Pages

10 November 2012

[Kesaksian Daniel B. Wallace] Perjalanan Iman dari Kognitif Menuju Sepenuh Jiwa dan Pikiran (Bagian II)

Sebelas Tesis

Daniel B. Wallace, Ph.D
di Indonesia- dalam acara Sola Scriptura
Inilah  pengalaman penyakit  kanker  yang  diidap oleh anak lelakiku yang membangunkan semua kesadaranku, yang  membawaku kembali kepada hal-hal yang paling mendasar. Dan diluar pengalaman ini saya sedang bergulat dengan isu-isu praktis tentang pneumatology ( doktrin Roh Kudus).

Saya hendak menawarkan sebelas saran, sebelas tantangan—sebelas tesis jika anda  mau—yang berkaitan dengan area-area ini dalam kehidupanku sendiri yang Tuhan sampaikan. Saya belum sampai dengan 95 buah—dan ini bukanlah  Schlosskirche of Wittenberg (Gereja di Wittenberg).  Tetapi saya  berharap dan berdoa agar esai ini akan membantu orang-orang Kristen lainnya penganut pandangan “cessationist” terhindar dari perangkap  dimana saya terjerembab   kedalamnya.


(1) Walaupum tanda karunia-karunia telah berakhir pada abad pertama, Roh Kudus tidak. Para penganut pandangan “cessationist” dapat  membenarkan secara teologi, tetapi secara pragmatis kita berlaku seolah-olah  Roh Kudus telah mati bersama dengan para  rasul. Ini merupakan tesis fundamentalku, dan ini layak untuk dieksplorasi. Apa yang dapat kita  lakukan sebagai cessationist dalam meneguhkan apa yang sedang dilakukan oleh  Roh Kudus saat ini? Apa yang Yesus  maksud ketika dia berkata “Domba-Ku mendengarkan suaraku” (Yohanes 10:27)?


Apakah yang dimaksud Paulus ketika dia mendeklarasikan,”Semua yang dipimpin Roh adalah anak-anak Allah” (Roma 8:14)? Apakah yang dimaksud Yohanes ketika dia menulis, “Engkau memiliki pengurapan dari Dia yang Kudus” (1 Yohanes 2:20)” Saya semakin diyakinkan walaupun Tuhan tidak berkomunikasi dalam sebuah cara yang bertentangan dengan nas-nas kitab suci, dia  kerap berkomunikasi dalam sebuah cara non verbal kepada anak-anaknya. Memberikan mereka jaminan, membawakan kedamaian, memandu mereka melalui kehidupan yang ganas. Menyangkali   bahwa Tuhan  berbicara secara  verbal kepada kita saat ini selain dari  kitab suci bukan untuk menyangkali bahwa dia berkomunikasi kepada kita selain  dari kitab suci.




(2) Walaupun para penganut  kharismatik terkadang memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada  pengalaman daripada kepada hubungan, evangelikal yang rasionalistik juga kerap kali memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada pengetahun daripada hubungan. Keduanya kehilangan nilainya. Dan  Paulus dalam 1 Korintus, mengecam keduanya.  Pengetahuan meletihkan; dan pengalaman  tanpa kasih tidak bernilai.




(3) Penekanan pada pengetahuan semacam ini yang melampaui  hubungan/relasi  dapat menghasilkan pemberhalaan  Alkitab (bibliolatry). Bagi saya sebagai professor Perjanjian Baru, teks merupakan pekerjaanku—tetapi saya telah membuatnya menjadi Tuhanku. Teks menjadi berhalaku. Izinkan saya mengatakan lebih gamblang lagi: Alkitab bukanlah anggota Tritunggal. Seorang wanita dalam gerejaku dengan wajah jenaka berkata kepada saya, “saya peraya akan Tritunggal: Bapa, Anak dan Kitab Suci. “ Sedihnya begitu  banyak “cessationist” yang  beroperasi seolah memang demikian.

Salah satu warisan  hebat Karl Barth yang terlupakan adalah fokus   kristosentrik yang kuat. Adalah  hal yang memalukan bahwa terlampau banyak dari kita yang  telah bereaksi terlampau  kuat terhadap Barth, oleh karena kegairahan kita untuk memperlihatkan kekurangan-kekurangan pada doktrin Alkitab, kita telah menjadi penyembah-penyembah  Alkitab dalam proses. Barth dan Calvin membagikan sebuah kehangatan, sebuah kesalehan, sebuah devosi/ketaatan, sebuah ketakjuban dalam hadirat Tuhan  yang tidak terlalu dijumpai didalam begitu banyak buku-buku teologia yang tebal dan berjilid-jilid, yang dihasilkan oleh  rekan-rekan dalam  komunitas-komunitas kita.


(4)Efek lansung dari pemberhalaan Alkitab yang sedemikian adalah Tuhan yang  pribadinya terlucuti.  Pada akhirnya, kita tidak lagi berelasi  atau membangun  hubungan dengan Dia. Tuhan menjadi obyek investigasi kita ketimbang Raja yang kepadanya kita menjadikannya subyek. Vitalitas agama kita menjadi  memuakkan.  Tuhan dibedah dan dipotong-potong menjadi tiga ( dalam hal ini bagi anda penganut  Trikotomi), pandangan kita berubah dari “ Saya percaya kepada” menjadi “Saya yakin bahwa.”



(5) Bagian dari dorongan untuk melucuti kepribadian Tuhan adalah  sebuah upaya yang  lebih besar untuk memegang kendali Apa yang sangat saya sesalkan mengenai kharismatik adalah mereka  kehilangan kontrol, atas emosionalisme mereka. Kami menakutkan hal itu. Kami dapat  nyaman atau menerima  dengan fakta bahwa bagian dari buah Roh adalah “penguasaan diri.” Tetapi dengan ini  kita bermaksud “Lakukan semua hal dalam keteraturan”—termasuk dalam menyembah Tuhan. Tetapi  tidak seharusnyakah  kita  boleh memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya  dalam devosi kita kepadanya? Bukankah  tidak seharusnyakah kita menjatuhkan diri kita kepada-Nya, menyadari bahwa terlepas darinya kita tidak dapat berbuat apapun?


Sebaliknya, sebagai seorang yang berpandangan “cessationist,” kita ingin memegang kendali di sepanjang waktu. Bahkan ketika itu berarti bahwa kita membungkam Tuhan. Ini merupakan isu  kendali yang telah membuat teman saya menjadi seorang yang cesaationist  begitu lamanya. Sekarang sebagai seorang anggota gerakan Vineyard, dia cukup bahagia: dia mengakui bahwa dia tidak pernah  memimpin   di gerejanya  yang pertama. Ditengah-tengah apa yang saya anggap sebagai peralihan  heterodox pada sebagian dirinya,  walaupun ini merupakan  terobosan yang tulus dengan Tuhan.



(6) Tuhan tetaplah Tuhan yang menyembuhkan dan mengerjakan mujizat-mujizat. Sebagai seorang cessationist, saya dapat  membenarkan/mengiakan  fakta mujizat-mujizat yang terjadi pada masa kini tanpa  mengkonfirmasi pembuat mujizat. Tuhan tetaplah Tuhan yang menyembuhkan sekalipun aku berpikir modus operandi normalnya  tidak melalui seorang penyembuh iman. Problem dengan beberapa kharismatik adalah : bahwa mereka percaya  bahwa Tuhan tidak hanya dapat menyembuhkan, bahwa Tuhan HARUS menyembuhkan. Ini salah satu  alasan mengapa, hingga kira-kira beberapa waktu lalu, charismata telah menjadi sebuah  gerakan diantara para Arminianisme. Beberapa tahun   lampau saya secara resmi dinyatakan mengidap semacam virus ensapalitis yang aneh. Saya  mengunjungi  rumah sakit demi rumah sakit, dan akhirnya berakhir di sebuah Klinik di  Mayo. Pada sebuah rumah sakit, seorang teman Kristen datang membesukku. Temanku yang perempuan ini mendoakanku dengan panjang, masuk kedalam hal ritual, memerintahkan Tuhan untuk menyembuhkanku! Baginya, Tuhan pada dasarnya adalah sebuah alat, sebuah instrumen yang dipergunakan Kristen yang mahakuasa. Jika imannya (atau imanku) cukup kuat, Tuhan HARUS menyembuhkanku. Begitulah cara  ajaib itu bekerja.

Pada saat yang sama, problem pada banyak non Kharismatik adalah walau mereka  mengklaim  bahwa Tuhan dapat menyembuhkan, mereka berlaku seolah dia tidak akan menyembuhkan. Kita kerap tidak percaya akan kemampuan Tuhan—kita tidak sungguh-sungguh yakin bahwa Tuhan dapat menyembuhkan. Ini dapat  berwujud dalam ragam bentuk. Saya mungkin tidak akan berdoa bagi seseorang karena pengertianku akan kedaulatan Tuhan :”Apapun yang akan terjadi tetap akan terjadi, dan tidak ada yang dapat aku lakukan untuk mengubah pikiran Tuhan.” Oleh karena itu, kita dapat memaklumi kelemahan doa pada seseorang yang yakin akan kedaulatan Tuhan. Atau kita dapat memiliki pandangan yang berlawanan: “Tuhan sungguh-sungguh tidak cukup berkuasa untuk melakukan hal semacam ini.  Pasti, dia dapat melakukan mujizat-mujizat tetapi  mujizat-mujizat itu hanya sedikit dan belum tentu terjadi.  Mujizat-mujizat itu mungkin sudah mendekati kuotanya untuk tahun ini, lantas mengapa peduli dengan doa?”

Jadi, problem dengan  beberapa kharismatik adalah sebuah penyangkalan terhadap kedaulatan Tuhan; problem dengan beberapa  non kharismatik adalah sebuah penyangkalan akan kemampuan Tuhan atau kebaikan Tuhan atau kedua-duanya. Dan  tidak satupun dari kedua kelompok ini menjadi tulus sepenuhnya dengan Tuhan. Tidak juga sepenuhnya tunduk mempercayai Dia.

(7) Rasionalisme Evangelikal dapat membawa kepada kecacatan rohani. Saya sedang merujuk kepada kesesakan nafas  karena tercekik oleh Roh dalam pelatihan teologia pasca sarjana, demikian juga dengan rayuan  akademia. Hampir semua professor seminari dapat mengemukakan contoh-contoh para siswa bertalenta yang telah kita didik yang nampaknya telah kehilangan semua keyakinan Kristen mereka dalam sebuah  panggung akademik.    Bagi  banyak dari kita, mengingat akan  hal ini sungguh amat menyakitkan. Berapa kalikah kami telah mengirimkan Daniel-Daniel ke sarang singa-singa, hanya untuk mengatakan kepada mereka oleh karena tindakan kita maka doa-doa tidak menghasilkan hal baik apapun?


Satu contoh utama yang sangat sulit bagiku untuk dipikirkan. Salah satu muridku di program Master  yang sangat cerdas, dua dekade lalu  pergi melanjutkan ke  program doktoral di Oxford. Pelatihan seminari mereka  telah mempersiapkan mereka dengan baik dalam eksegesis. Tetapi seminari itu tidak mempersiapkan mereka dengan baik dalam hal doa. Beberapa tahun lalu saya berjumpa dengannya dan mendapatkan dirinya tidak hanya bingung akan warisan evangelikalnya, dia bahkan mempertanyakan keunikan Yesus. Mahasiswa ini  memiliki  senjata simpanan dalam   bantahannya:  saksi yaitu  Roh, sesuatu yang tidak dapat disentuh oleh orang non Kristen. Hingga  hari ini saya bertanya-tanya seberapa besar saya telah berkontribusi terhadap kebingungan orang ini dan  bantahannya terkait  saksi Roh.

Bukan berupa bukti-bukti historis saja yang dapat menuntun seseorang untuk menerima kebangkitan sebagai kebenaran. Roh harus bekerja didalam  hati kita, mengatasi  sikap kita yang tidak komunikatif. Ketika lulusan-lulusan kita melanjutkan ke  pekerjaan doktoral, dan melupakan bahwa  Roh telah membawa mereka kepada Kristus untuk kali pertama, dan  meneguhkan kesaksianya dalam hati kita, mereka telah siap untuk mengalami kerusakan rohani. Kita harus diingatkan kembali—khususnya bagi mereka yang hidup dalam lingkungan akademik—bahwa eksegesis dan apologetika bukan merupakan puncak kehidupan  Kristen.

Saya tidak  hanya berbicara dari pengalaman  siswa-siswaku. Dalam program doktoralku, sementara dengan seriusnya  bergulat dengan bukti kebangkitan,  saya tiba-tiba mendapatkan diriku dalam sebuah krisis eksistensial. Saya sedang membaca sebuah teologia biblikal pada saat itu, sedang bergulat dengan  dua pemikir besar, Rudolf Bultmann dan Karl Barth. Saya   terkesan dengan  fakta yang sama kuatnya dengan bukti historkal  tentang kebangkitan, ada dan selalu akan menjadi sebuah ukuran untuk meragukan. Bukti itu sendiri tidak dapat menjembatani jurang antara  kita dengan Tuhan. Sebanyak-banyaknya bukti yang saya inginkan  untuk  menjembatani semuanya, saya tidak dapat melakukannya juga. Pada satu titik ada sebuah keputus-asaan yang nyata  segera mengemuka. Hanya ketika saya  dengan enggan menerima fakta yang  harus melibatkan sejumlah iman—dan itu melalui   perantaraan Roh— saya dapat melewati keputusasaan itu. Elemen-elemen iman  yang tidak dapat diverifikasi telah menjadi Sesuatu yang memalukan bagiku, ketimbang menjadi sebuah jangkar.



Selanjutnya : 11  Tesis, nomor 8-11



Introduction:Who's Afraid of the Holy Spirit? The Uneasy Conscience of a Non-CharismaticEvangelical| diterjemahkan dan diedit oleh : Martn Simamora


No comments:

Post a Comment