Pages

16 November 2012

Jujur Kepada Tuhan! Dia Bukan sebuah “Pit Stop” (Bagian 2)


picstopin.com

Daniel B. Wallace, Ph.D


Bagian 1
: Salib menyediakan akses kepada  Bapa: memberikan kepada kita sebuah kelahiran baru sehingga kita sungguh-sungguh  merupakan anak-anak Tuhan. Namun demikian, orang-orang Kristen masih berdosa. Kita masih manusia  yang rusak. Sekalipun kita adalah anak-anak Tuhan, kita kerap tidak berjalan bersama dengan Tuhan sebagaimana seharusnya. Dan itu adalah keberdosaan kita yang masih berlangsung, setelah kita diselamatkan, yang menyebabkan kita berupaya untuk menutup-nutupi perbedaan-perbedaan moral antara Tuhan dan diri kita sendiri.



B. Pengakuan Kebobrokan/Kebejadan oleh Manusia (1 Yohanes1:6-10)

Setelah Yohanes  membangun penjelasan tentang siapakah Tuhan, dia kemudian  beralih kepada kita dan bagaimana hubungan kita  dengan Tuhan. Yohanes tidak akan  mengizinkan kita untuk merasionalisasikan ( semacam upaya pembenaran) dosa kita. Menjadi berada didalam terang Tuhan berarti menjadi  dipaparkan terhadap kebenaran tentang Diri Tuhan dan diri kita.

Namun demikian ada sebuah problem  sukar yang kita hadapi. Pada ayat 6-10, Yohanes  mengimitasi atau meminjam  tiga pandangan keliru  yang dianut oleh para  penentangnya dalam penjelasannya dan kemudian memperlihatkan bagaimana   dalam pandangan-pandangan tersebut kehilangan hal pentingnya. Kesemua hal yang terlewatkan adalah segala hal yang terkait dengan kebobrokan/kebejadan manusia; semua hal yang terkait dengan bersembunyi dari terang.

1.      Berjalan didalam  Kegelapan ( 1 Yohanes 1:6-7)
Pertama, pada ayat 6, Yohanes berkata :” Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan dengan Dia, namun kita hidup di dalam kegelapan, kita berdusta dan kita tidak melakukan kebenaran.”


Yohanes melanjutkan  penggambaran yang dia telah mulai pada ayat 5, yaitu terang dan kegelapan.


Prasyarat  pertama   untuk bersekutu adalah  : berjalan didalam  terang. Jujur terhadap Tuhan mengenai siapakah dan apakah anda!


Tetapi ini menimbulkan sebuah masalah. Untuk memiliki persekutuan dengan Tuhan, harus  berada didalam  terang, bukankah dengan demikian   kita harus menjalani kehidupan  yang tak berdosa? Dapat terlihat seperti itu bila terang bermakna kekudusan.


Implikasi-implikasi  dengan makna yang demikian  sangat luas : jika “terang” bermakna kekudusan, maka untuk berjalan didalam terang  dapat terlihat  memiliki makna kekudusan yang absolut atau sempurna. Maknanya memang dapat persis seperti ini karena beberapa orang memiliki pengertian tentang terang dalam  cara seperti ini, bahwa mereka memandang persekutuan dengan Tuhan sebagai sesuatu dimana kita dapat berada didalam (persekutuan) pada satu waktu tertentu  dan diluar pada waktu berikutnya. Saya pikir pendekatan semacam ini menghasilkan seorang Kristen yang mengalami sakit jiwa schizophrenia yang  membuatnya berkesimpulan  bahwa  dia adalah seorang yang rohani pada satu saat tertentu dan  seorang yang duniawi pada waktu berikutnya. Jeleknya, dia mulai berfokus pada “performanya” lebih daripada hubungannya dengan Tuhan. Jangan pernah  memasukan kebiasaan atau karakter kedalam gambar spiritualitas.


Dan  terus terang saja, pandangan spiritualitas semacam ini sebenarnya  mempromosikan dosa. Karena pandangan ini membolehkan saya untuk  melakukan penyimpangan   bersifat kedagingan apapun juga yang saya maui : Selama saya mengakui dosa-dosaku setelah melakukannya,  maka saya menjadi manusia rohani  lagi.


Lebih lanjut, anda benar-benar tidak dapat mendasarkan padangan spiritual ini pada  1 Yohanes 1. Perhatikan apa yang Yohanes katakan pada ayat 7 : “Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa.”


Untuk berjalan didalam terang bukan untuk tidak hidup tanpa dosa :  jika demikian maka darah Yesus tidak akan dibutuhkan untuk menguduskan kita  selagi kita sedang berjalan didalam terang. Semua kata kerja  didalam ayat ini merupakan berbentuk kalimat waktu kini.  Kekuatan ayat ini  nampaknya pada:  selagi kita berjalan didalam terang, darah Yesus  sedang membersihkan kita dari dosa-dosa kita.


Oleh karena itu, teks ini tidak sedang berbicara menjadi berada “didalam persekutuan” dan  berada  “diluar persekutuan” berdasarkan pada momen  demi  momen. Jika “terang” bermakna “paparan”(penyingkapan), maka ini dapat berarti  dalam satu detik kita  mengakui bahwa kita adalah orang-orang berdosa, dan kemudian menyangkalinya pada detik berikutnya. Pandangan semacam ini tidaklah  benar, baik untuk kehidupan dan  menurut  kitab suci.


Tetapi jika  “terang” bermakna kejujuran dan integeritas dan transparansi, maka berjalan didalam  terang  tidak bermakna kekudusan yang absolut/sempurna. Tetapi ini merupakan prasyarat yang diperlukan untuk kekudusan.


2.      Mengakui Dosa-Dosa Kita dan Dosa Kita ( 1 Yohanes 1:8-10)

Pada ayat 8-10, Yohanes beralih dari metafornya dan segera menuju hal-hal yang  pokok/intisarinya.


Ayat 8 : “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.” Orang yang mengklaim dirinya tidak memiliki dosa  adalah orang yang mengklaim dirinya tidak memiliki kesalahan. Akibatnya, dia sedang berkata bahwa dosa-dosanya bukan soal penting bagi Tuhan, dan itu tidak hanya menyatakan bahwa  Tuhan tidak peduli  mengenai dosa-dosanya, tetapi dia/orang itu  tidak bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatannya.



Ayat 9  kontras dengan  perilaku  ayat 8 :” Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”


Disini Yohanes tidak sedang berbicara pengakuan  yang akan membawa kepada  keselamatan, tetapi pengakuan yang dilakukan didalam keselamatan, pengakuan  yang dilakukan berulang oleh  orang Kristen. Dia tidak sedang mengulas pembenaran atau justifikasi , tetapi pengudusan.


Ada banyak kebingungan  terkait melibatkan apa sajakah pengakuan dosa-dosa itu.


Secara umum, pengakuan bergerak   dalam dua arah dalam kitab suci : Pengakuan tentang Tuhan dan pengakuan tentang diri kita. Kedua  pengakuan ini melibatkan keyakinan, tidak semata pengakuan.  Pada dasarnya  merupakan sebuah pengakuan bahwa Tuhan  memegang kedali dan kita tidak.


Beberapa orang berargumen bahwa kata yang digunakan disini untuk “mengakui,”
oJmologevw, bermakna “hanya  menyebutkan dosa-dosamu kepada Tuhan” [R. B. Thieme, Jr. Rebound and Keep Moving (Houston: n.p., 1993), 20.]. Pengakuan tidak bermakna untuk  meninggalkan atau menanggalkan dosa-dosamu “[R. B. Thieme, Jr. Spirituality By Grace (Houston, 1971) 16.]. Selanjutnya dikatakan bahwa pengakuan dalam konteks itu  hanyalah sebuah istilah judisial, seolah-olah kita sedang berdiri dihadapan Tuhan sebagai hakim kita dan  semata  bersepakat dengan Tuhan tentang dosa kita. Seorang penulis menyatakannya demikian:

Dihadapan Mahkamah Agung surga, bagaimana perasaanmu tentang dosamu yang tidak memiliki konsekuensi.


Pengakuan yang  memaksakan penyesalan atau penebusan diri sendiri  dengan melakukan sesuatu merupakan penghujatan dan menolak anugerah Tuhan. Sebuah pembalaan emosianal tidak akan pernah menghina Tuhan.  1 Yohanes 1:9 tidak berkata, jika kita meminta atau memohon  pengampunan. Hanya akuilah dosa-dosamu [Rebound, 20.].



Ada banyak hal yang benar dalam pernyataan ini—dan banyak juga yang keliru. Dan itulah permasalahannya. Terlampau banyak orang-orang Kristen memandang teks ini dalam cara persis seperti ini—dan mereka berakhir dengan melakukan dosa lagi dan lagi dan  menikmati Tuhan  dalam kadar yang semakin rendah. Sebuah pemahaman yang  pengakuan yang  tepat  pada 1 Yohanes 1:9 melibatkan sejumlah poin.


Pertama, pengakuan melibatkan percaya. Yaitu bersepakat (menyetujui) dengan Tuhan mengenai apakah dosa kita itu. Akan tetapi pengakuan semacam ini tidak semata pada sebuah level kognitif (tatar pikiran). Perhatikan konteks ayat 8—Jika kita katakan bahwa kita tidak berdosa, kita menipu diri kita sendiri.” Kini jelas, jika seseorang semata berkata bahwa dia tidak memiliki dosa, dia tidak menipu dirinya sendiri. Apa yang telah dia ucapkan harus dipercaya. Saya dapat berkata kepada anda , “Tidak ada Tuhan.” Tetapi pernyataan itu tidak membuat saya  menjadi seorang ateis, kecuali saya mempercayai pernyataan tadi. Sama halnya juga dengan pengakuan dosa. Jika kita mengakui dosa-dosa kita, tanpa pernah sekalipun  masuk kedalam sebuah pemahaman yang mendalam akan dosa-dosa kita, kita sedang menipu diri kita sendiri.


Ini merupakan salah satu masalah yang saya miliki dengan Kekristenan yang  formulais,  atau “terhubung dengan titik teologia.” Kita  cenderung untuk mendorong jauh Tuhan dengan  semua formula yang kita ciptakan. Setiap orang Kristen tahu bagaimana untuk meng-1 Yohanes 1:9-kan!   Kamu mabuk  dan setelah itu  melakukan 1 Yohanes 1:9. Anda  mengambil sebuah majalah Playboy untuk “perangsang intelektual” yang disajikan majalah tersebut. Lantas anda membawanya hati-hati dan mulai membacanya seolah-olah membacanya sebagai majalah dengan huruf Braille ! Ya..anda cukup melakukan “1 Yohanes 1:9” dan kembali kedalam jalur yang Benar!  Teman-teman, itu bukan spiritualitas, dan itu bukan pengakuan.


Fakta sebenarnya bahwa “ 1 Yohanes 1:9” telah menjadi sebuah bagian dari indikasi-indikasi idiom keagamaan kita dimana kita terlampau kerap memandang teks ini secara mekanik—dan oleh karena itu hubungan kita dengan Tuhan juga  berlangsung secara mekanik, juga. Terus terang saja, kita telah memanfaatkan teks ini dalam cara semacam ini sehingga meremehkan dosa dan membangun keadaan mati rasa –ketidakpekaan terhadap Tuhan sebagai Bapa kita.


Selanjutnya : Kedua, Pengakuan dosa melibatkan sebuah pengakuan akan ketidakcukupan dan kebutuhan kita,… Ketiga, Pengakuan dosa bukan semata bersifat judicial tetapi juga  berkait dengan hubungan kita dengan Tuhan…


Honestto God! Or, God is not a Pit Stop (1 John 1:5-10)| diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora













No comments:

Post a Comment