentuk penerimaan tanpa keberatan, sebelum data tersebut dipertimbangkan.




(2)Lebih lanjut, tesis halusinasi kolektif  tidak dapat diobservasi untuk dibuktikan kemungkinan salah.  Tesis ini dapat diterapkan pada hal yang sepenuhnya alami, kelompok-kelompok yang menerima penglihatan-penglihatan, sederhananya menyebut mereka kelompok-kelompok halusinasi juga. Pada tesis ini, kriteria  epistemik (terkait dengan berpikir kritis- tambahan editor)  krusial  terlihat  menjadi hilang. Bagaimana kita menentukan peristiwa-peristiwa normal dalam kelompok-kelompok  halusinasi?



(3)Bahkan jikapun  dapat ditegakan secara mapan bahwa mereka adalah  kelompok-kelompok orang yang  mengalami halusinasi-halusinasi,  sangat penting untuk diperhatikan bahwa  peristiwa tersebut tidak semua orang memahami bahwa  pengalaman-pengalaman ini oleh karena itu terjadi secara kolektif. Jika, sebagaimana kebanyakan psikolog menyatakannya, halusinasi-halusinasi adalah   hal privat, peristiwa-peristiwa individual, lantas bagaimana dapat kelompok-kelompok tersebut memiliki persepsi  visual subyektif yang persis sama? Sebaliknya, kejadian semacam ini  cenderung lebih  merupakan fenomena yang  dipertanyakan apakah ini merupakan  ilusi-ilusi- kekeliruan interpretasi perseptual atau  realita-realita aktual[xxvii]- atau  halusinasi-halusinasi individual.




Lebih jauh lagi, serangkaian masalah-masalah terbesar yang dihasilkan dari memperbandingkan tesis ini terhadap  catatan-catatan Perjanjian Baru mengenai  kemunculan-kemunculan Kebangkitan Yesus. Dan disini, kekuatan eksplanotori dari hipotesis ini adalah luar biasa menantang, karena banyak data tidak hanya berbeda, tetapi secara nyata berkontradiksi, terkait pada kondisi-kondisi yang diperlukan bagihalusinasi-halusinasi kolektif.” Salah satu dari isu ini akan disebutkan disini, disajikan bersama dengan hal-hal lainnya di bawah ini.




(4) Sebagai contoh, Zusne dan Jones berpendapat bahwaharapan” dan “kegembiraan emosionil” adalah “prasyarat-prasyarat” sebelum sebuah kelompok semacam ini mengalami apa yang akan terjadi (halusinasi  kelompok). Kenyataannya, harapanmemainkan peran  yang mengkoordinasikan”[xxvii]. Tetapi skenario ini  mengkontradiksikan  keadaan emosionil  para saksi  mula-mula   kemunculan-kemunculan kebangkitan Yesus. Bahkan secara psikologis, orang-orang percaya perdana tersebut  telah
diperhadapkan  langsung dengan realisme  yang gamblang pada kematian  tak terduga dan belum lama  menimpa sahabat terbaik mereka, yang telah mereka harapkan  akan menyelamatkan Israel. Terkait  peristiwa-peristiwa yang belum lama terjadi, terjadi  dalam cara yang mengejutkan mereka, dalam rangkaian pukulan-pukulan  yang menimpa  fisik Yesus, penyaliban, dan terlihat tanpa daya, respon normal atas situasi ini adalah menjadi takut, hilangnya kepercayaan, dan depresi.



Menyangka bahwa orang-orang percaya ini akan memperlihatkan “pengharapan” dan “kegembiraan yang emosionil” dalam menghadapi situasi-situasi yang  sangat sukar untuk diterima akan mensyaratkan mereka merespon hal semacam itu  adalah sangat langka-tidak mungkin dipertontonkan pada sebuah pemakaman! Semua indikasinya menunjukan bahwa murid-murid Yesus akan memperlihatkan  emosi-emosi yang sangat berlawanan dari apa yang dikemukakan oleh Zusne dan Jones sebagai persyaratan yang diperlukan.



Dengan memperbandingkan satu sama lain, pengalaman murid-murid secara total  tidak seperti pengalaman-pengalaman dalam kasus-kasus lain yang disebutkan diatas dimana para peziarah diungkapkan melakukan perjalanan jarak jauh, berkumpul penuh semangat dengan hasrat yang eksplisit untuk melihat sesuatu yang spesial. Terlihat  dengan dasar- dasar yang sangat tipis dalam  perbandingan disini dengan murid-murid Yesus[xxix].



Banyak problem-problem krusial lainnya juga menjangkiti tesis-tesis  yang disajikan kelompok halusinasi-halusinasi, dan kita  selanjutnya akan mengejar beberapa  hal lagi. Namun untuk saat ini kita akan  mengatakan kembali bahwa Zusne dan Jones tidak pernah berupaya untuk mengaplikasikan pendekatan mereka pada penampakan-penampakan kebangkitan Yesus. Sebaliknya, mereka malahan secara luar biasa mendekatkan pemeriksaan mereka dengan pengakuan bahwa kelompok-kelompok halusinasi memiliki “status   yang  meragukan” karena  adalah tidak mungkin untuk menentukan apakah individual-individual ini, bahkan apakah benar-benar berhalusinasi![xxx] .



Bersambung ke Bagian 2


Explaining Away Jesus’ Resurrection : The Recent Revival of Hallucination Theories |diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora
Catatan-Catatan Kaki :


Dr. Gary Habermas has penned dozens of books and over
a hundred articles. He has given over 1500 lectures in universities,
seminaries, and colleges all over the world and is
'Distinguished Research Professor and Chair' in
the Department of Philosophy and Theology at
Liberty University, where he has taught for 30 years.

credit: garyhabermas.org



[i]. This is what I have termed the minimal facts method, which argues chiefly from data that have the two fold characteristics of being individually and multiply attested on stronglyevidential grounds, hence being accepted by almost all scholars who researchthis subject. For an outline of this method, see Gary R. Habermas, "EvidentialApologetics" in Five Views on Apologetics, Steven Cowan, ed. (GrandRapids: Zondervan, 2000), 99-120, 186-190.


[ii]. Albert Schweitzer, TheQuest of the Historical Jesus: A Critical Study of Its Progress from Reimarusto Wrede, W. Montgomery, trans. (New York: Macmillan, 1906, 1968), 21-22;otherexamples are found on pages 21-22, 43, 47, 53- 55, 60, 83, 162-167, 170,187, 210-214.

[iii]. Schweitzer, p. 64;cf. Friedrich Schleiermacher, The Christian Faith, H.R. Mackintosh and J.S. Stewart, trans. (New York: Harper and Row, 1963), 417-421.

[iv]. David Strauss, A New Life of Jesus, no trans., second edition, two vols. (Edinburgh:Williams and Norgate, 1879), vol. I, 412-440.

[v]. Ernest Renan, Vie deJesus (Paris: Calmann- Levy, 1861), 355-356.

[vi]. Otto Pfleiderer, Early Christian Conception of Christ: Its Significance and Value in the History of Religion (London: Williams and Norgate, 1905), Chapter IV.

[vii]. Schleiermacher, 420;Schweitzer, 53-55.

[viii]. Strauss, 408-412.


[ix]. Schweitzer lists no convinced proponents of the swoon theory after 1838, three years after The initial publication of Strauss' critique.

[x]. Pfleiderer, 157-158.

[xi]. Raymond Brown, "The Resurrection and Biblical Criticism," Commonweal,Vol. 87; No. 8 (Nov. 24, 1967), 233.

[xii]. James Dunn, The Evidence for Jesus (Louisville: Westminster, 1985), 76.

[xiii]. Stephen Davis, "Is Belief in the Resurrection Rational?: A Response to MichaelMartin," Philo, Vol. 2; No. 1 (Spring-Summer, 1999), 57-58.

[xiv]. Some of these are Dan Cohn-Sherbok, "The Resurrection of Jesus: A Jewish View" in Resurrection Reconsidered, Gavin D'Costa, ed. (Oxford: Oneworld,1996), 197; John Barclay, "The Resurrection in Contemporary New TestamentScholarship," in D'Costa, 25-26; Michael Grant, Saint Paul: The Man(Glasgow: William Collins Sons, 1976), 108; M. Lloyd Daviesand T.A. Lloyd Davies, "Resurrection or Resuscitation?" Journal of the Royal College of Physicians of London, Vol. 25; No. 2 (April 1991), 168; Antony Flew, inGary R. Habermas and Antony Flew, Did Jesus Rise from the Dead? The Resurrection Debate, Terry Miethe, ed. (San Francisco: Harper and Row,1987), 50-59; John Hick, The Center of Christianity(SanFrancisco:Harper and Row, 1978), 25. Although Peter Carnley thinks that Jesus'resurrectionactually  occurred, he states that the subjective vision supposition is very difficult to disprove (The Structure of ResurrectionBelief [Oxford: Clarendon, 1987], 64, 244-245; cf. 69-72, 79, 82).



[xv]. Gerd Ludemann's best known works are: The Resurrection of Jesus: History, Experience,Theology, John Bowden, trans. (Minneapolis: Fortress, 1994); a more popular rendition was written in collaboration with Alf Ozen, What Really Happened to Jesus: A Historical Approach to the Resurrection, John Bowden,trans. (Louisville: Westminster John Knox, 1995).

[xvi]. Ludemann, TheResurrection of Jesus, 50, 37; cf. What Really Happened to Jesus,103.

[xvii]. Ludemann, The Resurrection of Jesus, 106- 107, 174-175.

[xviii].Jack Kent, The Psychological Origins of the Resurrection Myth (London:Open Gate, 1999).

[xix].Kent, 6-11, 49-61, 85-90.

[xx]. Ibid., 89-90.

[xxi]. Michael Goulder, "The Baseless Fabric of a Vision," 48-61; a briefer version was published as part of a debate with James Dunn in Resurrection, G. N.Stanton and S. Barton, eds. (London: SPCK, 1994), 58-68.

[xxii]. Goulder, "The Baseless Fabric of a Vision," 48-52. Incidentally, Goulder argues that the disciples, especially regarding group appearances, experienced "collective delusions." These are significantly different from subjective hallucinations in that they pertain to the misapprehension of actual, physical objects (52- 55).

[xxiii]. Similar views are held by: Willi Marxsen, Jesus and Easter: Did God Raise the Historical Jesus from the Dead? (Nashville: Abingdon, 1990), 65-74;Willi Marxsen, The Resurrection ofJesus of Nazareth, Margaret Kohl,trans. (Philadelphia: Fortress, 1968), esp. Chapters IIIIV;Don Cupitt, Christ and the Hiddenness of God (Philadelphia: Westminster, 1971), 143, 165-167;Thomas Sheehan, The First Coming: How the Kingdom of God became Christianity(NewYork: Random House, 1986), 95-118; John Shelby Spong, Resurrection:Myth or Reality?(San Francisco: Harper San Francisco, 1994), 255-260; JohnShelby Spong, The Easter Moment (San Francisco: Harper and Row, 1987),esp. 39- 68.


[xxiv]. Spong, The Easter Moment, 196; Sheehan, 262-263, endnote 38; cf.Marxsen, Jesus and Easter, 71-74.

[xxv].Leonard Zusne and Warren Jones, Anomalistic Psychology: A Study of ExtraordinaryPhenomena ofBehavior and Experience (Hillsdale: Lawrence Erlbaum, 1982), 135–136.


[xxvi]. For a number of critical observations and responses to such phenomena, see Elliot Miller and Kenneth Samples, The Cult of the Virgin Mary: Catholic Mariology and the Apparitions ofMary (Grand Rapids: Baker, 1992), esp.Chapters 11-14 and Appendix A.

[xxvii]. Here Zusne and Jones repeatedly refer to collective hallucinations, even though they conclude, conversely, that these groups may be seeing actual phenomena. So the "final answer to these questions has not been obtained yet" (135- 136)!

[xxviii].Ibid., 135.

[xxix]. The rejoinder could be made that perhaps a few individuals hallucinated individually, thereby inducing excitement in the others, preparing them for hallucinations. From our critique below, a multifaceted response could be fashioned. I would suggest especially critiques 4-5 in the next section regarding the two cases of Paul and James, which would be highly problematic for this view both because of the former skepticism and later conversions oft hese apostles, plus (to varying extents) critiques 2-8 in the "Additional Problems" section.



[xxx].Ibid., 136; cf. 134–135. For the more regular assessment against group hallucinations, see Phillip Wiebe, Visions of Jesus: Direct Encounters from the New Testament to Today (New York: Oxford, 1997), 210; J.P. Brady, "TheVeridicality of Hypnotic, Visual Hallucinations," in Origins and Mechanisms of Hallucinations, Wolfram Keup, ed. (New York: Plenum, 1970), 181; Weston La Barre, "Anthropological Perspectives on Hallucinations and Hallucinogens," inR. K. Siegel and L. J. West, eds., Hallucinations: Behavior, Experience and Theory (New York: John Wiley and Sons, 1975), 9–10.

No comments:

Post a Comment