Pages

27 October 2012

Apakah Tuhan Perjanjian Lama seorang Monster tanpa Belas kasih? (4 selesai)


Orang-orang Asyria pemburu kepala sedang mengumpul
tropi-tropi mereka (yaitu kepala para korban).
Dua pencatat berdiri bersisi-sisian di sebelahkanan,
mencatat jumlah musuh yang dibunuh dalam sebuah
penyerangan di bagian selatan Mesopotamia.
Kepala-kepala diletakan  bertumpuk di kaki mereka.
Juru catat paling depan menggunakan pena dan
tinta pada sebuah gulungan kulit; juru tulis lainnya
menuliskan dengan semacam pena jarum diatas
sebuah papan berengsel dan dilapisi dengan
lilin {British Museum- Editor, H. S. (2002;2002).
BAR 17:01 (Jan/Feb 1991). Biblical Archaeology
Society.Grisly Assyrian Record of Torture and Death
By Erika Belibtreu]
Oleh :Robin Schumacher, Ph.D.

Pada bagian pertama :Dalam bukunya “The God Delusion”, seorang ateis Richard Dawkins menuliskan sebuah  kritik tajam  penggambaran Tuhan sebagaimana dia    melihat Tuhan dalam Perjanjian Lama. Dawkins berkata : “Tuhan Perjanjian Lama  sangat-sangat nyata merupakan karakter yang sangat tidak menyenangkan dalam semua kisah fiksi : .......

Bagian kedua : Orang-orang Amalek khususnya   melancarkan serangan-serangan mereka sebagai pengecut kepada Israel dan dengan sengaja membunuh orang yang lemah dan tua yang terkadang tercecer di belakang kelompok inti  yang   melakukan perjalanan mereka ke tanah yang dijanjikan Tuhan ( bandingkan dengan Ulangan 25:17-19). Kitab Hakim-Hakim (6:3-5) merekam bahwa orang-orang Amalek secara konsisten beraliansi dengan bangsa-bangsa lain untuk melakukan pembasmian bangsa Israel.  Ajaibnya ,  Tuhan memilih untuk tidak menghancurkan orang-orang Amalek sampai  setidaknya 400 tahun berlalu dari tindakan dosa mereka yang pertama terhadap umat-Nya. Waktu yang demikian panjangnya seperti ini memperlihatkan kesabaran Tuhan dan  mengenyahkan tuduhan apapun bahwa Tuhan cepat marah dan tergesa-gesa melakukan penghukuman terhadap mereka yang berdosa dihadapan-Nya.

Bagian Ketiga : Apa yang terkadang terlewatkan pada  nas kitab suci tersebut   adalah bagian-bagian yang mendahului kisah ini : ” "Apabila kamu dengan tidak sengaja melalaikan salah satu dari segala perintah ini, yang telah difirmankan TUHAN kepada Musa, yakni dari segala yang diperintahkan TUHAN kepadamu dengan perantaraan Musa, mulai dari hari TUHAN memberikan perintah-perintah-Nya dan seterusnya turun-temurun, dan apabila hal itu diperbuat di luar pengetahuan umat ini, tidak dengan sengaja, maka haruslah segenap umat mengolah seekor lembu jantan muda sebagai korban bakaran menjadi bau yang menyenangkan bagi TUHAN, serta dengan korban sajiannya dan korban curahannya, sesuai dengan peraturan; juga seekor kambing jantan sebagai korban penghapus dosa. Maka haruslah imam mengadakan pendamaian bagi segenap umat Israel, sehingga mereka beroleh pengampunan, sebab hal itu terjadi tidak dengan sengaja,...


Ketiadaan Fondasi Moral Ateisme

Setelah menanggapi tuduhan-tuduhan utama terhadap keadilan Tuhan dalam Perjanjian Lama, kita sekarang mengalihkan perhatian kita pada bagaimana  ateis berupaya mendukung posisi moral mereka dalam mencap Tuhan sebagai jahat dan tidak adil sebagai tudingan utama. Perangkat etika dan filosopi apakah   yang mereka gunakan sebagai fondasi mereka?



Materialis/naturalis tidak dapat berpaling  pada evolusi  untuk menopangnya  karena teori evolusi  hanya menawarkan konsep yang  terkuatlah yang bertahan hidup. Dalam kerangka semacam ini, diyakini bahwa hanya   yang terkuat dapat  bertahan hidup dan  membuat  teori ini  sama sekali tidak memiliki pijakan   dalam posisi moral mereka.



Menjadi sulit bagi ateis yang menginginkan filosopi mereka  menjadi benar untuk menyatakan sebuah ketidaksetujuan  pandangan terhadap Tuhan tanpa mencelupkan jari mereka kedalam dasar moral kekristenan, yang mana mereka nyatakan menolaknya. Ini sebabnya mengapa beberapa ateis  secara terbuka mengakui bahwa didalam dunia mereka, baik dan jahat sungguh-sungguh bukan merupakan konsep-konsep yang dapat  diyakini sepunuhnya oleh seseorang. Pada subyek ini, Richard Dawkins  mengatakan : “ Manusia-manusia selalu bertanya mengenai makna kehidupan …kehidupan  tidak memiliki tujuan yang lebih tinggi daripada kelangsungan hidup DNA… kehidupan tidak memiliki desain, tidak memiliki tujuan, tidak memiliki hal yang jahat dan baik, tidak ada  kecuali buta menggenaskan tiada kepedulian” [Richard Dawkins, River Out of Eden, New York: Basic Books, 1995, 133.].

Bagaimana bisa sebuah  pernyataan semacam ini dibuat? Pernyataan tersebut pada dasarnya merupakan hasil akhir dari filosopi  yang dianut ateis dan  mengikuti kemana filosopi itu berujung. Logika dasarnya  sebagai berikut : Sebelum anda dapat menyatakan  sesuatu adalah jahat, anda harus tahu  apa yang baik itu. Sebelum anda tahu apa yang baik  itu, anda harus memiliki sebuah kerangka moral untuk membedakan baik dari yang jahat. Sebelum anda dapat memiliki hukum-hukum moral yang absolut dan tak berubah, anda harus memiliki seorang  pemberi hukum moral yang absolut, karena hukum tidak muncul dari udara yang tipis.  Tetapi pemberi hukum moral absolut semacam ini: yang  pasti hanya   Tuhan, sosok yang disangkali ateis.  Sehingga sekarang anda pada dasarnya mengulanginya kembali :  tidak adanya pemberi hukum moral absolut bermakna tidak adanya hukum-hukum moral absolut. Tidak adanya hukum-hukum moral  absolut bermakna tidak adanya kerangka moral untuk membedakan antara baik dan jahat. Dan tidak adanya kerangka moral bermakna tidak ada cara untuk mencap sesuatu itu baik dan  sesuatu itu jahat. Ide ini dijelaskan secara lebih sederhana oleh C.S. Lewis yang mengatakan bahwa seorang manusia tidak  dapat mengatakan sebuah garis bengkok kecuali dia tahu seperti  apakah sebuah garis lurus itu.


Ini memang benar,  kemanakah ateis harus memandang untuk tahu ‘garis lurus’ mereka? Tuhan tidak termasuk dalam pertanyaan ini, sehingga mereka harus berpaling kepada umat manusia itu sendiri, yang mereka yakini pada dasarnya ‘baik’. Tetapi pertanyaan berduri bagi para ateis, mengacu pada penyangkalan mereka akan Tuhan dan sebuah keyakinan bahwa umat manusia pada dasarnya baik, adalah : Siapakah, kemudian, yang melakukan semua  ‘kekejaman’ yang mereka tudingkan dalam Perjanjian Lama? Tuhan tidak melakukan itu karena Dia tidak pernah ada dan jika orang pada dasarnya baik, lalu  apa yang salah dengan mereka yang terlibat dalam semua kejadian-kejadian yang mereka  kecam keras?


“Agama!” adalah jawaban yang kerap kali  dimunculkan kembali dari ateis. Mereka menuding bahwa kekerasan  yang dilakukan disebabkan oleh orang yang secara keliru mengunakan sebuah pembenaran agama untuk memberikan mereka sebuah lampu hijau untuk melakukan  tindakan-tindakan  yang telah mereka perbuat. Tetapi apakah sebuah posisi/pandangan semacam ini berdiri dengan kokoh? Terkadang ya; sebagai contoh, para teroris 9/11  dilatar belakangi motivasi religious dan sangat diyakini bahwa apa yang telah mereka  lakukan adalah benar didepan mata Allah.

Akan tetapi, para ateis mengabaikan  fakta bahwa pemerintahan-pemerintahan non religious  melakukan  lebih banyak lagi penumpahan darah yang teramat hebat daripada yang dilakukan oleh orang  yang menggunakan agama sebagai dasar pelaksanaannya. Dalam buku Death by Government, karya R.J. Rummel mencatat  orang berikut ini-- [J. Rummel, Death by Government, Brunswick, New Jersey: Transaction Publishers, 2009, 8. ]--yang dihitung sebagai akibat dari pemerintahan-pemerintahan ateis/non religious:
  • Joseph  Stalin : 42.672.000 
  • Mao Zedong  : 37.828.000
  • Adolf Hitler20.946.000
  • Chiang Kai-shek : 10.214.000
  • Vladimir Lenin : 4.017.000
  • Hideki Tojo : 3.990.000 
  • Pol Pot : 2.397.000

Rummerl mengatakan, “ Hampir 170 juta pria,wanita dan anak-anak telah ditembak, dianiaya, disiksa,ditikam,dibakar,kelaparan,kedinginan, dibantai atau bekerja sampai mati; dikubur hidup-hidup,ditenggelamkan dalam air,digantung,dibom,dibunuh dengan  berbagai cara lain yang tak terhitung  oleh pemerintahan-pemerintahan  mengakibatkan kematian terhadap warga masyarakat dan pendatang yang tidak bersenjata dan tidak berdaya…Kejadian ini seolah spesies kita telah dihancurkan oleh sebuah Wabah Hitam moderen. Dan hal ini nyata-nyata telah terjadi, tetapi sebuah wabah kekuasaan, bukan kuman-kuman “[N.T. Wright, Evil and the Justice of God, Downers Grove, Illinois: Intervarsity Press, 2006, 58-59.]. Harus  dicamkan dalam benak kita bahwa statistik-statistik yang diungkapkan dalam karya Rummel adalah data tahun 1988; setelah tahun tersebut, telah terjadi lagi sejumlah perang-perang dan  kekejaman-kekekajaman yang dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan sekular yang telah menambahkan jumlah kematian.

Ini merupakan dilema ateis: Kemana mereka berpaling untuk mendapatkan sebuah jawaban terhadap kekerasan yang dikutip Rummel dan apakah perbaikan mereka untuk situasi ini? Standard moral apakah dan otoritas apakah  yang akan mereka gunakan untuk memperbaiki situasi? Mereka tidak dapat menengok pada evolusi dan/atau naturalisme  karena  kelangsungan hidup bagi yang terkuat tidak menghormati atau  percaya pada kesetaraan moral diantara umat manusia. Frederick Nietzsche menegaskan hal ini ketika dia berkata , “Kesetaraan merupakan sebuah dusta yang dikarang oleh orang yang inferior ,mengupayakan diri mereka berada dalam kelompok-kelompok untuk menaklukan  mereka yang secara alami lebih unggul daripada mereka, ini  membawa kerusakan pada spesies manusia.” Adalah juga Nietzsche yang memprediksi bahwa, karena Tuhan  (yang dia yakini) sekarang telah mati, maka abad ke-20 akan menjadi abad paling berdarah dalam sejarah. Sedihnya, dia benar, dengan   hasil  berupa pernyataan Dostoevsky yang menggema dalam bukunya The Brothers Karamazov : “Without God all things are permitted.”

Situasinya sungguh-sungguh sulit bagi ateis. Pada satu sisi mereka menyatakan Tuhan Perjanjian Lama jahat, namun demikian pada sisi lainnya, mereka mengakui bahwa tanpa Tuhan  kejahatan tidak ada dan semua akan  tetap berlangsung. Para ateis ada baiknya untuk mendengarkan N.T. Wright dalam  rekomendasinya yang panjang namun sangat membantu bahwa mereka (atau siapapun juga) untuk  tidak segera melemparkan sebuah mata penghakiman terhadap tindakan-tindakan Tuhan dalam Perjanjian Lama :

Kita mendapatkannya sulit untuk  mempercayai bahwa mereka (Israel)  telah dibenarkan dalam melakukan apa yang telah mereka lakukan terhadap orang-orang Kanaan, atau bahwa Tuhan yang terlibat  didalam operasi ini adalah Tuhan yang sama yang kita kenal dalam Yesus Kristus. Dan sejak  kejadian Taman, sejak    Tuhan berduka atas Nuh, sejak Babel dan Abraham, kisahnya sejak awal mengenai  jalan yang kacau dimana Tuhan telah harus bekerja untuk membawa dunia keluar dari kekacauan.  Entah bagaimana, dalam sebuah  cara dimana kita  melibatkan upaya yang ofensif, Tuhan  harus membuat sepatu-sepatu bootnya berlumpur dan, nampaknya, membuat tangan-Nya berlumuran darah, untuk memperbaiki  dunia sedia kala. Jika kita mendeklarasikan sebagaimana banyak orang telah melakukannya, dimana sebaiknya tidak turut melakukannya, kita  menghadapi sebuah pertanyaan sanggahan : yang agak  kering, apakah kita berdiri diatas dasar yang bersih  yang diatas dasar itu  kita harus menyatakan  hal tersebut dengan sebuah  kepastian? Dietrich Bonhoeffer telah mendeklarasikan  dosa  prima kemanusiaan  berisikan:  menempatkan pengetahuan akan yang baik dan yang jahat dihadapan pengetahuan Tuhan. Itu merupakan salah satu misteri-misteri hitam lebih lanjut dari Kejadian 3; pasti ada beberapa kesinambungan substansial antara apa yang kita maksud dengan baik dan jahat dan apa yang Tuhan maksudkan; jika tidak, kita berada didalam kegelapan moral yang sebenarnya.  Tetapi ini berperan sebagai peringatan bagi kita untuk tidak  menyatakan pandangan yang kita yakini benar  dengan terlampau banyak kepastian mengenai apa yang Tuhan seharusnya dan tidak seharusnya lakukan [N.T. Wright, Evil and the Justice of God, Downers Grove, Illinois: Intervarsity Press, 2006, 58-59.].

Penolakan pada pernyataan Wright berpusat pada sebuah bantahan terhadap siapapun yang menganggap Tuhan tidak adil, yang mana merupakan   apa yang sesungguhnya menjadi sentiment  para pencela Tuhan ketika mereka memberikan perhatian pada tingkat permukaan tindakan-tindakan-Nya dalam Perjanjian Lama. Dan lagian, tanpa Tuhan, tidak  dapat ada keadilan yang sejati.


Ini merupakan sebuah kesimpulan   yang disampaikan  bahkan  oleh para pemikir sejarah paling terkenal yang berpikir bahwa dia percaya ada sebuah Tuhan, tidak berpikir  seseorang  yang dapat sungguh-sungguh mengenal Dia : Immanuel Kant. Kant menanyakan pertanyaan tersebut, apa yang diperlukan untuk memiliki keadilan yang sesungguhnya? Kant pertama-tama melihat bahwa dalam hidup ini, orang  yang tidak bersalah sungguh-sungguh menderita dan kemakmuran yang tidak adil; dengan kata lain, sebuah argumen dapat dibuat, bahwa didalam dunia ini tidak ada alasan praktis menjadi etikal: kejahatan menerima  ganjarannya. Sehingga karena dunia ini mempelihatkan bahwa keadilan tidak selalu berkuasa, untuk memiliki keadilan sejati, harus ada kehidupan setelah kematian bagi yang tidak adil untuk  menjalani pertanggunganjawab.



Apakah ini cukup,  tanya Kant? Tidak, juga harus ada sebuah penghakiman. Lebih lanjut, penghakiman itu harus sempurna untuk menjamin keadilan menjatuhkan ganjarannya. Dan, agar menjadi keadilan yang sempurna dan sebuah penghakiman yang sempurna, adalah beralasan untuk menyimpulkan bahwa harus ada sebuah hakim yang sempurna; hakim yang harus mengetahui semua fakta-fakta  dari kasus dan memiliki semua pengetahuan sehingga tidak ada kemungkinan  untuk sampai  tertinggalkan. Apakah ini kemudian mencukupi, tanya Kant? Tidak, hakim tersebut juga harus sepenuhnya benar, karena seorang hakim dapat mengetahui semua  fakta-fakta namun juga menjadi korup. Lebih jauh lagi, hakim tersebut juga harus memiliki kuasa untuk mengimplementasikan dan  menegakan/memastikan keadilan, tanpa kuasa  memiliki kedudukan superior pada hakim   membuatnya tidak memiliki apapun yang tersisa baginya untuk  bertindak.

Sehingga, walaupun Kant secara pasti    yakin Alkitab bukan Firman Tuhan yang diwahyukan, dia telah mencapai  kesimpulan bahwa  untuk memiliki keadilan sejati anda membutuhkan sebuah  kehidupan setelah kematian dengan  seorang  hakim yang omnipotent (mahakuasa),omniscient (mahatahu), benar, dan kudus untuk menjamin keadilan dijalankan. Tanpa itu, kata Kant, tidak ada dasar yang  pasti atau pijakan-pijakan bagi etika-etika atau keadilan.  Kesimpulan Kant pada dasarnya adalah apa  yang harus dihidupi umat manusia seolah ada seorang Tuhan.

Kesimpulan
Setelah memeriksa  contoh-contoh utama Perjanjian Lama secara seksama  yang digunakan para ateis untuk mencap Tuhan sebagai tidak adil,  hal tersebut telah memperlihatkan bahwa kristisme mereka dan karakterisasi-karaktersisasi tidak ditemukan, dan pemahaman mereka akan beragam situasi   memiliki cacat. Lebih lanjut, ketimbang   bersenyawa dengan  pengkarikaturan Dawkins  mengenai Tuhan sebagai  sosok pembalas dendam, tidak sabar, cepat marah, dan ketuhanan yang haus darah, gambar Tuhan  yang sebaliknya muncul dari Perjanjian Lama setelah melalui sebuah studi yang dilakukan; Tuhan digambarkan sebagai pengampun, sabar, dan lambat untuk  mengirimkan penghakiman. Sebagai contoh, ketika Tuhan menyayangkan Niniweh setelah Yunus berkhotbah, Yunus berseru :” Aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya” (Yunus 4:2).



Akan tetapi, Dia juga mengungkapkan diri-Nya  kudus, adil dan benar , Tuhan yang membawa keadilan  menurut waktu-Nya. Singkatnya, Tuhan Perjanjian Lama  cocok dengan Tuhan Perjanjian Baru  hingga sekecil-kecilnya.

Sementara beberapa orang  mungkin akan berargumen bahwa mengoreksi kecacatan sudut pandang  Tuhan yang diusung skeptik tidak sepenting itu, maka hal yang sebaliknya juga benar. Sebuah pemahaman yang akurat mengenai natur dan karakteristik-karakteristik Tuhan  merupakan hal terpenting; sebuah fakta yang dengan baik ditangkap oleh A.W. Tozer yang menuliskan :” Apa yang masuk kedalam benak-benak kita    ketika kita memikirkan tentang Tuhan adalah hal terpenting   tentang kita. Sejarah umat manusia berangkali akan memperlihatkan bahwa tidak ada orang yang pernah bangkit diatas agamanya, dan  sejarah spiritual manusia akan secara positif mendemonstrasikan bahwa tidak ada agama yang pernah menjadi lebih besar daripada  idenya  mengenai Tuhan “ [A.W. Tozer, The Knowledge of the Holy, San Francisco: Harper Collins, 1961, 1. ].

Memang benar bahwa Alkitab  mengandung kisah-kisah grafik tentang dosa,kejahatan, dan kematian. Tetapi Alkitab juga mencakup keseluruhannya, kisah agung mengenai kasih, penebusan, dan anugerah. Alkitab mempertontonkan  sosok Tuhan yang meminta kita untuk tidak mengkritisi Dia tentang  tindakan-tindakan keadilan-Nya, tetapi sebaliknya Tuhan yang  dengan lemah lembut mendorong kita untuk datang berdampingan dengan Dia. Ketika hal itu terjadi, dan Tuhan bertindak dalam kebenaran-Nya, dunia menemukan  konsekuensi-konsekuensi yang ada  bagi perilaku jahat, yang merupakan sesuatu yang dikatakan  nabi  Yesaya : ” Dengan segenap jiwa aku merindukan Engkau pada waktu malam, juga dengan sepenuh hati aku mencari Engkau pada waktu pagi; sebab apabila Engkau datang menghakimi bumi, maka penduduk dunia akan belajar apa yang benar” (Yesaya 26:9).

Jadi inilah Tuhan   dalam Perjanjian Lama yang digambarkan seorang monster tanpa belas kasih? Setelah melalui sebuah tinjauan  atas fakta-fakya, buktinya sebesar-besarnya menuntut sebuah jawaban “tidak”.


Pernyataan Penulis :  Terimakasihku kepada Dr. Paul Copan yang pandangan-pandangannya telah membantu  secara luar biasa dalam penulisan artikel ini. Saya merekomendasikan bukanya Is God a Moral Monster? Making Sense of The Old Testament God, demikian juga dengan esainya yang lebih pendek Is  Yahweh a Moral Monster? Yang dapat dibaca dalam Philosphia Christi, Vol.10, No.1 ©2008.
Is the God of the Old Testament a Merciless Monster?
Robin Schumacher, Ph.D.
May 2011

Diterjemahkan oleh : Martin Simamora

No comments:

Post a Comment